Part
7
“Setiap
hari apakah Anda sampai di Rumah Sakit sepagi ini Bu Dokter?”
Ragu
Indira mengangkat wajahnya dan mengalihkan konsentrasinya dari layar ponsel
yang terus bergetar karena keisengan Anggi. Sepagi ini apakah ada dokter lain
yang juga terlalu bersemangat sepertinya, atau…. ‘glek’ Indira menelan ludahnya kontan karena tidak pernah menyangka
akan mengalami kejadian yang sama di tempat yang sama dengan orang yang sama
“Indi…
tidak keberatan kan kalau aku tidak memanggilmu dokter”
“Ah,
santai sajalah,, tapi….” Indira menggantungkan kalimatnya sembari menatap
Prasta penuh tanya, ya lelaki yang menyapanya sepagi ini di Kantin Rumah Sakit
adalah Tama. Indira yang sedikit mendapatkan terapi di pagi hari berupaya
bersikap senormal mungkin, rasanya pembicaraan semalam dengan Anggi akan sia
sia jika Tama bisa melihat perubahan mimiknya
“Apakah
kalau aku bilang sepagi ini di Rumah Sakit untuk menemuimu, kamu akan percaya?’
“Huh?”
“Biasa
aja Ndi, jangan kaget begitu toh kamu juga nggak bakal percaya kan kalau aku
bilang demikian”
“Jangan
ngaco Pras, lagian sejak kapan kamu rela nyamperin cewek, nunggu nenek nenek
melahirkan mungkin akan terjadi”
“hah,
gila .. aku nggak separah itu kali Ndi?. Cuma waktu aja yang kurang memahami
aku”
“jangan
mencari alibi, akui saja kenapa sih. Ngapain sepagi ini di Rumah Sakit?”
Indira
tidak ingin pembicaraan semakin melebar dan masuk ke area yang tidak diinginkan
“Anak
buahku mengalami kecelakaan kerja kemarin sore, jadi terpaksa aku harus
bergadang disini”
“Ah
kamu memang belum berubah Pras, untuk orang yang mengeluarkan keringatnya buat
membatumu masih pakai kata terpaksa juga, ckckckck!” Anggi mendorong kursinya
kebelakang agar dia bisa berdiri dan melangkah pergi
“Maksudmu?”
Tama sedikit terganggu oleh pernyataan Indira, tapi ia tidak mendapatkan
jawaban apapun dari Indira, karena dokter cantik itu hanya tersenyum dan melangkah
mendekati kasir untuk membayar minumannya lantas bergegas meninggalkan kantin
“aku
pergi dulu ya, profesi memanggilku untuk kembali ke ruang kerja, Bye” dengan
seulas senyum Indira mengakhiri pembicaraan dengan Tama dan melambaikan
tangannya ringan seringan ia melangkah untuk pergi
“Indira…..”
Tama membuat Indira harus menghentikan langkahnya beberapa langkah dari pintu
kantin, suara Tama mungkin akan membuatnya jadi pusat perhatian. Dengan secepat
kilat dia membalikkan badannya menatap Tama tajam sambil mengisyaratkan untuk
tidak membuat kegaduhan. Kantin cukup penuh di pagi hari, tidak hanya oleh
keluarga pasien yang terpaksa menikmati sarapan mereka disana tapi juga oleh
para perawat yang harus mengisi perut sebelum bekerja. Benar saja, setelah
memutar kedua bola matanya mengamati seisi kantin kini pandangan mengarah
padanya dan sebagian ke arah Tama. Indira menggigit bibirnya dengan isyarat
pada Tama untuk diam tapi
“sampai
ketemu lagi bukan bye” Tama menyelesaikan kalimatnya dengan ekspresi tanpa dosa
sambil mengulas senyumnya.
Huft…
Indira menarik nafasnya dalam sambil menggelengkan lemas kepalanya tidak
percaya Tama melakukan scene konyol ala sinetron hanya untuk mengatakan hal
yang tidak penting. ‘Whatever you want’
runtuknya dalam hati dan sejurus kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya
meninggalkan kegilaan yang sempat terjadi dan kasak kusuk yang mulai terdengar
di telinganya.
***
Tidak
dapat dihindari pertemuan dengan Tama terus berulang di Rumah Sakit, meskipun
anak buahnya telah dipindahkan ke bangsal perawatan dan ditangani oleh dokter
lain setelah mendapatkan penanganan tim IGD, namun berada dalam satu kawasan
yang sama membuatnya tak dapat menghindari setiap kali harus berpapasan di
koridor Rumah Sakit dan harus berbasa basi dengannya. Indira sadar dalam setiap
pertemuannya dengan Tama ada beberapa sorot mata yang mengawasinya tak
terkecuali dr. Satya dan Anggi, sahabatnya. Tidak ada komentar dari Anggi
meskipun dia beberapa kali memergoki dirinya berbincang dengan Tama di koridor.
Bahkan sekalipun Anggi tidak pernah membahas Tama sampai Tama membawa anak
buahnya keluar Rumah Sakitpun Anggi tak menanyakan untuk apa dan mengapa Tama
berada di Waluyo hanya saja sekali dia mengirim pesan saat pertama kali mengetahui
keberadaan Tama di Rumah Sakit
“Banyak mata dan
telinga yang mendengarkan, semanis apapun racun akan tetap mematikan”
Satu
pesan itu membuat Indira memahami maksud Anggi, namun dari sekian banyak mata
yang menatapnya dengan rasa penasaran hanya tatapan dr. Satya yang cukup
mengganggunya. Entahlah, mungkin karena dr. Satya pernah menjadi bagian dari
peristiwa yang ia alami, seharusnya Indira tidak mengambil pusing tatapan itu
karena pada kenyataannya antara dia dan Bagas tidak ada hubungan apapun yang
harus membatasi ruang geraknya. Ya sejak pertemuan itu Bagas tidak lagi
menampakkan dirinya, mungkin itu pertemuan pertama dan terakhir yang akan
terjadi antara dirinya dengan Bagas.
Sesantai
apapun Indira mengartikan tatapan dr. Satya, tetap saja setiap bertemu dengan
dokter senior itu ia menjadi sedikit canggung walau kini ia bisa sedikit
bernafas lega semenjak Tama tidak lagi berada di Rumah Sakit. Satu yang belum
Indira mengerti, Tama juga sangat akrab dengan dr. Satya. Dari perbincangan
mereka yang sempat terlihat olehnya, nampak dengan jelas kalau keduanya sudah
kenal satu sama lainnya. Entahlah hubungan seperti apa yang ada diantara dr.
Satya dan Tama.
“Dok,
tadi siang dr. Anggi menitipkan ini untuk Dokter” Suster Mia mengagetkan Indira
yang tengah berkosentrasi dengan list pesan yang masuk ke emailnya.
“Ya?
Kapan Anggi kesini?” tanya Indira
“Waktu
Dokter Visite tadi”
“Oh…
ya sudah taruh di sana dulu Sus, terima kasih ya” tanpa melupakan senyum Indira
meminta perawat yang membantunya menaruh titipan untuknya di atas Brangkas
File. Saat jam Visite artinya belum lama, tapi kenapa Anggi tidak sengaja
menemuinya dijam makan setelah Visite. Rasa penasaran mulai menggelitik, Indira
menutup laptopnya dan melangkah mendekati kotak yang terletak diatas brangkas
itu, tidak biasanya Anggi mengirimnya sesuatu apalagi mereka tinggal dalam satu
rumah.
‘berat.. ada ada saja ini orang’ seulas
senyum merekah di wajah ayunya,
‘makanan kah, atau hadiah? Tapi untuk apa?’ dibukanya
kotak putih itu perlahan lahan dengan mimik penasaran yang ia miliki dan …
‘Smoothies?? Sejak
kapan Anggi seperti ini’ pikirnya geli melihat
isi paket yang ia terima. Secarik kertas note menempel di atas kotak, kertas
note milik Rumah Sakitnya ‘JANGAN DI BALIK’ jelas terbaca disana. Indira
tersenyum, pantas kotak itu terasa sedikit berat, dua botol Smoothies
bersembunyi disana. Strawberry Smoothies Yogurt dan Kiwi Smoothies Yogurt
berjajar dengan satu kotak manis diantara keduanya. Sedikit melupakan rasa
penasarannya pada isi kotak kecil yang terselip diantara botol minuman
sehatnya, Indira mengambil ponselnya
“hmmm
sejak kapan kamu bersikap manis padaku, Nggi?” tanpa menunggu jawaban dari
Anggi, begitu nada terjawab Indira segera mengeluarkan kalimatnya
“Aku??
Iiiiih mana sudi” jawaban khas Anggi terdengar
“Lah
ini apa? Sok sok an kirim Smoothies segala, suruh OB kirim teh anget saja aku
sudah seneng kok Nggi”
“memangnya
kamu sudah baca pesannya?”
“pesan?....
pesan apaan… ini ada hurup capital gede bener JANGAN DI BALIK”
“hahahahhaa
kamu Ndi, itu memang tulisanku?? Teliti lagi kek!”
Indira
mengerutkan dahinya, ia gapai kembali secarik kertas yang telah ia buang di
tong sampah yang ada di bawah mejanya. ‘Benar,
ini bukan tulisan Anggi, tapi ini adalah note dokter Rumah Sakit ini, dr.
Satya… ah nggak mungkin’ Indira mengigit bibir bawahnya penuh tanya
“buka
dulu pesannya biar tahu itu dari siapa” suara Anggi mengembalikan kesadaran
Indira
“dimana
ada pesan .. nggak ada apa apa kok?” tangan Indira mengoyak seisi kotak,
dikeluarkan dua botol smoothies itu dari tempatnya dan benar kini iris matanya
menangkap secarik kertas yang terlipat berada disana
“cari
yang bener, aku tutup ya, kamu ngganggu orang istirahat aja. Pokoknya aku nggak
ada sangkut pautnya sama itu paket selain membantu memberikan kertas note
sebagai tindakan yang mencerminkan kebaikan hatiku serta menyuruh asisten
mengantar kesana, tapi sekali lagi itu bukan dari aku”….. tut telepon sukses diputuskan oleh Anggi. Kini wajah sumringah yang
sedari tadi menemaninya mencari jawaban atas rasa penasaran terhadap isi kotak
itu berubah menjadi wajah serius nan penuh rasa penasaran. Sebelum berakhir di
kertas warna blue sky itu, terlebih dulu Indira mengambil kotak kecil yang tadi
diapit botol smoothies
‘Jam Tangan?’
Indira terbelalak oleh isi kotak itu, sebuah jam cantik Alexander Christie
nyaman berada dikotak cantik. Mengetahui isi sebenarnya dari paket yang ia
terima, Indira membuka lipatan kertas yang telah ada di tangannya
‘waktu tak pernah
berjalan mundur, maka teruslah maju kedepan. Ingatlah diluar sana banyak cahaya
yang siap menuntun langkahmu – Bagas’
Indira
terdiam sesaat, hampir genap sebulan Bagas tidak menghubunginya tapi tiba taba
mengjrimkan hadiah dengan kata kata diplomatis. Kembali Indira melihat note
yang digunakan untuk membuat pesan diatas kotak, dua botol smoothies dan kotak
jam masih ia pandangi dengan seksama
‘inikah jalan yang
harus aku pilih saat ini, inikah ujung dari pelarianku. Haruskah dengan jalan
ini aku menghindarinya, tapi ini tidak akan adil buat Bagas. Oh God’
Indira
menutup mukanya dengan kedua tangannya, selama bertahun tahun dia mencoba untuk
melupakan tentang apa itu cinta, tapi disaat bersamaan apa yang ingin ia lupakan
dan sosok baru hadir dalam hidupnya.
‘Bukan seperti ini
Indira, ini nggak bener. Kamu nggak bisa melakukan ini jika kamu merasa
bukanlah pribadi yang egois. Kamu harus bangun dari tidur panjang dengan dunia
mimpi yang kamu bangun, tapi kamu harus tidak dengan cara seperti ini’
Indira
melepaskan jas dokternya dan mengembalikan semua isi kotak itu seperti semula.
Untuk pertama kalinya selama berdinas di RS. Waluyo derap langkahnya seakan
diburu sesuatu, bahkan lebih cepat dari derap langkah saat ia harus menerima
pasien gawat darurat. Beberapa dokter yang berpapasan dengannya seakan tak
tampak dimatanya, dia tidak sekalipun menyapa mereka bahkan Anggipun tak
membuatnya menghentikan langkah kakinya.
“Ndi,
ada apa, kamu mau kemana?” sapa Anggi sedikit cemat melihat ekspresi Indira
yang berbeda dari biasanya
“jawab
saja pesanku segera” singkat ia menanggapi Anggi dan terus melangkah semakin
jauh meninggalkan sahabatnya, semakin jauh dan hiking dari pandangan Anggi.
Don't Miss It :
Part 6 : HOLD MY HAND
Part 5 : HOLD MY HAND
Part 4 : HOLD MY HAND
Part 3 : HOLD MY HAND
Part 2 : HOLD MY HAND
Part 1 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar