Minggu, 27 Desember 2015

PART 13 : HOLD MY HAND






Part 13

Sesuai dengan yang di katakana Indira pada Anggi, keadaan akan kembali normal saat hari berganti. Sikap Indira kembali normal, bangun pagi, menyiapkan sarapan bersama dan pergi dinas seperti hari hari sebelumnya. Tak ada pembahasan sedikitpun tentang apa yang sudah terjadi di antara mereka. Seminggu berlalu dan semuanya seakan tidak menyisakan sedikitpun kenangan dalam diri Indira ‘sepertinya’ ya seperti itulah Indira.
Anggi mengikuti kemana Indira memainkan peran dalam hidupnya, baginya apa yang sudah dialami Indira dimasa lalu cukup membuatnya terluka dan jika kali ini Indira mencoba berdamai dengan hatinya maka ia bisa sepenuhnya mendukung apa yang membuat sahabatnya itu lebih tenang, setidaknya gadis itu tidak perlu sekali lagi melarikan diri dari kenyataan yang membuatnya tak mampu berdiri. Mungkin Bagas benar bahwa Indira akan menekan egonya sedemikian rupa sehingga tidak akan membuat dia dan Bagas merasa bersalah ataupun canggung dengan apa yang sudah mereka perbuat karena antara Indira dan Bagas belum ada kesepakatan apapun walau hubungan mereka cukup dekat saat itu. Ya saat dimana Indira masih bisa membuka dirinya pada Bagas dan tidak untuk saat ini yang seakan tengah membangun tembok tinggi sehingga sulit untuk diraih kembali
‘tak ada lagi kesempatan buatku, Nggi.. Indira seakan menutup segala kemungkinan bagiku untuk mendekati dirinya. Dia terus menghindariku, telepon dan pesan yang aku kirimkan padanya tidak ada yang ia jawab kecuali mengatakan bahwa tidak ada yang dibohongi dan membohongi, semua sudah berjalan di rel masing masing…. Hanya itu yang ia katakan. Sepertinya ia mencoba berdamai dengan hatinya sendiri dengan caranya sendiri, Nggi… dunianya masih sangat asing buatku, dia terlalu keras memproteksi dirinya’

‘lalu hubungan kalian bagaimana, apakah kamu tidak ingin memperjuangkan apa yang ingin kamu miliki?’

‘jika aku hanya berjuang sendiri sementara Indira terus berusaha lari dari tiap uluran tangan yang akan membantunya. Lantas siapa yang akan menolongku dari kemungkinan aku terjatuh?’
‘Kamu menyerah Gas? jalan itu sudah kamu mulai… berjuanglah sedikit lagi, aku yakin Indira hanya membutuhkan waktu untuk menyadari semuanya’

‘entah apa istilah yang tepat untuk menyebutnya… aku bahkan belum merasa memulai sesuatu itu tapi aku harus menyudahinya. Aku pikir usaha ini hanya akan membuat aku ataupun Indira terluka… semuanya tidak ada yang benar, permulaannya sama sekali tidak jujur’

‘tidak jujur?? Apa maksudmu?’

‘aku menutupi identitasku dari Indira dan dia juga masih menyimpan sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Hal itu seperti bukan lagi masa lalu yang ingin ia kubur tapi sesuatu yang saat ini ingin ia hindari sekali lagi. Meskipun dia mengatakannya padaku, tapi dia belum sepenuhnya percaya terhadapku…. Ya barangkali belum waktunya Nggi. Jalan yang kami tempuh menemui kebuntuan, aku ingin mencari jalan lain untuk berlari, tapi Indira masih ingin berdiam disana. Apa boleh buat, tidak ada suara tepukan jika tangan kita tidak berpasangan, yang ada hanya lambaian tangan entah itu lambaian memanggil atau persisahan’

Anggi terus memandang Indira yang menikmati sarapannya dengan laptop dan wajah seriusnya, entah apa yang ia pelajari, tapi saat memandang wajah ayu nan serius itu tidak ada pilihan lain bagi Anggi selain membiarkan semua apa yang ia bahas dengan Bagas kembali berputar putar dikepalanya. Gadis ini begitu sederhana dalam menjalani kehidupannya, sangat sederhana dalam menghadapi masalahnya, tenang setenang air danau yang menyimpan arus deras didalamnya. 
‘kenapa kamu begitu jahat pada dirimu sendiri Ndi, begitu banyak orang yang kamu semangati untuk terus berjuang meraih kebahagiaan saat dinyatakan sembuh dari penyakitnya, tapi kenapa kamu tidak berjuang untuk dirimu sendiri, ataukah ini bentuk perjuanganmu. Meghindar dan berlari. Ragamu kini memilih tinggal tapi hatimu sudah jauh berlari dari kebahagiaan yang mendekatimu’

“Nggi, hari ini kamu Free kan?” 
Indira menutup laptopnya dan menyimpan piring kosong dalam cucian piring, taka da jawaban dari Anggi… Indira diam sesaat dan mengamati Anggi yang masih bengong dengan roti bakar ditanggannya.
“Anggi…. Kamu denger aku kan? Woi… kamu kenapa? Pagi pagi sudah nglamun”
Indira membuyarkan segala dunia kecil di kepala Anggi, senggolan Indira membuatnya tersadar dari segala pikiran yang sedari tadi menguasai waktu paginya
“hmm… kenapa?”
“Kamu ke Rumah Sakit nggak?”
“haaah… sepertinya siangan dikitlah.. emang kenapa, kamu nitip sesuatu?” Anggi meletakkan rotinya dan berjalan menuju sofa di ruang tengah tempat ia bisa bermalas malasan
“Nggak sih, cuma aku ada paketan yang lagi aku tunggu dari Mama, kalau nanti kamu masih dirumah paling tidak aku nggak perlu samperin ke kantor pengiriman”
“Oh… bolehlah aku nanti mampir kesana, kebetulan aku harus ke rumah Bagas dulu. Om Adhi menyuruhku untuk datang kesana”
“Oh…” Indira menjawab dengan cueknya
“kok Oh… kenapa, kamu masih perang dingin sama Bagas” Anggi menegakkan kepalanya melihat Indira yang masih sibuk di dalam dapur.
Indira tersenyum dan menyibukkan dirinya dengan mengambil minuman di dalam kulkas mencoba menghindari pembahasan tentang Bagas yang Anggi mulai. Anggi memasang muka kecutnya melihat reaksi Indira yang cuek tidak menjawab pertanyaannya dan hanya memasang senyum, ia pasrah dan tidak bisa memaksa Indira untuk menerima tawarannya tentang Bagas lagi, ia harus terima dengan penolakan halus Indira.

***

Suster Mia masih sibuk dengan laporan laporan medik pasien yang ada di hadapannya, ia tidak menyadari ada yang berdiri di balik pintu ruang kerja Indira. Jam makan siang sudah di depan mata, tapi ia harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum Indira kembali pulang. Sementara di sofa yang ada di pojok ruangan Indira nampak melepaskan lelahnya bersandar malas memejamkan mata. Ponsel yang ia tinggalkan di meja kerja nampak berkedip kedip tapi tak ia hiraukan karena setelan diam yang ia pasang membuatnya tidak menyadari adanya panggilan untuknya. Beberapa menit berlalu Indira masih mendapati suster Mia di meja kerjanya.
“Makan dulu Suster, nanti bisa dilanjutkan lagi”
“Iya Dok, sebentar lagi selesai”
“Suster Mia bisa makan satu kotak bekal di meja saya, ambil aja Sus…” 
Indira masih memejamkan matanya menawarkan kotak bekal yang ia terima hari ini pada sang asisten
“Tapi Dok, itu kan?”
Indira tersenyum kecut memahami maksud dari Suster Mia, ya kotak bekal yang setiap hari datang padanya adalah kiriman dari Bagas juga Tama. Kotak bekal yang dulu membuatnya tersenyum dan bersemangat untuk membukanya kini seakan menjadi kotak bekal yang menyerap habis semangatnya hingga tidak ada kekuatan yang tersisa untuk menyentuhnya.. Indira berjalan mengambil satu kotak yang ada di mejanya untuk suster Mia.
“Kan hari ini ekstra Sus, ada dua… masa iya saya makan dua duanya. Ambil saja satu biar nanti satunya saya bawa pulang” Indira menyodorkan satu kotak bekal pada suster Mia tanpa melihat itu kotak dari siapa, dengan sopan Suster Mia menolaknya sehingga Indira mengerutkan alisnya heran, tidak pernah sekalipun Suster Mia menolak pemberiannya, tapi kenapa kali ini dia tidak mau menerima… Indira menatap kotak biru yang ada di tangannya lalu tersenyum…
“Oh… ya sudah ambil yang ini”
Suster Mia tersenyum lalu menerima kotak bekal kedua yang Indira sodorkan… Indira menggeleng geli dengan ulah suster Mia. Ia kembali melangkah mendekati meja kerjanya dan meletakkan kotak bekal itu dihadapannya
‘Jam makan siang jangan molor ya Sweety’
Satu note tertempel disana dan itu adalah ciri khas Bagas. Indira melirik Suster Mia yang kembali sibuk dengan catatannya lalu ia kembali tersenyum geli…
“Suster, setiap hari siapa yang mengantar ini?” Indira memutar mutar kotak bekal yang ada ditangannya
“dr. Raihan” jawab suster Mia singkat
“dr. Bagas sendiri yang antar… ah maksud saya dr. Raihan?”
“Iya Dok, kadang malah lebih pagi dr. Raihan ketimbang saya, saya bertemu dengan dr. Raihan di koridor dan kotak makanan sudah ada di meja dr. Indira”
Indira tercengang diam di mejanya, ia tidak pernah menyangka jika Bagas yang membawa sendiri kotak makanan yang selalu ia terima, ia berpikir ada orang yang ia suruh mengantarkannyan seperti halnya Tama yang meminta jasa Cattering untuk melakukan itu untuknya. Indira tersenyum, senyum aneh yang pernah menghiasi wajahnya, entahlah senyum itu bisa diartikan seperti apa. Ia tersenyum tetapi wajahnya masih menyimpan satu hal yang tidak dapat diartikan sebagai hal yang menggembirakan.

“seandainya suster Mia jadi saya, apa yang akan suster Mia lakukan?” 
tiba tiba saja Indira melontarkan pertanyaan pada asistennya itu sehingga sang asisten menghentikan kegiatannya dan meletakkan bulpoin yang ia pegang dan menyimak apa yang Indira bicarakan.

“Maksudnya Dok?”

“disatu sisi, suster Mia ingin meraih kebahagian yang mungkin akan datang jika memilih meraih tangan dr. Raihan. Suster Mia ingin melepaskan segala bentuk rasa sakit yang suster alami di masa lalu yang mulai mengusik kehidupan suster, tapi suster berada dalam dilema yang memusingkan kepala. Masa lalu hadir dengan sejuta perhatian yang sulit suster tolak meski ingin dan rasa tidak mungkin meraih dr. Raihan karena ketidakpercayaan diri suster dengan segala perbedaan yang ada”

“hmmmm…. “ 
Suster Mia sedikit bingung menanggapi pertanyaan Indira yang nampak menatap kosong kotak makanan yang ada ditangannya

“suster ingin mencintai, tapi suster takut untuk kembali terluka. Suster menyadari dengan benar rasa sakit yang mulai suster rasakan saat suster menempuh jalan yang bertolak belakang dengan keinginan hati suster hanya demi menyelamatkan hal yang belum pasti….
Masa lalu tak mungkin untuk dimiliki, tapi masa depan terasa terlalu tinggi untuk diimpikan…. Hhhhaaaaaah lelahnya hidup ini Suster”

Indira menarik nafas panjang dan kemudian tersenyum menatap suster Mia yang nampak kebingungan menanggapi curhatan dokter yang selalu ia kagumi itu. Suster Mia tidak menyangka bahwa keanggunan dan kecantikan dr. Indira sangat bertolak belakang dengan kehidupan cintanya, selama ini ia membayangkan betapa bahagianya menjadi seorang dokter cantik dan dikelilingin oleh orang orang ganteng nang penuh pesona. Dia tidak menyangka bahwa dr. Indira memiliki masa lalu pahit sehingga ia susah untuk melangkah dan benar benar diluar perkiraannya bahwa seseorang yang nyaris sempurna dimatanya memiliki ketidakpercayaan diri menghadapi dr. Raihan. 

“kenapa Sus… kok bengong. Coba apa yang akan suster pilih?”
Indira nampak dengan senyum cerianya kini menunggu jawaban dari suster Mia

“aaaaah apa yang nampak oleh mata begitu indah terkadang hanya luarnya saja suster. Hhhhmmm lupakan suster, nggak perlu pusing dengan apa yang saya bicarakan, anggap saja sebagai referensi saat suster mengalami hal yang serupa nantinya”

“Hmmmm……” suster Mia menghentikan niatnya untuk membuka suara, ia menangkap keberadaan dr. Bagas yang berdiri di balik pintu dan mengisyaratkan pada suster Mia untuk diam merahasiakan keberadaannya disana dari dr. Indira

“saya tidak berani bermimpi Dokter, tapi saya tidak akan pernah menolak setiap kebahagiaan yang datang menghampiri saya selagi itu tidak melukai orang lain. Akan saya ambil kesempatan untuk bahagia itu dan akan saya perjuangkan sekuat tenaga karena saya yakin saya memiliki kepantasan dalam setiap kebahagiaan yang datang dalam kehidupan saya” 

lanjut suster Mia kemudian, Indira dan Bagas yang berdiri dibalik pintu nampak kaget dan tercengang oleh jawaban suster Mia, keduanya tidak menyangka jika akan terlontar jawaban dengan penuh keyakinan dan percaya diri itu dari bibir suster Mia. Suster Mia melirik dr. Bagas yang masih bersembunyi dibalik pintu yang kini mengacungkan dua jempol padanya, sementara Indira nampak sedikit berpikir meresapi setiap kata yang ia dengarkan dari suster Mia.

“Dokter, Anda baik baik saja kan?” Suster Mia sedikit hawatir pada Indira yang masih terdiam di meja kerjanya tampak melamunkan sesuatu

“Ah… iya Sus… hmmm sepertinya saya harus pulang lebih cepat untuk bisa merefresh otak, bau obat dan kaporit rumah sakit seakan membuat otak saya menciut sehingga nglantur kemana mana”
Indira merapikan beberapa berkas yang berserakan di atas mejanya dan melepaskan jas dokter yang ia kenakan. Melihat gelagat dr. Indira akan segera meninggalkan ruangan, suster Mia melirik ke arah pintu untuk memastikan dr. Raihan sudah pergi dari sana

“Syukurlah” gumamnya lirih
“hmmm?” Indira bingung dengan syukur yang suster Mia ucapkan

“Ah bukan Dokter, maksud saya syukurlah saya bisa menyelesaikan laporannya tanpa harus mengulur jam makan siang lebih lama lagi…

“oh… ya sudah, suster Mia makan siang dulu nanti sakit lagi… saya keluar sebentar, siapkan saja laporannya di meja saya Suster” Indira meninggalkan ruang kerjanya dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, langkahnya sedikit lebih bersemangat dari biasanya.
***

Tap tap tap langkah Bagas sedikit lebih cepat dan bisa dikatakan ia setengah berlari meninggalkan ruang kerja dr. Indira. Matanya berbinar sumringah dan tangannya sesekali ia hentakkan dengan penuh kemantapan sambil lirih berucap “yes”, ia sangat bersemangat 

“dr. Raihan!” Bagas menghentikan langkah tepat saat ia hendak turun ke pelataran parkir, ia mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang menyapanya

“Tama?” Bagas kaget melihat Tama berdiri di hadapannya, di Rumah Sakit Waluyo

“Ehm… ada yang sakit, siapa Tam?”

“Ah nggak ada Dok, hanya kebetulan lewat dan saya putuskan untuk mampir kemari”

“Ooooh… mau ke ruangan Om Satya?” Bagas mengangguk anggukkan kepalanya sambil mengarahkan jempolnya menunjuk arah dimana ruangan dr. Satya berada

“hmmm.. awalnya seperti itu” Tama dengan mantap mengiyakan tebakan Bagas meskipun itu jauh meleset dari tujuan awalnya

“Berarti nggak ada yang penting dong… yuk ah ikut aku saja. Aku ingin berbagi sesuatu yang membahagiakan denganmu”

“Aaah sepertinya suasana hati Dokter lagi baik… sayang kalau tidak dimanfaatkan.. hahahahaa”
Keduanya tertawa dan kemudian berjalan menuju parkiran siap meninggalkan Waluyo dengan wajah yang sama sama dipenuhi semangat…..



Dont Miss It :
Part 12 : HOLD MY HAND
Part 11 : HOLD MY HAND





Tidak ada komentar:

Posting Komentar