Part
13
Sesuai
dengan yang di katakana Indira pada Anggi, keadaan akan kembali normal saat
hari berganti. Sikap Indira kembali normal, bangun pagi, menyiapkan sarapan
bersama dan pergi dinas seperti hari hari sebelumnya. Tak ada pembahasan
sedikitpun tentang apa yang sudah terjadi di antara mereka. Seminggu berlalu
dan semuanya seakan tidak menyisakan sedikitpun kenangan dalam diri Indira
‘sepertinya’ ya seperti itulah Indira.
Anggi
mengikuti kemana Indira memainkan peran dalam hidupnya, baginya apa yang sudah
dialami Indira dimasa lalu cukup membuatnya terluka dan jika kali ini Indira
mencoba berdamai dengan hatinya maka ia bisa sepenuhnya mendukung apa yang
membuat sahabatnya itu lebih tenang, setidaknya gadis itu tidak perlu sekali
lagi melarikan diri dari kenyataan yang membuatnya tak mampu berdiri. Mungkin
Bagas benar bahwa Indira akan menekan egonya sedemikian rupa sehingga tidak akan
membuat dia dan Bagas merasa bersalah ataupun canggung dengan apa yang sudah
mereka perbuat karena antara Indira dan Bagas belum ada kesepakatan apapun
walau hubungan mereka cukup dekat saat itu. Ya saat dimana Indira masih bisa
membuka dirinya pada Bagas dan tidak untuk saat ini yang seakan tengah membangun
tembok tinggi sehingga sulit untuk diraih kembali
‘tak ada lagi kesempatan
buatku, Nggi.. Indira seakan menutup segala kemungkinan bagiku untuk mendekati
dirinya. Dia terus menghindariku, telepon dan pesan yang aku kirimkan padanya
tidak ada yang ia jawab kecuali mengatakan bahwa tidak ada yang dibohongi dan
membohongi, semua sudah berjalan di rel masing masing…. Hanya itu yang ia
katakan. Sepertinya ia mencoba berdamai dengan hatinya sendiri dengan caranya
sendiri, Nggi… dunianya masih sangat asing buatku, dia terlalu keras
memproteksi dirinya’
‘lalu hubungan kalian
bagaimana, apakah kamu tidak ingin memperjuangkan apa yang ingin kamu miliki?’
‘jika aku hanya
berjuang sendiri sementara Indira terus berusaha lari dari tiap uluran tangan
yang akan membantunya. Lantas siapa yang akan menolongku dari kemungkinan aku
terjatuh?’
‘Kamu menyerah Gas?
jalan itu sudah kamu mulai… berjuanglah sedikit lagi, aku yakin Indira hanya
membutuhkan waktu untuk menyadari semuanya’
‘entah apa istilah yang
tepat untuk menyebutnya… aku bahkan belum merasa memulai sesuatu itu tapi aku
harus menyudahinya. Aku pikir usaha ini hanya akan membuat aku ataupun Indira
terluka… semuanya tidak ada yang benar, permulaannya sama sekali tidak jujur’
‘tidak jujur?? Apa
maksudmu?’
‘aku menutupi
identitasku dari Indira dan dia juga masih menyimpan sesuatu yang ia
sembunyikan dariku. Hal itu seperti bukan lagi masa lalu yang ingin ia kubur
tapi sesuatu yang saat ini ingin ia hindari sekali lagi. Meskipun dia
mengatakannya padaku, tapi dia belum sepenuhnya percaya terhadapku…. Ya
barangkali belum waktunya Nggi. Jalan yang kami tempuh menemui kebuntuan, aku
ingin mencari jalan lain untuk berlari, tapi Indira masih ingin berdiam disana.
Apa boleh buat, tidak ada suara tepukan jika tangan kita tidak berpasangan,
yang ada hanya lambaian tangan entah itu lambaian memanggil atau persisahan’
Anggi
terus memandang Indira yang menikmati sarapannya dengan laptop dan wajah
seriusnya, entah apa yang ia pelajari, tapi saat memandang wajah ayu nan serius
itu tidak ada pilihan lain bagi Anggi selain membiarkan semua apa yang ia bahas
dengan Bagas kembali berputar putar dikepalanya. Gadis ini begitu sederhana
dalam menjalani kehidupannya, sangat sederhana dalam menghadapi masalahnya,
tenang setenang air danau yang menyimpan arus deras didalamnya.
‘kenapa kamu begitu jahat pada dirimu
sendiri Ndi, begitu banyak orang yang kamu semangati untuk terus berjuang
meraih kebahagiaan saat dinyatakan sembuh dari penyakitnya, tapi kenapa kamu
tidak berjuang untuk dirimu sendiri, ataukah ini bentuk perjuanganmu. Meghindar
dan berlari. Ragamu kini memilih tinggal tapi hatimu sudah jauh berlari dari
kebahagiaan yang mendekatimu’
“Nggi,
hari ini kamu Free kan?”
Indira menutup laptopnya dan menyimpan piring kosong
dalam cucian piring, taka da jawaban dari Anggi… Indira diam sesaat dan
mengamati Anggi yang masih bengong dengan roti bakar ditanggannya.
“Anggi….
Kamu denger aku kan? Woi… kamu kenapa? Pagi pagi sudah nglamun”
Indira
membuyarkan segala dunia kecil di kepala Anggi, senggolan Indira membuatnya
tersadar dari segala pikiran yang sedari tadi menguasai waktu paginya
“hmm…
kenapa?”
“Kamu
ke Rumah Sakit nggak?”
“haaah…
sepertinya siangan dikitlah.. emang kenapa, kamu nitip sesuatu?” Anggi
meletakkan rotinya dan berjalan menuju sofa di ruang tengah tempat ia bisa
bermalas malasan
“Nggak
sih, cuma aku ada paketan yang lagi aku tunggu dari Mama, kalau nanti kamu
masih dirumah paling tidak aku nggak perlu samperin ke kantor pengiriman”
“Oh…
bolehlah aku nanti mampir kesana, kebetulan aku harus ke rumah Bagas dulu. Om Adhi
menyuruhku untuk datang kesana”
“Oh…”
Indira menjawab dengan cueknya
“kok
Oh… kenapa, kamu masih perang dingin sama Bagas” Anggi menegakkan kepalanya
melihat Indira yang masih sibuk di dalam dapur.
Indira
tersenyum dan menyibukkan dirinya dengan mengambil minuman di dalam kulkas
mencoba menghindari pembahasan tentang Bagas yang Anggi mulai. Anggi memasang
muka kecutnya melihat reaksi Indira yang cuek tidak menjawab pertanyaannya dan
hanya memasang senyum, ia pasrah dan tidak bisa memaksa Indira untuk menerima
tawarannya tentang Bagas lagi, ia harus terima dengan penolakan halus Indira.
***
Suster
Mia masih sibuk dengan laporan laporan medik pasien yang ada di hadapannya, ia
tidak menyadari ada yang berdiri di balik pintu ruang kerja Indira. Jam makan
siang sudah di depan mata, tapi ia harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum
Indira kembali pulang. Sementara di sofa yang ada di pojok ruangan Indira
nampak melepaskan lelahnya bersandar malas memejamkan mata. Ponsel yang ia
tinggalkan di meja kerja nampak berkedip kedip tapi tak ia hiraukan karena
setelan diam yang ia pasang membuatnya tidak menyadari adanya panggilan
untuknya. Beberapa menit berlalu Indira masih mendapati suster Mia di meja
kerjanya.
“Makan
dulu Suster, nanti bisa dilanjutkan lagi”
“Iya
Dok, sebentar lagi selesai”
“Suster
Mia bisa makan satu kotak bekal di meja saya, ambil aja Sus…”
Indira masih
memejamkan matanya menawarkan kotak bekal yang ia terima hari ini pada sang
asisten
“Tapi
Dok, itu kan?”
Indira
tersenyum kecut memahami maksud dari Suster Mia, ya kotak bekal yang setiap
hari datang padanya adalah kiriman dari Bagas juga Tama. Kotak bekal yang dulu
membuatnya tersenyum dan bersemangat untuk membukanya kini seakan menjadi kotak
bekal yang menyerap habis semangatnya hingga tidak ada kekuatan yang tersisa
untuk menyentuhnya.. Indira berjalan mengambil satu kotak yang ada di mejanya
untuk suster Mia.
