Part 4
"Percaya sama aku, Bro. Kamu nggak akan pernah
menyesal menuruti saranku. Nggak akan mengecewakanmu, berani taruhan jika kali
ini kamu nggak jatuh cinta juga, maka bisa dipastikan kamu bukan pria
normal"
Bagas menyunggingkan bibirnya geli kala ia mengingat tiap kata
yang sepupunya lontarkan demi membujuknya untuk menemui seorang gadis. Dari
penampilan fisiknya, Bagas akui kali ini bukanlah gadis biasa. Wajahnya cantik
dengan senyum sempurna penuh ketulusan. Ketulusan? Ya mungkin itu sebuah
ketulusan karena senyum itu bukanlah sebuah senyuman yang sengaja dipoleskan
pada wajah anggunnya saat menghadap sebuah camera melainkan sebuah senyuman
saat memberikan pertolongan pada seseorang yang membutuhkan kekuatan untuk
bertahan melawan rasa sakit. Pemandangan gila! Itu yang Bagas ucapkan pertama
kali saat membuka picture messenge dari Anggi. Sebuah foto seorang dokter
cantik yang tengah menolong korban kecelakaan ditengah riyuhnya keluarga pasien
yang mencemaskan keadaan keluarga mereka tapi justru sang dokter dengan penuh
ketenangan memberikan kekuatan lewat senyumnya pada korban ataupun keluarga
yang sedang dilanda kekalutan luar biasa. Bukan gadis dengan wajah full makeup
dan dress seksi sempurna melainkan seorang gadis dengan pakaian khas pegawai
kesehatan lengkap dengan bercak darah. "Kamu mau mengenalkan aku pada
pasien Rumah Sakit?" balasnya kala itu
"Selain sudah tak tertarik
pada gadis, rupanya kamu sudah tak sanggup membedakan mana dokter mana
pasien"
"Gas, dari pada aku sodorkan penampilan sempurna padamu tapi
justru kamu menemukan sisi ketidaksempurnaannya, aku pikir lebih baik aku kirim
sisi itu untuk kamu temukan sisi sempurnanya biar hatimu terbangun dari tidur
panjangnya dan lebih merasa tertantang"
"Oh ini tantangan? Kalau aku
menang apa yang kudapatkan"
"Sialan... Kamu pikir hati seseorang bisa
dijadikan bahan taruhan, lupakan jika memang itu yang ada di otakmu dan
habiskan saja sisa hidupmu itu di Rumah Sakit bergaul dengan para pasien"
"Hey sejak kapan Anggi gampang tersinggung, okay aku akan penuhi permintaanmu,
tapi tolong kirimkan fotonya yang lebih jelas biar aku nggak salah orang
nantinya"
"namanya Indira Larasati, dia seorang Dokter Umum di Rumah
Sakit Waluyo"
Singkat pesan yang masuk dalam ponselnya, sepersekian menit
Bagas memadang layar ponsel itu, tapi nihil... Anggi tak lagi menghubunginya
'Ah sinting hanya berbekal info yang minim tentangnya, Anggi mengharapkan aku
bisa melakukan kencan buta?' gerutunya dalam hati dibalik senyum sinis nan
gelinya.
**
Bagas sampai ketempat tujuan 15 menit lebih awal, dia
berjalan santai memasuki restoran tempat Anggi mempersiapkan semua ide gilanya.
"untuk dua orang atas nama Raihan"
Pelayan yang menyambut
kedatanganku sedikit bingung, bola matanya yang sedikit berputar bisa
kupastikan ia tengah berupaya keras untuk mengingat nama Raihan.
"Bapak
yakin atas nama Raihan?" tanyanya kemudian..
"ya?" Aku sedikit
kaget dengan pertanyaan itu, bukan karena sang pelayan yang justru menanyakan
kembali reservasi pada pelanggan melainkan karena aku yang tidak fokus pada pembicaraanku
dengan sang pelayan dan sibuk memperhatikan sekitar mencoba membaca situasi
"tidak ada reservasi yang dilakukan dengan nama itu, Pak?" masih
dengan senyum sang pelayan mengatakan itu padaku
"Ah..... Bagas, dr. Bagas
bagaimana dengan itu" aku terlihat seperti orang bodoh di depan pelayan
restoran, sesaat aku melupakan siapa yang melakukan reservasi. Anggi tidak
mungkin menggunakan nama Raihan.
"dr. Bagas untuk dua orang jam 7 malam.
Mari saya antarkan ke meja Bapak" setelah mendengar nama Bagas, tak butuh
waktu lama bagi pelayan untuk menunjukkan jalan. Aku ikuti langkah kakinya yang
mengantarkanku masuk ke sisi lain restoran terbesar yang ada di kota kecil ini.
Satu meja menghadap tamab sedikit teripisah menjadi pilihan Anggi. 'gadis gila'
kugelengkan kepalaku melihat tempat yang Anggi siapkan. Benar-benar sebuah
kencan buta yang sempurna.
"mbak.. Makanan sudah dipesan juga?"
tanyaku spontan pada pelayan yang hendak meninggalkan meja yang dipesan Anggi.
"kalau gitu, tolong satu Coffee latte sebelum teman saya datang ya"
pintaku pada pelayan yang terus memberikan senyum itu setelah memberikan
anggukan atas pertanyaanku tentang menu.
"baik" jawabnya singkat...
Sesaat aku merasa bosan, 15 menit menunggu adalah hal yang bisa membunuhku
dengan seribu pertanyaan tentangnya. Entah seperti apa penampilan gadis itu
nantinya, apakah akan menakjubkan seperti yang Anggi terus doktrinkan di
otakku, atau...
"dr. Raihan?!" Ku angkat kepalaku setelah mendengar
namaku disebut, tapi kenapa suara itu berbeda dan terdengar sangat akrab
ditelingaku, bukankah masih ada waktu 5 menit dari waktu yang dijanjikan
Bagas tersentak dan segera mengalihkan pandangannya
dari layar ponsel. Waktu 5 menit yang awalnya dia manfaatkan untuk lebih
mengenali gadis yang akan ditemuinya lewat foto yang ia terima dari Anggi malam
ini seakan buyar karena suara yang teramat aneh baginya malam ini. 'permainan
apa ini?' Gumamnya dalam hati saat kedua iris matanya menangkap sosok yang
berdiri dihadapannya kini.
"dr. Raihan?" sekali lagi pria itu
menyapanya..
"Hai Tam" jawabnya singkat sembari mengulurkan tangannya
"duduk dulu Tam, temenin aku sebentar sebelum temanku datang" Bagas
mengisyaratkan pada Tama untuk duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
"serius nih saya boleh duduk, nanti malah mengacaukan acara dokter"
"Ah kamu bisa aja, santai saja.. Ya itung itung biar aku nggak bosan"
Bagas tertawa
"nanti kalau ada cewek cantik berjalan kesini pakai baju
warna pastel kamu langsung berdiri ya" sambungnya kemudian yang di sambut
oleh pelototan mata Tama dengan ekspresi kesal
"Ah kalau begitu aku pulang
sajalah Dok"
Candaan keduanya mengalir begitu saja, Tama yang kebetulan
selesai Meeting dengan klien nya di Restoran itu membuat Bagas sejenak
melupakan kegrogiannya akan sosok yang akan ditemuinya
"tapi sebenarnya
siapa wanita itu Dok? beruntung dia bisa membuat seorang Dokter Raihan
Bagaskara keluar dari Ruang Operasi"
"Aku juga belum tau seperti apa
orangnya, karena jujur ini Blind Date"
setengah berbisik Bagas berterus
terang. Ya, Tama adalah salah satu orang yang secara tak sengaja menjadi
sahabatnya, salah satu orang yang juga selalu bisa menjaga rahasia
identitasnya.
"dr. Raihan melakukan Blind Date... Astaga dunia sudah mau
kiamat ya?"
Tama tersentak oleh penjelasan Bagas, dimatanya seorang Raihan
Bagaskara adalah sosok yang sempurna. Seorang dokter tampan, ramah juga putra
pengusaha sukses. Rasanya mustahil seorang Raihan menempuh jalan yang
dilakukannya kini sementara sebenarnya dia bisa menunjuk siapa yang dia
inginkan dengan jarinya pada seorang gadis untuk dipacarinya bila dia mau.
Sementara itu dari arah pintu masuk, seorang gadis
cantik tampak ragu mendekati pelayan yang membukakan pintu untuknya. Setelah
berbincang sesaat, akhirnya sang pelayan menunjukkan arah kemana ia harus
menemui orang yang menantinya. 'telat 10 menit bukanlah hal yang patut
diributkan' pikirnya cuek dan terus mendekati meja yang ditunjukkan sang
pelayan.
"biar saya cari sendiri, Mbak! Meja 28 kan?"
Indira
menghentikan langkah pelayan, dengan sopan sang pelayan mengangguk dan permisi
meninggalkan Indira sendiri. Langkahnya kini semakin pelan hingga nyaris suara
hentakan heels yang ia pakai tak terdengar. Mata Indira menyapu tiap sudut
restoran, tidak ada tanda tanda seseorang menuggunya. Semua nampak terisi dua
orang atau lebih, adapun meja kosong, tapi bukan nomor 28 yang terdapat disana
dan seharusnya meja nomor 28 adalah meja yang berada di ujung menghadap taman
dan sedikit terpisah dari keramaian yang ia temukan. 'Ya, itu angka 28'
gumamnya dalam hati. Tapi disana ada dua orang pria yang tengah berbicara. Dua
sosok pria muda tampak akrab sedang berbicara sambil sesekali berbagi tawa.
Indira melangkahkan kakinya semakin dekat tapi tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya dan reflek membalikkan badan seakan tidak ingin seseorang
mengenalinya yang hampir membuat pelayan yang ada dibelakangnya terjatuh.
"Ah maaf, maaf saya nggak sengaja"
seketika Indira mengeluarkan
beberapa rupiah untuk mengganti minuman yang sukses ia tumpahkah dan berantakan
di atas nampan
"maaf Mbak ya, nggak ada yang pecah kan? Mbak nggak terluka
kan? Saya terburu-buru. Sekali lagi saya minta maaf" Indira meninggalkan
lembaran rupiah itu diatas nampan yang kini penuh oleh tumpahan minuman. Tanpa
pikir panjang ia melangkah menjauh dari sana sebelum apa yang tak ia inginkan
terjadi.
Mendengar ada keributan dibalik punggungnya, Bagas
membalikkan badan. Begitupun dengan Prasta, ia menghentikan tawanya seketika
saat melihat wanita muda yang tanpa sengaja hampir menabrak pelayanan dengan
nampan penuh minuman, tapi sayang keduanya hanya mendapati punggung sang gadis.
"Maaf ya Mbak" lamat lamat terdengar permintaan maaf sang gadis pada
pelayan itu lalu dia pergi dengan langkah seribu. Bagas yang menyaksikan
kejadian itu dari tempatnya duduk baru menyadari apa yang ada di depan matanya
'dress warna pastel, rambut lurus tergerai, heels dan Silver bag, dia??? Ya itu
dia...' Bagas membuka ponselnya, foto terakhir yang Anggi kirimkan beberapa
detik setelah ia memasuki restoran adalah gadis itu, Bagas sangat yakin
meskipun hanya punggung yang ia dapati, tapi penampilan gadis itu dari ujung
kepala sampai kakinya adalah penjelmaan dari gambar yang ada ditangannya kini.
"dr. Raihan!" Prasta terkejut melihat Bagas tiba-tiba berdiri dari
tempatnya tanpa berbicara apapun pergi meninggalkannya.
Di depan restoran Bagas berhenti, gadis itu telah
memasuki mobilnya dan berlalu. Meskipun bukan parasnya yang ia lihat tapi ia
sangat yakin itu dr. Indira yang hendak menemuinya. 'mungkinkah??? Tapi jika
benar itu orangnya kenapa dia justru pergi bahkan sebelum bertemu denganku'
pemikiran logis itu menghampiri Bagas, ia pandang foto itu sekali lagi dan
kembali ke mejanya. Prastapun sepertinya telah pergi. Jam ditangan Bagas kini
sudah menunjukkan pukul 7.30 malam, ia masih menanti. Jarum jam terus bergulir,
waktu yang dijanjikan telah terlewati 'Ah ini gila' Bagas mengumpat.
"Mbak, maaf.... Mbak yang tadi tertabrak gadis yang...."
"iya
Pak, kenapa" Pelayan yang ia hentikan itu menangkap maksud Bagas
"inikah
orangnya?"
"Ya, Mbak ini yang tadi hampir menabrak saya, kenapa
Pak"
"oh terima kasih Mbak.. Permisi" tanpa pikir panjang Bagas
meninggalkan mejanya, ia masukan ponsel itu dalam saku celananya, beberapa
lembar uang ia tinggalkan di meja. Ia pergi tanpa berhasil melihat paras yang
katanya bisa membuatnya tidak dapat menolak untuk tidak jatuh cinta. Bagas
tertawa kecil, di dalam mobilnya ia terus memikirkan apa yang barusan ia alami,
pertama kalinya memutuskan untuk Blind Date dan pertama kalinya juga ia dibuat
idiot menunggu beberapa jam di Restoran. 'Bagas, What happend with you...
Sebegitu penasaran kah dirimu padanya?' 'apakah aku benar-benar ingin bertemu
dengan dia, cukup terlambatkah diriku untuk membuka hati sampai harus melakukan
blind date. Ah Bagas sepertinya kamu sudah gila' runtukan runtukan itu terus
menemani perjalanan Bagas. Sungguh di luar dugaannya, ia merasa telah di tolak
oleh orang yang bahkan belum pernah ia lihat.
**
"Gas, sory... Semua terjadi di luar rencanaku.
Dia sebenarnya datang ke restoran itu, tapi.... " Anggi yang sengaja
datang menemuinya tak menyelesaikan kalimatnya. Bagas hanya diam sesantai
mungkin seakan tak terpengaruh sama sekali oleh kejadian yang terus membuatnya
merasa bodoh itu.
"Indira bukan orang yang mudah lari dari kenyataan tanpa
alasan, jika dia pergi dari sana bahkan setelah beberapa meter dari mej kalian
maka aku yakin alasannya bukan hal yang biasa"
"kenyataannya?.
Sudahlah Nggi, semua sudah lewat dan artinya memang aku tidak boleh mengikuti
rencanamu"
"Gas, seandainya kamu tau alasannya... Aah ini gila.
Pokoknya kamu harus menemuinya lagi" Anggi kembali memaksa sepupunya itu
mengikuti kemauannya.
"temui dia di Rumah Sakit, gunakan bantuan Om
Satya!" Anggi menatap Bagas penuh penekanan yang dibalas oleh tatapan sama
tegasnya oleh Bagas.
"di Rumah Sakit??? Disana??? Kamu sudah gila ya Nggi,
kamu suruh aku menemui dr. Indira di Rumah Sakit itu. Kamu benar-benar sudah
tidak waras ya Nggi?"
"Apa salahnya dengan RS, toh kamu juga nggak
akan mati jika menginjakkan kaki disana. Memang kenapa, kamu takut datang
kesana?"
"aku sama sekali tidak takut, tapi......" Bagas
menggantungkan kalimatnya, ia sadar Anggi sangat memahami alasannya dan tidak
membutuhkan penjelasan tapi sepupunya itu kini justru memaksanya untuk memasuki
Rumah Sakit itu demi seorang Indira Larasati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar