Part
11
Bagas
masih terpaku dalam diamnya menunggu apa yang akan dilakukan oleh Indira
padanya sehingga harus menghentikan langkahnya. Gadis itu memegang lengan Bagas
dengan kuat dan menatap mata Bagas
yang tertutup oleh kaca rayben, tak ada kata yang Bagas ucapkan, entahkah ada
sisi lain dari hati Bagas yang merasa kecewa atas jawaban Indira saat ia
menanyakan tentang Prasta dan berkata ‘Nggak
penting untuk di bahas’ kata kata ini membuat Bagas merasa sedikit terluka ‘jika dia tidak penting, lantas kenapa kamu
merasa tidak mampu menelan makanan yang dia kirim untukmu. Jika dia tidak penting lalu
untuk apa kamu mencoba menghindar sekuat tenaga dari segala hal tentangnya. Jika
dia tidak penting, lantas kenapa dia berani mengirimkan sesuatu buatmu. Apakah makananku
sebenarnya juga bernasib sama. Apakah sebenarnya aku juga tidak pernah menjadi
bagian penting dalam dirimu’ tanpa dikomando,
pertanyaan pertanyaan itu berputar di kepala Bagas setelah kata tidak penting
keluar dari bibir tipis Indira.
“Tentang
Prasta yang membuat kamu seperti ini?”
Indira
masih menatap Bagas dengan pegangan kencang pada lengan pria itu, mata indahnya
meredup
“Kamu
ingin tahu siapa Prasta?” suara Indira sedikit bergetar
“don’t
force yourself if you do not want it” Lirih suara Bagas terdengar sangat berat
“Prasta
adalah masa lalu yang ingin aku kubur paling dalam, sisi dalam hidupku yang
ingin aku pendam. Seseorang yang tak pernah ingin aku kenang. Prasta adalah
satu satunya bagian dalam hidupku yang tidak ingin aku bagi dengan siapapun termasuk denganmu.
Prasta alasan yang membuat aku berada disini, Prasta yang membuat kita bisa
bertemu. Masa yang ingin aku hindari tapi justru muncul dihadapan langkahku.
Prasta adalah orang itu…. bagian dalam hidupku yang ingin aku hapuskan sekuat
aku mampu. Prasta….”
Indira
menundukkan wajahnya, airmatanya menetes membasahi pipi. Apa yang selama ini
sekuat tenaga ingin ia sembunyikan dari Bagas kini jutru harus ia buka dengan
bibirnya sendiri. Pegangan Indira pada lengan Bagas melemah…
‘mungkinkah
dia orang yang kamu cintai, Ndi? Mungkinkah dia orang yang masih mengusai ruang
dalam hatimu. Mungkinkah hatimu masih menjadi miliknya sehingga kamu terluka
seperti ini?’ Bagas memejamkan
matanya sesaat menggigit kuat menahan sakit yang ia rasakan melihat kepedihan
yang Indira rasakan kini, hatinya terluka.
“Itulah
Prasta, Gas…. Prasta yang ingin kamu ketahui” suaranya parau, tangannya
melepaskan pegangan kuat yang menahan langkah Bagas secara perlahan, tapi kini
Bagas justru menarik tangan itu
mendekat padanya, Bagas menarik tubuh Indira dalam dekapannya. Airmata Indira
yang menetes membuatnya merasa bersalah. Entah kekuatan apa yang membuat Bagas
berani melakukan itu pada Indira, untuk pertama kalinya melihat airmata
membasahi pipi Indira karena dirinya seakan memberikan keberanian untuk memeluk
tubuh dokter cantik itu. Bahkan saat ini mungkin Indira bisa mendengar detak
jantung Bagas yang memburu, tak ada
penolakan ataupun perlawanan dari Indira. Gadis itu diam dalam derai air mata
yang tumpah dalam pelukan Bagas tanpa suara. Perih.
“Maaf
Ndi, maaf…. Aku tidak bermaksud untuk mengorek apa yang ingin kamu pendam.
Sekali lagi aku minta maaf telah membuat airmatamu menetes” bisik pagas
menenangkan Indira yang menahan lukanya dalam diamnya. Bagas memeluk erat tubuh
Indira, dadanya basah oleh airmata yang keluar dari mata cantik Indira. Airmata
dari tangis pilu tanpa suara yang menyayat hati Bagas. Setelah Indira sedikit
tenang, Bagas membimbing Indira untuk duduk di sofa, Bagas menyeka airmata yang
membasahi pipi Indira, wajah cantik itu kini terlihat sendu. Kedua tangannya
menggenggam tangan Indira memberi kekuatan, luka itu terlihat dari raut wajah
Indira.
“Sekali
lagi aku minta maaf Ndi, sisi egoku membuat aku bersikap seperti tadi. Aku minta
maaf, aku bener bener minta maaf”
Indira
mengangguk pelan dalam hembusan nafas panjangnya
“Dia
ada di kota ini Gas, kota dimana aku berlari untuk menghindarinya bahkan dia
sering mengirimkan makanan untukku setelah tau dimana aku berada. Aku ingin
membencinya tapi aku tak pernah mampu melakukan itu. Aku berlari sekuat tenaga,
tapi aku tak pernah bisa tidak memberikan senyum saat dia hadir dihadapanku,
pernah terpikir olehku untuk kembali melarikan diri tapi……” Indira kembali
menundukkan kepala, ia memejamkan matanya yang memanas menahan air mata yang sekali lagi akan tumpah
‘mungkinkah kau masih
mencintainya Ndi? Mungkinkah kamu masih menyimpan dirinya di hatimu sehingga
kamu harus terus berusaha lari.. ada aku Ndi, aku yang kini bersedia membantumu
menghapus sisi buruk itu. Cobalah untuk berpaling padaku, sedikit saja agar
luka itu tidak terasa
sakit lagi dan bahkan menghilang tanpa kamu sadari’ gemuruh
hati Bagas yang tak sanggup ia keluarkan, Bagas tak cukup memiliki kekuatan
untuk menorehkan luka pada Indira yang mungkin akan terasa sangat perih dari
kemungkinan kemungkinan yang kini berputar dalam pikirannya
“Sudah
Nggi…. Sudah, kamu tak perlu menjelaskan apapun lagi padaku, aku percaya. terima
kasih kini kamu bersedia membukannya padaku, aku sangat hargai itu. Yang aku
minta darimu saat ini, kamu harus bahagia, okey!” Indira mengangguk dan sekali
lagi Bagas menarik Indira dalam pelukannya memberikan kecupan pada kepala gadis
itu.
Beberapa
saat berlalu, Anggi kembali,
“Ada
apa ini? Gas, kamu apain sahabatku” Anggi duduk didekat Indira, mata Indira
yang sembab dan memerah membuatnya hawatir. Bagas hanya terdiam.
“Nggak
apa apa Nggi.. aku baik baik saja”
“Tapi
kenapa kamu nangis, Bagas ngomong apa?? Dan….. ini apa?” Anggi menatap tangan
Bagas yang masih menggenggam tangan Indira
“Jangan
seperti anak TK kamu Nggi” Bagas masih bertahan menahan Indira yang berusaha
menarik tangannya. Anggi tersenyum penuh makna memandang Bagas dan Indira
bergantian
“Aku
nggak apa apa Gas” Indira meyakinkan Bagas
“Hmm…
kamu anter Indira pulang deh Gas, biar dia bisa istirahat di rumah” pinta Anggi
“Nggak
Nggi, aku masih ada pekerjaan”
“Indira,
please… sehat dulu baru kerja” sergah Bagas tegas
“Aku
nggak apa apa, Bagas. Aku sehat!”
“Suster
Mia, tolong bawakan tas dr. Indira ke ruangan dr. Anggia ya” Anggi menelpon ke
ruang kerja Indira
“Nggi,
kamu nggak perlu melakukan itu… aku baik baik saja” Indira bersikeras untuk
tinggal. Bagas menatapnya tajam.
Tidak
lama berselang, suster Mia datang dengan Gucci
Dark Brown andalan Indira.
“laporan
pasien yang perlu saya periksa tolong sekalian ya Sus”
“Oh
baik Dokter, sebentar saya ambilkan dulu”
“terima
kasih ya Suster Mia, maaf merepotkan”
***
Bagas
tidak banyak bicara sepanjang perjalanan menuju rumah kontrakan Indira,
begitupun dengan Indira. Keduanya tenggelam dalam pikirannya masing masing.
Sekedar untuk membunuh waktu, Indira membuka laporan suster Mia yang ia minta,
Bagas semakin tidak bersuara.
Sesampainya
di rumah kontrakan Indira, Bagas tak langsung membuka kunci otomatis mobilnya,
bicarapun tidak. Indira menunggu dalam diam. Ia takut untuk bertanya, takut
kalau akhirnya Bagas menanyakan sesuatu yang akan memaksanya untuk membuka secara rinci sisi kelam dalam
hidupnya. Cukup Bagas mengetahui siapa Prasta tapi dia tidak perlu mengerti
seperti apa detailnya, itu yang ada dalam pikiran Indira.
“Kita
makan dulu ya, kamu belum makan kan?”
Indira
tidak menjawab, ia tahu ada sesuatu yang ingin Bagas sampaikan padanya namun ia
pendam. Indira tidak ingin mendengar apapun saat ini baik itu tentang dirinya
ataupun hal lainnya. Yang ia inginkan adalah tertidur sedini mungkin untuk
melupakan beban hati yang
menderanya. Beberapa saat menunggu dan tidak ada jawaban, Bagas memacu mobilnya
meninggalkan kontrakan Indira. Bukan lagi pusat kota yang Bagas tuju seperti
biasanya saat ia membawa Indira, kini dia membawa gadis itu jauh semakin masuk
dalam pinggiran kota dimana Indira mengabdikan diri. Pilihan Bagas tidak pernah
jauh dari hal hal yang berbau pedesaan, di parkiran sebuah rumah makan di kaki
gunung sengaja ia pilih “Sendang Raos”.
Indira
mengikuti langkah Bagas, ia tidak bersuara sedikitpun. Apa yang Bagas minta
hanya ia laksanakan tanpa bertanya sekalipun, bukan karena dia enggan, tapi dia
tidak ingin mengecewakan Bagas setalah dia membuka apa yang sebenarnya tidak
seharusnya ia ketahui dan Indira tahu sedikit banyak Bagas pasti terluka. Luka
yang tanpa sengaja ia torehkan.
“Bagas”
tepat di depan pintu masuk langkah keduanya terhenti, wanita cantik nan seksi
menghampiri mereka
“Aku
nggak salah lihat kan, yaaa… ini dr. Raihan
Bagaskara. Apa kabar, Gas?”
wanita itu menyapa Bagas dengan pandangan yang tak pernah bergeser sedikitpun
dari sosok Bagas seakan akan ingin menerkam Bagas habis
‘sepertinya aku memilih
tempat yang salah’ sesal Bagas setelah
melihat wanita yang kini ada di hadapannya
“Devina, apa kabar Vin?”
“Seperti
yang kamu lihat, masih cukup cantik setelah kamu tinggalkan” mendengar itu
Bagas tersenyum kecut dan segera
meraih tangan Indira untuk masuk, ia sadar keberadaan Indira telah dilupakan
oleh Devina dan mungkin berlama lama disana hanya akan memberi kesempatan pada
Devina untuk mengatakan sesuatu yang tidak penting
“Maaf,
Vin… aku masuk dulu ya”
“Oh
silahkan, hmmm...
ini siapa Gas?” Devina memandang Indira dari ujung kaki hingga kepala dengan
pandangan aneh sedikit meremehkan
“Jadi sekarang selera
kamu seperti ini…. cantik ….. oh, seorang dokter di Waluyo. I know… tapi
meskipun dia seorang dokter, aku rasa dia terlalu sederhana untuk ukuranmu Gas.
Aku jamin tidak lebih kaya dari aku. Oke alasanmu tidak mau menerima aku lagi
hanya karena wanita seperti ini, fine”
“Maksud
Anda?” suasana hati Indira yang belum pulih mulai terusik dengan pernyataan Devina,
senyum yang ia berikan untuk Devina seketika luntur terkikis emosi yang mulai
naik. Sedikit banyak Indira memahami maksud wanita itu. Ya … Bagas dan Anggi
berasal dari keluarga yang kaya, terlebih Bagas yang seorang putra pengusaha
sukses di kota ini, Indira mengerti kemana arah pembicaraan Devina yang
mengukur dirinya dari penampilannya yang ia kuliti sejak pertama ia menyadari
keberadaan Indira di samping Bagas
“Maaf
Bu Dokter, saya tidak ada urusan dengan Anda”
“Cukup
Vin. Hentikan kegilaanmu….. tidak usah ditanggapi Ndi” Bagas menyela dan
berusaha membawa Indira masuk, tapi Indira melepaskan genggaman Bagas
“Maaf
nona yang Cantik, mungkin benar saya bukan orang kaya, akan tetapi dengan
menyesal saya sampaikan, paling tidak saya lebih baik dari Anda” selesai
mengatakan itu Indira melangkahkan kakinya kembali keluar dari restoran dengan
meninggalkan Devina yang masih melotot emosi oleh pernyataannya, Bagas menyusul
langkah Indira. Sedikitpun Bagas tidak berusaha untuk mengajak Indira kembali
masuk dan jutru ia mengikuti kemauan Indira untuk meninggalkan tempat itu.
Suasana hatinya kini juga tidak nyaman berada disana.
Indira
sedikitpun tidak menanyakan identitas Devina, sepanjang jalan ia masih bungkam
mencoba menata suasana hatinya yang kembali runyam setelah berusaha ia pulihkan
dan sekali lagi berhasil dihancurkan oleh seseorang yang sama sekali tidak ia
kenal.
“Berhenti
Gas” tiba tiba Indira meminta Bagas menghentikan mobilnya
“Ya?”
sedikit mengurangi kecepatannya Bagas
bertanya
“Berhenti
di depan, aku lapar” Indira mengarahkan telunjuknya pada kaki lima yang ada
disisi jalan
“Disana?”
sedikit ragu Bagas meyakinkan diri dengan apa yang ia lihat
“Ya…
kenapa, kamu tidak bisa makan di tempat seperti ini?”
“Oh
bukan begitu… tapi apa kamu yakin kita makan disini?”
“cepet
buka pintunya, aku lapar” Baga mengikuti permintaan Indira, tapi…
“Jika
kamu nggak terbiasa, kamu boleh menunggu disini. Ini bukan tempat orang kaya”
Indira tersenyum sinis tanpa memandang Bagas. Pintu yang telah Bagas buka
kembali ia tekan tombol pengunci otomatisnya menghalangi Indira untuk keluar
“Apa
maksudmu Ndi?”
“Aku
mengatakan hal yang sebenarnya, jika kamu tidak terbiasa maka biarkan aku yang
turun, kamu bisa menunggu disini sebentar”
“Indira,
dengar ya…. Beberapa bulan ini kamu mengenalku, apakah aku terlihat sebagai
orang yang memandang orang lain karena status sosialnya?. Aku nggak suka kamu
menggunakan istilah kaya dalam menyebut diriku. Jika kamu terusik oleh kata
kata Devina, aku minta maaf”
“Maaf?.. apakah kamu merasa
berkewajiban meminta maaf atas nama dirinya?”
“Ndi
dengar aku baik baik… Devina adalah mantan pacar aku sewaktu SMA, dia mendekati
aku karena latar belakang keluarga kami dan aku meninggalkannya karena sifatnya
itu. Setahun yang lalu dia datang kembali padaku, tapi aku menolaknya karena dia memandangku
bukan sebagai diriku melainkan karena siapa orang tuaku. Itu yang menjadi
alasan pertama kali aku meninggalkannya. Aku tidak pernah menginginkan orang
memandang aku karena siapa orang tuaku, aku tak pernah bangga akan hal itu,
tapi aku ingin orang memandang aku sebagai diriku sendiri, karena upayaku bukan
karena orang tuaku. Aku memulai itu dari nol. Soal permitaan maaf tadi bukan
aku lakukan atas nama Devina, melainkan atas nama diriku sendiri yang
menyebabkan kamu mendapatkan perlakuan itu” selesai dengan kata katanya Bagas
membuka pintu, kini dia yang turun dari mobil terlebih dahulu meninggalkan
Indira yang terpaku di tempat duduknya memasuki warung kaki lima yang menjual
Mie Ayam di pinggir jalan. Menyadari Indira tidak turun, Bagas kembali keluar
setelah memesan dua porsi mie ayam untuk membukakan pintu dan membawa Indira
masuk
“Ayo,
kamu bilang sudah lapar. Dan makanan seperti ini sudah sangat aku kenal Ndi.
Turunlah kita makan” ajak Bagas, kali ini ada sedikit kekesalan yang ia
sembunyikan, Indira sangat menyadari itu. Emosinya telah menciderai harga diri
Bagas.
***
Suasana
malam sangat lengang, Indira duduk di teras samping rumah dengan secangkir
sereal milk hangat. Ia menyandarkan kepalanya pada kursi bambu yang sangat
nyaman memandang indahnya bintang bintang di langit ‘kamu harus bisa seperti bintang itu Indira, akan semakin bersinar
terang saat gelap gulita. Dia tidak pernah takut dan berlari. Ya kali ini kamu
tidak boleh lari dan kamu harus lebih tangguh lagi’ Indira tersenyum dan
menyeruput serealnya tenang. Dari ruang tengah Anggi mengamati apa yang
dilakukan sahabatnya
‘Nggi, Indira bertemu
Devina dan seperti biasanya Devina berulah’
‘Apa maksudmu, Gas?’
jangan bilang sekali lagi Devina memintamu kembali di depan mata Indira’
‘Devina membawa status
sosial’
‘aish… dasar cewek
gila. Bisa bisanya kamu dulu berpacaran dengan dia. Huft…andai kamu nggak
memutuskannya, mungkin mamamu akan mati muda’
‘hust… tolong kamu
pastikan Indira baik baik saja’
‘Siap bos’
Dari
pesan yang Bagas kirimkan sore tadi Anggi bisa membayangkan suasana hati Indira
saat ini. Setelah kejadian di rumah sakit dan membuat sahabatnya itu menangis
karena Bagas, sekali lagi dia mungkin terluka oleh Devina juga karena Bagas. ‘Maafkan aku Ndi, seandainya aku bisa
menolong suasana hatimu pasti akan aku lakukan. Maaf jika karena aku kamu harus
berurusan dengan Bagas’ dalam hati Anggi hanya bisa menyesali apa yang
dialami sahabatnya.
--
“Ndi,
Bagas sudah menghubungi mu?” pagi ini Anggi dengan tas di tangannya bersiap
berangkat lebih pagi, posisinya yang masuk ke dalam jajaran direksi Rumah Sakit
membuatnya harus ikut serta dalam sebuah rapat.
“Belum,
memangnya kenapa?
“Nggak
ada.. ya mungkin dia akan sibuk beberapa minggu ini” Anggi melanjutkan
kalimatnya sambil sibuk menikmati roti bakar yang ada di hadapan Indira
“Oh”
“sepertinya
dia harus mengurus rencana pengembangan salah satu perusahaan papanya”
Indira
hanya diam tanpa komentar dan tetap focus pada laptopnya di atas meja makan.
Semenjak pertemuannya dengan Devina, Indira memang sedikit menjaga jarak dengan
Bagas. Sudah hampir dua minggu keduanya tidak bersua dan
sesekali Bagas hanya mengirimkan pesan ataupun makanan seperti yang biasa ia
lakukan sebelumnya. Kata kata Devina seakan menjadi
ultimatum tersendiri bagi Indira untuk lebih waspada melindungi perasaannya
dari luka yang tidak bisa dia prediksi datangnya
“Ndi…
aku duluan ya, sepertinya aku telat nih”
“Oke,
hati – hati”
Anggi
hilang di balik pintu, Indira mematikan laptopnya bersiap siap untuk berangkat
kerja. Ia merapikan beberapa berkas yang ia bawa, tapi….
‘Anggi….kebiasaan’
satu map berkas file sepertinya tidak sengaja tertinggal, Indira menggelengkan
kepalanya dan membawanya beserta file file pribadinya meletakkannya di atas
meja agar terlihat saat ia berangkat.
Beberapa
menit kemudian, Indira telah siap untuk memulai aktivitasnya. Setelan kaos
berkerah tinggi putih gading yang senada dengan celana ia padu padankan dengan
blazer merah maroon membuatnya terlihat bersinar meskipun polesan make up yang
merias wajahnya sangat minim.
“Suster
sepertinya saya sedikit terlambat, tolong urus dulu semuanya ya” Indira menutup
teleponnya setelah ia memarkirkan mobilnya di area parkir Mahardika Hotel
tempat rapat dilaksanakan. Indira melihat jam yang ada di belakang reseptionis ‘pasti sudah dimulai’ pikirnya sedikit
panik
“Meeting
Room Rumah Sakit Waluyo” segera ia menanyakan dimana letak ruangan yang dipakai
oleh jajaran direksinya.
“Flamboyan
I, silahkan lewat sini Bu” seorang pelayan mengantarkannya menuju ruangan yang
dimaksud. Sesampainya di depan ruangan Indira sedikit bingung dan meragu
‘apakah aku mengirimkan
pesan saja biar Anggi keluar… ah Hp nya mati’
Indira menggelengkan kepalanya dan akhirnya tangan itu mengetuk pintu setelah
ia membolak balikkan file yang Anggi tinggalkan ‘Rapat Direksi’ itu yang tertulis disana. Tak ada suara yang
terdengar, ia pun membuka knop pintu memulai membukanya perlahan dengan sangat
hati hati. Rapat sudah dimulai, hening hanya ada seseorang yang berbicara
memimpin rapat.
‘Bagas?’
Indira
sedikit menyipitkan matanya untuk menyakinkan penglihatan
Matanya
terkunci bertemu dengan pandangan Bagas yang duduk diujung meja beberapa kursi
terpisah dari Anggi. Diam dalam keterkejutan…
Dont Miss It :
Part 10 : HOLD MY HAND
Part 9 : HOLD MY HAND
Part 8 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar