Minggu, 27 Desember 2015

PART 13 : HOLD MY HAND






Part 13

Sesuai dengan yang di katakana Indira pada Anggi, keadaan akan kembali normal saat hari berganti. Sikap Indira kembali normal, bangun pagi, menyiapkan sarapan bersama dan pergi dinas seperti hari hari sebelumnya. Tak ada pembahasan sedikitpun tentang apa yang sudah terjadi di antara mereka. Seminggu berlalu dan semuanya seakan tidak menyisakan sedikitpun kenangan dalam diri Indira ‘sepertinya’ ya seperti itulah Indira.
Anggi mengikuti kemana Indira memainkan peran dalam hidupnya, baginya apa yang sudah dialami Indira dimasa lalu cukup membuatnya terluka dan jika kali ini Indira mencoba berdamai dengan hatinya maka ia bisa sepenuhnya mendukung apa yang membuat sahabatnya itu lebih tenang, setidaknya gadis itu tidak perlu sekali lagi melarikan diri dari kenyataan yang membuatnya tak mampu berdiri. Mungkin Bagas benar bahwa Indira akan menekan egonya sedemikian rupa sehingga tidak akan membuat dia dan Bagas merasa bersalah ataupun canggung dengan apa yang sudah mereka perbuat karena antara Indira dan Bagas belum ada kesepakatan apapun walau hubungan mereka cukup dekat saat itu. Ya saat dimana Indira masih bisa membuka dirinya pada Bagas dan tidak untuk saat ini yang seakan tengah membangun tembok tinggi sehingga sulit untuk diraih kembali
‘tak ada lagi kesempatan buatku, Nggi.. Indira seakan menutup segala kemungkinan bagiku untuk mendekati dirinya. Dia terus menghindariku, telepon dan pesan yang aku kirimkan padanya tidak ada yang ia jawab kecuali mengatakan bahwa tidak ada yang dibohongi dan membohongi, semua sudah berjalan di rel masing masing…. Hanya itu yang ia katakan. Sepertinya ia mencoba berdamai dengan hatinya sendiri dengan caranya sendiri, Nggi… dunianya masih sangat asing buatku, dia terlalu keras memproteksi dirinya’

‘lalu hubungan kalian bagaimana, apakah kamu tidak ingin memperjuangkan apa yang ingin kamu miliki?’

‘jika aku hanya berjuang sendiri sementara Indira terus berusaha lari dari tiap uluran tangan yang akan membantunya. Lantas siapa yang akan menolongku dari kemungkinan aku terjatuh?’
‘Kamu menyerah Gas? jalan itu sudah kamu mulai… berjuanglah sedikit lagi, aku yakin Indira hanya membutuhkan waktu untuk menyadari semuanya’

‘entah apa istilah yang tepat untuk menyebutnya… aku bahkan belum merasa memulai sesuatu itu tapi aku harus menyudahinya. Aku pikir usaha ini hanya akan membuat aku ataupun Indira terluka… semuanya tidak ada yang benar, permulaannya sama sekali tidak jujur’

‘tidak jujur?? Apa maksudmu?’

‘aku menutupi identitasku dari Indira dan dia juga masih menyimpan sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Hal itu seperti bukan lagi masa lalu yang ingin ia kubur tapi sesuatu yang saat ini ingin ia hindari sekali lagi. Meskipun dia mengatakannya padaku, tapi dia belum sepenuhnya percaya terhadapku…. Ya barangkali belum waktunya Nggi. Jalan yang kami tempuh menemui kebuntuan, aku ingin mencari jalan lain untuk berlari, tapi Indira masih ingin berdiam disana. Apa boleh buat, tidak ada suara tepukan jika tangan kita tidak berpasangan, yang ada hanya lambaian tangan entah itu lambaian memanggil atau persisahan’

Anggi terus memandang Indira yang menikmati sarapannya dengan laptop dan wajah seriusnya, entah apa yang ia pelajari, tapi saat memandang wajah ayu nan serius itu tidak ada pilihan lain bagi Anggi selain membiarkan semua apa yang ia bahas dengan Bagas kembali berputar putar dikepalanya. Gadis ini begitu sederhana dalam menjalani kehidupannya, sangat sederhana dalam menghadapi masalahnya, tenang setenang air danau yang menyimpan arus deras didalamnya. 
‘kenapa kamu begitu jahat pada dirimu sendiri Ndi, begitu banyak orang yang kamu semangati untuk terus berjuang meraih kebahagiaan saat dinyatakan sembuh dari penyakitnya, tapi kenapa kamu tidak berjuang untuk dirimu sendiri, ataukah ini bentuk perjuanganmu. Meghindar dan berlari. Ragamu kini memilih tinggal tapi hatimu sudah jauh berlari dari kebahagiaan yang mendekatimu’

“Nggi, hari ini kamu Free kan?” 
Indira menutup laptopnya dan menyimpan piring kosong dalam cucian piring, taka da jawaban dari Anggi… Indira diam sesaat dan mengamati Anggi yang masih bengong dengan roti bakar ditanggannya.
“Anggi…. Kamu denger aku kan? Woi… kamu kenapa? Pagi pagi sudah nglamun”
Indira membuyarkan segala dunia kecil di kepala Anggi, senggolan Indira membuatnya tersadar dari segala pikiran yang sedari tadi menguasai waktu paginya
“hmm… kenapa?”
“Kamu ke Rumah Sakit nggak?”
“haaah… sepertinya siangan dikitlah.. emang kenapa, kamu nitip sesuatu?” Anggi meletakkan rotinya dan berjalan menuju sofa di ruang tengah tempat ia bisa bermalas malasan
“Nggak sih, cuma aku ada paketan yang lagi aku tunggu dari Mama, kalau nanti kamu masih dirumah paling tidak aku nggak perlu samperin ke kantor pengiriman”
“Oh… bolehlah aku nanti mampir kesana, kebetulan aku harus ke rumah Bagas dulu. Om Adhi menyuruhku untuk datang kesana”
“Oh…” Indira menjawab dengan cueknya
“kok Oh… kenapa, kamu masih perang dingin sama Bagas” Anggi menegakkan kepalanya melihat Indira yang masih sibuk di dalam dapur.
Indira tersenyum dan menyibukkan dirinya dengan mengambil minuman di dalam kulkas mencoba menghindari pembahasan tentang Bagas yang Anggi mulai. Anggi memasang muka kecutnya melihat reaksi Indira yang cuek tidak menjawab pertanyaannya dan hanya memasang senyum, ia pasrah dan tidak bisa memaksa Indira untuk menerima tawarannya tentang Bagas lagi, ia harus terima dengan penolakan halus Indira.

***

Suster Mia masih sibuk dengan laporan laporan medik pasien yang ada di hadapannya, ia tidak menyadari ada yang berdiri di balik pintu ruang kerja Indira. Jam makan siang sudah di depan mata, tapi ia harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum Indira kembali pulang. Sementara di sofa yang ada di pojok ruangan Indira nampak melepaskan lelahnya bersandar malas memejamkan mata. Ponsel yang ia tinggalkan di meja kerja nampak berkedip kedip tapi tak ia hiraukan karena setelan diam yang ia pasang membuatnya tidak menyadari adanya panggilan untuknya. Beberapa menit berlalu Indira masih mendapati suster Mia di meja kerjanya.
“Makan dulu Suster, nanti bisa dilanjutkan lagi”
“Iya Dok, sebentar lagi selesai”
“Suster Mia bisa makan satu kotak bekal di meja saya, ambil aja Sus…” 
Indira masih memejamkan matanya menawarkan kotak bekal yang ia terima hari ini pada sang asisten
“Tapi Dok, itu kan?”
Indira tersenyum kecut memahami maksud dari Suster Mia, ya kotak bekal yang setiap hari datang padanya adalah kiriman dari Bagas juga Tama. Kotak bekal yang dulu membuatnya tersenyum dan bersemangat untuk membukanya kini seakan menjadi kotak bekal yang menyerap habis semangatnya hingga tidak ada kekuatan yang tersisa untuk menyentuhnya.. Indira berjalan mengambil satu kotak yang ada di mejanya untuk suster Mia.
“Kan hari ini ekstra Sus, ada dua… masa iya saya makan dua duanya. Ambil saja satu biar nanti satunya saya bawa pulang” Indira menyodorkan satu kotak bekal pada suster Mia tanpa melihat itu kotak dari siapa, dengan sopan Suster Mia menolaknya sehingga Indira mengerutkan alisnya heran, tidak pernah sekalipun Suster Mia menolak pemberiannya, tapi kenapa kali ini dia tidak mau menerima… Indira menatap kotak biru yang ada di tangannya lalu tersenyum…
“Oh… ya sudah ambil yang ini”
Suster Mia tersenyum lalu menerima kotak bekal kedua yang Indira sodorkan… Indira menggeleng geli dengan ulah suster Mia. Ia kembali melangkah mendekati meja kerjanya dan meletakkan kotak bekal itu dihadapannya
‘Jam makan siang jangan molor ya Sweety’
Satu note tertempel disana dan itu adalah ciri khas Bagas. Indira melirik Suster Mia yang kembali sibuk dengan catatannya lalu ia kembali tersenyum geli…
“Suster, setiap hari siapa yang mengantar ini?” Indira memutar mutar kotak bekal yang ada ditangannya
“dr. Raihan” jawab suster Mia singkat
“dr. Bagas sendiri yang antar… ah maksud saya dr. Raihan?”
“Iya Dok, kadang malah lebih pagi dr. Raihan ketimbang saya, saya bertemu dengan dr. Raihan di koridor dan kotak makanan sudah ada di meja dr. Indira”
Indira tercengang diam di mejanya, ia tidak pernah menyangka jika Bagas yang membawa sendiri kotak makanan yang selalu ia terima, ia berpikir ada orang yang ia suruh mengantarkannyan seperti halnya Tama yang meminta jasa Cattering untuk melakukan itu untuknya. Indira tersenyum, senyum aneh yang pernah menghiasi wajahnya, entahlah senyum itu bisa diartikan seperti apa. Ia tersenyum tetapi wajahnya masih menyimpan satu hal yang tidak dapat diartikan sebagai hal yang menggembirakan.

“seandainya suster Mia jadi saya, apa yang akan suster Mia lakukan?” 
tiba tiba saja Indira melontarkan pertanyaan pada asistennya itu sehingga sang asisten menghentikan kegiatannya dan meletakkan bulpoin yang ia pegang dan menyimak apa yang Indira bicarakan.

“Maksudnya Dok?”

“disatu sisi, suster Mia ingin meraih kebahagian yang mungkin akan datang jika memilih meraih tangan dr. Raihan. Suster Mia ingin melepaskan segala bentuk rasa sakit yang suster alami di masa lalu yang mulai mengusik kehidupan suster, tapi suster berada dalam dilema yang memusingkan kepala. Masa lalu hadir dengan sejuta perhatian yang sulit suster tolak meski ingin dan rasa tidak mungkin meraih dr. Raihan karena ketidakpercayaan diri suster dengan segala perbedaan yang ada”

“hmmmm…. “ 
Suster Mia sedikit bingung menanggapi pertanyaan Indira yang nampak menatap kosong kotak makanan yang ada ditangannya

“suster ingin mencintai, tapi suster takut untuk kembali terluka. Suster menyadari dengan benar rasa sakit yang mulai suster rasakan saat suster menempuh jalan yang bertolak belakang dengan keinginan hati suster hanya demi menyelamatkan hal yang belum pasti….
Masa lalu tak mungkin untuk dimiliki, tapi masa depan terasa terlalu tinggi untuk diimpikan…. Hhhhaaaaaah lelahnya hidup ini Suster”

Indira menarik nafas panjang dan kemudian tersenyum menatap suster Mia yang nampak kebingungan menanggapi curhatan dokter yang selalu ia kagumi itu. Suster Mia tidak menyangka bahwa keanggunan dan kecantikan dr. Indira sangat bertolak belakang dengan kehidupan cintanya, selama ini ia membayangkan betapa bahagianya menjadi seorang dokter cantik dan dikelilingin oleh orang orang ganteng nang penuh pesona. Dia tidak menyangka bahwa dr. Indira memiliki masa lalu pahit sehingga ia susah untuk melangkah dan benar benar diluar perkiraannya bahwa seseorang yang nyaris sempurna dimatanya memiliki ketidakpercayaan diri menghadapi dr. Raihan. 

“kenapa Sus… kok bengong. Coba apa yang akan suster pilih?”
Indira nampak dengan senyum cerianya kini menunggu jawaban dari suster Mia

“aaaaah apa yang nampak oleh mata begitu indah terkadang hanya luarnya saja suster. Hhhhmmm lupakan suster, nggak perlu pusing dengan apa yang saya bicarakan, anggap saja sebagai referensi saat suster mengalami hal yang serupa nantinya”

“Hmmmm……” suster Mia menghentikan niatnya untuk membuka suara, ia menangkap keberadaan dr. Bagas yang berdiri di balik pintu dan mengisyaratkan pada suster Mia untuk diam merahasiakan keberadaannya disana dari dr. Indira

“saya tidak berani bermimpi Dokter, tapi saya tidak akan pernah menolak setiap kebahagiaan yang datang menghampiri saya selagi itu tidak melukai orang lain. Akan saya ambil kesempatan untuk bahagia itu dan akan saya perjuangkan sekuat tenaga karena saya yakin saya memiliki kepantasan dalam setiap kebahagiaan yang datang dalam kehidupan saya” 

lanjut suster Mia kemudian, Indira dan Bagas yang berdiri dibalik pintu nampak kaget dan tercengang oleh jawaban suster Mia, keduanya tidak menyangka jika akan terlontar jawaban dengan penuh keyakinan dan percaya diri itu dari bibir suster Mia. Suster Mia melirik dr. Bagas yang masih bersembunyi dibalik pintu yang kini mengacungkan dua jempol padanya, sementara Indira nampak sedikit berpikir meresapi setiap kata yang ia dengarkan dari suster Mia.

“Dokter, Anda baik baik saja kan?” Suster Mia sedikit hawatir pada Indira yang masih terdiam di meja kerjanya tampak melamunkan sesuatu

“Ah… iya Sus… hmmm sepertinya saya harus pulang lebih cepat untuk bisa merefresh otak, bau obat dan kaporit rumah sakit seakan membuat otak saya menciut sehingga nglantur kemana mana”
Indira merapikan beberapa berkas yang berserakan di atas mejanya dan melepaskan jas dokter yang ia kenakan. Melihat gelagat dr. Indira akan segera meninggalkan ruangan, suster Mia melirik ke arah pintu untuk memastikan dr. Raihan sudah pergi dari sana

“Syukurlah” gumamnya lirih
“hmmm?” Indira bingung dengan syukur yang suster Mia ucapkan

“Ah bukan Dokter, maksud saya syukurlah saya bisa menyelesaikan laporannya tanpa harus mengulur jam makan siang lebih lama lagi…

“oh… ya sudah, suster Mia makan siang dulu nanti sakit lagi… saya keluar sebentar, siapkan saja laporannya di meja saya Suster” Indira meninggalkan ruang kerjanya dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, langkahnya sedikit lebih bersemangat dari biasanya.
***

Tap tap tap langkah Bagas sedikit lebih cepat dan bisa dikatakan ia setengah berlari meninggalkan ruang kerja dr. Indira. Matanya berbinar sumringah dan tangannya sesekali ia hentakkan dengan penuh kemantapan sambil lirih berucap “yes”, ia sangat bersemangat 

“dr. Raihan!” Bagas menghentikan langkah tepat saat ia hendak turun ke pelataran parkir, ia mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang menyapanya

“Tama?” Bagas kaget melihat Tama berdiri di hadapannya, di Rumah Sakit Waluyo

“Ehm… ada yang sakit, siapa Tam?”

“Ah nggak ada Dok, hanya kebetulan lewat dan saya putuskan untuk mampir kemari”

“Ooooh… mau ke ruangan Om Satya?” Bagas mengangguk anggukkan kepalanya sambil mengarahkan jempolnya menunjuk arah dimana ruangan dr. Satya berada

“hmmm.. awalnya seperti itu” Tama dengan mantap mengiyakan tebakan Bagas meskipun itu jauh meleset dari tujuan awalnya

“Berarti nggak ada yang penting dong… yuk ah ikut aku saja. Aku ingin berbagi sesuatu yang membahagiakan denganmu”

“Aaah sepertinya suasana hati Dokter lagi baik… sayang kalau tidak dimanfaatkan.. hahahahaa”
Keduanya tertawa dan kemudian berjalan menuju parkiran siap meninggalkan Waluyo dengan wajah yang sama sama dipenuhi semangat…..



Dont Miss It :
Part 12 : HOLD MY HAND
Part 11 : HOLD MY HAND





PART 12 : HOLD MY HAND






Part 12 

Sebenarnya Tama sendiri tidak yakin dengan apa yang ia lakukan saat ini, bisa melihat Indira di kota kecil ini dengan kedua matanya adalah hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, penyesalan yang ia rasakan mungkin tidak akan ada habisnya. Mata indah Indira bahkan masih menatapnya dengan ramah, bibir tipisnya masih memberikan senyum manis yang sama, tapi keterkejutannya setiap kali mereka bertemu masih sangat mengganjal bagi Tama. Setiap kali mereka bertemu Tama selalu menangkap ada kegugupan yang Indira coba sembunyikan. Apakah benar Indira  pergi waktu itu karena dirinya dan bukan semata mata tuntutan profesi yang ia pilih seperti yang Rendi katakan selama ini. Jika benar demikian seharusnya Indira membencinya dan tidak memberikan peluang padanya untuk kembali mendekat, tapi kenyataannya Tama tidak melihat amarah ataupun kebencian dalam sorot mata Indira selain rasa keterkejutan itu. Sebenarnya itu cukup melegakan bagi Tama, tapi apa yang saat ini terlihat olehnya benar benar mengusik sisi ego yang selama ini seakan telah lama hilang, tapi mengapa?? Menemukan kembali bagian hidupnya yang ia nodai adalah sebuah keberuntungan baginya, tetapi kenyataan yang harus dia terima dibalik itu mengusik egoism dirinya sebagai lelaki…. Bayangan pertemuan dengan Indira bersama dengan dr. Raihan kembali melintas, bagaimana Indira sekuat tenaga mendominasi ruang percakapan dan seakan tidak mengijinkan dirinya berbincang dengan dr. Raihan terasa sangat aneh ‘Apa yang terjadi denganku sebenarnya, bukankah sudah aku putuskan untuk memperbaiki kesalahan itu melalui keluargaku saat ini, apakah aku merasa tersaingi? Normalkah perasaan ini ataukah …. Ah aku benar benar bisa gila, kenapa bayangan Indira kembali menguasaiku?’.
“Kamu masih punya muka ketemu dengan Indira?” Tiba tiba Rendi datang dan memergoki Tama bengong di depan laptopnya dan seakan dia mampu menebak apa yang ada di dalam pikiran Tama saat ini
“Apa maksudmu?”
“Jangan pikir aku tidak tahu kegilaan macam apa yang kamu lakukan saat ini… jangan lupa Brother, kita bersama sudah lebih dari 20 th” Rendi menghentikan langkah tepat di depan meja kerja Tama sambil menyeringai penuh makna pada Tama
“Ya… awalnya aku nggak memang yakin Indira masih mau menemuiku. Mengetahuinya sebagai dokter disana, tapi aku hanya bisa melihatnya dari jauh adalah hal yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku takut untuk mendekatinya bahkan sebagai pasiennya pun rasanya aku tak cukup memiliki keberanian”
“trus, apa yang membawamu bisa senekat ini? ingat Tam, bagaimana kamu melukai dia. Menganggap dia tidak pernah ada dalam kesetiaannya. Andai aku bukan sahabatmu, pasti aku sudah membunuhmu dari dulu. Apakah kamu akan mengulangi kesalahan yang sama pada Sekar dan apakah setega itu dirimu pada kepolosan Syifa?”
“Nekat?” Tama mengerutkan dahinya tak mengerti dengan yang di maksud kata nekat dalam kalimat Rendi, tatapannya penuh selidik pada apa yang sebenarnya Rendi ketahui tentang apa yang ia lakukan akhir akhir ini sehingga harus membawa nama Sekar ataupun Syifa
“Yup… nekad dan konyol yang menjurus pada kekurangajaran, you know!!”
“Jangan berfikir terlalu jauh, Ren. Aku tak mungkin melakukan itu. Hanya saja…..
Aku hanya ingin menebus dosaku pada Indira. Paling tidak aku ingin membuatnya selalu tersenyum”
“Ah… konyol, itu cuma ada dalam roman picisan, hah menebus dosa, memperbaiki kesalahan… wake up Bro, kamu sudah bermimpi terlalu indah”
“Bagaimanapun juga dia adalah orang yang mengajarkan banyak hal padaku. Kesetiaan, pengorbanan, ketulusan …. Semua aku pelajari darinya”
“Dan sayangnya kamu justru mengajarkan luka padanya. Hentikan Tam, jika kamu nggak mau melihatnya terluka kedua kalinya karenamu. Isi pikiranmu itu sudah tidak beres, jika kamu menganggap dia bisa tersenyum karenamu lantas buat apa dia menjauh darimu sampai disini, Profesi??? Itu hanya sepersekian prosen alasan yang ia gunakan. Udah hentikan Tam, kalau nggak aku akan benar benar marah padamu karena itu sama saja kamu semakin mempertegas keegoisanmu dan satu lagi dr. Raihan adalah orang yang baik dan pantas Indira dapatkan”
Dengan nada sarkastik Rendi meninggalkan Tama sendiri di meja kerjanya sibuk mengotak atik isi laptopnya. Entah apa yang dia lalukan dengan laptop itu, bahkan untuk menghasilkan satu kerangka design saja dia belum ia lakukan. Sebagai seorang sahabat Rendi memang sudah berkorban banyak untuknya, termasuk kehilangan Indira. Demi menutupi semua kesalahan yang Tama lakukan membuat Rendi menjadi satu satunya orang yang menjadi sasaran kemarahan Indira saat mengetahui kebenaran. Rasa bersalah Rendi yang membuatnya tidak mampu bertemu Indira adalah pengorbanan terbesar dalam hidupnya meskipun Indira telah memaafkan dirinya namun justru sikap Indira yang memaafkan itu membuatnya semakin merasa bersalah. Sebagai seorang sahabat Rendi merasa gagal untuk melindungi sahabat kecilnya hingga ia merasa tidak punya muka untuk bertatap muka.
‘sebenarnya apa yang kini kamu rasakan Ndi, kamu bahkan tidak pernah menolak kehadiranku atapun pemberianku, tapi kenapa kamu tidak pernah menjawab pesanku?’ Tama kini menatap layar ponselnya, ponsel yang tidak pernah memberikannya suara Indira seperti yang ia harapkan karena tidak pernah ada jawaban seberapa keraspun ia mencoba.
‘Apakah dr. Raihan adalah pilihan masa depanmu?’ Tama menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikirannya tentang Indira dan dr. Raihan dalam otaknya. Tama memejamkan matanya bersandar pada kursi kerjanya, wajah Indira tak bisa ia usir dari pikirannya.
“ah ini gila”
Tama menutup laptopnya dan mengambil kunci mobil yang ia taruh sembarangan di atas meja kerja dan melangkap pergi begitu saja, Rendi yang tadinya berkonsentrasi pada pekerjaannyapun terkejut melihat Tama yang tiba tiba berdiri dari kursinya
“Tam ingat Syifa” teriaknya pada Tama yang berjalan keluar kantor
***

Di Hotel Mahardika Bagas sudah tidak lagi bisa berkonsentrasi, pikirannya melayang pada kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi pada hubungannya dengan Indira. Bagas masih belum melupakan reaksi Indira pada penghinaan Devina dan sekarang mungkin Indira telah melihatnya sebagai bagian dari Rumah Sakit Waluyo
“Gas, konsentrasilah sedikit” bisik dr. Satya pelan melihat Bagas yang acap kali mengusap wajahnya dengan kedua tangan berusaha untuk focus.
“Ah … maaf Om”
‘Sepertinya keputusan untuk terlibat dalam Waluyo tidak akan pernah jadi pilihan tepat’ sekali lagi Bagas menyesali keputusan keberadaannya di Mahardika pagi ini, pikirannya benar benar tidak dapat dikembalikan secara sempurna dalam ruang rapat, begitupun dengan Anggi. Ketakutan akan amarah Indira padanya membuatnya merasa sedikit ngeri untuk pulang ke kontrakan, jelas Anggi bisa menebak Indira akan menanyakan alasan keberadaan Bagas dalam ruang rapat ini dan rasa dibohongi itu pastinya sudah menguasai hati Indira, tatapan dua orang saudara sepupu itu bertemu saling menanyakan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Tepat jam 13.00 rapat usai, Bagas mengejar langkah dr. Satya sebelum meninggalkan ruang rapat
“Om.. untuk sementara waktu Bagas belum bisa meninggalkan Medika, tolong kasih waktu buat Bagas sampai benar benar siap berada di Waluyo. Bantu Bagas membujuk Papa, Om”
“Ya… Om mengerti, tapi jangan terlalu lama Gas. Om sudah tua dan sudah waktunya pensiun. Soal Indira…..” dr. Satya mengalihkan pandangan pada Anggi yang kini terduduk menutup wajahnya dengan dua tangan bertumpu di atas meja
“Kalian bicarakan baik baik, Om sudah tahu semuanya meskipun kalian tidak pernah cerita secara gamblang dan Om dukung pilihanmu kali ini anak nakal, sudah saatnya kamu kembali membuka hati. Kapanpun kamu membutuhkan bantuan, Om siap” dr. Satya menepuk bahu Bagas memberikan dukungannya tulus dengan anggukan dan pandangan teduh nan menenangkan. Dokter senior itu sangat paham akan perasaan Bagas yang kini mungkin tidak bisa dideskripsikan seperti apa.
Sementara itu, Anggi yang masih terdiam kalut masih tidak bisa melupakan tatapan Indira yang seakan menghujam penuh amarah membutuhkan penjelasan, suara lirih nan penuh penekanan itu tak mampu membuat otaknya berfikir penjelasan seperti apa yang akan ia berikan pada sahabat yang ia sayangi itu
“Maaf, saya mengantarkan ini untuk dr. Anggia. Beliau tidak sengaja meninggalkannya dan sepertinya sangat penting”
Kalimat Indira saat menyerahkan map yang Anggi tinggalkan dengan tatapan yang tak lepas pada Anggi adalah tatapan pertama yang ia dapatkan dari Indira sepanjang persahabatan yang mereka jalani, tatapan penuh dengan emosi dan Anggi benar benar tidak dapat menerka apa yang akan Indira lakukan padanya, akankah dia juga akan meninggalkan dirinya sama dengan dia lari dari perasaan frustasi dari kebohongan Tama.
“Ah, aku benar benar bisa gila, Gas! Penjelasan apa yang akan aku berikan pada Indira, dia pasti sangat marah padaku”
Anggi menatap Bagas yang kini berada di sampingnya dengan wajah yang tak kalah bingungnya
“Apakah sekalipun kamu tidak pernah membahas tentang Waluyo?” Bagas menggeleng
“Dia tidak pernah menanyakan alasanmu yang enggan masuk ke Waluyo?” kembali Bagas menggelengkan kepalanya
“Aish… semua yang aku lakukan untukmu selalu akan menyeretku pada kegilaan yang tidak terbayangkan” Anggi mengacak rambutnya lalu menjatuhkan dirinya pada meja yang ada didepannya pasrah
“Santai Nggi, kamu jangan mengatakan apapun… biar aku sendiri yang akan berbicara dengan Indira” akhirnya Bagas bersuara dengan suara tegasnya
“Sebenarnya sejauh apa perkembangan hubunganmu dengan Indira? Kamu harus mengatakannya padaku agar aku ada bayangan seperti apa penjelasan yang dapat aku sampaikan pada gadis frustasi itu” Anggi menatap Bagas dengan pandangan memohon selayaknya wajah seorang pendosa yang mengharapkan pengampunan dan pertolongan agar terbebas dari hukuman
“Aku sendiri tidak bisa menjelaskan hal itu Nggi, yang jelas ada sesuatu yang mengikat kami, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Belum ada kesepakatan apapun antara aku dengan Indira, tapi aku sanggup terluka saat dia terluka seperti saat ini. Entahlah, aku juga belum yakin telah memenangkan hatinya, yang aku tahu dia sedang mencoba percaya padaku dan aku menciderai kepercayaan itu saat ini” Bagas merapikan berkasnya dan berdiri
“Kita pikirkan sambil melihat perkembangan keadaan saja Nggi, ini urusan pribadiku dan biarkan aku yang akan mengatasinya, kamu jangan terlalu memusingkannya. Oke!” Bagas memaksakan satu senyum dibibirnya mencoba mengusir segala bentuk kehawatiran dalam hatinya
“Kamu lupa aku hidup satu atap dengan dia?” Anggi memasang wajah kesalnya pada Bagas
“Santailah Nggi, berikan jawaban seperlunya saja, aku akan cari waktu untuk memberikan penjelasan padanya sesegera mungkin”
“Oh God… dosa apa yang sudah aku lakukan hingga setiap kali aku menolongmu justru seakan mendorongku masuk dalam jurang gelap. Hidupmu yang seperti surga itu ternyata sangat melelahkan bagiku Gas. Tak ada cawan madu yang aku nikmati dan selalu hanya mendapat teh pahit… sial sial dan sial” Anggi menggerutu kesal
“Surga??? Kamu pernah ke surga Nggi?” Bagas sekali lagi tersenyum mendengar gerutuan Anggi yang tiada hentinya
“Ayo Bu Dokter saya belikan susu murni biar nggak pahit lidah anda menelan teh pahit terus”
Bagas memaksa Anggi untuk berdiri dari kursinya meninggalkan ruang rapat yang telah menjelma menjadi ruang eksekusi bagi keduanya sehingga tidak memberikan peluang bagi keduanya untuk menghindar dari hal yang selama ini ia sembunyikan rapat dari Indira.

Sampai di Rumah suasana sangat sepi meskipun mobil Indira nampak sudah terparkir di garasi, tapitidak ada tanda tanda kehidupan disana. Anggi memasuki ruang tengah dengan penuh tanda tanya kemana Indira sebenarnya. Ia meletakkan tas kerjanya beserta blazer yang ia kenakan hari ini begitu saja di atas karpet ruang keluarga, dia melangkah menuju teras samping rumah tempat favorit Indira membunuh rasa penat dari himpitan beban hati yang menderanya namun nihil. Anggi menggelengkan kepala lemas dan berniat menghidupkan lampu, tapi…
“Kamu pulang telat Nggi”
“Aaah… jantungku hampir copot, ngapain kamu disana?” Anggi sangat terkejut saat menyadari Indira yang berada di atas Sofa Beds di pojok ruangan, segera ia menyalakan lampu ruangan agar bisa melihat Indira dengan kemarahannya
“Maaf Ndi, aku nggak mengabarimu”
“Ya sudahlah, kamu istirahat. Aku juga mau tidur, terlalu capek hari ini…”
“Ndi…” Anggi ragu memghentikan langkah Indira
“Ada yang ingin kamu sampaikan padaku”
“Kamu nggak ingin menanyakan sesuatu padaku, Ndi??”
“Tentang apa, apakah aku harus menanyakan sesuatu yang penting padamu?”
“Indi!?”
“Aku nggak perlu menanyakan apapun padamu Nggi. Istirahatlah … aku yakin semua ada alasannya” Indira ringan menjawab dan dengan nada suara lirih yang hampir tak terdengar oleh Anggi lalu berlalu begitu saja tanpa menatap Anggi sedikitpun dan melangkah memasuki kamarnya
Meninggalkan Anggi dengan sejuta pertanyaan yang ia tahan merupakan hukuman baginya yang tidak pernah bisa meluapkan amarahnya meski keadaan hatinya menyimpan amarah yang tidah dapat dibayangkan
‘Kamu jangan terlalu tinggi meletakkan posisimu Indira, kamu bukan siapa siapa yang memiliki hak untuk marah pada mereka’ Indira menahan nafasnya dalam dalam. Entah sudah berapa lama ia menggigit bibirnya sendiri untuk menahan emosi yang berontak dalam dirinya. Rasanya ia begitu ingin marah, tapi kembali mengingat posisinya dalam kehidupan Bagas dan Anggia yang hanyalah seorang sahabat membuatnya menahan diri.
‘apakah kamu punya hak? Apakan kamu adalah orang yang harus mereka mintai ijin sebelum mereka melakukan sesuatu, siapa dirimu Indira??? Kamu harus sadari itu’
Indira menatap dirinya di depan cermin, sepertinya ia bingung dengan apa yang akan ia hadapi lagi esok hari di Rumah Sakit. Apa yang harus ia perbuat saat ia bertemu dengan Bagas…
“Ndi, boleh aku bicara sebentar” Anggi tiba tiba masuk dalam kamarnya, gadis itu sudah terlihat lebih segar setelah ia mengguyur badannya dan berganti pakaian
“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku selarut ini?” Indira melangkahkan kakinya mendekati kasur dimana Anggi duduk lemas tanpa gairah di dalah satu sudutnya
“Bagas….” Anggi meragu bahkan di kalimat pertama, ia menatap Indira memastikan ekspresi apa yang bisa ia tangkap dari wajah yang kini seakan kehilangan sinarnya itu. Indira menatap Anggi menunggu kelanjutan kalimat yang akan Anggi sampaikan padanya
“Aku tahu saat ini kamu marah dan merasa dibohongi olehku ataupun Bagas. Jujur Ndi, tidak ada sedikitpun niatan untuk membohongimu. Aku harap kamu bisa memaafkan aku, Ndi”
“memangnya kamu melakukan kesalahan padaku? Apa yang membuat aku harus marah padamu. Dibohongi? Kebohongan seperti apa yang kamu maksudkan?” Indira masih mencoba untuk menahan diri
“Nggi, semakin kamu bersikap seolah olah tidak terjadi sesuatu, maka semakin besar lagi rasa bersalah yang ada dipundakku. Seperti masalah Devina, kamu sedikitun tidak menyinggungnya di depanku, tapi kamu menghindari Bagas tanpa ia tahu apa yang terjadi dan hanya bisa menebak isi hatimu yang terlalu dalam untuk dijangkau itu”
“Memangnya Bagas kenapa Nggi, katakan apa yang ingin kamu sampaikan. Aku akan mendengar apapun itu”
“Bagas…. Ehm… Bagas adalah anak dari pemilik Waluyo, Cipto Adhi Bagaskara. Dia adalah orang yang selama ini menolak keras keberadaannya di Waluyo. Bagas tidak pernah menginginkan berada di Waluyo, dia tidak pernah ingin orang melihatnya karena siapa dan dari mana ia berasal, tapi dia ingin orang memandangnya karena dirinya, karena kemampuannya bukan karena latar belakang keluarganya. Bagas…..”
“Dan kamu adalah salah satu yang berasal dari keluarga itu kan?”
“Ndi… siapa aku dan bagaimana aku kamu sudah tahu kan? Aku tidak pernah menutupi apapun darimu. Bagas sebagai sepupuku kamu juga tahu itu kan?, tapi keluarga kami berbeda…”
“ya … aku tahu itu. Bagas bukanlah orang yang bangga akan kekayaan orang tuanya. Bagas tidak pernah ingin dianggap dan diakui orang karena dari mana ia berasal. Aku paham itu karena Bagas juga pernah membahas soal itu sebelumnya. Tapi apakah itu juga alasan kenapa kalian menutupi status kalian dariku?”
”Indira…. Aku bukan siapa siapa, aku di Waluyo hanya membantu Bagas”
“Sudahlah Nggi, kalian nggak pernah membohongiku kok. Lagian aku juga tidak pernah membahas atau menanyakan siapa pemilik Waluyo kan, keluarga siapa dan dari mana uang yang aku terima setiap bulannya juga tidak pernah aku ributkan kan?. It’s okay… istirahatlah semua akan baik baik saja”
Indira menepuk pundak Anggi yang masih terlihat tidak tenang, ada senyum yang Indira berikan untuk Anggi meskipun sedikit perasaan kesal merasa dibohongi masih bertengger dengan manis dalam hatinya. Anggi memberikan pelukan dalam perasaan bersalahnya, ia tahu Indira menakan ego dan rasa kesalnya, Anggi sangat memahami ada luka dalam senyum yang menghias wajah Indira.
***

Sementara itu Tama yang dikejar perasaan kebingungan dan bersalahnya memutuskan untuk meninggalkan segala pekerjaan dan keruwetan pikirannya sejenak berkumpul dengan keluarga kecilnya meskipun diluar jadwal kepulangannya. Tama menyadari dengan sebenar benarnya jika kepulangannya akan membuat sang istri banyak bertanya, tapi itulah satu satunya cara yang bisa Tama pikirkan untuk lepas dari kegilaan yang mulai menguasai hatinya
“Mas, kok tumben kamu pulang tanpa mengabariku dan bukankah ini belum akhir pekan. Ada apa?” Sekar memberikan secangkir teh hangat pada Tama yang duduk di ruang tengah, tampak wajahnya yang lelah karena menghabiskan waktu menemani Syifa bermain sepanjang hari sejak kepulangannya bahkan sebelum ia sempat berganti pakaian. Tama tersenyum dan meminum apa yang diberikan oleh Istrinya, dugaannya tepat. Akhirnya pertanyaan itu meluncur mulus dari bibir sang istri
“ah segarnya… terima kasih Bunda” Tama mencoba untuk tidak mengindahkan pertanyaan ibu dari putri kecilnya itu. Sekar menatap Tama dengan ekspresi sedikit aneh, aneh melihat tingkah sang suami yang keluar dari koridor semestinya, sungguh mencurigakan
“Kamu aneh Mas, seharian kamu memanjakan Syifa bahkan sebelum kamu berganti pakaian sudah membawanya bermain. Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas? Bicaralah… sikap kamu ini sungguh membuat aku semakin curiga”
“Apakah aku tidak boleh pulang diluar jadwal biasanya, apakah seorang ayah tidak boleh melampiaskan rasa kangennya pada putrinya?” Tama masih berusaha menutupi gejolak hatinya yang diburu perasaan bersalah pada keluarga kecilnya
“Tapi kamu sungguh aneh seakan akan ada dosa yang ingin kamu kubur dengan sikap manismu yang diluar kebiasaan itu”
“Heiiii Bunda…. belajar dari mana kata kata barusan? Jangan terlalu curiga Bun…. Ah jadi ini yang orang bilang kalau perasaan Istri sangat peka seperti sinyal radar”
“Iiiihs Mas Tama Aneh” Sekar meninggalkan suaminya dengan wajah yang sedikit kesal memasuki kamar dimana putri kecilnya tertidur pulas karena capek bermain. Ia membelai wajah polos sang putri dengan sejuta tanda tanya dalam hati. Kedatangan suami yang tiba tiba dan sikap manisnya membuatnya sedikit hawatir.
‘katakan pada Bunda, Nak. Semua hanya perasaan bunda yang terlalu hawatir… Syifa dan Bunda adalah dunianya Ayah. Dunia yang akan selalu Ayah hias dengan kebahagiaan’ bisik sekar pelan ditelinga Syifa yang tenang. Ia membaringkan badannya memeluk tubuh kecil Syifa… sementara dari pintu Tama memperhatikan sang istri dan bahkan ia mendengar kesahnya. Ia memasuki kamar dengan hati hati. Di sofa yang diletakkan dekat pintu ia menjatuhkan diri
“Bunda sudah tidur” tanyanya kemudian
“Bunda nggak kangen sama Ayah ya, kok kepulangan Ayah jutru dicurigai seperti ini” Ucap Tama dalam pejaman mata yang bersandar di sofa. Sekar belum menimpali barang sekata semua yang Tama ucapkan, ia berpura pura tertidur karena dia tidak ingin kecurigaannya akan memancing amarah sang suami dan akhirnya membuyarkan mimpi indah putri kecilnya
“Ayah tahu Bunda belum tertidur…. Ayah bertemu dengan Indira, Bun” lanjutnya kemudian tanpa menunggu jawaban sang istri, ia berharap Sekar tidak mendengar apa yang ia ucapkan meskipun ia menganggap itu sebagai pengakuan
Degg…. ‘Indira….. Indira Larasati?’ Sekar bertahan dengan pejaman matanya dan hatinya yang sedikit terkoyak oleh nama yang disebutkan oleh suaminya. Ia sangat memahami dengan benar siapa Indira dan seperti apa hubungan suaminya dengan sosok itu. Hening …. Tidak ada suara yang terdengar baik Tama maupun sekar masih bertahan dalam pertahanan masing masing untuk tidak terbawa dalam emosi. Tama mengerti bahwa Sekar akan sangat terganggu dengan nama Indira dan Sekar sangat paham bagaimana rasa bersalah Tama pada Indira
“dimana Mas Tama bertemu dengan Indira?” akhirnya Sekar bersuara dan ia membenahi posisinya untuk duduk bersandar pada ranjang
“Mas Tama bertemu dengan Indira di kota tempat Mas Tama sekarang? Bagaimana?” Tama mengangguk pelan, suara Sekar yang pelan nyaris tak terdengar itu bagaikan belati yang menyayat hatinya, ia tahu wanita itu menahan perasaan terluka
“Apanya yang bagaimana, Bun?” tanyanya kemudian
“Mas Tama pulang karena Mas Tama merasa bersalah pada kami? Mas Tama ingin menebus dosa pada Indira?”
“Bunda….”
“Boleh Aku ketemu dengan Indira? Paling tidak aku mengenal Indira”
Tama tersentak, ia tidak pernah menyangka Sekar akan meminta mempertemukannya dengan Indira, untuk apa? Apa yang akan Sekar lakukan? … Tama hanya bisa bertanya dalam hati tanpa memiliki keberanian untuk mengutarakannya pada Sekar selain hanya menatap wajah istrinya itu dalam diam dan tatapan penuh rasa bersalah



Dont Miss It :
Part 11 : HOLD MY HAND
Part 10 : HOLD MY HAND
Part 9  : HOLD MY HAND 
Part 8 : HOLD MY HAND