Kamis, 22 September 2016

PLAY GIRL JATUH CINTA : Kepo




PLAY GIRL JATUH CINTA

Part 11. Kepo

Beberapa hari memilih diam di rumah tanpa kegiatan yang berarti, kini Tata melangkahkan kakinya menyusuri jalan kompleks. Tidak ada keringat yang membasahi kulit mulusnya meskipun judulnya ia sedang berolah raga, earphone yang setia menempel dikuping dengan musik musik korea yang ia dengungkan sedikit dari bibirnya sepanjang jalan mulai dari matahari masih malu malu sampai yang sudah sedikit berani membelai kulit dengan sentuhan hangatnya. Sampai di tengah kompleks berhadapan dengan taman yang dilengkapi dengan lapangan basket, langkahnya terhenti dengan hembusan nafas berat. Ia tarik kasar earphone dari satu telinganya dan memilih duduk mengamati beberapa bocah yang tengah asyik bermain disana. Senyumnya sedikit mengembang oleh tingkah lucu mereka yang berebut mainan sampai akhirnya satu suara menyapa dan ia menyadari bahwasannya dia bukan satu satunya orang yang sedang menikmati suasana pagi di taman kompleks dimana sebelumnya ia hanya melihat ibu ibu yang tengah mengerumuni tukang sayur, anak sekolah dengan seragam dan motornya. Anggapan bahwa taman komplek akan kosong dari acara olah raga karena bukan hari minggu kini terpatahkan
“Hai....  sendiri saja?”
“Eh... eeemh... i... iya”
Tata sedikit gelagapan dengan sapaan yang tiba tiba datang padanya, bukan karena dia tidak siap bertemu dengan seseorang, akan tetapi pemilik suara itu yang membuatnya seakan secara tiba tiba berteleportasi ke gurun pasir yang panas kerontang, tenggorokannya kering
“Bisa main basket?”
“ng.... nggak”
“oh ya udah”
Dengan cuek cowok itu meninggalkan Tata yang masih terbengong di tempat duduknya, kini semua pandangan dan konsentrasinya beralih total pada sosok baru yang muncul dalam dunia paginya. Wajahnya masih cukup muda dengan postur ideal. Kali ini Tata tidak bisa menyebut dia seorang yang tampan seperti kebanyakan cowok cowok yang berada di radarnya dengan wajah indo dan penampilan model, wajahnya sangat Indonesia... kulit kuning langsat khas pribumi dengan mata yang sedikit sayu juga gingsulnya. ‘Ah Tata... sadar hidup lo udah cukup rumit karena cowok... lagian dia mungkin masih seorang anak ingusan, bocah SMA yang mengejar cinta’  Tata mencoba menyadarkan diri sendiri untuk tidak terlena oleh perhatian baru, namun pandangan mata Tata tidak lepas dari setiap gerakan gesit si pemain basket ‘Halaaah basket lagi basket lagi... kenapa semua cowok yang gue kenal tiak jauh dari bola basket sih, apa gue dl teken kontrak hidup diseputaran lapangan basket?’
”kenapa..... mau main?”
Kembali suara itu membuyarkan lamunan Tata, suaranya yang tegas membuat tata menarik bibir monyongnya karena larut dalam pikiran gilanya
“Nggak... kamu aja sendiri. Ngomong ngomong kamu nggak sekolah?”
“Kamu? Hahahhahaaa jangan sok sopan sama gue. Kalau lo anggap gue masih bocah SMA ngapain lo sopan banget sama gue?....”
Dia terus bermain dengan bolanya, suara yang berkejaran dengan nafas terdengar begitu seksi ditelinga Tata, kini wajah pribumi itu terlihat begitu eksotik oleh basahan keringat yang mulai terlihat ditiap sisi cowok tak dikenal itu
“hmmm wajah gue masih pantas ya untuk pake seragam SMA... apa gue terlihat begitu imut dimata lo?... hahahahhaaaa”
Cowok itu masih asyik dengan gerakan dan driblean bolanya mengajak Tata berkomunikasi sehingga Tata harus melepaskan earphone dari kedua lubang telinga dan menanggapi tiap kalimat dan pertanyaan yang dilontarkan padanya walau kini ia harus mengaku bahwa dia tidak bisa banyak mengeluarkan kata seakan mati kutu dihadapan orang baru (bukan Tata banget)
“Jangan bengong aja... yang gue tahu lo itu cewek nyebelin dan bukan seorang pendiam deh”
“What? Gue, nyebelin?”
Kini cowok itu meletakkan bola dibawah kakinya duduk disamping Tata dan sibuk mengelap keringat dari pelipisnya...
“Iya... siapa lagi, gue disini cuma bareng lo doang. Nggak ada siapa siapa lagi, apa lo pikir gue punya indera ke enam yang bisa ajak makhluk astral berkomunikasi? Ya lo lah yang gue maksud!”
“Kenal gue aja nggak, dari mana lo bisa nilai gue begitu?”
“itukan menurut lo....”
Jawaban cowok itu membuat Tata kembali hanya bisa bengong. ‘Secret Admirer, diakah??? Apa gue diteror oleh anak SMA? Hellow.... gue nggak pernah kenal cowok ini, nggak mungkin kalau dia orang yang membuat gue kena teror nggak jelas. Huft cukup teka teki antara Al dan si Ridho saja, nggak usah muncul tersangka baru’ pikiran Tata mulai menyelidik
“Tapi... gue perhatiin hari ini lo sedikit beda dari biasanya, kenapa?”
“Gue?”
Untuk kesekian kalinya Tata harus menunjukkan jari di depan hidungnya sendiri karena selalu merasa hanya bisa bertanya dan menegaskan tiap argumen yang ditujukan padanya
“Hahahaha.... Violetta... violetta... ya elo lah! Kenapa? lo nggak sadar kalau diri lo hari ini sedikit lain dari hari hari lo biasanya. Beberapa hari nggak kelihatan, tapi hari ini terlalu cepat memulai hari dengan pakaian sport tapi hanya berjalan lemas”
“Lo penguntit ya?”
Kini Tata tidak lagi bisa menahan diri untuk bertanya dan memvonis
“Gue... nguntit lo?... hahahaha rugi mbak! Kalau gue mau lebih baik gue nguntitin Selena Gomez”
“Lah itu buktinya lo tahu banyak tentang gue sampai sampai lo paham kalau gue mengurung diri beberapa hari ini”
“Oooo jadi lo ngurung diri.... ngapain, takut hitam? Hahahahaaa...... ”
“Ah nggak jelas lo... udah sana siap siap sekolah, anak kecil ngerjain orang tua”
“Aish... gue bukan anak SMA!”
“Bodo.... siniin bola lo, biar gue yang main, lo banyak omong kalau diajak diam”
“Bisa??? Hayoook....”
“Lo duduk aja sana, gue mau main sendiri..... lo lihat ya. Ehhmmm siapa nama lo? Biar gue catet anak komplek sini yang kudu gue hindarin karena bawelnya amit amit”
“Kalau gue nggak bener harusnya lo sadar dong kalau gue ada di belakang lo dari tadi, harusnya lo sadar kedatangan gue... apa gue bawa sepeda, apa gue jalan kaki... lo nggak nyadar kan selain senyumin ibu ibu di tukang sayur perasaan lo cuma nyari koin untuk sampai kesini”
“Aish.... bocah nggak sopan deh lo, siapa nama lo, sini kita main. Kalau gue menang, lo jangan usik usik hidup gue”
“Panggil saja gue Al.... udah hafalin nama itu”
Tata berhenti memainkan bolanya dan berdiri menghadap cowok yang masih senyum senyum padanya, bukan sebuah senyuman menggoda atau meremehkan. Senyuman cowok itu kelihatan ramah dan bersahabat tanpa maksud apapun. Tata kembali diam dan berjalan kembali mendekati Al kedua yang ia kenal pagi ini
“Al?? Yakin nama lo Al?”
“Huft.... apa gue harus ambil KTP untuk meyakinkan bahwa itu nama gue?”
Tata menatap tajam dengan alis terangkat sedikit ragu pada nama yang diberikan oleh cowok berkulit kuning langsat itu. Ia memilih duduk merumput menghadap si cowok yang kini memainkan musikdi kupingnya mengikuti gaya Tata yang selalu menyumpat lubang telinganya dengan earphone
“Aaaah... gua paham! Lo merasa dejavu dengan nama Al. Okay kalau lo takut gue kibulin karena nama gue yang sama dengan adiknya mas Raka, lo bisa panggil gue apa aja. Nama gue Alfian Dewantara. Temen deket gue panggil gue dewo, tapi dikeluarga semua panggil Alfian, terserah lo pake yang mana asal jangan panggil gue John aja. Karena gue bukan Johnny Deep Hahahaaa”
“John?... okay bagi gue nama lo John!”
“Aish ini cewek dibilangin jangan panggil itu malah dipake”
“Karena lo udah banyak bicara dipertemuan pertama kita, maka gue juga mau seenak gue dong namain lo apa.... gue nggak perduli lo tahu gue seperti apa, tapi gue pastiin gue akan jadi cewek paling nyebelin yang pernah lo kenal”
‘John’ tersenyum sedikit menahan geli, cewek yang dia ikuti mulai dari awal dia keluar pagar rumah hendak Jogging sampai akhirnya berakhir di lapangan basket taman kompleks itu sangat menghibur paginya. Ia tahu tentang siapa Tata tapi selama ini ia hanya tahu bahwa gadis itu seorang mahasiswa plus model yang memiliki kepribadian super cuek. Bayangannya seorang Tata akan sangat menjemukan dengan kepribadian itu, ternyata justru ia salah karena gadis yang awalnya hanya bisa mengatakan huh? Hah? Gue? Lengkap dengan ekspresi bengongnya itu kini bisa mengimbangi gayanya yang banyak bicara bahkan kini sedikit membuatnya bisa menyunggingkan senyum. Alfian bangkit dari duduknya mengambil bola dari tangan Tata dan bermaksud mengajak gadis itu untuk bermain bersama setelah melihat kemampuan Tata bermain basket tapi tiba tiba satu mobil sedan sporty dengan warna orange metalik berhenti di tepi taman dengan membunyikan klaksonnya. Tata dan Alfian saling bertatapan karena merasa tidak mengenal mobil itu dan jarak mereka lumayan jauh untuk bisa mengenali sang pengemudi yang masih bersembunyi dibalik kemudi apalagi terik matarari pagi yang mulai terang terbias di kaca kaca mobil sangat mengganggu mata
”Cowok lo kali”
“Gue nggak kenal mobilnya”
“Ya elah... ini jaman modern mbak, ganti mobil itu bukan urusan ribet”
“Ya bagi yang punya duit, yang nggak???”
“Ya nggak usah ganti....”
“Aish...”
Tata kembali duduk memasangkan earphone dan membiarkan Alfian memainkan bolanya ditengah lapangan. Entah siapa yang dimaksud oleh sang pengemudi, Tata tidak perduli karena dia merasa tidak memiliki janji dengan siapapun dan tidak  mengenali jenis mobil yang terhenti itu.
Tit Tit.... klakson kembali berbunyi, tapi kuping Tata yang sudah tersumpal oleh suara musik tidak lagi mampu berkonsentrasi penuh pada suara lain. Beberapa kali klakson dibunyikan sampai akhirnya Alfian mencabut earphone Tata yang tengah asyik membaca webtoons di ponselnya
“Lo samperin deh... itu klakson ganggu banget tau”
“elo ajah, gue nggak kenal!”
Tata menarik kabel earphone yang ada ditangan Alfian
“Yang jelas itu bukan temen gue karena gue nggak pernah kasih alamat gue sama siapapun”
“Ya udah biarin ajah sih... kalau dia butuh juga bakal keluar mobil agar dikenali, salah sendiri mainklakson aja nggak menampakkan diri. Kalau dia masih juga kayak gitu nanti juga bakal dilabrak orang”
“Elo bener bener ya....”
“katanya lo tahu banyak tentang gue, yang jelas itu bukan mobil AL ataupun mas Raka ataupun orang yang biasa jemput gue”
“Maksud lo cowok lo yang udah nggak pernah muncul itu?”
“Lo???”
Kembali Tata terbelalak oleh fakta tentang dirinya yang Alfian kantongin, nafasnya mulai tidak teratur dengan sedikit emosi yang naik akan tetapi satu suara membuat keduanya menoleh bersamaan
“Sweetyyyy”
Kini bukan hanya mata Tata yang terbelalak, tapi mulutnya juga mengangah melihat sosok yang berjalan semakin mendekat kearah dia. Alhasil satu jitakan mendarat dikepala Tata dari Alfian
“Auwwwch..... Ish ini bocah ya”
“Udah sono, bener kan cowok lo.... inget ya, gue Al bukan bocah”
“terserah”
Tata mengabaikan Alfian yang berlari kembali ke tengah lapangan meninggalkan dirinya dan mulai asyik dengan bola basketnya.
“Ah Lo kapan datang.... iiiish ini orang”
Tata berlari mendekati tamu tak diundang yang kini merubah wajah murung paginya menjadi sedikit berwarna setelah berhasil diacak acak oleh Alfian dengan segala kesoktahuannya
“Tony….. Ih… lo jahat ya, datang nggak bilang bilang. Kapan lo nyampe Indo?”
“Ini baru aja sampe”
“Barusan… terus ini mobil dari mana?”
“Ya mobil gue lah”
“Oh syukur deh, itu artinya lo udah sempet pulang ke rumah kan. Yuk ah ketemu mama, pasti dia senang”
“Siapa bilang gue udah sampe rumah, nggak kecium nih kalau gue lom mandi”
“What??..... jangan bercanda deh. Gimana caranya itu mobil nyampe bandara. Nggak mungkin kan kalau lo parkir segitu lama”
“Ah bukan hal penting gimana caranya. Lo nggak kangen gue??”
Tony membentangkan tangannya dihadapan Tata dengan senyum menggoda, tapi hanya tepisan yang Tony dapatkan sehingga ia hanya bisa mengacak rambut Tata seperti yang biasa ia lakukan saat mereka masih berpacaran
Sementara itu sepasang mata dari lapangan basket melihat pemandangan itu dengan sunggingan senyum dan gelengan kepala.
Sampai di kediaman Darmawan, seperti dugaan Tata, nyonya Jasmine sangat bahagia melihat Tony. Ya Tony adalah gambaran menantu idaman dimata ibunda Tata. Sopan dan sangat sabar menghadapi watak keras Tata, walaupun pada akhirnya hubungan mereka berakhir karena Tata menolak untuk LDR an. Obrolan antara nyonya Jasmine dan Tony tidak ada putusnya, mulai dari A sampai Z mereka bahas habis apalagi kekepoan sang mama begitu besar sehingga mau nggak mau Tony harus mengalahkan rasa capeknya untuk menjawab semua pertanyaan mantan calon ibu mertuanya.
Tata yang memilih menepi dari obrolan keduanya tengah duduk di teras samping rumah dengan earphone yang setia dikedua kupingnya mengangguk anggukkan kepala mengikuti irama music dan berselancar di dunia maya. Tony yang telah berhasil lolos dari penguasaan nyonya Jasmine hanya berdiri diambang pintu menikmati pemandangan Indah yang ada dihadapannya, senyum Tata dengan segala gerak gerik lucu gadis itu adalah satu hal yang selama ini ia sangat syukuri sekaligus ia rindukan selama di Ausy. Selama berada di Ausy tak sekalipun komunikasi terjalin diantara keduanya, Tony sangat menghindari itu karena ia tidak ingin hal itu akan membuatnya ingin kembali ke Indonesia, kedatangan Tata di Airport saat keberangkatannya saja membuatnya harus berusaha keras melupakan senyum yang Tata berikan.
“Eh sesi wawancara udah selesai ya”
Suara Tata membuyarkan lamunan Tony, ia berjalan dengan santai mengambil kursi di samping Tata masih dengan senyum yang mengembang
“Biasalah ibu ibu selalu ingin tahu”
“Itu tuh yang bikin mama sayang banget sama lo…. Lo terlalu sabar hadapin orang tua. Apa itu strategi lo?”
Kini gaya genit Tata muncul membuat Tony gemas melihatnya, tapi dia menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dulu bisa ia lakukan pada Tata kini tidak bisa lagi ia lakukan
“Udah punya calon mertuakah disono?? Berapa hati bule yang udah lo dapetin”
“Aish ini orang bener bener nggak berperasaan ya?”
“Wae? Wae?”
“Molla”
“hahahahhaa lo masih ngerti ya bahasa gue”
“Emang lo yang gampang lupain sesuatu….”
Tony memasang wajah ngambek untuk menggoda Tata, walaupun dia tahu itu tidak akan banyak berpengaruh pada pemilik hatinya itu
“Ngomong ngomong siapa cowok tadi Ney? Cowok baru lo?”
“Siapa, yang ditaman? Yang tadi pagi?”
“Ya siapa lagi, baru itu yang gue lihat hari ini. Emang ada cowok lain gitu yang antri dibelakang dia”
“Heol…”
“Jangan sok imut, gue kenal siapa lo. Udah berapa hati yang lo patahin setelah bebas dari gue”
“Aigoooo, Honey Bunny Sweety…. Ini Tata ya, Violetta, anti bagi Tata buat bercabang disaat sudah memilih jalan lurus”
“Artinya?”
“Hmmm cowok tadi itu bukan siapa siapa, kenal juga nggak. Katanya sih namanya Al. cowok itu aneh loh Ton, masak dia tahu semua tentang gue, apa ada beneran ya di kehidupan nyata seorang stalker?”
“Penguntit…. Elo??? Ampun Ta, lo jangan besar kepala deh sampai punya penguntit segala”
“Ya habisnya dia itu paham banget gue ngapain aja, tau siapa yang deket sama gue, kerjaan gue. Atau jangan jangan dia tahu lagi kapan gue makan kapan gue kentut”
“Tapi beneran namanya Al juga? Kok hidup lo nggak pernah jauh dari Al ya… apa jangan jangan ntar jodoh lo itu  si Al!”
“Waooow amit amit…. Hidup gue bakal jauh dari kata romantic kalau sampai gue nikahnya sama dia. Ampun deh, kenapa lo nggak ngedoain gue nikah sama anak raja arab sih?”
“Ketinggian mimpi lo, Raja Arab nggak pernah mikir punya mantu yang kelakuannya kayak lo. Tu aurat dilihat orang senusantara”
Toni menunjuk pada pant pendek yang Tata kenakan siang itu, Tata akhirnya hanya nyengir tanpa bisa mengatakan apapun lagi. Obrolan mereka berakhir saat tengah hari yang menyadarkan Tata bahwa ia harus mengusir Tony demi kemanusiaan, jika dituruti Tony akan menghabiskan hari pertamanya dikediaman Tata tanpa mengingat keluarga yang menunggunya di rumah. Meskipun Tony sudah mengatakan kalau dia mampir dulu ke rumah Tata, tapi Tata masih memiliki sisi manusiawi yang memahami arti sebuah kerinduan. Hanya diakhir pertemuan mereka saat mengantarkan Tony diteras rumah, Tony sempat menyampaikan kalau selain ada beberapa urusan yang harus ia selesaikan di Indonesia, ia juga akan ketemu dengan seseorang yang bersangkutan dengan dirinya. Tony mengetahui sesuatu tentangnya tapi berpura pura tidak mengetahuinya, dia menyebut nama Mahendra, tapi dia beberapa kali memancing Tata dengan menanyakan dengan siapa kini dirinya menjalin hubungan bahkan sempat menanyakan siapa Alfian.
Sepanjang hari Tata masih memikirkan kemungkinan kemungkinan konyol Hendra meminta ketemuan dengan Tony, satu persatu pesan Hendra yang ia acuhkan kini ia buka kembali hanya untuk menemukan sebuah jawaban dari segala kemungkinan yang ia pikirkan

Beberapa blok dari kediaman Tata, suara petikan gitar terdengar mengalun dari lantai dua. Sayup sayup suara merdu mendendangkan lagu cinta. Sore ini nampak lebih tenang dari biasanya karena satu satunya wanita yang biasa mengomel sedang absen, ya nyonya Martha tengah menengok ibundanya di Jogja. Zaldy banyak menghabiskan waktunya di rumah saat tidak ada kuliah dan Raka mengupayakan untuk bisa pulang kerja lebih cepat agar rumah tidak kosong, kakak beradik itu sangat kompak mengatur waktu demi sebuah kehidupan yang tetap terjaga di kediaman mereka. Sore ini dengan membawa dua gelas coklat hangat, Raka menghampiri Zaldy yang tengah melemaskan jemarinya diantara senar gitar. Keduanya masih sedikit terlibat perang dingin karena ketidaktahuan Raka akan apa yang sudah ia lakukan pada Irene. Meskipun hubungannya dengan Irene telah kembali membaik layaknya tidak pernah ada masalah, tapi Zaldy masih belum bisa melupakan kebodohan sang kakak pada perasaan perempuan yang dengan enteng meninggalkan seorang wanita tanpa rasa bersalah bahkan kini kembali mesra tanpa ada ikatan pasti diantara keduanya
“Lo nggak latihan?”
“Nggak, badan gue capek. Pingin istirahat total”
“Udah tiga hari semenjak Mama ke rumah eyang, lo nggak latihan lagi. Kalau lo mau latihan, pergi aja, kana da gue di rumah”
“Males Mas, lagian tiga hari ini si bawel nggak muncul jadi gue anggap ini hari libur gue dari segala tugas dan tanggung jawab”
“Tata?? Kemana dia, sakit?”
Zaldy melihat perubahan ekspresi di wajah kakaknya. Wajah gusar itu tidak dapat Raka sembunyikan dari pandangan Zaldy dan itu membuat Zaldy kembali bergidik menahan emosi
“Dia sehat sehat saja, nggak ada goresan sedikitpun dibadannya. Udah nggak udah kepo”
“Lo kenapa si Al… ditanyain kok malah sewot”
“Udah deh, Mas Raka kalau menyangkut Tata aja selalu lupa segalanya. Itu mbak Irene urusin selagi bisa. Kapan dia balik ke Inggris?”
“Hmmm okay okay…. Lagian tadi pagi gue lihat Tata main basket di taman komplek”
“Tata main basket?? Sama siapa?”
“Tu kan jadi elo yang kepo…. Gue juga nggak kenal siapa dia, tapi gue sering lihat dia main disana. Kalau nggak salah sih anak blok depan sana”
“Ah bodoh deh, gue nggak kepo juga… Tata gampang dapat temen, apalagi kalau itu cowok”
“Kayaknya masih SMA sih Al… wajahnya imut banget soalnya”
“SMA?? Masa Tata pindah haluan karena capek hadapin Hendra”
“Hendra?? Cowoknya kan…. Mereka tengkar”
“Huuuust udah nggak usah urusin Tata, sudah gue bilang kan Mas Raka itu konsen aja sama mbak Irene, kasihan itu anak orang di PHP in mulu. Oh iya kapan dia balik ke kerjaannya?? 3 hari lagi ya? Kalau nggak salah dia udah pamit sama mama waktu itu”
Raka mengankat bahunya menandakan bahwasannya dia tidak mengetahui rencana Irene kembali ke Luar negeri, jika benar tiga hari lagi seperti yang Zaldy katakana artinya permintaan Irene untuk menyediakan waktu dinner dua hari lagi adalah dinner sebelum dia kembali ke Luar negeri
‘Kling’ satu pesan masuk dalam ponsel yang Zaldy geletakkan di meja balkon, pesan itu jelas Raka baca datang dari Tata. Setting yang selalu menampilkan Popup membuat Raka bisa mengetahui isi pesan Zaldy
‘Tony kembali ke Indo dan lusa ketemuan sama Hendra. Lo bisa nebak nggak….’
Entah apa kelanjutan pesan itu, nggak mungkin ia membuka kunci ponsel adiknya. Bagaimanapun rasa penasaran yang ia rasakan, tapi ia tetap harus menjaga privasi Zaldy.. kini Raka hanya bisa menebak nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, sedikit banyak dia bisa menyimpulkan jika hubungan Tata dengan model ganteng itu tengah dalam masalah, tapi kenapa harus melibatkan Tony yang notabene adalah mantan kekasih Tata, apakah Tata kembali menjalin hubungan dengan Tony. Apa bisa dia LDR an? Dan dua hari lagi adalah waktu yang sama dimana dia sudah menjanjikan waktu untuk dinner dengan Irene. Apakah dewi foruna akan memihak padanya kali ini agar bisa sedikit mengetahui apa yang akan terjadi pada kehidupan tata bersama dua lelaki itu.


Dont Miss It :
Part 11: PLAY GIRL JATUH CINTA : Diantara Kepingan Puzzle

Rabu, 14 September 2016

PLAY GIRL JATUH CINTA : Diantara kepingan puzzle





PLAY GIRL JATUH CINTA

Part 10. Diantara kepingan puzzle

Nafas Zaldy terdengar tidak beraturan, dia memasuki rumah Tata dengan sedikit berlarian. Rasa hawatir dan penasaran kini memenuhi pikirannya, tanpa melihat sekitar cowok jangkung itu menaiki tangga menuju kamar Tata. Rumah terlihat sepi bahkan dari kamar Tatapun terlihat lengang, tidak ada tanda tanda kecemasan. Nyonya Jasmine ataupun pembantu rumah tangga mereka tidak terlihat, yang aneh hanya satu yaitu pintu kamar Tata yang biasanya selalu tertutup kini terbuka lebar. Zaldy mempercepat langkahnya setengah berlari, tapi langkahnya terhenti tepat di depan pintu. Zaldy tertegun dengan pandangan yang tertuju pada satu titik di dalam ruangan kamar Tata.... ia membalikkan badannya perlahan mencoba untuk mengatur rasa kagetnya. Dengan sedikit wajah yang berubah, Zaldy kembali menuruni tangga dan mendaratkan tubuh lelahnya diatas Sofa Bed. Entah kemana pikirannya kini berjalan, namun wajah Irene yang sedih saat harus merelakan segala rencana kencannya berantakan sangat jelas dalam ingatannya.
“Mbak... tante Jasmine kemana?”
Suara Zaldy menghentikan langkah pembantu Tata yang akan menaiki tangga
“Nyonya belanja, Mas”
“Sini deh mbak... Tata tadi nggak muntah kan??”
Gelengan kepala pembantu Tata dengan wajah herannya sedikit memberikan kelegaan pada Zaldy
“Mbak mau kemana??”
Sekali lagi Zaldy memastikan bahwa pembanti itu tidak akan naik kelantai dua
“Mau manggil Mbak Tata?”
“Ngapain?”
“Kenapa sih Mas, Mbak Tata sakit beneran ya.... apa makan malamnya saya bawa ke atas saja?”
“Ehm... nggak usah. Mbak balik lagi deh, biar saya yang bilangin ke Tata”
Usaha Zaldy menghentikan langkah pembantu itu untuk mendekati kamar Tata berhasil, tapi kini segudang kebingungan dan keraguan membuatnya pusing. Zaldy mondar mandir di depan tangga, sedetik ia berniat untuk naik tapi kemudian dia mengurungkan niatnya.... beberapa kali ia meragu sampai akhirnya dia menyerah dan membiarkan saja semuanya tanpa perlu dia melibatkan diri. Zaldy melemparkan tubuhnya kembali diatas sofa dan memainkan remot kontrol untuk memindah mindah chanel tivi mencoba mengalihkan segala pikirannya walau apa yang ia lihat sangat mengganggu dan tidak bisa ia abaikan begitu saja
‘Aaaaah shit... ngapain gue yang senewen sih. Mereka udah gede kali, udah bisa mengambil keputusan yang benar. Tapi kenapa harus Raka?? Hendra dikemanain dan...... mbak Irene, apa kabarnya gadis itu?.... Aish Raka gila.... apakah ini alasan dia selalu menolak untuk pacara, apakah sebenarnya dia mencintai Tata? Lalu Tata, apakah dia udah nggak waras??? Aaaaargh....’
Zaldy mengacak acak rambutnya sendiri, dia bingung untuk mengambil sikap. Wajah Irene dan Hendra kini berseliweran didepan matanya. Apa yang Hendra katakan padanya dan apa yang ia minta dari dirinya beberapa waktu lalu seakan menjadi satu batu besar yang masuk dalam rongga dadanya dan menyesakkan jalan nafas. Zaldy tertunduk memegangi kepalanya sendiri
“Al?? Lo kenapa?”
Zaldy dengan cepat mengangkat kepalanya mendengar suara Raka, nafasnya tertahan dengan gigi yang ia gigit kuat menahan segala apa yang sempat membuatnya sedikit marah.
“ehmm nggak, gimana Tata?”
“Udah mendingan... untungnya lukanya nggak lebar jadi nggak banyak mengeluarkan darah”
“Kepalanya bocor??!!!”
Kini segala emosi yang ada didada Zaldy menghilang saat mendengar ada luka yang Tata dapatkan dari insiden senja tadi. Raka mengangguk dan melangkah ringan mendekati Zaldy. Ia merebahkan badannya diatas karpet dan mengambil bantal untuk menopang kepalanya
“Kalau lo capek, pulang duluan aja deh Mas, biar gue yang nungguin tante Jasmine”
“heeemmmm.... nggak kok. Lo aja yang pulang duluan. Gue masih pingin disini barang sebentar”
‘Iya kali lo mau pulang dengan keadaan Tata seperti saat ini, tapi apa lo lupa ada mbak Irene yang nunggu kabar lo?’
Zaldy sedikit dongkol melihat kakaknya yang kini memejamkan mata di hadapannya. Keduanya diam tanpa suara. Sampai akhirnya pembantu Tata kembali muncul dihadapan mereka
“Mas, makanannya?”
“Huuuh.... Tatanya tidur mbak, biar nanti sajalah...”
Jawab Zaldy santai dengan tetap memaikan ponsel yang ada ditangannya, Raka mendongak sesaat namun kembali memejamkan matanya
“Mas Al dan Mas Raka barang kali yang makan... atau saya bereskan saja”
“Biarin saja mbak, nanti kita makan kalau laper”
Masih dengan mata yang terpejam, Raka menjawab pertanyaan pembantu Tata
“Ya sudah kalau begitu Mas, kalau ada apa apa.... saya dibelakang”
“Hmmm.... sudah sana Mbak”
Sekali lagi Zaldy menyahut dengan nada yang aneh ditelinga Raka
“Lo, kenapa sih Al? Sepertinya lo lagi bete gitu”
“Nggak kok... gue baik baik aja. Hoaaam.... aduh kok jadi ngantuk yaaa. Makan yuk Mas, sayang kalau dingin”
“Halah elo... mana bisa lihat makanan dianggurin. Makan aja duluan, gue belum laper”
“Itu... lo jangan lupa ngabarin mbak Irene tuh. Anak orang.....”
Sedikit bergumam, Zaldy meneriaki kakaknya untuk mengingatkan pada apa yang sudah ia lakukan pada Irene
“Wajib gitu?... biar deh. Nanti juga dia bakal telepon kalau ada apa apa”
“Eh ati ati lo, Mas.... kena karma tahu rasa lo”
“Karma?? Lo nyumpahin gue?”
“Ya nggak sih, tapi gue nggak pingin lo disakitin cewek karena udah nyakitin mbak Irene”
“Huh?... maksud lo apaan Al?”
Kini gantian Raka yang mulai terusik dengan kata kata adiknya, ia berabjak dari tidurnya dan menyusul Zaldy mendekati meja makan. Mengambil potongan buah semangka yang sudah tersaji diatas meja makan, Raka menunggu jawaban Zaldy
“Maksud lo apaan Al?”
“Ya elo udah pahamlah Mas, lo sama mbak Irene pacaran kan?”
Raka terdiam, ia sadar bahwa ia sudah membulatkan hati untuk memberikan kesempatan pada gadis itu memasuki kehidupannya. Raka mengatur nafasnya mencoba untuk mengontrol setiap kaya yang akan ia keluarkan agar Zaldy tidak salah mengartikan.
“Benar kan, lo pacaran kan sama Mbak Irene?”
“Entahlah, gue nggak sebut hubungan kami seperti itu”
“What??? Lo jangan mainin hati perempuan Mas. Mbak Irene itu berharap banyak sama Lo. Kalau lo mau ya mau, kalau nggak ya nggak. Jangan memanfaatkan keadaan karena lo tahu dia punya hati sama Lo.... Aish, kenapa jadi gue yang nashatin lo sih”
“Gue hanya mencoba untuk membuka hati”
“Mencoba??? Aduuuuuh gue kudu bagaimana ya. Lo itu kakak gue, tapi sumpah lo bego banget soal cinta. Ehmmmm.... ehm gini deh, lo jawab jujur ya? Tadi, saat lo nyuruh mbak Irene balik sendiri dan lebih memilih nganterin Tata, itu atas dasar apa?”
“Maksud lo?”
“Ya.... lo lebih memilih Tata itu karena apa? apakah hati lo membisikkan sesuatu kalau lo harus lebih mengutamakan dia, apakah lo nggak merasa udah membuang seseorang karena itu? Hmmm.... sederhananya lo ngrasa bersalah nggak udah ngecewain mbak Irene?”
“Kenapa Irene harus kecewa? Dia pasti akan ngertilah dengan keadaan yang terjadi tadi, dia lihat sendiri kan keadaan Tata?”
“Auuuuh bodoh ah Mas, angkat tangan gue.... lo beneran bego, apa sok bego sih?... udah deh gini aja. Lo telepon mbak Irene, minta maaf gitu apa tanyain kabar dia nyampe rumah baik baik aja apa bagaimana... pokoknya gue saranin itu ajalah”
“Kenapa gue harus minta maaf?”
“Ya udah deh terserah lo... anggap aja gue nggak pernah nanya sesuatu”
“Al.... Al tunggu deh, Irene beneran nampak kecewa gitu?”
“Huft.... Ampuni gue ya Tuhan. Kalau dia itu adalah Tata...ya... kalau Tata diposisi mbak Irene tadi yang tiba tiba ditinggal tanpa ba bi bu, pasti dia udah mewek sambil nelponin gue minta jemput. Paham nggak lo”
Raka mengangkat alisnya sedikit membayangkan situasi seperti apa yang ia tinggalkan ditaman tadi saat ia meninggalkan Irene sendirian disana. Zaldy yang merasa sedikit dibuat kesal dan gemas dengan sikap kakaknya kini hanya bisa menggeleng sambil terus menyantap masakan yang ada di piringnya

Sementara itu Tata yang mencoba memejamkan matanya masih tidak sanggup membndung airmata yang keluar dari sudut matanya, rasa kesal yang ia rasakan selama ini seakan telah membatu dan tidak mudah dipecahkan hanya dengan satu kali luapan emosi.
‘Mau lo itu apa sih Ta, lo nyari apa.... permintaan maaf sudah Raka sampaikan dan bahkan dia sudah meletakkan lo dalam prioritas utamanya.  Demi menolong lo, dia bahkan meninggalkan gadis yang dia cintai. Dia selalu memperlakukan lo dengan baik, perhatiannya selalu tulus walaupun lo udah bersikap jutek sama dia. Lalu, apalagi??’
“Aaaaah molla... molla... molla. Wae? Kenapa lo bikin gue pusing sih... kenapa gue nangis sih... huuuaaa dia bukan siapa siapa lo, Ta. Wake uuuuup.... hiks hiks hiks”
Tata terus berbicara pada dirinya sendiri, tangannya tidak berhenti menyeka airmata yang mengalir disudut matanya. Dengan wajah kesal dia bersandar pada ranjang dan menatap lurus kedepan menelaah setiap kejadian yang sudah dilaluinya
Tidak ada yang akan merubah kecantikan kamu, semuanya masih sama. Nggak akan meninggalkan bekas luka. Jadi jangan terlalu hawatir. Kamu masih menjadi yang paling cantik
‘Mbak Irene disamping dia, tapi kenapa justru bela belain antar gue…. Ah kenapa itu orang jungkir balik bener antara kelakuan sama omongannya… apa sih maunya? Eh tunggu, kenapa gue jadi deg deg an ya… tadi juga dia pelukin kenapa gue nggak ada nolak nolaknya?aaaaaah malunya gue… Tata lo beneran gagar otak kayaknya karena pelepah sialan itu’
“Aaargh… kenapa keinget terus sih!!! Tata…. Sadar Ta…. Ish… Auw”
Tiba tiba Tata meringis kesakitan, upayanya untuk menyingkirkan segala hal manis yang sudah ia dapatkan dari Raka sore ini dengan menggelengkan dan menepuk kepalanya sendiri membuat ia sedikit melupakan rasa pening yang masih belum sepenuhnya hilang sehingga rasa itu kembali terasa.
Drrrrt drrrrt drrrrt……
Tiba tiba telinga Tata terusik dengan suara getaran dari ponselnya, ia mencari cari benda itu disekelilingnya namun tidak sama sekali nampak ada benda mungil nan canggih itu disana. Tata membalik bantalnya tetap nggak ada, di meja tidak nampak. Aaaargh ia mulai kesal, dengan memegangi kepala ia bermaksud untuk turun dari ranjang, selimut tebal yang Raka pasangkan untuk menutupi tubuhnya ia sibakkan kasar dan Klotak satu benda terlempar ke lantai. Tata terduduk lemas melantai, ia kesal pada dirinya sendiri karena ia merasa susah untuk menggapai benda sekecil ponsel miliknya itu karena pusing di kepala yang masih sangat mengganggu gerak gesitnya. Dibiarkan ponsel itu terus bergetar tanpa tahu siapa yang menelpon sampai akhirnya diam kembali tidak bersuara. Tata berdiri, melangkah lemas mendekati benda canggih itu dan membawanya terduduk di tepi ranjang. Kini semua keluh kesahnya dan airmata yang mengalir itu sudah terhempas jauh dari pikiran saat ia mulai focus pada benda serba bisa itu. Bibirnya sedikit cemberut, dahinya mengerut menahan pusing dan tangannya mulai lincah membuka kunci ponsel. ‘Hendra?’ nama Mahendra tertera dilayar ponselnya, Tata menghembuskan nafasnya sesaat lalu menjatuhkan diri kembali hanya menatap layar ponselnya tidak melakukan apapun, satu nama itu membuatnya sedikit bingung untuk bersikap dan inilah untuk kali pertama dia merasa terbebani dengan hubungan yang ia jalani dengan seseorang. Tata sadar bahwa sikapnya pada Hendra memang sudah melewati batas, bukan karena dia tidak memikirkan perasaan pemuda tampan itu, tapi sikap Hendra yang seakan akan ingin membatasi dunianya dengan keingintahuan yang ia miliki pada apapun yang Tata lakukan membuatnya sedikit jengah.
“Halo… ada apa?”
Suara Tata sedikit kesal menjawab panggilan yang kembali masuk pada ponselnya
“Eh beneran Lo kena musibah ya?? Lo nggak apa apa kan? Apa perlu gue ke rumah lo, gue jenguk ya”
“Jangan lebay deh… gue nggak apa apa kok. Kagak usah datang ntar malah ngrepotin lagi deh lo”
“Anjir Lo Ta…. Dihawatirin temen malah kayak gitu, songong amat itu mulut ya”
“Hahahhahaa lagian gue nggak apa apa kok Ren, lo kok tahu gue kena apes hari ini, siapa yang ember?”
“Ya gue gitu loh, kabar apa sih yang nggak mampir ke kuping Renita. Kayaknya kabar semut kawin aja gue tahu…. Hahahahha”
Keduanya tertawa, Tata sedikit terhibur oleh telepon sahabatnya dan melupakan persoalan Hendra maupun Raka yang sempat mengusik pikirannya. Mereka bercanda lewat percakapan telepon itu, Renita yang memang tidak pernah bisa serius menanggapi segala persoalan itu membuat apa yang yang Tata alami sebagai bahan olok olokannya menyerang Tata dan rasanya tidak pernah membiarkan Tata sedikit mendramatisir apa yang ia alami
“Tapi Ta itu artinya lo udah lihat wajah anak pak Haji secara live kan?”
anak pak haji?’ kini Tata terbengong, kembali ia memutar otak pada pertanyaan Renita.
“Maksud lo?”
“Jangan sok bego deh… yang nolongin lo si Ridho kan?”
“What??? Jadi bener Ridho yang nolongin gue itu dia???”
“Hah??? Lo nggak tahu…. Jangan bilang lo masih nggak ngeh sama orang seganteng dia, jangan bilang mata lo kecolok ma hidung dia sehingga lo nggak bisa melek… sumpah kali ini mata lo yang ngeblur ya Ta?”
“Serius gue nanya, beneran Ridho itu yang nolongin gue?”
“Lah elo yang mengalami musibah kenapa jadinya lo yang nanya ke gue! Ini yang bego gue apa mukidi sih?”
“Gue nggak sempet lihat mukanya Ren… jangankan lihat itu muka anak pak haji, saat kejadian itu gue benar benar yang nggak sanggup nopang badan gue, semuanya kek bleng…. Lo paham kan sesuatu yang super besar menghantam muka lo itu bakal kayak apa? Semuanya gelap muter muter gitu”
“Dan diatas kepala lo itu muncul banyak bintang yang muter tuing tuing gt ya Ta? Hahahhahhahaa”
“Lo pikir lagi nonton kartun apa…. Ah sialan juga deh lo”
“Sorry mbak bro… lagian lo udah ngintipin itu orang berhari hari malah udah masuk itungan bulan eh giliran dia jreeng nongol depan muka lo malah lo merem. Ah bagaimana sih lo…. Udah kali aja nih pertanda kalau lo nggak berjodoh sama dia kali. Udah realain aja anak pak haji move on dari lo”
“Aish siapa yang pingin berjodoh sama dia, gue cuma penasaran aja kok. Lagian kenal juga kagak tapi kenapa itu rumors gencar banget kalau gue pacar dia. Kalau lo jadi gue apa lo nggak merasa aneh dan penasaran? Pikir deh”
“Ya kali si Ridho itu secret admirer lo gitu yang nyanjung lo dimana mana sampai itu cabe cabe pada berkasak kusuk sendiri sebut lo sebagai pacar Ridho. Ya secara logika aja deh Ta… siapa sih yang nggak kenal lo di kampus. Violetta gitu loh, mana ada cewek yang nggak jiper denger nama lo, apalagi yang ada hubungannya sama cowok. Kalau gue secara pribadi sih bakal mundur teraturlah kalau tahu gebetan gue sukanya sama elo… bayangin aja kek ngarep durian runtuh dari pohon nangka aja tu cowok bakal nglirik gue disaat yang ada di pelupuk matanya cuma lo doang. Mustahal tahu.. contoh konkritnya tu si jones keren Zaldy hahahahhaaaa….”
“Zaldy?? Apa hubungannya sama si Al…. lo jangan bikin issue baru deh”
“Tataaaaaa…. Lo beneran buta apa membutakan mata sih? Lihat itu si Al. Jujur deh lo, seandainya lo bukan sahabat kecilnya dia, jamin nggak lo kalau nggak bakal jatuh cinta. Ya kalau si Ridho punya wajah Arabian yang super kece dan bersinar si lapangan, lah si Al??? oh my god dia nggak kalah lah sama Ridho… dia keren lo Ta, tinggi, putih, bersih, badannya bagus, bibirnya merah halaaah pokoknya gantenglah…. Hayooo kalau dia buakan temen kecil lo, lo juga mau kan pacaran sama dia”
“Tinggi, putih dan bersih…. Lo pikir sapi???
Ehhhmmmm iya sih, Al memang keren dan sangat menarik lah gue pikir. Dia juga mahasiswa yang otaknya encer. Tapi kenapa masih jomblo mulu ya… hahahahha”
“Dodol deh lo ah…. Ya karena dia itu selalu nempel sama lo oneeeng!!!”
“Terus apa hubungannya dia nempel sama gue dan jomblonya dia. Hayo dimana masalahnya”
“Semua mata yang nglihat lo jalan sama Al itu pasti menilai kalian itu pasangan paling ideal abad ini. Kemana mana sama sama, satu cantiknya super dan cowoknya keren habis… yang mau deketin Al pasti ngaca seribu kali Taaa… apalagi lo kalau sama Al kayak gitu, glendotan, gandeng and seret dia semau lo… ah lo mah nggak nyadar juga diomongin dari tadi”
“Eh Nyit, lo yakin ngakuin gue cantik banget ya…. Hahahahhaha”
“Eh ngapin lo ikut ikutan panggil gue nyit nyit…. Cukup si Salsa aja ya yang panggil gue gitu”
“Udah jawab aja, beneran ya gue secantik itu??”
“Auh ah…. Nyesel gue muji lo… udah nggak dapat apa apa malah lo semakin gede kepala”
“hahahhaaa…. Tapi seandainya lo gue comblangin sama Al pasti mau dong. Lo kan jones juga”
“Kagak terima kasih yeee…. Gue juga bisa kali deketin sendiri, nggak butuh jembatan!”
“Yakin…. Si Al susah lo kriterianya, apalagi syarat dari emaknya. Yakin nggak mau dicomblangin… yakin nolak pertolongan gue”
“Ah udah ah… lo sitirahat sana, kepala utuh aja rada kopyor isinya apalagi habis di keplak sama Tuhan pake pelepah palem gitu… gue yakin kewarasan lo perlu dipertanyakan Ta… gue tutup”
“Eh anjir lo….”
Tut tut tuuuut sambungan telepon diputuskan, Tata tersenyum geli mengingat percakapannya dengan Renita. Sahabatnya itu memang sosok yang nggak akan pernah bisa menyembunyikan apapun darinya dan darinya lah untuk pertama kalinya ia mengetahui apapun di dunia kampus khususnya tentang rumors yang menyangkut dirinya. Tentang Ridho dan kini satu fakta tentang Zaldy juga ia dengar dari Renita
‘Ridho’ …. Ah Tata kembali mengingat suara berat nan tegas yang meneriaki dirinya dan menyebut nyebut namanya tadi sore, bibirnya tersenyum mendapati dirinya sudah berinteraksi dengan buruan selama ini ia intai. Tangan kekar Ridho yang sempat menyentuh dan bahkan telah mengangkat tubuh mungilnya ke bangku taman masih sangat jelas ia sadari, ya itu bukanlah Raka yang pada akhirnya ia sdarai sebagai sosok yang merelakan bahunya sebagai tempat Tata bersandar dan bahkan setia memeluk Tata selama menjadi pusat perhatian di taman kota itu. Sekali lagi Tata tersenyum dengan sumringah membayangkan Ridho menatap wajahnya yang mungkin nampak pucat dengan mata tertutup serta tergeletak lemas diatara sadar dan tidak..
‘Aaaah artinya dia sudah sangat mengenal gue dong, eh kenapa dia panggil gue mbak?? Bukankah dia tau nama gue Violetta. Kenapa nggak sebut aja nama gue dengan sebutan Tata gitu. Ah sopan banget si lo…’
”Artinya…. Al kenal dong sama Ridho??? Anjir si Al sok bego apa emang nggak ngeh ya… apa Ridho anak kompleks ini juga? Temen basket Al kan rata rata anak komplek sini ajah…. Oh nooo. Al yaa… gue musti tanya ke Al”
Tata merapikan pakaiannya, dengan langkah penuh kehati hatian ia keluar dari kamarnya. Jam di dinding menunjukkan jam 8 malam. Perutnya sedikit lapar karena hanya air yang masuk ke lambung sejak dia terkulai tadi sore. Rumah nampak sepi, sepertinya sang mama belum kembali dari shopping. Tepat di ujung tangga, mata Tata mencari cari sosok yang ia maksud tapi tak nampak seorangpun di lantai bawah. Tata menuruni tangga dengan terus berfikir, ia memainkan bibirnya dengan sesekali memiringkan kepalanya menemukan sesuatu dalam otaknya
‘Si Al sudah baca semua terror yang masuk di Hp gue, dia udah balas beberapa diantaranya… masa dia nggak paham siapa yang dimaksudkan? Masa iya kalah encer dengan Renita, tanpa disebut siapa namanya saja Renita paham siapa yang dimaksudkan dalam setiap terror itu….. eh tunggu, apa benar itu yang dimaksud adalah Ridho? Kan mereka nyebutnya bintang bukan namanya langsung. Jangan jangan itu malah si Al, kan yang nempel sama gue itu Al bukan si Ridho… Renita bilang kan sebenarnya banyak yang suka sama si Al tapi jiper karena gue inthilin mulu. Huft gimana nih… tanya nggak ya?’
“Eh sudah sehat lo?”
Tata tersentak, tanpa terasa langkah kakinya dalam keragu-raguan itu membawanya mendekati pendopo yang ada di sisi rumah dan ternyata Zaldy sedang menonton tivi disana menemani pembantunya ngobrol
“Ehm… Mama belom pulang ya?”
Dia mengalihkan pembicaraan dan mengurungkan niatnya menanyakan perihal Ridho pada Zaldy. Pikirannya mulai sedikit rancu tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dalam terror yang ditujukan padanya mengenai bintang basket idola kampus
“Lo laper?? Makan deh sana… apa perlu gue temani. Mama lo belum balik nih”
Zaldy berdiri dan mendekati Tata mencoba membantu Tata untuk berjalan karena ia lihat gadis itu masih nampak pucat
“Apa makanya di saya bawa kesini aja mbak”
“Nggak usah mbak… hmmm ambilkan biscuit saja mbak sama juice ya”
“Juice apa?”
“Apa saja deh pokoknya bukan manga….”
Pembantu berlari kearah dapur menyiapkan apa yang diminta nona mudanya sementara itu Al dan Tata menunggu di pendopo ditemani suara jangkrik dan gemericik air kolam. Tata merebahkan badannya di atas balai dan Al masih asyik dengan salat buah dan tontonannya, tidak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Masing masing sibuk dan larut dalam pikiran masing masing
“Emmm beneran lo udah sadar sepenuhnya Ta”
Zaldy cuek mengeluarkan pertanyaannya dengan sesekali mengarahkan pandangannya pada Tata yang memejamkan mata diatas bale
“Iya”
“Lo nggak muntah muntah kan tadi sore?”
“Nggak… kepala gue masih aman Al… kepala gue seterong ya, nggak lembek”
“Iya seterong and keras banget sampe itu watak kerasnya gila kek fosil tau nggak lo”
“Sialan lo….”
Kini dua sahabat kecil itu kembali terlibat dalam pertengkaran kecil tidak penting yang selalu terjadi diantara keduanya, apa saja yang ada di depan mereka menjadi sasaran empuk sebagai alat membela diri mulai dari bantalan kursi, majalah sampai box tissue melayang entah kemana... suasana benar benar kacau di dalam pendopo, Al tidak akan pernah mengalah pada sikap Tata yang keras dan Tatapun tidak akan pernah menyerah sampai apa yang ia yakini diakui oleh sahabat kecilnya itu. Keadaan seperti itu bukanlah pemandangan baru jika Tata dan Zaldy berselisih pendapat dan perang ala Tom and Jerry hanya akan selesai jika salah satu diantara mereka merasakan kelelahan seperti saat ini, Zaldy memilih mengalah saat mengingat Tata yang masih belum kembali sehat seperti semula dari shock yang ia rasakan karena selama ia menelak serangan satu tangannya sesekali memegangi kepala. Nafas Tata dan Zaldy saling berkejaran, keduanya merasa kelelahan sampai sampai gelas juice pesanan Tata yang dibawa pembantunya hampir tumpah karena mereka saling berebut untuk meminumnya lebih dahulu.
“Ta, lo sama Hendra bagaimana?”
Akhirnya Al menemukan moment untuk menyampaikan apa yang Hendra adukan padanya (Cowok ngadu??? Cemen amat yak)
“maksud lo?”
“Ya... hubungan lo sama dia? Aman aman aja kan?”
“Menurut lo?”
“Hmm gimana ya, kok gue ga pernah lihat lo jalan lagi sama dia, lebih banyak sama gue dan itupun jarang ketemu Hendra. Lain saat lo sama Tony dulu yang selalu jadiin gue obat nyamuk”
“Ooooo lo kangen jadi obat nyamuk?”
“Anjir lo... ya nggak gitu juga kali. Ya maksud gue, gue nggak pernah lagi lihat lo mesra gitu sama dia. Sepertinya waktu lo buat dia itu nggak ada sekarang. Udah nggak jalan dalam satu project lantas kok ga ada komunikasi gitu”
“Ah sok tahu lo... apa perlu gue lapor gitu kalau gue mau telepon, mau chat sama dia. Apa gue laporan aja ya sama lo”
“Hmmm terserah lo deh Ta, gue cuma prihatin sama dia. Kaum gue udah lo tindas tau nggak lo”
Sekali lagi bantal melayang ke arah Tata tapi kali ini tidak ada balasan seakan Tata membenarkan apa yang Zaldy sampaikan. Ia memegangi gelas juicenya sambil memikirkan sesuatu tentang Hendra
“Gue cuma kasih saran aja sih Ta, kalau memang lo masih anggap dia sebagai orang terdekat lo, hubungi dia... jangan menghindar apapun masalah lo sama dia. Gue ngomong ini karena jujur Hendra sempat nemuin gue buat tanyain lo dan malah dia ngira lo selingkuh sama gue. Gue cuma nggak mau kambing hitam macam gue akan muncul lagi nantinya”
“Gue sebenarnya nggak menghindari dia sama sekali, Al. Ya lo tahu sendirilah gaya pacaran gue kayak apa. Lo mau jalan sama ya lo kudu ikhlas dengan apapun mau  dan aturan gue. Jangan berharap aneh aneh apalagi membayangkan mendapatkan sesuatu yang lebih dari gue, Itu aja. Gue tahu sejak dia kembali dari Surabaya itu memang jarang ketemu karena dia sibuk dan gue juga memutuskan untuk banyak mengambil job, jadwalnya jadi bentrok. Itu aja sih.. gue nggak selingkuh, dan gue nggak ada deket dengan siapapun, terus masalahnya dimana? dia aja sih yang terlalu lebay jadinya dianggap serius”
“Huh... mana gue tahu urusan dalam negeri lo. Gue hanya bodyguard lo aja kok, ogah urusin urusan rumah tangga lo yang rumit itu. Kalau aja Hendra nggak sempetin sempetin nemuin gue buat mastiin lo pacaran apa nggak sama gue, gue nggak akan pusing. Ya itu tadilah.. lo luangin waktu buat cowok lo, eh salah temen special lo”
“Gue ngira gue pacaran sama lo? Yeeeek najis.... sekeren apapun lo kayaknya pacaran sama lo itu kok ya kebangetan ya....”
“Eh hati hati lo ngomong... gini gini yang antri buat jadi cewek gue banyak kali. Lo aja nggak nyadar kalau udah nempel kek lintah sama cowok keren, idola gitu loh”
“bahahahahhaaa idola emak lo? Hmmmm ngomong ngomong soal idola, beneran Al banyak yang ngidolain lo?? Dari segi apa? Ganteng, pinter, atlet basket.... apa?”
“Ada deh!”
“Eh tapi Al... yang nolongin gue tadi itu temen lo ya? Siapan namanya... gue tadi sempat denger antara sadar dan tidak gitu. Dia anak kompleks sini?”
Intuisi Tata menemukan celah untuk mengetahui kebenaran tentang dugaannya soal Ridho yang diyakini sebagai secret admirer yang secara diam diam meyukai dirinya. Tanpa diduga Zaldy menganggukkan kepalanya dan dengan cuek mengiyakan pertanyaan Tata, Tata membelalakkan matanya tidak percaya bahwa dia berada dalam lingkungan yang sama dengan seseorang yang selama ini sudah banyak menyita waktunya hanya sekedar untuk mengintai (Tidak pernah membawa hasil)
“Lo yakin, memang blok apa?? Kok gue nggak pernah dengar namanya”
“Dia ikut tantenya disini, dia aslinya mah di keraton Solo sana. Lo nggak bakal tahulah sama dia, dia bukan orang jelalatan yang akan selalu ribut cari perhatian lo seperti fans fans nggak jelas lo itu. Ketemu juga lo nggak akan pernah sadar kok kalau dia patut untuk diperhitungkan sebagai cowok. Lo kan Apatis, kalau iklan iklan lewat mah durasi habis udah nggak kepikiran lagi. Ya kan?”
“Nggak gitu juga kali Al... bener namanya Ridho? Anak hukum di kampus kita yang banyak dikejar cewek itu kan?”
“huh? Lo tahu tentang Ridho, Ta? Tumben Lo penasaran sama hal hal beginian... Ada apaan?? Jangan bilang lo tertarik sama Ridho ya”
Tata kehilangan rem keponya, tanpa sadar ia membuka rahasia penyelidikannya tentang Ridho sehingga Zaldy bereaksi sedikit serius dan memutar posisi tubuhnya, meletakkan ponsel yang ia pegang dan kini menatap Tata penuh selidik
“Ya elah Al.... gue cuma mastiin aja, tadi.... maksud gue waktu gue setengah pingsan itu, gue sedikit lihat wajahnya itu mirip sama yang suka main basket di kampus itu... gue sih nggak tahu ya, yang di kampus itu namanya siapa, tapi Renita bilang kalau dia idolanya anak hukum gitu”
Zaldy hanya senyum senyum tanpa membenarkan apapun alasan yang Tata berikan, dia menatap wajah gadis itu dengan pandangan yang aneh menahan tawa karena Tata menjadi agak kikuk.
“Bener nggak?”
“Gue nggak akan jawab kalau lo nggak jujur.... percuma!”
“Ish... maksud lo apaan?”
Zaldy kembali membalikkan badannya dan mulai sibuk dengan ponselnya mengacuhkan Tata yang menjadi penasaran. Zaldy melirik dan tersenyum melihat reaksi Tata. Baginya reaksi seperti ini sangat jarang ia lihat dari seorang Tata. Dia gadis yang tidak pernah meributkan segala sesuatu yang dihebohkan oleh orang lain selama itu tidak bersinggungan denganya dan kali ini untuk pertama kalinya Tata sedikit penasaran pada sosok Ridho. Ridho yang selama ini banyak menyita perhatian perhatian kaum hawa terkecuali Tata, Zaldy mencium sesuatu yang lain dari Tata saat menanyakan tentang sosok Ridho.
“Ya kalau lo kenal kan gue bisa berterima kasih secara langsung Al sama dia karena udah menolong gue tadi sore. Masa iya sih gue jadi orang yang nggak tahu terima kasih.. beneran dia anak kampus kita?”
“huum”
“Namanya Ridho.... ehmmm atau lain waktu kalau lo latihan gue ikut deh biar lo percaya kalau gue nggak ada motif lain”
“Ogah... dikampus udah nggak bisa gerak, masa iya di lapangan basket lo juga bakal nempel kek lintah ke gue. Nggak ah! Nggak ada acara ikut latihan segala”
“Elo mah kejam ya Al... orang mau terima kasih juga masih juga dicurigai. Halaaaah okay gue akan jaga jarak dari lo”
“Gini aja deh... namanya Ridho Ahmad Afriyansah, oke dia anak hukum satu tahun di atas kita. Udah lo cari sendiri dan nggak ada acara nempelin gue latihan basket. Iish bintang lapangan mo di mau di spionase. Huh turunin pasaran aja lo”
“Bintang lapangan?? Elo?? Iiih permainan lo standart gitu disebut bintang lapangan. Jangan mimpi deh!”
“Eh Ta... cuma elo ya yang nggak tahu kalau gue jago...”
“Jago apaan nih?”
Tiba tiba saja nyonya Jasmine datang menyela diantara mereka dan mengambil duduk disebelah Tata, memeluk dan mencium putrinya yang membuat Zaldy merajuk membuka lebar kedua tangannya untuk mendapatkan pelukan yang sama. Tata mengatupkan bibirnya berdiri melihat tingkah Al dengan jijik..
“Eh sayang mau kemana? Mama baru datang udah ditinggal aja. Nggak kangen ya sama Mama”
“Ah mama jangan lebay deh... Tata capek! Lebih tepatnya capek lihat Al dan bosen lihat mukanya... tu badannya juga bau habis latihan belum mandi”
Tata melenggang tidak lagi memperdulikan apapun yang Al katakan
“Ta... itu Mas Raka suruh pindah gih ke kamar tamu, kasihan sampai ketiduran gitu. Bangunin ya sayang”
“Raka??? Dia masih ada disini?’
Tata menghentikan langkah dan membalikkan badannya kaget mendengar nama Raka disebutkan oleh mamanya, dia melihat jam ditangannya udah jam sepuluh malam dan dia sama sekali tidak menyadari keberadaan Raka sama sekali, dia mengira hanya Al yang bertahan untuk menemaninya sampai larut seperti biasa saat di rumah tidak ada orang
“Iya tuh di ruang keluarga ada mas Raka”
Jawab nyonya Jasmine tenang tanpa curiga apapun bahkan dia tidak menyadari apapun yang sudah terjadi dengan putrinya
‘Hah... dia belum pulang, ngapain?? Mau mastiin keadaan gue... tumben amat? Haduuuuh kan pusing deh kepala gue’
Dalam langkah bimbangnya antara siapa bintang lapangan sebenarnya dan keberadaan Raka, Tata memasuki rumahnya dan kemudian mendapati Raka yang nampak lelap dalam tidurnya. Matanya terlihat lelah tertutup rapat masih dengan baju kerja yang ia kenakan. Saat menatap wajah itu, segala hal manis diluar nalar yang sudah Raka lakukan untuknya berseliweran di otaknya dan membangunkan kembali segala tanya yang ia miliki. Tata menarik nafas dalam menghempaskan segala keraguannya. Saat ini misinya tersa semakin bertambah ‘Zaldy, Ridho, Hendra dan Raka’ empat nama itu seakan menjadi teka teki baru yang harus ia pecahkan dengan segera agar dia bisa melangkah tanpa keraguan seperti dirinya sebelumnya, menghapus segala yang buram untuk digantikan dengan satu hal yang jelas tanpa tanda tanya



 Dont Miss It :
PLAY GIRL JATUH CINTA : Perdamaian

Senin, 12 September 2016

PLAY GIRL JATUH CINTA : Perdamaian




 
PLAY GIRL JATUH CINTA

Part 9. Perdamaian 

Dalam keadaan setengah sadar, suara suara terdengar sangat bising ditelinga Tata.. satu tangan memapah dirinya untuk mencari tempat ternyaman. Matanya masih terpejam setengah sadar, bebauan minyak menyengat dihidung, Tata memegangi kepala, rasa sakit dan pusing kini mendominasi disana
“Mbak…. Mbak nggak apa apa kan?”
Satu suara yang cukup jelas meneriakinya sebelum semua menjadi gelap dalam pandangan mata kembali menyapa pendengaran tata, Tata hanya bisa menggeleng sambil terus memegangi kepalanya yang terasa pusing, ia masih menerka nerka apa yang sebenarnya baru ia alami hingga ia merasakan semuanya gelap dan memusingkan..
Puk puk puk beberapa kali seseorang menepuk nepuk pipinya, Tata mencoba membuka mata dan bangun dari tidurnya. Suara suara yang saling bersautan di telinganya cukup jelas memberikan gambaran jika saat ini dirinya menjadi pusat perhatian, riuh dan sangat mengganggu
“Ridho, makasih ya atas bantuannya…. Untung ada kamu, tapi tangan kamu nggak apa kan?”
“Nggak mas, kegores dikit tapi nggak apa kok”
“Thanks ya bro….”
“Santai Al….”
‘Ridho’ dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Tata menyesali keadaan, Ia bisa menyimpulkan siapa yang sudah menjadi pahlawan dalam kejadian aneh yang ia alami, namun sayang kepala yang baru saja mendapatkan hantaman keras itu terasa sangat berat untuk ia topang sendiri sehingga ia hanya pasrah bersandar pada bahu yang memeluknya saat ini. Dia sudah tidak bisa mau memusingkan diri menebak bahu siapa yang ia pakai untuk bersandar, tapi dia yakin pastinya itu adalah orang yang ia kenal. Bau minyak angin yang menyengat di depan hidung Tata sangat mengganggu pernafasan, Tata menyingkirkan bebauan itu dengan berusaha menjauhkan botol minyak dari depan hidungnya
“Hmmm… aku udah nggak apa apa”
Rintihnya pelan berusaha menguatkan diri membuka mata. Nampak Zaldy berjongkok di depannya dengan wajah panic dan juga ada Irene berdiri tepat dihadapannya… Raka??? Apakah kini ia bersandar dan berlindung dalam pelukan Raka? Tata tak lagi bisa memikirkan apa apa kecuali pasrah dengan sakit yang ia rasakan
“Ren, bisa aku pinjam cardigan kamu??”
“Ya??”
Irene sedikit kaget dengan permintaan Raka, tapi dia tidak menolak dan lantas melepaskan Cardigan yang ia kenakan. Raka menutup kaki Tata dengan itu, rupanya kehawatiran Zaldy saat hendak berangkat tadi mengandung maksud dan kini semuanya terjawab. Kaos oblong putih dengan celana super pendek yang Tata kenakan benar benar bukanlah pakaian yang pas ia gunakan ke tempat umum seperti taman ini, apalagi dengan kejadian yang tiba tiba ia alami sehingga ia harus jadi pusat perhatian.
“Lo bawa mobil Al?”
Tanya Raka kemudian pada Zaldy yang masih berjongkok dihadapan Tata dengan wajah paniknya
“Nggak, gue bawa motor!
“Ta…. Lo kuat jalan kan?”
Kini pertanyaan beralih pada Tata yang masih lemas dan Tata mengangguk pelan
“Pakai mobil aku aja, biar Tatanya lebih enak”
Irene menawarkan bantuannya tapi Raka menolaknya halus
“Nggak usah Ren.. hmmm lo balik sendiri nggak apa apa kan? Soalnya gue harus ngantar Tata dulu”
“Hmmm gitu ya… iya pake mobil gue aja Ka, apa kita nggak ke Rumah sakit saja untuk memastikan tidak ada yang serius
“hmmm nggak usah, pulang aja deh... gue nggak apa apa kok”
Mendengar ide akan membawanya ke Rumah Sakit, Tata segera menyela... ia merasa cukup kuat dan yakin bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang serius sampai harus menjalani perawatan di tempat semacam itu.
“Nggak, pake motor masih bisa kok. Lo kuat kan Ta?. Biar lo nanti juga nggak muter muter, Ren. Nggak apa kan?”
“Okay nggak apa kok”
Raka bersikeras menolak tawaran Irene, dia cukup yakin dengan anggukan kepala Tata. Ia sadar Irene kecewa dengan keputusannya, akan tetapi dia tidak bisa mengacuhkan Tata. Raka meminta adiknya untuk mengambil motor dan pelan pelan dia memapah Tata dengan bantuan Irene menunggu di depan taman.
“Ta, lo yakin kuat naik motor?”
Sekali lagi Irene memastikan keadaan Tata yang terlihat lemas dalam dekapan Raka. Tata hanya mengangguk lemah dengan senyumnya. Tangan Raka yang memegang bahunya dengan kuat menepuk nepuk menenangkan. Zaldy datang membawa motornya, sama hal dengan Irene yang tidak yakin akan keamanan Tata naik motor sekali lagi menanyakan keputusan Raka
“Mas yakin bisa?”
“Yakin.. lo kalau mau lanjut latihan, lanjutin aja biar Tata gue yang urus”
“Ntar gue nyusul deh Mas, gue mo pamit aja sama temen temen. Nggak enak mereka udah nungguin”
Raka memapah Tata untuk menaiki motor… Al sedikit cemas melihat Tata yang beberapa kali masih memegangi kepalanya, pun demikian dengan Irene. Wajah gadis itu sulit untuk diartikan, sorot matanya terlihat cemas, namun saat beralih pandang ke arah Raka, sorot matanya sedikit meredup terlihat kecewa dan marah. Entah apa yang ada di pikiran Irene, kecemasan yang tergambar diwajahnya terlihat ambigu dalam pandangan Zaldy. Kecemasan tentang rasa hawatir Raka yang berlebihan ataukah kecemasan akan keselamatan Tata tidak bisa Zaldy bedakan dari raut wajah Irene yang kini ada di hadapannya.
“Lo pegang yang kuat”
Tata sedikit menolak saat Raka menarik kedua tangan Tata ke depan memeluk tubuhnya, kali ini alam bawah sadarnya yang masih terjaga sedikit menjaga gengsi
“Udah nggak usah keras kepala, Ta. Nurut! Nyandar aja dari pada ntar lo jatuh”
Zaldy yang ikut menguatkan pelukan itu menarik tangan Tata dan menepuk nepuknya dengan penuh penekanan di depan perut Raka dan mendorong punggung Tata menempatkan kepala gadis itu dipunggung Raka
“Hati hati Mas, pelan pelan aja”
Zaldy menepuk punggung Tata dengan beberapa tepukan dan pesan ‘jangan keras kepala’ melepaskan kepergian Raka dan berdua dengan Irene. Irene nampak menarik nafas dalam dengan mengulum bibirnya kecewa, mungkin tragedy pelepah palem yang jatuh tepat di kepala Tata sudah memporak porandakan semua rencana bahagianya sehingga dia hanya bisa pasrah memasang senyumnya pada salam Zaldy yang juga meninggalkannya untuk bergabung dengan team basket.
---


Sepanjang jalan menuju rumah, Raka terus memegang erat tangan Tata karena hawatir gadis itu terjatuh. Raka tak perduli lagi bahwa gadis itu masih bersikap dingin padanya yang ada dalam pikirnnya saat ini adalah Tata, bagaimana keadaan Tata dan apakah benar tidak ada hal yang serius terjadi padanya (lebay).  Sesampainya di depan rumah Tata, pembantu yang sedang menghidupkan lampu rumah segera membuka pintu saat melihat sang nona dipapah oleh Raka menuruni motor
“Kenapa Mas, Non Tata sakit?”
“Ambilkan minum aja Mbak, biar Tata saya bawa ke kamarnya”
Jawab Raka meminta pembantu mengambilkan air minum untuk Tata, tapi Tata yang masih terlihat pucat menghentikan langkah pembantunya
“Nggak usah Mbak, ambilkan alat pijat kepalanya mama aja”
Raka menganggukkan kepalanya pada pembantu Tata yang sedikit ragu ragu antara menuruti perintah Raka dan nona mudanya.
Raka membaringkan tubuh Tata diatas kasurnya, gadis itu masih diam seribu bahasa membiarkan Raka melakukan apapun padanya walaupun sebenarnya dia ingin sekali menolak, akan tetapi sakit di kepalanya membuat dia membiarkan apapun yang Raka perbuat untuknya. Tidak lama waktu berselang, pijatan kepala milik nyonya Jasmine sudah ada di genggaman Tata.
Auww baru saja alat itu ia tancapkan di kepalanya, ia meringis kesakitan. Raka merebut alat itu dari tangan Tata dan dengan satu gerakan dia menarik kepala Tata dalam dekapannya mencoba memeriksa keadaan kepala gadis itu. Deg deg deg suara degup jantung Raka terdengar di kuping Tata, tanpa sadar gadis itu memejamkan matanya menikmati setiap degupan yang sanggup ia dengar.
Eemmh..ssst…. Tata berdesis saat tangan Raka menyentuh luka kecil yang ada dikapalanya.
“Hmmm… lo mikir apaan si Ta sampe itu pelepah segede gamban ga terlihat”
“Ya mana gue tahu…. Aaauw hati hati Mas, sakit nih ah!!”
Dalam hati Tata sedikit mengomel ‘hmm andai lo tahu apa yang gue lihat’ dia menyingkirkan tangan Raka dari kepalanya sedikit kasar dengan muka yang tak lagi ramah, tapi sekali lagi Raka menepis tangan Tata dan kembali menyentuh kepala gadis keras kepala itu tanpa keraguan. Saat menemukan apa yang ia cari, Raka tersenyum jahil melihat Tata yang masih memasang wajah cemberutnya dan dengan keisengan dia menyentuh luka kecil yang ada di kepala Tata dengan sengaja
Aawww… Tata reflek menjauhkan kepalanya dari dekapan Raka dan mengibaskan tangan Raka untuk tidak lagi memegang kepalanya.
“Hmmm… Manja!!”
“Maksud Lo?!”
Tata tersulut dengan olokan Raka yang sengaja ia lontarkan untuk menggoda gadis itu.
“Diam disana, gue ambil kotak obat dulu. Ada luka dikepala lo”
“Serius?? Berdarah nggak?”
Tata mulai panik mendengar ada luka tersisa dari tragedy yang ia alami, dalam pikirannya kini cuma satu ‘apakah luka ini akan membuatnya memiliki satu pitakan di kepala’. Tata mengdengus kesal dengan wajah hawatirnya mencoba bangun dari tempat tidur dan berniat mendekati meja rias yang tidak jauh dari ranjang. Sedikit terhuyun karena pusing yang masih ia rasakan, Tata berhasil duduk di depan kaca, namun luka yang letaknya sulit ia jangkau dengan kaca membuatnya menyerah pasrah meletakkan kepala telungkup bertopang dua lengannya diatas meja rias sampai akhirnya Raka masuk dengan kotak obat. Raka tersenyum, ia seakan sanggup membaca apa yang Tata pikirkan. Plok dengan sengaja ia menaruh kotak obat tepat di sebelah kepala Tata sehingga gadis itu sedikit kaget mengangkat kepalanya, tapi Raka justru meneruskan langkah menuju kamar mandi dan keluar dengan sedikit air dalam gayung
“Ih… buat apaan?”
Tata melongo melihat Raka dengan gayung air ditangannya
“Bersihin luka lo lah”
“Kok pake air sih…. Revanol Mas!!!”
Tata sedikit berteriak protes dan membuka kotak obat yang ada di hadapannya
“Ada nggak??? Kalau memang ada, nggak perlu lo kasih tahu gue juga paham Ta”
“Hmmm sial banget sih gue…. Mama kemana juga nggak pulang pulang, anaknya lagi kena musibah juga!”
Tata sedikit merengek menyesali apa yang sudah ia alami sore ini.
“Udah sini, jangan ngeluh lagi”
“Bentar deh….. lukanya nggak gede kan? Kepala gue nggak akan pitak kan?”
Raka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Tata yang sesuai dengan pikirannya.. tangannya cekatan membersihkan luka Tata dan membubuhkan antiseptic tanpa perduli dengan rintihan Tata menahan perih. Dari cermin Raka bisa melihat wajah Tata yang gusar memikirkan luka di kepalanya, beberapa kali ia mencoba menyentuh luka itu untuk memastikan seberapa besar ukuran luka yang sudah menghiasi mahkotanya. Dengan satu tangan menopang dagu dan tangan lainnya yang tidak henti meraba luka, wajah Tata begitu jelas terlihat hawatir. Ya, rambut adalah salah satu asset yang ia miliki untuk tampil diberbagai media dan alasan yang sama pula telah membuatnya menjadi model kepercayaan perusahaan sang papa selama ia berkarir.
“Tidak ada yang akan merubah kecantikan kamu, semuanya masih sama. Nggak akan meninggalkan bekas luka. Jadi jangan terlalu hawatir. Kamu masih menjadi yang paling cantik”
Deg Tata terpaku, ia seakan berhenti bernafas. Secara tiba tiba Raka mendekapnya dari belakang membisikkan kata tanpa ia duga sebelumnya, selama yang ia kenal Raka adalah sosok dingin nan menyebalkan dengan kata kata super nyelekit saat ia mengkritik apapun yang menurutnya salah. Tata masih tidak percaya dengan apa yang Raka lakukan padanya, dari cermin ia bisa melihat senyum yang Raka miliki begitu tulus, dekapannya juga terasa sangat hangat. Usapan di kepala dan kecupan yang Raka berikan di kepalanya seperti sebuah mimpi bagi Tata
Wake up, Ta….. lo berhalusinasi, apakah rasa pusing di kepala lo udah sebegitu dasyatnya hingga lo nggak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan halusinasi?’
Ah…. Tata kembali tersentak, tangan Raka yang erat memegang bahunya membantu Tata kembali berbaring diatas kasur
“Lo masih pusing kan, istirahat aja ya”
Lo??.... ah seperti benar gue berhalusinasi, nggak mungkin mas Raka memakai kata kamu untuk bicara sama gue. Sejak kapan?’
Tata menggelengkan kepalanya membuang segala kebingungan yang ia miliki, tapi rasa pusing membuatnya berdesis dan membuat Raka yang telah memegang remot tivi menyandarkan punggungnya di sofa tidak jauh dari Tata menoleh mengangkat alis
“Nggak, nggak apa apa kok Mas… hanya pusing aja dikit”
“Makanya lo pake tidur gih.. gue akan tetap disini sambil nunggu Al. kalau lo butuh apa apa, bilang aja”
Tata mengangguk menuruti perkataan Raka tanpa memprotes lagi, tapi tatapan matanya masih tidak bisa beralih dari sosok pria yang kini sangat ia benci itu. Rasa pusing yang ada teralihkan pada rasa tidak percaya yang kini memenuhi otaknya. Bukan itu yang ia cari selama ini, segala kemarahan yang ia simpan buat Raka memang telah menemukan sedikit amunisi, akan tetapi sikap Raka membuatnya tidak sanggup untuk menembakkan semua amunisi yang ia miliki walaupun sekadar untuk meringankan rasa kesalnya. Kantuk pun tak juga menyapa, detik jam yang ada di dinding terasa melambat dalam pikirannya. Keinginan untuk tidak menambah kebingungannya tak juga datang karena Zaldy seakan tidak ada harapan akan segera menjemput kakaknya pergi dari hadapan Tata.
“Jangan lihat gue terus, kalau mau ngomong. Ngomong aja”
Tiba tiba Raka bersuara tanpa menoleh ke arah Tata. Gadis itu untuk kesekian kalinya seakan di skakmat, ia membalikkan badannya membelakangi Raka dan menarik selimutnya rapat rapat menutup seluruh badan mungilnya dan hanya menyisakan kepala yang kini semakin dipusingkan oleh keadaan.
“Lo kalau mau ngomong nggak usah ditahan. Ngomong aja, gue dengerin kok”
“Nggak ada… Mas Raka kalau mau pulang, pulang aja. Tata udah nggak apa apa kok”
“Lo ngusir?”
“Nggak…. Tata mau istirahat aja, pusing”
“Yakin nggak ada yang mau disampaiin? Kalau beneran yakin, gue mau turun nih. Gue tunggu Al di bawah aja biar lo bisa istirahat”
Tat terdiam, dia nggak bersuara lagi. Terdengar olehnya suara langkah Raka yang kini mungkin benar tengah bersiap untuk meninggalkannya sendiri.
“Ini… ati ati tumpah, biar lo nggak susah ngambilnya, gue deketin disini….. tapi lo hati hati jangan sampai menendangnya”
Raka menaruh gelas minum Tata di meja kecil tepat disisi ranjang..
Srek srek….  Ia melangkah menuju pintu hendak meninggalkan Tata yang pura pura memejamkan matanya
“Mas Raka munafik”
Raka menghentikan langkahnya beberapa centi dari pintu, ia membalikkan badan melihat Tata yang masih memejamkan matanya. Raka mencoba menalar maksud kata munafik yang Tata lontarkan padanya, namun ia tidak menemukan konteks yang pas dari kata itu mengingat apa yang ia lakukan untuk Tata sore ini
“Maksud lo??”
“Mas Raka pikir aja sendiri…. Tata bilang sekalipun juga nggak akan ada pengaruhnya karena Mas Raka nggak pernah merasa dan tidak pernah menganggap itu sebagai suatu kesalahan”
Raka kembali mendekati ranjang Tata, tetapi gadis itu kembali membalikkan badannya membelakangi dan masih dengan mata yang ia pertahankan untuk terpejam
“Gue tahu Ta, lo marah sama gue selama ini, Lo diem saat ada gue dan lo menghindar setiap ada gue…. Tapi jujur, gue nggak ngerti kenapa lo seperti itu sama gue”
“Karena Mas Raka memang munafik dan satu lagi egois”
“Munafik??? Apa maksud lo…. Kalau gue munafik dan egois, gue nggak akan nolong lo ya”
Tata menegakkan badannya terduduk bersandar pada badan ranjang, matanya memerah menahan emosi
“Lo kalau mau ngomong, ngomong yang jelas. Jangan setengah setengah…. Sudahi sifat manja dan kekanakan lo itu. Kita selesaikan”
“Gue bukan piala bergilir seperti yang Mas Raka katakan. Gue masih punya otak untuk menjaga harga diri”
Prak seperti satu hantaman keras tepat mengenai kepala Raka, bulir bening yang keluar dari sudut mata Tata dan coba disembunyikan oleh gadis itu menyayat hatinya. Ia baru menyadari alasan kemarahan Tata padanya, selama ini ia banyak mendengar dari Zaldy tentang kebiasaan Tata yang dengan mudah memutuskan dan dekat dengan cowok serta beberapa kali melihat gadis itu memperkenalkan seseorang sebagai kekasihnya memang membuatnya sedikit terusik tanpa alasan jelas sampai sore itu dia menegur secara langsung pada Tata saat secara kebetulan dia berada di rumah Tata ketika dengan tiba tiba gadis cantik itu pulang membawa sesosok pria baru dalam hidupnya dan diperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Secara langsung, Tata tidak pernah menyebut cowok cowok yang ia perkenalkan kepada orang tuanya sebagai kekasih dan itupun sudah pernah Zaldy jelaskan pada Raka bahwa gadis itu tidak pernah mengakui siapapun yang dekat dengannya sebagai kekasihnya akan tetapi ia akan menjaga jarak dengan siapapun selama ia dekat dengan seseorang. Alasan lainnya yang Raka temukan dari sikap Tata itu tidak pernah ia mengerti, tapi baginya kebiasaan Tata yang dengan mudah melepaskan seseorang dan berpindah ke orang baru bukanlah sesuatu yang dapat ia terima sebagai hal yang wajar. Bagaimanapun hubungan antara seorang laki laki dan wanita diusia mereka bukanlah hubungan yang hanya cukup dengan bergandeng tangan sebagai wujud sebuah kedekatan apalagi di Ibu kota dan kalangan model yang Tata tekuni selama ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa menerima semua itu dan sangat terusik setiap kali Tata menjalin hubungan baru.
‘Jangan bersikap murah seperti piala bergilir memamerkan kemesraan luar biasa dihadapan umum. Itu bukan sesuatu yang membanggakan, tetapi memalukan bagaimanapun rupa cantik yang kamu miliki pada akhirnya akan tidak ada harganya jika sikapmu seperti itu’
Raka berdiri mematung melihat Tata yang terus membuang wajahnya tak ingin terlihat lemah dihadapan Raka. Bibirnya terkatup dan matanya memerah dengan sudut yang basah. Kata kata yang ia ucapkan pada sore itu secara jelas terus terngiang ditelinganya dan kini terdengar begitu kejam menyayat, ia benar benar tidak menduga kata sekejam itu pernah ia lontarkan tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
“Ta…..”
“Apa bedanya Mas Raka sama Tata?? Apakah sikap Tata itu terlalu murahan??”
Tata memotong apa yang hendak Raka katakana, gadis itu seakan tidak memberinya ruang membela diri
“Gue melakukannya hanya dihadapan keluarga dan orang yang gue kenal, tidak ditempat umum. Mas Raka, apa???”
“Gue….. itu Irene, Ta dan gue…..”
“Kenapa??? Kalau dia mbak Irena apakah itu berbeda? Karena Mas Raka hanya bersikap seperti itu sama mbak Irene dan itu membanggakan gitu??? Mas Raka pernah tahu nggak alasan kenapa gue putus dengan si A, si B dan mereka yang pernah dekat dengan Tata sebelum Hendra… nggak kan???”
“Tapi gue dan Irene nggak…..”
“Nggak mesra??? Bergelendotan di tempat umum dan dilihat oleh banyak mata asing yang tidak tahu hubungan kalian itu sah sah saja???. Lantas apa bedanya dengan gue??? Gue cuma memperlakukan mereka layaknya orang yang special buat gue… gue nggak ciuman sama mereka, gue nggak pamer kemesraan di depan public…. Mas Raka pernah dengar desas desus apa tentang gue sampai bisa mengatakan hal yang begitu buruknya. Gue kira Mas Raka adalah orang yang dewasa dan bisa melihat segala sesuatu dari sisi kedewasaan tanpa emosi… nyatanya semua hanya ilusi dari penampilan dewasa yang tertangkap mata. Mas Raka nggak mampu berkaca pada diri sendiri sebelum menilai orang lain”
“Ta…. Gue nggak bermaksud mengatakan hal itu sama lo”
“Nggak bermaksud??? Enteng banget Mas…. Apakah menjudge seseorang seperti itu adalah hal biasa buat Mas Raka…. Apakah mas Raka paham bagaimana rasanya sakit hati dinilai buruk seperti itu. Tata tahu dengan pasti kok kalau sikap Tata yang seenaknya dan dingin didunia kerja menjadi bahan taruhan, Tata sadar mereka bermain dengan Tata hanya untuk membuktikan bahwa mereka mampu mendobrak tembok pertahanan Tata. Pada akhirnya mereka sendirilah yang memilih menjauh karena garis itu terlalu kuat untuk mereka lewati. Mas Raka tahu nggak??!!”
Tata sedikit berteriak, kata kata penuh emosi yang sebelumnya ia sampaikan dengan ketengan kini sudah berubah meluap luap. Suaranya parau menahan isak dengan air mata yang terus berderai memborbardir Raka yang hanya terdiam mendengarkan apapun yang ia katakana. Emosi Tata tidak bisa lagi ia bending, tangisnya pecah. Apa yang sudah ia tahan begitu lama kini meluap tanpa ada rem yang menahannya. Tata menangis dalam emosi memburu nafasnya, Raka mendekati gadis itu dengan tatapan bersalahnya. Tangannya meraih tubuh mungil yang ada dihadapannya. Beberapa kali Tata menepis akan tetapi isak tangis yang penuh dengan emosi itu seakan telah menyedot habis kekuatannya sehingga tak mampu menjauhkan Raka yang kini erat mendekap tubuhnya. Raka menggigit kuat bibirnya merasakan setiap getir dari suara isakan Tata, rasa sesalnya tidak bisa ia lukiskan. Tubuh yang ada didekapannya kini membuatnya merasa gagal menjadi sosok sempurna yang patut dibanggakan dan dikagumi seperti yang selama ini ia yakini. Matanya terpejam mendekap erat Tata yang meluapkan sesak yang menghimpit dadanya selama ini
I’m sorry if I too rude… I just can’t tell it sofly but I never mean to hurt you like this. I’m so sorry’
Penyesalan Raka tak sanggup ia ucapkan, ia hanya membiarkan Tata terus meluapkan emosi yang tumpah dalam isak tangis membasahi dadanya. Ia memahami arti rasa kecewa yang Tata rasakan dan membiarkan gadis itu perlahan tenang, Raka mengecup lembut ujung kepala Tata dengan penuh penyesalan
“Maaf… maafkan gue Ta. Maaf ya”
Tata hanya diam tanpa berucap dan tak bersedia menatap Raka walaupun tangan Raka yang menghapus air matanya mencoba mengarahkan pandangan itu kepadanya.
“Maafkan gue, gue terlalu naïf menilai lo seperti itu.. gue paham jika lo marah atau mungkin tak bisa memaafkan gue. Gue nggak akan membela diri karena gue tahu gue memang salah… maafkan gue ya…. I’m so sorry Ta”
Raka menyodorkan segelas air putih yang ada di meja dekat ranjang Tata berharap gadis itu akan lebih tenang lagi… sekali lagi ia mendekap kepala Tata dalam pelukannya dan mengecup pucuk kepala Tata lalu membiarkan gadis itu memenangkan diri dan emosinya.. ia meninggalkan Tata terbaring dengan mata basah. Tata merasakan batu besar yang ada di dalam dadanya lenyap tanpa sisa, luapan emosi yang ia tumpahkan serasa menyapu bersih segala yang menghimpit dalam hatinya selama ia bertahan dalam sikap diam selama ini. Ia menatap punggung Raka yang perlahan menjauh darinya, segala perlakuan Raka padanya sudah bukan hal yang ia pikirkan… yang ada dikepalanya kini cuma satu…. Lega. Namun hatinya terus berbisik seakan belum bisa memaafkan Raka sepenuhnya
‘I don’t want to forgive you, but I can’t push you to away from me becauce I don’t want to. But…. You so bad to me. Ah Wake me up God’
Tata memejamkan matanya dalam linangan airmata yang ia tidak mengerti lagi artinya, yang ia pahami kini adalah bahwa ia sudah kehilangan alasan untuk sekali lagi marah pada Raka. Apakah ia mampu berdamai dengan Raka?? Tata tidak bisa menjawab itu.. langkah gontai Raka saat meninggalkannya tadi cukup jelas memberikan jawaban bahwa Raka cukup terpukul mengetahui alasan diam yang ia lakukan.

 Dont Miss It:
PLAY GIRL JATUH CINTA : Siluet