Kamis, 28 Juli 2016

PLAY GIRL JATUH CINTA : Mendung di Wajah Tata





PLAY GIRL JATUH CINTA


Part 4. Mendung di Wajah Tata

Tilulit suara tivi dimatikan, gadis dengan wajah masam segera menaiki tangga menuju persembunyiannya. Rumah kembali sepi setelah hanya tersisa penghuni aslinya. Tata berlalu dari orang tuanya tanpa berbasa basi, sementara Pak Darmawan dan isteri meluruskan punggungnya di Sofabed yang ada di ruang tamu. Sedikit melirik ke arah sang putri yang melenggang tanpa suara Pak Darmawan hanya bisa mengangkat alisnya memandang siteri seakan bertanya. Nyonya Jasmine mengangkat bahunya dan menghidupkan kembali layar televisi.
“Mbak, dibersihkan besok saja. Istirahat dulu, udah malam”
Perintah nyonya Jasmine pada pembantunya yang masih mondar mandir membawa peralatan perang yang baru mereka selesaikan
“Iya Bu sebentar lagi”
Jawab sang pembantu sopan.
Nyonya Jasmine meregangkan ototnya, memindah mindah channel mencari hiburan sedikit mengacuhkan pertanyaan suaminya perihal sikap putri semata wayang yang tiba tiba aneh bak roolercoaster hanya dalam hitungan jam. Walau sangat memahami watak sang anak yang moody, tapi kali ini untuk pertama kalinya pemandangan itu lelaki paruh baya itu dapatkan tanpa tahu sebabnya.
“Pa…. pa…. lihat deh, bukannya itu….”
“Apaan sih Ma?”
Sang isteri yang semula tidak menggubrisnya tiba tiba mengagetkan Pak Darmawan sambil mengacungkan telunjuknya ke layar televisi.
“Cepetan Papa, ini keburu habis iklannya…..”
Nyonya Jasmine yang kini sudah merubah posisi rebahannya menjadi terduduk setengah berdiri karena semangatnya melambai lambaikan tangannya meminta Pak Darmawan untuk segera mendekat.
“Apa sih Ma? Sampe segitunya”
“tuh…. Tuh… tuh, lihat baik baik deh Pa, bukannya dia….”
“Beneran nih Ma? Nggak salah si Tata?”
“Lah itu dia, beneran kan Pa, dia yang tadi kan?”
“Iya bener Ma, siapa tadi… indra… eeeeeh siapa sih?”
“Hendra Pa, Mahendra!”
“Iya itu dia…. Pantesan Papa lihat itu anak kok cakep bener”
Keributan kecil di ruang keluarga sedikit mereda, suami istri itu berpandangan seakan mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi setelah iklan yang mereka lihat dengan penuh keantusiasan berlalu.
“Ah Molla…. Anak muda susah ditebak Pa”
“iiiih bahasa Mama kok jadi lebay gini”
Nyonya Jasmine mengangkat pundaknya dan tersenyum kembali merebahkan diri. Pak Darmawan yang sebelumnya memeriksa email dalam ponsel pintarnya kini masih belum beranjak dari tempatnya, duduk di tepi Sofabed tempat isterinya membaringkan diri sambil berfikir. Melihat suaminya melihat televisi tanpa ada komentar ataupun ekspresi, nyonya Jasmine menengok raut wajah suaminya. Dengan melepaskan satu nafas berat dia menepuk pundak sang suami
“Papa, mikir apaan?.... kalau mikir Tata tidak akan ada titik temunya Pa”
“Bukan itunya Ma, si Tata hari ini aneh banget……
Datang dengan cowok, lalu memperlakukan dia tidak seperti biasanya dan tiba tiba mukanya kesel gitu. Nggak ngomong, nggak basa basi langsung mlengos. Apa kita melakukan kesalahan yang membuat dia kecewa”
“tadi dia biasa saja kok Pa, datang dan manja tanpa perduli itu si Hendra merhatiin. Malah mama yang grogi. Tadinya itu mama pikir si Al yang datang, mama lupa kalau itu anak udah molor di kamar Tata karena kecapekan ngintilin mama belanja”
“Kira kira apa ya Ma yang membuat Tata jadi kucel gitu?”
“Nggak tahu, tadi udah mama tanya jawabnya cuma Auh Ah gelap, bodoh… auh ah gelap dan bodoh lagi! Memang tadi sempat mati lampu ya Pa? hahahaha”
Nyonya Jasmine menggoda suaminya yang sedang penasaran pada putrinya.
“Ih Mama ditanyain serius malah ngajak bercanda”
“Siapa yang bercanda, si Tata jawabnya memang gitu kok”
Meski memahami watak sang putri yang moody, tapi perubahan sikap Tata hanya dalam hitungan menit tanpa sebab pasti membuat sang Papa bertanya tanya.
“Udahlah Pa, bukan itu yang penting, tapi yang paling penting adalah si Hendra itu apanya Tata, kenal dimana dan statusnya apa?”
Nyonya Jasmine kembali mengusik penasaran yang ia rasakan mencoba menyeret suaminya untuk ikut memikirkan kemungkinan yang ada di kepalanya. Pak Darmawan kini yang bingung menjawab pertanyaan isterinya
“Seingat mama, yang dekat dengan Tata itu ada si Toni, Bram dan Putra. Menurut Zaldy… Tony sekarang di Ausy. Kalau Bram si Tatanya masih jaga jarak. Putra itu temen Tata saat pemotretan. Dan nama Hendra itu nggak pernah disebut sama Zaldy, Pa”
“Pertanyaan Papa, dari sekian banyak cowok yang dekat dengan anak kita, pacarnya itu yang mana?”
“Tony”
“Lah katanya di Ausy”
“Putus”
Pak Darmawan melotot kaget dengan jawaban ringan isterinya, tapi kemudian tiba tiba dia tertawa lepas sehingga isterinya bingung
“Si Tata itu mewarisi gen emaknya…. Hahahahhaha”
“Maksud papa???!!”
Pak Darmawan membungkam mulutnya merasa telah salah mengucapkan sesuatu
“Mama nggak pernah ya punya banyak cowok macam itu”
“Iya nggak pernah, tapi selalu di kelilingi cowok….. tapi apa Mama nggak hawatir tu sama Tata kalau dia seperti itu”
Nyonya Jasmine menggelengkan kepalanya santai
“Mama percaya sama Tata, toh sejauh ini laporan mbak Martha ataupun Al selalu positif. Dia nggak pernah pulang melewati batas jam malam, nggak pernah dugem, masih ga doyan ngeMall,  nilainya masih oke dan yang terpenting kata Al, si Tata itu punya police line dalam dirinya”
“Police line?? Apaan itu Ma?”
“Ah Papa kepo…. Udah ah mama ngantuk mau tidur. Kalau Papa masih penasaran nanti kita bahas dalam mimpi ya”
Wanita cantik setengah baya itu berdiri dari posisinya dan menyerahkan remote control pada sang suami dengan senyum menggoda sang suami yang masih sedikit dibuat bingung oleh penjelasan yang ia berikan.
---

Malam semakin larut, Tata masih berguling guling di atas kasurnya. Sayup sayup lagu Geisha yang ia putar tidak mampu membawanya masuk dalam alam tidur. Pikirannya masih sedikit terganggu oleh kata kata Raka. Wajah Hendra terus muncul dalam pikirannya, bukan karena ia merindukan pemuda itu, tapi ia merasa terganggu oleh pendapat Raka tentang dirinya dan ia merasa bingung harus bersikap seperti apa pada Hendra. Ia sebenarnya sadar jika selama ini Hendra menunggu jawaban darinya, tapi ia selalu menghindar. Tata merasa dirinya tidak melakukan kesalahan apapun yang membuat dirinya dilarang untuk dekat dengan Hendra. Kini dia bukan lagi pacar seseorang yang mengharuskannya menolak seorang cowok yang berkeinginan mendekatinya.
‘gue bebas mau dekat dengan siapapun, status gue juga bukan pacar cowok manapun. Jomblo…. Ya, gue jomblo…. Gue nggak salah kok, kenapa gue jadi sepusing ini? Apa gue salah kalau harus memberikan kesempatan sama Hendra. Don’t look something by the cover’
“Huft…. Haaaah bodoh ah”
Tata melepaskan kekesalannya dalam hembusan nafas berat dan dengan cepat ia menutup seluruh badannya dengan Bed Cover berharap hari segera berganti dan membawa pergi segala kekesalan yang ada di hatinya. Belum berhasil, hanya dalam hitungan detik makhluk ajaib itu terbangun kembali dan terduduk di ranjangnya. Kini mata indahnya yang mulai memerah karena lelah itu terpaku pada satu titik, iphone. Ponsel pintar yang tergeletak di meja sisi ranjangnya itu diam membisu. Sudah semingguan ini ponsel yang ia pegang jadi sedikit pendiam

‘Apa itu sumber masalahnya? Kalau memang itu, kenapa dia yang protes dan bukan si Al. toh ini bukan pertama kalinya. Apa Al ngeluh ya? Kalau ngeluh harusnya dia bilang saat mengirim kembali pesan pesan buat gue’

Ia terus bermain dengan pikirannya sementara matanya tidak lepas dari benda canggih itu. Belum menemukan jawaban dari apa yang ia pikirkan, ia mengambil benda itu lalu berjalan menuju meja belajarnya (tentunya bukan untuk belajar dong). Ia menoleh pada jam dinding yang berdetak di dinding kamar, ‘belum terlalu malam’ pikirnya.

Sent to me:
‘Lo udah molor belum?’ 

Tik tok tik tok, jemari Tata bermain di atas meja menunggu jawaban. Kling satu pesan masuk dan segera ia buka

From Me:
‘Kalau udah molor artinya gue ga bisa balas pesen lo kan?’

To Me :
‘Lo bakik ke rumah gue ya, gue tunggu cepetan!!’

From Me :
‘lo jangan gila Ta, gue baru masuk rumah nih?’

To Me :
‘Buruan gue tunggu di depan, ga pake lama’

Tata tidak lagi menunggu jawaban dari Zaldy, dia turun dari ranjangnya dan menyamber Cadigan yang ada di sandaran kursi belajarnya dan berhambur keluar kamar. 
Menuruni tangga tampak ada sang Mama yang sedang megambil air minum di dapur, langkah kakinya hati hati berharap mama tidak akan menengok ke belakang
“Mau kemana Ta?”
Harapan Tata sia sia, ia yang sedang males untuk berdebat kini mau tidak mau harus menjawab pertanyaan mamanya
“Ke depan Ma sebentar”
Sang Mama melongok ke arah jam dinding yang ada di ruang tamu, masih dengan membawa gelas di tangan, nyonya Jasmine melangkah mendekati Tata, tapi Tata lebih cepat mengjndar sehingga pembicaraan tidak dapat dilakukan dengan benar
“Ta…. Udah malam sayang”
“Cuma ke teras kok Ma, bentar doang… Tata sesak dalam kamar”
sesak’ kening Nyonya Jasmine berkerut, kebiasaan Tata adalah mengurung diri dalam kamar dan membuat kegaduhan dari sana tanpa pernah mengijinkan orang lain masuk mencampuri. Rasanya kata sesak bukanlah kata yang tepat menggambarkan keadaan suasana hati putrinya kini, namun wanita itu tidak banyak berkomentar melarang
“Jangan terlalu lama, udah hampir tengah malam Ta”
Tata melenggang tanpa suara keluar rumah.


---
Zaldy meletakkan kembali potongan apel yang baru ia ambil dari dalam lemari es bersiap meluncur ke rumah Tata sesuai dengan apa yang Tata inginkan, entahlah apapun kata Tata meskipun ia enggan menggerakkan badan tapi ia masih tetap bergegas walaupun ada omelan kecil tak jelas di dengarkan keluar dari mulutnya.
“Mas, pergi bentar”
Pamitnya pada Raka yang juga masih terjaga di ruang keluarga menikmati tayangan televisi.
“Kemana, dugem?!”
“Sejak kapaaaan???!”
Raka mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah jam tangan yang ia kenakan tanpa bersuara
“Jangan kolot deh Mas, kayak perawan aja”
“Al…..”
“Iya iya…. Ini majikan manggil. Bentar doang kok Mas, selesai juga langsung balik”
“Tata?”
Raka berdiri dari duduknya lalu melangkah mendekati Zaldy. Kunci motor yang ada di genggaman Al ia ambil dengan cepat membuat Zaldy keheranan. Dia paham watak kakaknya yang tegas, tapi dia tidak pernah melarangnya pergi sejauh ini asalkan alasannya memang masuk akal, apalagi untuk alasan Tata. Ini adalah larangan pertama yang ia terima. Al tidak berani membantah, ia pikir apa yang Tata inginkan memang sedikit tidak masuk akal
“Jangan buat gadis egois itu makin egois dengan terus menuruti kemauannya, tidur sana”
Zaldy melangkah dengan mengangkat bahunya, ia sadar posisinya kini akan menjadi sasaran empuk bagi amarah kedua belah pihak. Amarah Tata ataupun kakaknya, Raka.
“Al, nggak mau ribut ya Mas… ini, pasti dia akan terus neror Al”
Al meletakkan Handphone nya diatas meja, Raka hanya diam tak menimpali. Ia meletakkan kembali kunci motor yang ia ambil dari sang adik dan kemudian kembali ke posisinya di depan tivi.
Sedikit terganggu oleh pikirannya sendiri, Raka mengambil HP Zaldy yang tergeletak diatas meja. Ia membuka pesan yang ada di sana. Dengan menopang dagunya ia berfikir gadis itu kini sedang menunggu kedatangan Zaldy. Raka ragu tapi kemudian dia menulis pesan pada Tata
‘Zaldy nggak akan datang, nggak usah ditunggu dan tidurlah. Udah malam’
Lama menunggu balasan, Raka sedikit cemas menduga Tata tidak membawa ponselnya dan masih menunggu di depan rumah
‘Belajarlah untuk menahan diri, dewasa’
‘OKAY!!!’
Jawaban singkat itu cukup membuat Raka bernafas lega, ia tahu bagaimana ekspresi gadis itu saat menjawab pesan yang ia kirimkan. Senyum penuh ketenangan mengembang di bibirnya, kini ia bisa menghabiskan waktunya dengan tenang hingga kantuk benar benar datang menyapanya.

Malam semakin larut, suasana rumah juga terasa sangatlah lengang. Raka belum bisa memejamkan matanya, raganya yang terlalu capek membuatnya susah tidur. Banyak hal yang ia upayakan untuk bisa benar benar mengistirahatkan ragawinya, mulai dari membaca, mendengarkan music sampai mengisi perutnya, semuanya gagal. Ia masih tetap terjaga hingga dini hari tiba. Dalam kegelisahan tiba tiba HP Zaldy (handphone Tata) yang ia bawa bersuara, suara HP yang berisik membuatnya cepat bergerak untuk membuatnya diam, tapi belum lagi panggilan itu terjawab olehnya HP kembali diam. Keadaan ini berlangsung beberapa kali hingga membuat dia sedikit emosi. Ia menyandarkan dirinya di tepi rangjang dan menghidupkan kembali lampu kamar karena ia penasaran dengan si usil yang menghubungi nomor gadis itu di jam jam tidak wajar. ‘X’ hanya itu yang dapat menjelaskan rasa penasaran Raka.
Kling satu pesan masuk saat Raka mencoba tidak memusingkan tentang siapa X, ia membuka pesan itu tanpa berpikir panjang.
‘Jangan sok cantik hanya karena dia mengejar lo, gue tidak akan pernah diam’
Pesan singkat itu sangat aneh, rasa penasaran Raka membuatnya membuka riwayat pesan dari nomor aneh itu, rupanya sudah banyak pesan pesan senada yang dikirimkan oleh nomor itu di jam jam dini hari.

‘Jika memang gue tidak lebih cantik dari pada Lo, so kenapa lo pusing dengan keberadaan gue. Gue nggak kenal cowok yang lo maksud. Gue nggak pernah minta cowok lo untuk suka sama gue. Jika lo memang mencintai dia, kenapa lo nggak percaya sama dia. Lebih tepat jika lo tanya cowok lo dari pada neror gue. Kenal juga nggak. Cinta itu bukan mengendalikan dan menguasi tapi mengerti dan percaya. Dan lo perlu catet dengan garis besar di hati lo, Violetta nggak butuh tukang selingkuh! bilang itu sama cowok lo jika memang dia suka ma gue seperti yang lo bilang dan hawatirin itu’

‘Orang yang tidak cantik ini mau tidur. So, good night’

Raka tersenyum, dari sekian deretan pesan yang masuk rupanya hanya ada tiga balasan yang diberikan, dia tahu kecuekan Tata. Begitu banyak cacian dan makian yang dilontarkan rupanya dia hanya mengabaikan tanpa balas. Satu balasan panjang ia berikan dan satu balasan pendek sudah cukup dan satu balasan yang kasar dengan kata kata yang ia pikir itu adalah kerjaan adiknya

‘Lo nggak lihat jam berapa sekarang, Lo bangsa kunti ya? Sono nyari sate biar bisa masuk kubur lagi’

Dari pesan pesan itu Raka cukup penasaran dengan seseorang yang disebut sebagai Bintang lapangan, siapa dia kenapa tidak dijelaskan secara detail. Apakah sang peneror hanya mencari celah untuk bisa dekat dengan Tata, ataukah dia seseorang yang tidak ingin jati dirinya terungkap, lalu apa tujuannya meneror Tata jika dia tidak ingin di ketahui. Shutdown akhirnya pilihan itu yang Raka ambil untuk menjamin ketengan jam istirahatnya, ia tidak terlalu memusingkan isi ponsel Tata, ia sangat mengenal siapa Tata. Beberapa nama cowok berjajar dalam id line yang masuk, tapi sedikitpun tidak mengusik rasa keingin tahuannya. Ia matikan kembali lampu kamarnya dan mencoba untuk memejamkan mata, yang ia butuhkan bukanlah jawaban atas rasa penasarannya melainkan istirahat.
---

Masih cukup pagi untuk memulai hari, embun yang menempel pada dedaunan juga belum terkikis. Tata mematikan mesin mobilnya dan dengan langkah cepat memasuki rumah bercat putih itu dengan wajah cemberut. Matanya masih sedikit sembab karena kurang tidur, tanpa banyak kata Tata langsung naik ke lantai dua. Kesan pertama yang Tata dapatkan di rumah itu adalah sepi. Di ruang Keluarga Tata sempat menyapa Pak Arifin namun dia tidak sempat berbasa basi walau hanya menjawab pertanyaan pria paruh baya itu. Ia hanya menggeleng dan mengangguk saja lantas meninggalkannya dalam rasa bingung. Kamar itu masih tertutup rapat yang menandakan pemiliknya belum memulai aktivitas, Tata menarik nafas dalam
Tok tok tok
“Aaaaaal..... bangun woi, bukain pintunya!!”
Suaranya cukup kencang hingga bisa terdengar oleh nyonya Martha yang ada di dapur. Wanita itu menggeleng dengan mulutnya yang berdecak tidak habis fikir dengan segala kejutan yang selalu Tata bawa tiap kali bertandang ke kediaman keluarganya, namun ia membiarkan.
“Zaldy...... bukain!!”
Tidak ada sahutan, wajah Tata mulai memerah menahan emosi yang ia pendam. Gadis itu membalikkan badan. Tepat di sebelah kamar Zaldy adalah kamar Raka. Tata menggelengkan kepalanya kencang lalu kembali mengetuk pintu kamar Zaldy
“Aaaaaal.... ini Tata, bukain buruaaan!!!”
Tata benar benar tidak memperdulikan dimana ia saat ini, rumah keluarga Arifin sudah seperti rumahnya sendiri. Hampir 90% waktu yang ia miliki dihabiskan disana, segala bentuk rasa sungkan dan canggung tidak ia miliki lagi. Bukan keluarga namun inilah rumah pertamanya. Tata medengus kesal, tidak ada tanda tanda kehidupan dari dalam kamar. Ia kembali menuruni tangga.
“Tante, Zaldy kemana?”
Dengan nada manja menahan air mata ia merengek pada nyonya Martha
“Aduh aduh ada apa ini..... sayang kok nangis? Tengkar sama Zaldy”
Tata menggeleng, namun ia enggan untuk memberikan penjelasan.
“Buka aja pintunya, pasti nggak dikunci kok. Al jarang kunci pintu kamar”
“Nggak bisa, pintunya dikunciiii!”
Rengeknya lagi dengan suara parau
“Ada apaan sih Ta, pintu kamar Al kebuka kok”
Belum sempet nyonya Martha menenangkan Tata, Raka dengan handuk kecilnya muncul penuh keheranan. Keringat yang menetes dipelipis dan ujung rambutnya seakan tiba tiba mengering melihat wajah Tata yang muram, ia mengangkat alisnya dan berpandangan dengan sang Mama namun nyonya Martha juga tidak bisa memberikan jawaban penyebab sikap dan ekspresi Tata pagi ini. Tata bergegas naik kembali menuju kamar Zaldy tanpa merespon pertanyaan Raka bahkan melirik ke arah Raka seakan enggan untuk ia lakukan
“Memang Zaldy belum bangun Ka”
Tanya nyonya Martha pada putra sulungnya sambil melanjutkan kembali rutinitas paginya
“Udah kok Ma”
jawab Raka singkat sambil mengambil satu jajanan yang tersedia di atas piring, ia cuek mengacuhkan kembali keanehan Tata dan mulai membaca koran pagi sambil mengunyah makanannya di meja makan.
“Pintunya di kunci?”
“Nggak juga, Raka buka bisa kok. Si Al lagi mandi kali”
Jawabnya lagi.
“Udah Ma, Tata lagi nggak fokus saja jadinya aneh gitu. Bentar lagi juga ceria”
“Aneh aja Ka, nggak biasanya dia seperti itu. Seburuk apapun suasana hatinya, dia nggak pernah nangis lo Ka?”
“Nangis??”
Raka meletakkan koran yang ia pegang dan menatap sang mama, nyonya Martha mengangguk namun kemudian mengangkat bahunya
‘apakah karena.......’
“Mas, HP Tata mana??”
Belum sempat Raka memikirkan pemicu kekesalan Tata, Zaldy muncul bertelanjang dada dan suara yang sedikit gusar
“Di Kamar”
“Kacau tuh cewek”
Zaldy mengacak rambutnya yang basah dengan gelengan kepala
“Apa?”
Spontan tanya Raka singkat, tapi tanpa memberikan jawaban apapun Zaldy segera berlari meninggalkan Mama dan kakaknya yang masih bertanya tanya menuju kamar sang kakak. Raka menggeser kursinya sededar ingin memudahkan badannya untuk melihat situasi macam apa yang kini ada di rumahnya, ada apa dengan Tata?

Masih dengan wajah tak bercahaya, Tata mendekati meja makan. Raka yang masih membisu membaca situasi, Nyonya Martha yang sibuk dengan peralatan dapurnya sejenak terbengong
“Tata pamit Tan”
Tata mencium pipi wanita paruh baya itu lalu berjalan ke ruang keluaga dan melakukan hal yang sama pada Pak Arifin. Semua ia lalukan tanpa ekspresi sama sekali bahkan dia melewati Raka begitu saja seakan pemuda itu tidak nampak disana. Tata menghilang dibalik pintu dan hanya meninggalkan derungan mesin mobilnya dengan sejuta tanda tanya yang ada di benak keluarga Arifin. 

Dont Miss it :
Part 3 : PLAY GIRL JATUH CINTA :  Amazing

Jumat, 22 Juli 2016

PLAY GIRL JATUH CINTA : Amazing



PLAY GIRL JATUH CINTA
Part 3. Amazing

Dan lelahpun akhirnya membawa Tata pada kata menyerah, tanpa harus menunggu lokasi yang tepat gadis itu terlelap. Semilir angin sore itu cukup menyegarkan dan semakin membawa Tata jauh masuk ke alam tidurnya dalam situasi dan kondisi jauh dari kata layak (Pelor). Tidak seperti biasanya yang selalu menempel seperti badan dan bayangan dengan Zaldy, kali ini Tata seharian tak mencari cowok itu. Earphone yang menempel di telinganya dibiarkan tetap menyala sementara badannya yang kecil ia sandarkan pada post satpam kampusnya menunggu jemputan, tapi tubuh lelahnya tidak membiarkan matanya terus terjaga.
“Wooooiii... ngapain Lo masih disini?”
Satu senggolan ringan hampir menjatuhkan Tata dari posisinya, ia tergagap namun kemudian ia pun kembali memejamkan matanya ketika tahu siapa yang tengah berusaha mengacaukan alam mimpinya
“Lo nggak pulang?”
“Menurut Lo?”
Jawabnya masih dengan mata terpejam dan suara malasnya menyandarkan diri pada pundak sang pengganggu
“ngapain Lo disini, Nunggu si Al?”
“Enggak”
“terus?”
“gue ngantuk dan butuh tempat buat istirahat. Lo diem dulu ya”
“Gile aja Lo tidur di post satpam!, diparkiran kan bisa Ta... segitu ngantuknya ya Lo?”
“Ckckck cerewet amat si Lo, Ren. Kalau gue bawa mobil nggak bakal gue ada disini. Masih mending di post satpam bukannya di trotoar depan sono”
Renita nyengir menerima jitakan Tata yang akhirnya harus membuka mata karena pertanyaan yang terus keluar dari mulutnya begitupun dengan dua orang satpam yang ada di dalam post, mendengar dan melihat gurauan dua mahasiswa cantik itu mereka hanya senyum senyum, antara mengerti dan geli. Tata melihat layar ponselnya dan mematikan musik yang ia mainkan, menarik kabel earphone yang menamcap di telinganya kasar lalu ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya
“Lo nunggu siapa si Ta? bareng gue aja yuk, mumpung Lo nggak bawa mobil, kita jalan jalan dulu bareng Salsa”
“Aneh!” jawabnya singkat sambil sibuk memasukkan earphone dalam saku tas ransel yang ia bawa.
“Hah? Kok aneh... ya kan memang biasanya kita jalan bareng”
“bukan itunya, ngajak jalan itu pas gue bawa mobil, enak nggak usah panas panasan”
Emang Lo hapal jalan? kagak asyik kalau harus ngajak Al.... aish apaan paling dia ntar bikin ribet”
Mendengar jawaban Renita, Tata hanya bisa menyeringai karena katidaksabarannya menghadapi lalu lintas ibu kota yang selalu membuatnya mencari jalan tikus dan membawanya berputar putar tak karuan karena kesasar. Sama halnya kini, kesabarannya untuk menahan kantuk disela menunggu jemputan membuatnya kembali menyandarkan kepalanya. Belum lagi sempat memasuki alam tidur dengan benar, tubuhnya diguncang guncangkan kembali oleh tangan Renita
“Ta.... Ta buka mata Lo”
“Haduuuh ada apaan lagi sih?” Tata tak bersemangat dan tetap tak menggubris
“Lo udah nggak penasaran sama anak Bang haji ya?”
“Huft... maksud lo apaan?”
“buka mata Lo kenapa sih, pelor amat!”
Renita sedikit berbisik dengan nada yang keras menepuk pundak Tata
“lagian apa hubungannya gue ngantuk sama anak pak haji itu!!”
Tata sedikit mendorong pundak Renita karena mulai kesal rasa kantuknya tak terobati, bibirnya mengerucut dan enggan menanggapi, tapi tangan Renita terus menarik kemeja Tata yang tengah berusaha mencari tempat bersandar yang nyaman untuk kepalanya sehingga membuat gadis itu mendengus kesal
“Haaaah ada apaan sih, udah ambil sendiri aja, info lo soal anak Bang Haji nggak akurat, cari info lagi sana”
“aduuuuh nih anak, noh noh noh buka mata lo cepetaaaan keburu dia nyebrang”
Tata masih tidak bersemangat menanggapi kehebohan Renita, ia tahu itu hanya akal akalan Renita untuk memaksanya terjaga, ia tahu dengan pasti Renita tidak akan seheboh itu jika obyek yang mereka bicarakan ada di depan mata. Cewek dengan gengsi yang tinggi itu tidak akan rela imagenya hancur berantakan hanya karena targetnya ada dalam jangkauan dan ia justru akan memasang harga yang tinggi untuk menaikkan standar nilai yang ia miliki
“ckckckckckck Ta, gue pinjam raga Lo bentar bisa ga ya”
Suara yang berbeda membuat Tata seketika membuka matanya, bukan karena penasaran pada sumber kehebohan yang terus Renita sebut sebagai anak pak haji melainkan pada suara Renita yang tiba tiba berubah di telinganya, Salsa yang kini sudah bergabung dengan kedua sahabatnya itu memegang pundak Tata dengan pandangan jauh ke seberang jalan. Tata mendengus sedikit kesal dengan pemandangan yang sama sekali nggak asyik baginya, dia tahu hal yang membuat kedua sahabatnya bisa bersikap aneh tidak akan jauh dari cowok asing nan cakep ala model atau eksekutif muda keren nan menggoda iman yang layak dijadikan target.
“Aish… God susah bener hidup nyaman di dunia ini”
gerutu Tata sembari membenarkan posisinya dan dnegan santai menengok ke arah yang di maksudkan oleh dua wanita muda yang kini hanya bisa membelalakkan matanya sambil terus memasang senyum terbaik yang mereka miliki ke arah seberang jalan. Seorang cowok dengan perawakan tegap berkulit putih dan rambut legamnya setengah ikal ada di hadapan mereka. Cowok dengan setelan jeans dan kaos oblong ketat berwarna putih lengkap dengan kaca mata hitamnya tengah sibuk menyeberangi jalan, senyum mengembang diwajah gantengnya. Lambaian tangan cowok itu seakan mengarah pada mereka sontak membuat Renita dan Salsa melongo tak percaya, keduanya celingukan ingin meyakinkan diri bahwasannya ke GR an yang mereka rasakan tidaklah salah. Tata yang masih dengan santainya merapikan tas yang ia bawa tersenyum dengan menggigit bibirnya, Salsa mengernyitkan dahi menangkap wajah aneh Tata yang membelakangi mereka
“Ta, lo nggak lagi main kucing kucingan sama kita kan?”
“hmm?”
“Jangan pura pura bego, jangan bilang itu cowok yang akan jemput lo!” Renita menimpali dengan nada penuh kecurigaan
“tunggu tunggu tunggu…. Bukannya Lo lagi penasaran sama anak bang Haji ya?...... terus cowok itu siapa?”
Salsa yang masih belum bisa menangkap maksud kecurigaan Renita dengan polos menyela
“Cowok baru Lo???”
Belum lagi pertanyaan pertanyaan itu terjawab oleh Tata, cowok yang menjadi sumber kegaduhan wanita muda itu datang menghampiri ketiganya
“Hai, sorry agak telat”
Suara dengan timbre sedikit berat menyapa, ia melepaskan kaca mata hitam yang ia kenakan dengan menebar senyum ramah. Salsa dan Renita terdiam tidak berhenti mengembangkan senyum sambil tangan keduanya menarik narik lengan baju yang Tata kenakan
“haduuuuh…. Kalian kenapa sih? Kenalin ini Hendra”
Hendra melemparkan senyum pada Salsa dan Renita, ia menyodorkan tangannya tanpa kecanggungan sedikitpun. Tanpa melewatkan kesempatan yang ada Renita dan Salsa menyambut uluran tangan itu penuh antusias dan sedikit melupakan Tata yang kini sedikit kesal dengan ulah norak kedua sahabatnya
“Gimana, mau nebeng sama kita, atau kalian mau jalan sendiri?”
Suara Tata membuyarkan imajinasi kedua sahabatnya yang meleleh melihat wajah ganteng bak model yang kini tepat berada dihadapan mereka (lebay)
“tapi tidak ada acara ngeMall ya…” Tata kembali menegaskan
Renita mendengus kesal, belum lagi terjawab rasa penasarannya akan sosok Hendra yang ada dibenaknya, tapi Tata seakan menjauhkan kemungkinan baginya untuk sedikit mengorek informasi tentang cowok yang tiba tiba menjemput Tata itu. Perawakan dan penampilan mulus membuat Renita masih berfikir cowok itu adalah model. Entahlah
---
Kling satu pesan masuk dalam ponsel Hendra, ia menghentikan langkahnya sejenak. Jam yang melingkar di tangan sudah menunjukkan pukul dua siang.
‘Violetta?’ ia masih tidak percaya dengan apa yang ia baca, selama kurang lebih dua bulan ia memburu gadis itu dan kini secara tiba tiba Violetta menghubunginya.
‘Sibuk nggak? kalau nggak ada kegiatan, bisa jemput gue di kampus?’
‘benarkan ini nomornya Mahendra?, ini Tata’
Satu nafas panjang ia hembuskan cepat, ia masih tidak pernah menyangka akhirnya Tata akan menghubunginya. Sekali lagi ia melirik jam di tangan dan menggelengkan kepalanya.
‘sekarang?’
‘ya, gue tunggu ya’
okay, tapi mungkin sedikit terlambat, gue masih di Gym nih
‘Okay, not problem’
Mengurungkan niat untuk melakukan treadmill, ia memutar langkahnya menuju parkiran mobil. Dengan langkah yang sedikit lebar ia sangat bersemangat menuju lokasi dimana Tata berada. Menembus kemacetan, Hendra terus melaju. Rasa kepercayaan dirinya membuncah.
Sampai di depan area kampus, dia menepikan mobilnya. Dari kejauhan ia sudah menangkap keberadaan Tata, gadis itu tengah bersama dua orang teman kampusnya. Sejenak ia terdiam, tangannya memutar mutar ponsel, berniat untuk menelpon Tata tapi ia ragu. Tiba tiba ia teringat pada Zaldy. Walaupun dia tidak mengenal Zaldy secara pribadi, tapi nama itu sudah tidak asing baginya dan dia sangat hafal dengan segala hal yang ada disekitar Tata begitupun dengan Zaldy yang tak ubahnya bagaikan bayangan Tata.
‘seandainya Zaldy ada, Tata nggak mungkin menghubungi gue. Tenang Dra, kesabaran lo menuai hasil. Siapapun Zaldy bagi Tata kini lo yang lebih diinginkan oleh Tata’ Hendra sedikit berusaha menenangkan dirinya. Zaldy tidak terlihat sedikitpun bahkan bayangannya pun tak tertangkap oleh bias sinar mentari siang ini. Mesin dimatikan, tangan Hendra mengambil kaca mata reyban yang ia simpan dalam dashboard, membenarkan tatanan rambutnya lalu melepaskan Seat Belt siap menjemput impiannya. Cuaca masih sangat terang bahkan terasa panas menyengat kulit, lalu lalang lalu lintas sedikit padat di kawasan itu, ia melambaikan tangannya ke arah Tata, tapi sepertinya Tata tidak menyadari lambaian tangannya. Ia terus mendekati gadis itu, sedikit cuek dan membuatnya meragu tapi senyum dari bibir Tata yang sempat ia tangkap membuatnya yakin melangkah mendekat
“Hai, sorry agak telat” sapanya sesantai mungkin menjaga wibawa sambil melepaskan kaca matanya, Anggukan kecil Tata membuat senyumnya menyungging, tapi…..
‘My God… apakah Tata akan membawa dua makhluk ini bersama kami’ dalam senyumnya Hendra sedikit kecewa dengan apa yang ia lihat. Dua orang gadis yang bersama Tata hampir tak berkedip menatap kearahnya dengan tangan keduanya yang terus menarik narik lengan baju Tata
“haduuuuh…. Kalian kenapa sih? Kenalin ini Hendra”
Dengan sedikit kesal Tata yang selesai membereskan ranselnya memperkenalkan Hendra pada sahabatnya, Hendra membatin lirih dalam senyum dan uluran tangannya ramah
‘Jangan kau buat urusan yang belum jelas ini semakin ruwet oleh mereka Ta’
Sedikit kaget oleh sahutan tangan kedua gadis itu Hendra mencoba tenang, dalam hatinya ia berkata bahwa ini adalah tantangan yang harus ia hadapi untuk benar benar bisa memenangkan hati Tata
 “Gimana, mau nebeng sama kita, atau kalian mau jalan sendiri?”
Jedeeer suara Tata membuat Hendra menelan ludah, ia tak percaya kalau untuk pertama kalinya diberikan kesempatan justru ia harus menjadi supir taksi pribadi bagi Tata dan kawan kawannya, sedetik ia memutar matanya melirik Tata dan kembali tersenyum pada dua gadis itu berharap mereka bisa memahami kemauan hati Hendra
 “tapi tidak ada acara ngeMall ya…” dengan penuh penekanan Tata kembali bersuara dan kini Hendra harus terima nasib mengulum senyumnya yang kecut, harapannya untuk bisa mengajak Tata jalan sebelum mengantarnya pulang akan lenyap, padahal dalam perjalanan ia sudah mengatur beberapa strategi agar bisa membawa Tata sekedar jalan jalan ke toko buku atau toko kaset demi bisa sedikit berlama lama dengan gadis itu. Ekspresi wajah yang sedikit lemas dari salah satu teman Tata serta isyarat tangan bahwa mereka mengijinkan dirinya dan Tata untuk pergi berdua sedikit membuatnya lega. Tawa Tata dengan lambaian tangan pada sahabatnya dan gandengan di lengannya sedikit membuat dia bernafas lega.
“Kemana kita sekarang?”
Tanya Hendra saat keduanya sudah memasuki mobil, Tata menatap tegas padanya tanpa jawaban
“Okay, kita pulang”
“huum”
jawaban Tata benar benar diluar dugaan, gadis itu mengiyakan tanpa sedikitpun merasa berdosa telah menyita waktunya hanya untuk mengantarkannya pulang tak ubahnya sopir taksi bayaran yang siap melayani. Mobil dijalankan, sekilas Hendra melirik ke arah Tata, gadis itu menguap. Beberapa menit mobil melaju, Hendra semakin gigit jari. Tata benar benar terlelap tak sadarkan diri. Lepas dari salemba, Hendra bimbang. Haruskah ia terus melaju memasuki kawasan perumahan Tata ataukah dia harus egois memaksakan keinginannya. Ia biarkan Tata terlelap, ia terus berfikir dengan apa yang akan ia putuskan, ia tak ingin peluang yang Tata berikan akan lenyap seketika oleh keputusan bodohnya. Sebenarnya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke kawasan perumahan Tata dari kampusnya hanya saja kemacetan membuat sedikit lebih lama dari seharusnya. Hendra semestinya bersyukur dengan kemacetan yang membuatnya bisa menikmati waktu lebih lama bersama Tata seandainya gadis itu terjaga. Melewati perempatan Hendra menepi, ia kini pasrah pada apapun yang akan Tata inginkan saat ia terjaga, seandainya harus bernasib seperti sopir taksi yang hanya menjemput dan mengantar sampai tujuan, iapun ikhlas. Beberapa meter lagi sebenarnya ia bisa membawa Tata sekedar menikmati suasana sore hari di Taman Menteng, tapi dia lebih memilih untuk mengamankan diri terlebih dahulu untuk saat ini, ia harus bermain cantik.
“Hmmm… sampai dimana kita, Hend?”
Sambil mengucek matanya dan sedikit menguap Tata bersuara, Hendra yang membungkukkan diri diatas kemudi segera mengangkat wajah, ia tersenyum.
“Menteng”
Jawabnya singkat
“Oh udah sampai ya……
Terus kenapa masih disini, jangan bilang lo lupa alamat rumah gue” Tata yang menyadari keberdaannya kini menatap Hendra
“Kita makan dulu yuk”
Ajak Hendra tanpa basa basi lagi, Tata melihat jam tangannya. Hampir jam lima sore. Ia tersenyum pada Hendra
“kenapa nggak makan dirumah gue aja, jam segini harusnya Mama sama Papa udah ada di rumah”
“Apa??”
Hendra tak percaya dengan apa yang ia dengarkan, Tata mengajaknya untuk makan bersama dengan keluarganya. Ia menyipitkan matanya, sekedar meminta Tata memberikan penjelasan yang detil
“Jarak ke rumah gue udah tinggal sejengkal, kan lebih baik makan disana dari pada buang uang”
“otak Lo tetep ya Ta, ekonomis”
“hahhahahhahaa bilang aja kalau lo mau sebut gue peritungan atau pelit sekalian”
“Nggak lah Ta…”
“hayooooo buruan, nanti kan enak bisa istirahat juga di rumah, ngobrol sama Papa….. kalau ada sih, hehehehe”
Tata cekikikan sendiri karena tidak yakin Papanya sudah ada di rumah, tapi Hendra yang semula sedikit lemas kini mulai bersemangat. Dia tidak lagi menasa ke GR an akan ajakan Tata, tatapan mata Tata sangat jelas jika dia tulus dan itu ia tangkap sebagai sinyal bagus buat hubungan mereka nantinya.
­---
Gelak tawa terdengar begitu ceria sore itu di kediaman Darmawan. Ini adalah pemandangan langkah. Rumah yang nyaris tak berpenghuni itu kini sedikit menemukan nyawanya. Tuan dan Nyonya rumah lengkap berada di kediaman mereka. Sehari harinya rumah mewah itu selalu sepi penghuni, hanya di jam jam tertentu terlihat kehidupan disana. Tuan rumah yang sangat sibuk dengan pengelolahan bisnisnya tak jarang membawa serta istri tercinta ke luar kota sekedar untuk menemani tatkala pekerjaan menuntutnya untuk meninggalkan ibu kota sementara putri semata wayang mereka lebih betah berada di luar rumah dan menghabiskan waktu di rumah keluarga Arifin.
Wajah Pak Darmawan sedikit tegang memandangi pion yang ada diatas meja, ia memegangi dagunya sembari berfikir untuk mengalahkan musuh. Keasyikan bermain catur sore itu begitu lengkap saat nyonya Jasmine membawa teh hangat lengkap dengan kudapannya bergabung dengan suaminya di teras samping rumah menghadap kolam renang.
kreeeet suara pagar di dorong oleh satpam, nyonya Jasmine beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kaki menuju ruang tamu sekedar ingin tahu siapa gerangan yang memasuki pelatara rumahnya
‘hari ini Tata tidak membawa mobilnya, lalu siapa yang datang ya’ nyonya Jasmine berpikir dalam langkah kakinya mendekati pintu utama. Ia menyibakkan horden berwarna blue sky yang melapisi kaca rumah, tampak olehnya sebuah mobil sport hitam memasuki pelataran.
‘Zaldy?’
Ia menebak, namun sedikit ragu karena ia merasa sangat kenal dengan pemuda itu yang akan lebih memilih membawa motor ketimbang mobil mewah. Ia mengabaikan rasa penasarannya dan berjalan ke arah pintu
“biar saya saja mbak” sela nyonya Jasmine saat assisten rumah tangganya berniat membukakan pintu. Pintu terbuka tapi belum ada yang keluar dari mobil dan mesin mobilpun masih menyala. Beberapa saat menunggu dengan rasa penasaran, akhirnya nyonya Jasmine semakin mengembangkan senyumnya tatkala wajah putri tunggalnya terlihat keluar dari dalam mobil
“Mamaaaaaa”
Kemajaan Tata yang tidak melihat sikon kembali kambuh, ia tidak perduli dengan keberadaan Hendra disana. Tidak ada alasan baginya untuk tidak menjadi dirinya sendiri di hadapan siapapun. Ia berjalan dengan langkah setengah berlari kearah sang Mama dan kemudian bergelayut manja sembari mencium kedua pipi sang mama, sementara Hendra mengikuti dari belakang dengan senyumnya. Hendra menundukkan kepalanya hormat, ia memasang senyum manis yang ia miliki semakin menyempurnakan penampilannya yang sporty.
“Eh iya Ma, kenalin ini temen Tata, Hendra”
Hendra mengulurkan tangannya memberikan salam pada mamanya Tata
“Mahendra, tante” Hendra memperkenalkan diri penuh hormat, nyonya Jasmine tersenyum ramah
“Ayo silahkan masuk nak Hendra, jangan sungkan”
“Masuk Hend, santai aja disini. Nggak usah tegang, ortu gue demokratis kok…. Hehe” Tata menimpali dengan santai dan mempersilahkan Hendra untuk memasuki ruang tamu, Hendra sedikit canggung. Ini baru pertama kalinya ia memasuki rumah Tata, ia bingung harus bersikap seperti apa di rumah itu. Rasa kikuk tidak pernah terbayangkan sebelumnya saat ia begitu bersemangat menerima ajakan Tata untuk main ke rumah. Hendra melupakan status Tata yang merupakan anak tunggal, artinya Hendra tidak akan menemukan teman ngobrol yang lain selain Tata seandainya orang tua Tata khususnya Papa Tata berpenampilan horror layaknya seorang Bapak yang memiliki anak gadis.
“gue tinggal sebentar ya Hend….. bau keringat, nggak enak”
Tata meninggalkan Hendra dengan kecanggungannya di ruang tamu bermaksud untuk membersihkan diri. Lamat lamat Hendra menangkap suara pria tengah berbincang, degup jantungnya semakin cepat, ia grogi.
“Wah gimana ini, kudapannya cuma ini. Hayo dicicipi nak Hendra mumpung masih anget. Ini hasil karya tante sendiri loh”
“Iya Tante, terima kasih. Ini sudah banyak Tante” Hendra mencoba bersikap santai saat nyonya Jasmine membawa sepiring Risoles dan buah serta teh hangat di atas nampan.
“Kebetulan Om dan Tante lagi di rumah jadinya ada makanan… oh iya, makasih ya udah anterin Tata”
“Ah iya, tante. Nggak apa apa, Hendra senang kok Tan bisa bantuin Tata”
“ya begitulah Tata, dia paling malas kalau harus setir sendiri. Naik taksi, dia udah parno duluan. Jadinya punya hobby repotin gitu”
“Nggak kok Tan, Hendra nggak merasa di repotkan”
Ditemani mama Tata yang ramah, Hendra sedikit rileks. Obrolan mengalir begitu saja, mulai dari obrolan tentang Tata sampai asal usul Hendra sudah dilewatkan tanpa rasa kikuk. Mama Tata yang santai membuat Hendra merasa sedang ngobrol dengan temannya, tidak heran kalau Tata memiliki kepribadian supel dan gampang bergaul. Jelas terlihat itu ada dalam diri sang mama. Beberapa menit berselang, suara dua pria yang tengah mengobrol dengan sesekali diselingi tawa masih terdengar, lamat lamat suara Tata kembali terdengar. Sedikit gaduh, sepertinya Tata sedang memaksa seseorang untuk menuruti kemauannya. Nyonya Jasmine tersenyum, ia menganggukkan kepalanya menatap Hendra seakan menegaskan jika itulah putrinya. Manja dan keras kepala tidak terkalahkan. Hendra mengerti
“Buruan…. Ayooo Al, kan lo juga kenal sama dia” suara Tata merengek
“Gue nggak kenal kok, ogah Ta…. Gue ngantuk”
“Nggak ada, pokoknya harus turun….. buruan Al. ah ini badan gede doang tapi ga bertenaga”
“Lagian lo ada ada aja sih Ta, demen banget bikin orang repot”
Suara adu mulut it uterus terdengar, nyonya Jasmine dan Hendra tersenyum mendengarkan dengan seksama
“Itu Tata kalau sama Al ya seperti itu… selalu ribut. Nak Hendra kenal kan sama Zaldy” nyonya Jasmine mengalihkan perhatian Hendra dari kegaduhan kecil yang Tata lakukan
“Nggak Tante, tapi Hendra tau si Al”
“Oh, bukan teman kampusnya Tata? Tante kirain nak Hendra satu kampus dengan Tata”
“Bukan Tante, kami beda kampus”
Senyum nyonya Jasmine kini sedikit beda, senyum khas seorang ibu yang menangkap sinyal dari putrinya. Hendra tidak bisa mengartikan senyum itu
“Tata… kenapa sih selalu ribut gitu”
Kini suara yang sedari tadi terdengar oleh kuping Hendra tengah berbincang semakin jelas. Seorang pria berusia sekitar 50 an dengan wajah yang ganteng dan hidung mancungnya muncul dari ruang keluarga
“Oh ada tamu toh Ma” pria itu mendekat ke arah Hendra dan mengulurkan tangannya, Hendra bangun dari tempatnya memberikan salam.
“Temennya Tata?”
Hendra mengangguk, pria yang tidak lain adalah Papanya Tata itu sangat ramah mempersilahkan Hendra.
“Al sudah turun sini, Tata juga sudah sini turun jangan kayak anak kecil” pria itu memanggil Tata dan Zaldy setengah memerintah
“Itu kenapa sih Ma?”
“Halah biasa Pa, si Tata kalau Al tidur di kamarnya pasti ribut gitu”
Nyonya Jasmine memberikan penjelasan pada suaminya perihal kegaduhan yang terjadi di lantai dua rumahnya
“sebentar ya, ini kalau Om nggak naik pasti nggak akan selesai” papa Tata bangkit dari duduknya kemudian disusul oleh istrinya. Tak beberapa lama Tata dan Al sudah nampak di ruang tamu
“Ah sebentar ya Hend… Al tolong temenin Hendra dulu ya”
Tata urung menjatuhkan diri di sofa, ia bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Zaldy yang mendapatkan operan bola dadakan tidak memiliki pilihan untuk bertahan di ruang tamu menemani Hendra. Perbincangan keduanya mengalir, Hendra yang sudah memiliki rasa penasaran pada status hubungan Tata denga Zaldy kini semakin dibuat penasaran. Meskipun demikian, namun Hendra sedikitpun tidak menampakkannya dihadapan Zaldy. Mereka berdua cukup rileks dalam perbincangan.
Memasuki dapur, Tata melihat pembantunya sedang sibuk menyiapkan makanan. Dengan sedikit kecerewatannya ia memberikan instruksi. Dari sudut ruang kelarga sepasang mata memandang Tata penuh makna. Tata yang menyadari gerak geriknya diawasi mulai gerah, ia menatap balik ke arah yang menjadi sumber ketidaknyamananya. Raka dengan tablet ditangannya berpura pura tidak peduli.
“Ma, Mas Raka sama Al sudah lama disini”
Tanya Tata saat mamanya memasuki dapur
“Ya, lumayan… emang kenapa?”
“Nggak apa apa, cuma nanya doang”
“Tadi si Al datang duluan karena mama mintain untuk ngantar belanja. Kalau Mas Raka bareng Papamu habis olah raga bareng”
“ooooooh” jawab Tata
“Lah anak Mama nggak pulang pulang sih. Lagian kan udah biasa toh Ta mereka disini, kenapa kamu yang jadi aneh?”
“Aneh gimana sih, Tata nanya doang kok”
Tata kembali ke ruang Tamu untuk memanggil Hendra dan juga Zaldy. Saat membawa Hendra ke ruang makan, Pak Darmawan keluar dari kamarnya karena panggilan sang isteri. Pas dengan Adzan maghrib berkumandang, Pak Darmawan mengkomando untuk segera bersiap menunaikan kewajiban secara berjamaah. Acara makan di tertunda.
‘Perfect Family, hangat dan sangat menyenangkan’ itulah yang Hendra pikirkan saat mereka berenam duduk di depan meja makan siap dengan menu makan malam khas keluarga, sederhana namun lengkap, hanya satu hal yang mengganggu pikirannya keberadaan Zaldy serta seorang pria muda yang tak ia kenal bersama mereka. Siapa dan bagaimana hubungannya dengan Tata, apakah Zaldy adalah bagian dari keluarganya dan siapa pria muda yang kini duduk di sampingnya.
“Cobain ini Hend, ini khas bikinan Mama gue… uenak”
Tata menyodorkan satu sendok tumisan bunga papaya ke arah Hendra. Dia sedikitpun tidak merasa risih melakukan itu di depan kedua orang tuanya, justru Hendra yang sedikit salah tingkah karena malu.
“Uhuk”
Raka yang ada di hadapan Tata tersedak karena tidak percaya Tata mampu melakukan itu di hadapan mereka tanpa malu malu.
“hati hati kali Mas kalau makan, nih minum dulu”
Masih dengan gaya cueknya Tata menyodorkan satu gelas air putih pada Raka yang di terima dengan dingin oleh Raka. Masih belum berhenti disana, Tata terus menjamu Hendra seperti menjamu tamu istimewa yang itu sangat jarang ditemukan pada kelakuan Tata. Zaldy yang menghabiskan lebih banyak waktu bersama gadis itu juga tidak lepas dari komentar yang membuat Pak Darmawan dan nyonya Jasmine kaget.
“Amazing”
Sambil beranjak membawa piringnya Zaldy hanya mengeluarkan satu kata dengan penuh penekanan. Seakan akan dia benar benar tidak nyaman dengan apa yang Tata lakukan.
Lepas dari acara makan malam, Hendra yang merasa agak kikuk dengan suasana yang sudah Tata rusak oleh sikapnya yang sedikit over memutuskan untuk undur diri. Zaldy, Pak Darmawan dan Raka yang ada di teras rumah mereka dengan agenda BBQ dadakan ramai bercanda, Hendra memutuskan untuk tidak bergabung karena dia tidak ingin Tata kembali memperlakukannya dengan perlakuan yang akan mempersulit dia untuk berintraksi disana.
“Lho…. Kok pulang, kita seru seruan dulu, ini mumpung formasi lengkap. Disini dulu ya”
“Terima kasih Om, Hendra ada keperluan”
Sedikit berbasa basi berhasil melepaskan Hendra. Tata memang benar benar Amazing, setelah perlakuannya di meja makan yang diluar ekspektasi kini dia justru sangat cuek mengijinkan Hendra pulang dan terkesan ‘buruan pulang’ walau tidak terucap tapi sikap dan senyum hambarnya mengatakan semuanya.

Malam semakin membawa tiga pria beda generasi itu larut dalam canda tawa, dilengkapi oleh pelayanan nyonya Jasmine membuat acara dadakan yang mereka ciptakan begitu menyenangkan. Menu minim hanya jagung dan tiga ekor ikan mujaer, tapi gelak tawa tidak ada putusnya terdengar. Tata yang juga ikut bergabung disana justru bersikap sangat aneh. Sepanjang waktu wajahnya ditekuk lengkap dengan bibir tipis yang tergigit menahan kesal. Entahlah gadis itu terus bersikap aneh, beberapa kali tertangkap oleh Zaldy kalau ia melirik ke arah Raka dengan pandangan aneh. Memang lepas dari meja makan terlihat Raka membisikkan sesuatu pada Tata, mungkin itu pemicunya. Satu hal yang tidak pernah terlihat olehnya malam ini ia saksikan, seorang Violetta berekspresi kesal yang benar benar kesal.

 Dont Miss it :
Part 2 : PLAY GIRL JATUH CINTA : Cuek