Minggu, 27 Desember 2015

PART 7 : HOLD MY HAND




Part 7

“Setiap hari apakah Anda sampai di Rumah Sakit sepagi ini Bu Dokter?”
Ragu Indira mengangkat wajahnya dan mengalihkan konsentrasinya dari layar ponsel yang terus bergetar karena keisengan Anggi. Sepagi ini apakah ada dokter lain yang juga terlalu bersemangat sepertinya, atau…. ‘glek’ Indira menelan ludahnya kontan karena tidak pernah menyangka akan mengalami kejadian yang sama di tempat yang sama dengan orang yang sama
“Indi… tidak keberatan kan kalau aku tidak memanggilmu dokter”
“Ah, santai sajalah,, tapi….” Indira menggantungkan kalimatnya sembari menatap Prasta penuh tanya, ya lelaki yang menyapanya sepagi ini di Kantin Rumah Sakit adalah Tama. Indira yang sedikit mendapatkan terapi di pagi hari berupaya bersikap senormal mungkin, rasanya pembicaraan semalam dengan Anggi akan sia sia jika Tama bisa melihat perubahan mimiknya
“Apakah kalau aku bilang sepagi ini di Rumah Sakit untuk menemuimu, kamu akan percaya?’
“Huh?”
“Biasa aja Ndi, jangan kaget begitu toh kamu juga nggak bakal percaya kan kalau aku bilang demikian”
“Jangan ngaco Pras, lagian sejak kapan kamu rela nyamperin cewek, nunggu nenek nenek melahirkan mungkin akan terjadi”
“hah, gila .. aku nggak separah itu kali Ndi?. Cuma waktu aja yang kurang memahami aku”
“jangan mencari alibi, akui saja kenapa sih. Ngapain sepagi ini di Rumah Sakit?”
Indira tidak ingin pembicaraan semakin melebar dan masuk ke area yang tidak diinginkan
“Anak buahku mengalami kecelakaan kerja kemarin sore, jadi terpaksa aku harus bergadang disini”
“Ah kamu memang belum berubah Pras, untuk orang yang mengeluarkan keringatnya buat membatumu masih pakai kata terpaksa juga, ckckckck!” Anggi mendorong kursinya kebelakang agar dia bisa berdiri dan melangkah pergi
“Maksudmu?” Tama sedikit terganggu oleh pernyataan Indira, tapi ia tidak mendapatkan jawaban apapun dari Indira, karena dokter cantik itu hanya tersenyum dan melangkah mendekati kasir untuk membayar minumannya lantas bergegas meninggalkan kantin
“aku pergi dulu ya, profesi memanggilku untuk kembali ke ruang kerja, Bye” dengan seulas senyum Indira mengakhiri pembicaraan dengan Tama dan melambaikan tangannya ringan seringan ia melangkah untuk pergi
“Indira…..” Tama membuat Indira harus menghentikan langkahnya beberapa langkah dari pintu kantin, suara Tama mungkin akan membuatnya jadi pusat perhatian. Dengan secepat kilat dia membalikkan badannya menatap Tama tajam sambil mengisyaratkan untuk tidak membuat kegaduhan. Kantin cukup penuh di pagi hari, tidak hanya oleh keluarga pasien yang terpaksa menikmati sarapan mereka disana tapi juga oleh para perawat yang harus mengisi perut sebelum bekerja. Benar saja, setelah memutar kedua bola matanya mengamati seisi kantin kini pandangan mengarah padanya dan sebagian ke arah Tama. Indira menggigit bibirnya dengan isyarat pada Tama untuk diam tapi
“sampai ketemu lagi bukan bye” Tama menyelesaikan kalimatnya dengan ekspresi tanpa dosa sambil mengulas senyumnya.
Huft… Indira menarik nafasnya dalam sambil menggelengkan lemas kepalanya tidak percaya Tama melakukan scene konyol ala sinetron hanya untuk mengatakan hal yang tidak penting. ‘Whatever you want’ runtuknya dalam hati dan sejurus kemudian ia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan kegilaan yang sempat terjadi dan kasak kusuk yang mulai terdengar di telinganya.
***

Tidak dapat dihindari pertemuan dengan Tama terus berulang di Rumah Sakit, meskipun anak buahnya telah dipindahkan ke bangsal perawatan dan ditangani oleh dokter lain setelah mendapatkan penanganan tim IGD, namun berada dalam satu kawasan yang sama membuatnya tak dapat menghindari setiap kali harus berpapasan di koridor Rumah Sakit dan harus berbasa basi dengannya. Indira sadar dalam setiap pertemuannya dengan Tama ada beberapa sorot mata yang mengawasinya tak terkecuali dr. Satya dan Anggi, sahabatnya. Tidak ada komentar dari Anggi meskipun dia beberapa kali memergoki dirinya berbincang dengan Tama di koridor. Bahkan sekalipun Anggi tidak pernah membahas Tama sampai Tama membawa anak buahnya keluar Rumah Sakitpun Anggi tak menanyakan untuk apa dan mengapa Tama berada di Waluyo hanya saja sekali dia mengirim pesan saat pertama kali mengetahui keberadaan Tama di Rumah Sakit
“Banyak mata dan telinga yang mendengarkan, semanis apapun racun akan tetap mematikan”
Satu pesan itu membuat Indira memahami maksud Anggi, namun dari sekian banyak mata yang menatapnya dengan rasa penasaran hanya tatapan dr. Satya yang cukup mengganggunya. Entahlah, mungkin karena dr. Satya pernah menjadi bagian dari peristiwa yang ia alami, seharusnya Indira tidak mengambil pusing tatapan itu karena pada kenyataannya antara dia dan Bagas tidak ada hubungan apapun yang harus membatasi ruang geraknya. Ya sejak pertemuan itu Bagas tidak lagi menampakkan dirinya, mungkin itu pertemuan pertama dan terakhir yang akan terjadi antara dirinya dengan Bagas.
Sesantai apapun Indira mengartikan tatapan dr. Satya, tetap saja setiap bertemu dengan dokter senior itu ia menjadi sedikit canggung walau kini ia bisa sedikit bernafas lega semenjak Tama tidak lagi berada di Rumah Sakit. Satu yang belum Indira mengerti, Tama juga sangat akrab dengan dr. Satya. Dari perbincangan mereka yang sempat terlihat olehnya, nampak dengan jelas kalau keduanya sudah kenal satu sama lainnya. Entahlah hubungan seperti apa yang ada diantara dr. Satya dan Tama.
“Dok, tadi siang dr. Anggi menitipkan ini untuk Dokter” Suster Mia mengagetkan Indira yang tengah berkosentrasi dengan list pesan yang masuk ke emailnya.
“Ya? Kapan Anggi kesini?” tanya Indira
“Waktu Dokter Visite tadi”
“Oh… ya sudah taruh di sana dulu Sus, terima kasih ya” tanpa melupakan senyum Indira meminta perawat yang membantunya menaruh titipan untuknya di atas Brangkas File. Saat jam Visite artinya belum lama, tapi kenapa Anggi tidak sengaja menemuinya dijam makan setelah Visite. Rasa penasaran mulai menggelitik, Indira menutup laptopnya dan melangkah mendekati kotak yang terletak diatas brangkas itu, tidak biasanya Anggi mengirimnya sesuatu apalagi mereka tinggal dalam satu rumah.
berat.. ada ada saja ini orang’ seulas senyum merekah di wajah ayunya,
makanan kah, atau hadiah? Tapi untuk apa?’ dibukanya kotak putih itu perlahan lahan dengan mimik penasaran yang ia miliki dan …
‘Smoothies?? Sejak kapan Anggi seperti ini’ pikirnya geli melihat isi paket yang ia terima. Secarik kertas note menempel di atas kotak, kertas note milik Rumah Sakitnya ‘JANGAN DI BALIK’ jelas terbaca disana. Indira tersenyum, pantas kotak itu terasa sedikit berat, dua botol Smoothies bersembunyi disana. Strawberry Smoothies Yogurt dan Kiwi Smoothies Yogurt berjajar dengan satu kotak manis diantara keduanya. Sedikit melupakan rasa penasarannya pada isi kotak kecil yang terselip diantara botol minuman sehatnya, Indira mengambil ponselnya
“hmmm sejak kapan kamu bersikap manis padaku, Nggi?” tanpa menunggu jawaban dari Anggi, begitu nada terjawab Indira segera mengeluarkan kalimatnya
“Aku?? Iiiiih mana sudi” jawaban khas Anggi terdengar
“Lah ini apa? Sok sok an kirim Smoothies segala, suruh OB kirim teh anget saja aku sudah seneng  kok Nggi”
“memangnya kamu sudah baca pesannya?”
“pesan?.... pesan apaan… ini ada hurup capital gede bener JANGAN DI BALIK”
“hahahahhaa kamu Ndi, itu memang tulisanku?? Teliti lagi kek!”
Indira mengerutkan dahinya, ia gapai kembali secarik kertas yang telah ia buang di tong sampah yang ada di bawah mejanya. ‘Benar, ini bukan tulisan Anggi, tapi ini adalah note dokter Rumah Sakit ini, dr. Satya… ah nggak mungkin’ Indira mengigit bibir bawahnya penuh tanya
“buka dulu pesannya biar tahu itu dari siapa” suara Anggi mengembalikan kesadaran Indira
“dimana ada pesan .. nggak ada apa apa kok?” tangan Indira mengoyak seisi kotak, dikeluarkan dua botol smoothies itu dari tempatnya dan benar kini iris matanya menangkap secarik kertas yang terlipat berada disana
“cari yang bener, aku tutup ya, kamu ngganggu orang istirahat aja. Pokoknya aku nggak ada sangkut pautnya sama itu paket selain membantu memberikan kertas note sebagai tindakan yang mencerminkan kebaikan hatiku serta menyuruh asisten mengantar kesana, tapi sekali lagi itu bukan dari aku”….. tut telepon sukses diputuskan oleh Anggi. Kini wajah sumringah yang sedari tadi menemaninya mencari jawaban atas rasa penasaran terhadap isi kotak itu berubah menjadi wajah serius nan penuh rasa penasaran. Sebelum berakhir di kertas warna blue sky itu, terlebih dulu Indira mengambil kotak kecil yang tadi diapit botol smoothies
‘Jam Tangan?’ Indira terbelalak oleh isi kotak itu, sebuah jam cantik Alexander Christie nyaman berada dikotak cantik. Mengetahui isi sebenarnya dari paket yang ia terima, Indira membuka lipatan kertas yang telah ada di tangannya
‘waktu tak pernah berjalan mundur, maka teruslah maju kedepan. Ingatlah diluar sana banyak cahaya yang siap menuntun langkahmu – Bagas’
Indira terdiam sesaat, hampir genap sebulan Bagas tidak menghubunginya tapi tiba taba mengjrimkan hadiah dengan kata kata diplomatis. Kembali Indira melihat note yang digunakan untuk membuat pesan diatas kotak, dua botol smoothies dan kotak jam masih ia pandangi dengan seksama
‘inikah jalan yang harus aku pilih saat ini, inikah ujung dari pelarianku. Haruskah dengan jalan ini aku menghindarinya, tapi ini tidak akan adil buat Bagas. Oh God’
Indira menutup mukanya dengan kedua tangannya, selama bertahun tahun dia mencoba untuk melupakan tentang apa itu cinta, tapi disaat bersamaan apa yang ingin ia lupakan dan sosok baru hadir dalam hidupnya.
‘Bukan seperti ini Indira, ini nggak bener. Kamu nggak bisa melakukan ini jika kamu merasa bukanlah pribadi yang egois. Kamu harus bangun dari tidur panjang dengan dunia mimpi yang kamu bangun, tapi kamu harus tidak dengan cara seperti ini’
Indira melepaskan jas dokternya dan mengembalikan semua isi kotak itu seperti semula. Untuk pertama kalinya selama berdinas di RS. Waluyo derap langkahnya seakan diburu sesuatu, bahkan lebih cepat dari derap langkah saat ia harus menerima pasien gawat darurat. Beberapa dokter yang berpapasan dengannya seakan tak tampak dimatanya, dia tidak sekalipun menyapa mereka bahkan Anggipun tak membuatnya menghentikan langkah kakinya.
“Ndi, ada apa, kamu mau kemana?” sapa Anggi sedikit cemat melihat ekspresi Indira yang berbeda dari biasanya
“jawab saja pesanku segera” singkat ia menanggapi Anggi dan terus melangkah semakin jauh meninggalkan sahabatnya, semakin jauh dan hiking dari pandangan Anggi.


Don't Miss It :
Part 6 : HOLD MY HAND
Part 5 : HOLD MY HAND
Part 4 : HOLD MY HAND
Part 3 : HOLD MY HAND
Part 2 : HOLD MY HAND  
Part 1 : HOLD MY HAND







Tidak ada komentar:

Posting Komentar