Kamis, 17 Desember 2015

PART 4 : HOLD MY HAND




Part 4

"Percaya sama aku, Bro. Kamu nggak akan pernah menyesal menuruti saranku. Nggak akan mengecewakanmu, berani taruhan jika kali ini kamu nggak jatuh cinta juga, maka bisa dipastikan kamu bukan pria normal" 
Bagas menyunggingkan bibirnya geli kala ia mengingat tiap kata yang sepupunya lontarkan demi membujuknya untuk menemui seorang gadis. Dari penampilan fisiknya, Bagas akui kali ini bukanlah gadis biasa. Wajahnya cantik dengan senyum sempurna penuh ketulusan. Ketulusan? Ya mungkin itu sebuah ketulusan karena senyum itu bukanlah sebuah senyuman yang sengaja dipoleskan pada wajah anggunnya saat menghadap sebuah camera melainkan sebuah senyuman saat memberikan pertolongan pada seseorang yang membutuhkan kekuatan untuk bertahan melawan rasa sakit. Pemandangan gila! Itu yang Bagas ucapkan pertama kali saat membuka picture messenge dari Anggi. Sebuah foto seorang dokter cantik yang tengah menolong korban kecelakaan ditengah riyuhnya keluarga pasien yang mencemaskan keadaan keluarga mereka tapi justru sang dokter dengan penuh ketenangan memberikan kekuatan lewat senyumnya pada korban ataupun keluarga yang sedang dilanda kekalutan luar biasa. Bukan gadis dengan wajah full makeup dan dress seksi sempurna melainkan seorang gadis dengan pakaian khas pegawai kesehatan lengkap dengan bercak darah. "Kamu mau mengenalkan aku pada pasien Rumah Sakit?" balasnya kala itu 
"Selain sudah tak tertarik pada gadis, rupanya kamu sudah tak sanggup membedakan mana dokter mana pasien" 
"Gas, dari pada aku sodorkan penampilan sempurna padamu tapi justru kamu menemukan sisi ketidaksempurnaannya, aku pikir lebih baik aku kirim sisi itu untuk kamu temukan sisi sempurnanya biar hatimu terbangun dari tidur panjangnya dan lebih merasa tertantang" 
"Oh ini tantangan? Kalau aku menang apa yang kudapatkan" 
"Sialan... Kamu pikir hati seseorang bisa dijadikan bahan taruhan, lupakan jika memang itu yang ada di otakmu dan habiskan saja sisa hidupmu itu di Rumah Sakit bergaul dengan para pasien" 
"Hey sejak kapan Anggi gampang tersinggung, okay aku akan penuhi permintaanmu, tapi tolong kirimkan fotonya yang lebih jelas biar aku nggak salah orang nantinya" 
"namanya Indira Larasati, dia seorang Dokter Umum di Rumah Sakit Waluyo" 
Singkat pesan yang masuk dalam ponselnya, sepersekian menit Bagas memadang layar ponsel itu, tapi nihil... Anggi tak lagi menghubunginya 'Ah sinting hanya berbekal info yang minim tentangnya, Anggi mengharapkan aku bisa melakukan kencan buta?' gerutunya dalam hati dibalik senyum sinis nan gelinya. 
**

Bagas sampai ketempat tujuan 15 menit lebih awal, dia berjalan santai memasuki restoran tempat Anggi mempersiapkan semua ide gilanya. 
"untuk dua orang atas nama Raihan" 
Pelayan yang menyambut kedatanganku sedikit bingung, bola matanya yang sedikit berputar bisa kupastikan ia tengah berupaya keras untuk mengingat nama Raihan. 
"Bapak yakin atas nama Raihan?" tanyanya kemudian.. 
"ya?" Aku sedikit kaget dengan pertanyaan itu, bukan karena sang pelayan yang justru menanyakan kembali reservasi pada pelanggan melainkan karena aku yang tidak fokus pada pembicaraanku dengan sang pelayan dan sibuk memperhatikan sekitar mencoba membaca situasi 
"tidak ada reservasi yang dilakukan dengan nama itu, Pak?" masih dengan senyum sang pelayan mengatakan itu padaku 
"Ah..... Bagas, dr. Bagas bagaimana dengan itu" aku terlihat seperti orang bodoh di depan pelayan restoran, sesaat aku melupakan siapa yang melakukan reservasi. Anggi tidak mungkin menggunakan nama Raihan. 
"dr. Bagas untuk dua orang jam 7 malam. Mari saya antarkan ke meja Bapak" setelah mendengar nama Bagas, tak butuh waktu lama bagi pelayan untuk menunjukkan jalan. Aku ikuti langkah kakinya yang mengantarkanku masuk ke sisi lain restoran terbesar yang ada di kota kecil ini. Satu meja menghadap tamab sedikit teripisah menjadi pilihan Anggi. 'gadis gila' kugelengkan kepalaku melihat tempat yang Anggi siapkan. Benar-benar sebuah kencan buta yang sempurna. 
"mbak.. Makanan sudah dipesan juga?" tanyaku spontan pada pelayan yang hendak meninggalkan meja yang dipesan Anggi. 
"kalau gitu, tolong satu Coffee latte sebelum teman saya datang ya" pintaku pada pelayan yang terus memberikan senyum itu setelah memberikan anggukan atas pertanyaanku tentang menu. 
"baik" jawabnya singkat... Sesaat aku merasa bosan, 15 menit menunggu adalah hal yang bisa membunuhku dengan seribu pertanyaan tentangnya. Entah seperti apa penampilan gadis itu nantinya, apakah akan menakjubkan seperti yang Anggi terus doktrinkan di otakku, atau... 
"dr. Raihan?!" Ku angkat kepalaku setelah mendengar namaku disebut, tapi kenapa suara itu berbeda dan terdengar sangat akrab ditelingaku, bukankah masih ada waktu 5 menit dari waktu yang dijanjikan

Bagas tersentak dan segera mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Waktu 5 menit yang awalnya dia manfaatkan untuk lebih mengenali gadis yang akan ditemuinya lewat foto yang ia terima dari Anggi malam ini seakan buyar karena suara yang teramat aneh baginya malam ini. 'permainan apa ini?' Gumamnya dalam hati saat kedua iris matanya menangkap sosok yang berdiri dihadapannya kini. 
"dr. Raihan?" sekali lagi pria itu menyapanya.. 
"Hai Tam" jawabnya singkat sembari mengulurkan tangannya 
"duduk dulu Tam, temenin aku sebentar sebelum temanku datang" Bagas mengisyaratkan pada Tama untuk duduk di kursi yang berhadapan dengannya. 
"serius nih saya boleh duduk, nanti malah mengacaukan acara dokter" 
"Ah kamu bisa aja, santai saja.. Ya itung itung biar aku nggak bosan" Bagas tertawa 
"nanti kalau ada cewek cantik berjalan kesini pakai baju warna pastel kamu langsung berdiri ya" sambungnya kemudian yang di sambut oleh pelototan mata Tama dengan ekspresi kesal 
"Ah kalau begitu aku pulang sajalah Dok" 
Candaan keduanya mengalir begitu saja, Tama yang kebetulan selesai Meeting dengan klien nya di Restoran itu membuat Bagas sejenak melupakan kegrogiannya akan sosok yang akan ditemuinya 
"tapi sebenarnya siapa wanita itu Dok? beruntung dia bisa membuat seorang Dokter Raihan Bagaskara keluar dari Ruang Operasi" 
"Aku juga belum tau seperti apa orangnya, karena jujur ini Blind Date
setengah berbisik Bagas berterus terang. Ya, Tama adalah salah satu orang yang secara tak sengaja menjadi sahabatnya, salah satu orang yang juga selalu bisa menjaga rahasia identitasnya. 
"dr. Raihan melakukan Blind Date... Astaga dunia sudah mau kiamat ya?" 
Tama tersentak oleh penjelasan Bagas, dimatanya seorang Raihan Bagaskara adalah sosok yang sempurna. Seorang dokter tampan, ramah juga putra pengusaha sukses. Rasanya mustahil seorang Raihan menempuh jalan yang dilakukannya kini sementara sebenarnya dia bisa menunjuk siapa yang dia inginkan dengan jarinya pada seorang gadis untuk dipacarinya bila dia mau. 

Sementara itu dari arah pintu masuk, seorang gadis cantik tampak ragu mendekati pelayan yang membukakan pintu untuknya. Setelah berbincang sesaat, akhirnya sang pelayan menunjukkan arah kemana ia harus menemui orang yang menantinya. 'telat 10 menit bukanlah hal yang patut diributkan' pikirnya cuek dan terus mendekati meja yang ditunjukkan sang pelayan. 
"biar saya cari sendiri, Mbak! Meja 28 kan?" 
Indira menghentikan langkah pelayan, dengan sopan sang pelayan mengangguk dan permisi meninggalkan Indira sendiri. Langkahnya kini semakin pelan hingga nyaris suara hentakan heels yang ia pakai tak terdengar. Mata Indira menyapu tiap sudut restoran, tidak ada tanda tanda seseorang menuggunya. Semua nampak terisi dua orang atau lebih, adapun meja kosong, tapi bukan nomor 28 yang terdapat disana dan seharusnya meja nomor 28 adalah meja yang berada di ujung menghadap taman dan sedikit terpisah dari keramaian yang ia temukan. 'Ya, itu angka 28' gumamnya dalam hati. Tapi disana ada dua orang pria yang tengah berbicara. Dua sosok pria muda tampak akrab sedang berbicara sambil sesekali berbagi tawa. Indira melangkahkan kakinya semakin dekat tapi tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan reflek membalikkan badan seakan tidak ingin seseorang mengenalinya yang hampir membuat pelayan yang ada dibelakangnya terjatuh. 
"Ah maaf, maaf saya nggak sengaja"
seketika Indira mengeluarkan beberapa rupiah untuk mengganti minuman yang sukses ia tumpahkah dan berantakan di atas nampan 
"maaf Mbak ya, nggak ada yang pecah kan? Mbak nggak terluka kan? Saya terburu-buru. Sekali lagi saya minta maaf" Indira meninggalkan lembaran rupiah itu diatas nampan yang kini penuh oleh tumpahan minuman. Tanpa pikir panjang ia melangkah menjauh dari sana sebelum apa yang tak ia inginkan terjadi.

Mendengar ada keributan dibalik punggungnya, Bagas membalikkan badan. Begitupun dengan Prasta, ia menghentikan tawanya seketika saat melihat wanita muda yang tanpa sengaja hampir menabrak pelayanan dengan nampan penuh minuman, tapi sayang keduanya hanya mendapati punggung sang gadis. 
"Maaf ya Mbak" lamat lamat terdengar permintaan maaf sang gadis pada pelayan itu lalu dia pergi dengan langkah seribu. Bagas yang menyaksikan kejadian itu dari tempatnya duduk baru menyadari apa yang ada di depan matanya 'dress warna pastel, rambut lurus tergerai, heels dan Silver bag, dia??? Ya itu dia...' Bagas membuka ponselnya, foto terakhir yang Anggi kirimkan beberapa detik setelah ia memasuki restoran adalah gadis itu, Bagas sangat yakin meskipun hanya punggung yang ia dapati, tapi penampilan gadis itu dari ujung kepala sampai kakinya adalah penjelmaan dari gambar yang ada ditangannya kini. 
"dr. Raihan!" Prasta terkejut melihat Bagas tiba-tiba berdiri dari tempatnya tanpa berbicara apapun pergi meninggalkannya.

Di depan restoran Bagas berhenti, gadis itu telah memasuki mobilnya dan berlalu. Meskipun bukan parasnya yang ia lihat tapi ia sangat yakin itu dr. Indira yang hendak menemuinya. 'mungkinkah??? Tapi jika benar itu orangnya kenapa dia justru pergi bahkan sebelum bertemu denganku' pemikiran logis itu menghampiri Bagas, ia pandang foto itu sekali lagi dan kembali ke mejanya. Prastapun sepertinya telah pergi. Jam ditangan Bagas kini sudah menunjukkan pukul 7.30 malam, ia masih menanti. Jarum jam terus bergulir, waktu yang dijanjikan telah terlewati 'Ah ini gila' Bagas mengumpat. 
"Mbak, maaf.... Mbak yang tadi tertabrak gadis yang...." 
"iya Pak, kenapa" Pelayan yang ia hentikan itu menangkap maksud Bagas 
"inikah orangnya?" 
"Ya, Mbak ini yang tadi hampir menabrak saya, kenapa Pak" 
"oh terima kasih Mbak.. Permisi" tanpa pikir panjang Bagas meninggalkan mejanya, ia masukan ponsel itu dalam saku celananya, beberapa lembar uang ia tinggalkan di meja. Ia pergi tanpa berhasil melihat paras yang katanya bisa membuatnya tidak dapat menolak untuk tidak jatuh cinta. Bagas tertawa kecil, di dalam mobilnya ia terus memikirkan apa yang barusan ia alami, pertama kalinya memutuskan untuk Blind Date dan pertama kalinya juga ia dibuat idiot menunggu beberapa jam di Restoran. 'Bagas, What happend with you... Sebegitu penasaran kah dirimu padanya?' 'apakah aku benar-benar ingin bertemu dengan dia, cukup terlambatkah diriku untuk membuka hati sampai harus melakukan blind date. Ah Bagas sepertinya kamu sudah gila' runtukan runtukan itu terus menemani perjalanan Bagas. Sungguh di luar dugaannya, ia merasa telah di tolak oleh orang yang bahkan belum pernah ia lihat. 
** 

"Gas, sory... Semua terjadi di luar rencanaku. Dia sebenarnya datang ke restoran itu, tapi.... " Anggi yang sengaja datang menemuinya tak menyelesaikan kalimatnya. Bagas hanya diam sesantai mungkin seakan tak terpengaruh sama sekali oleh kejadian yang terus membuatnya merasa bodoh itu. 
"Indira bukan orang yang mudah lari dari kenyataan tanpa alasan, jika dia pergi dari sana bahkan setelah beberapa meter dari mej kalian maka aku yakin alasannya bukan hal yang biasa"
"kenyataannya?. Sudahlah Nggi, semua sudah lewat dan artinya memang aku tidak boleh mengikuti rencanamu" 
"Gas, seandainya kamu tau alasannya... Aah ini gila. Pokoknya kamu harus menemuinya lagi" Anggi kembali memaksa sepupunya itu mengikuti kemauannya. 
"temui dia di Rumah Sakit, gunakan bantuan Om Satya!" Anggi menatap Bagas penuh penekanan yang dibalas oleh tatapan sama tegasnya oleh Bagas. 
"di Rumah Sakit??? Disana??? Kamu sudah gila ya Nggi, kamu suruh aku menemui dr. Indira di Rumah Sakit itu. Kamu benar-benar sudah tidak waras ya Nggi?" 
"Apa salahnya dengan RS, toh kamu juga nggak akan mati jika menginjakkan kaki disana. Memang kenapa, kamu takut datang kesana?" 
"aku sama sekali tidak takut, tapi......" Bagas menggantungkan kalimatnya, ia sadar Anggi sangat memahami alasannya dan tidak membutuhkan penjelasan tapi sepupunya itu kini justru memaksanya untuk memasuki Rumah Sakit itu demi seorang Indira Larasati

Don't Miss It :
Part 1 :HOLD MY HAND
Part 2 : HOLD MY HAND 
Part 3 : HOLD MY HAND

Tidak ada komentar:

Posting Komentar