“Kan
hari ini ekstra Sus, ada dua… masa iya saya makan dua duanya. Ambil saja satu
biar nanti satunya saya bawa pulang” Indira menyodorkan satu kotak bekal pada
suster Mia tanpa melihat itu kotak dari siapa, dengan sopan Suster Mia menolaknya
sehingga Indira mengerutkan alisnya heran, tidak pernah sekalipun Suster Mia
menolak pemberiannya, tapi kenapa kali ini dia tidak mau menerima… Indira
menatap kotak biru yang ada di tangannya lalu tersenyum…
“Oh…
ya sudah ambil yang ini”
Suster
Mia tersenyum lalu menerima kotak bekal kedua yang Indira sodorkan… Indira
menggeleng geli dengan ulah suster Mia. Ia kembali melangkah mendekati meja
kerjanya dan meletakkan kotak bekal itu dihadapannya
‘Jam
makan siang jangan molor ya Sweety’
Satu
note tertempel disana dan itu adalah ciri khas Bagas. Indira melirik Suster Mia
yang kembali sibuk dengan catatannya lalu ia kembali tersenyum geli…
“Suster,
setiap hari siapa yang mengantar ini?” Indira memutar mutar kotak bekal yang
ada ditangannya
“dr.
Raihan” jawab suster Mia singkat
“dr.
Bagas sendiri yang antar… ah maksud saya dr. Raihan?”
“Iya
Dok, kadang malah lebih pagi dr. Raihan ketimbang saya, saya bertemu dengan dr.
Raihan di koridor dan kotak makanan sudah ada di meja dr. Indira”
Indira
tercengang diam di mejanya, ia tidak pernah menyangka jika Bagas yang membawa
sendiri kotak makanan yang selalu ia terima, ia berpikir ada orang yang ia
suruh mengantarkannyan seperti halnya Tama yang meminta jasa Cattering untuk
melakukan itu untuknya. Indira tersenyum, senyum aneh yang pernah menghiasi
wajahnya, entahlah senyum itu bisa diartikan seperti apa. Ia tersenyum tetapi
wajahnya masih menyimpan satu hal yang tidak dapat diartikan sebagai hal yang
menggembirakan.
“seandainya
suster Mia jadi saya, apa yang akan suster Mia lakukan?”
tiba tiba saja Indira
melontarkan pertanyaan pada asistennya itu sehingga sang asisten menghentikan
kegiatannya dan meletakkan bulpoin yang ia pegang dan menyimak apa yang Indira
bicarakan.
“Maksudnya
Dok?”
“disatu
sisi, suster Mia ingin meraih kebahagian yang mungkin akan datang jika memilih
meraih tangan dr. Raihan. Suster Mia ingin melepaskan segala bentuk rasa sakit
yang suster alami di masa lalu yang mulai mengusik kehidupan suster, tapi
suster berada dalam dilema yang memusingkan kepala. Masa lalu hadir dengan
sejuta perhatian yang sulit suster tolak meski ingin dan rasa tidak mungkin
meraih dr. Raihan karena ketidakpercayaan diri suster dengan segala perbedaan
yang ada”
“hmmmm….
“
Suster Mia sedikit bingung menanggapi pertanyaan Indira yang nampak menatap
kosong kotak makanan yang ada ditangannya
“suster
ingin mencintai, tapi suster takut untuk kembali terluka. Suster menyadari
dengan benar rasa sakit yang mulai suster rasakan saat suster menempuh jalan
yang bertolak belakang dengan keinginan hati suster hanya demi menyelamatkan
hal yang belum pasti….
Masa
lalu tak mungkin untuk dimiliki, tapi masa depan terasa terlalu tinggi untuk
diimpikan…. Hhhhaaaaaah lelahnya hidup ini Suster”
Indira
menarik nafas panjang dan kemudian tersenyum menatap suster Mia yang nampak
kebingungan menanggapi curhatan dokter yang selalu ia kagumi itu. Suster Mia
tidak menyangka bahwa keanggunan dan kecantikan dr. Indira sangat bertolak
belakang dengan kehidupan cintanya, selama ini ia membayangkan betapa bahagianya
menjadi seorang dokter cantik dan dikelilingin oleh orang orang ganteng nang
penuh pesona. Dia tidak menyangka bahwa dr. Indira memiliki masa lalu pahit
sehingga ia susah untuk melangkah dan benar benar diluar perkiraannya bahwa
seseorang yang nyaris sempurna dimatanya memiliki ketidakpercayaan diri
menghadapi dr. Raihan.
“kenapa
Sus… kok bengong. Coba apa yang akan suster pilih?”
Indira
nampak dengan senyum cerianya kini menunggu jawaban dari suster Mia
“aaaaah
apa yang nampak oleh mata begitu indah terkadang hanya luarnya saja suster.
Hhhhmmm lupakan suster, nggak perlu pusing dengan apa yang saya bicarakan,
anggap saja sebagai referensi saat suster mengalami hal yang serupa nantinya”
“Hmmmm……”
suster Mia menghentikan niatnya untuk membuka suara, ia menangkap keberadaan
dr. Bagas yang berdiri di balik pintu dan mengisyaratkan pada suster Mia untuk
diam merahasiakan keberadaannya disana dari dr. Indira
“saya
tidak berani bermimpi Dokter, tapi saya tidak akan pernah menolak setiap
kebahagiaan yang datang menghampiri saya selagi itu tidak melukai orang lain.
Akan saya ambil kesempatan untuk bahagia itu dan akan saya perjuangkan sekuat
tenaga karena saya yakin saya memiliki kepantasan dalam setiap kebahagiaan yang
datang dalam kehidupan saya”
lanjut suster Mia kemudian, Indira dan Bagas yang
berdiri dibalik pintu nampak kaget dan tercengang oleh jawaban suster Mia,
keduanya tidak menyangka jika akan terlontar jawaban dengan penuh keyakinan dan
percaya diri itu dari bibir suster Mia. Suster Mia melirik dr. Bagas yang masih
bersembunyi dibalik pintu yang kini mengacungkan dua jempol padanya, sementara
Indira nampak sedikit berpikir meresapi setiap kata yang ia dengarkan dari
suster Mia.
“Dokter,
Anda baik baik saja kan?” Suster Mia sedikit hawatir pada Indira yang masih
terdiam di meja kerjanya tampak melamunkan sesuatu
“Ah…
iya Sus… hmmm sepertinya saya harus pulang lebih cepat untuk bisa merefresh
otak, bau obat dan kaporit rumah sakit seakan membuat otak saya menciut
sehingga nglantur kemana mana”
Indira
merapikan beberapa berkas yang berserakan di atas mejanya dan melepaskan jas
dokter yang ia kenakan. Melihat gelagat dr. Indira akan segera meninggalkan
ruangan, suster Mia melirik ke arah pintu untuk memastikan dr. Raihan sudah
pergi dari sana
“Syukurlah”
gumamnya lirih
“hmmm?”
Indira bingung dengan syukur yang suster Mia ucapkan
“Ah
bukan Dokter, maksud saya syukurlah saya bisa menyelesaikan laporannya tanpa
harus mengulur jam makan siang lebih lama lagi…
“oh…
ya sudah, suster Mia makan siang dulu nanti sakit lagi… saya keluar sebentar,
siapkan saja laporannya di meja saya Suster” Indira meninggalkan ruang kerjanya
dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, langkahnya sedikit lebih
bersemangat dari biasanya.
***
Tap tap tap
langkah Bagas sedikit lebih cepat dan bisa dikatakan ia setengah berlari
meninggalkan ruang kerja dr. Indira. Matanya berbinar sumringah dan tangannya
sesekali ia hentakkan dengan penuh kemantapan sambil lirih berucap “yes”, ia sangat bersemangat
“dr.
Raihan!” Bagas menghentikan langkah tepat saat ia hendak turun ke pelataran
parkir, ia mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang menyapanya
“Tama?”
Bagas kaget melihat Tama berdiri di hadapannya, di Rumah Sakit Waluyo
“Ehm…
ada yang sakit, siapa Tam?”
“Ah
nggak ada Dok, hanya kebetulan lewat dan saya putuskan untuk mampir kemari”
“Ooooh…
mau ke ruangan Om Satya?” Bagas mengangguk anggukkan kepalanya sambil
mengarahkan jempolnya menunjuk arah dimana ruangan dr. Satya berada
“hmmm..
awalnya seperti itu” Tama dengan mantap mengiyakan tebakan Bagas meskipun itu
jauh meleset dari tujuan awalnya
“Berarti
nggak ada yang penting dong… yuk ah ikut aku saja. Aku ingin berbagi sesuatu
yang membahagiakan denganmu”
“Aaah
sepertinya suasana hati Dokter lagi baik… sayang kalau tidak dimanfaatkan.. hahahahaa”
Keduanya
tertawa dan kemudian berjalan menuju parkiran siap meninggalkan Waluyo dengan
wajah yang sama sama dipenuhi semangat…..
Dont Miss It :
Part 12 : HOLD MY HAND
Part 11 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar