Minggu, 27 Desember 2015

PART 10 : HOLD MY HAND




Part 10

Indira menopang dagu dengan kedua tangannya, matanya tertuju pada kotak nasi yang ada di mejanya. Diam dan tidak ia sentuh sedikitpun, sesekali ia menggeleng mengingat dari siapa paket itu ia terima
‘huft kemana saja kamu selama ini?’runtuknya dalam hati.
 ‘Andai waktu bisa kuputar ulang, mungkin aku tidak akan mengambil jalanku kini’
‘Maaf atas luka yang telah lalu, seandainya aku tahu pastinya tak akan pernah kulakukan’
‘jangan lupa makan’
‘Meskipun kini aku tak bisa menggenggam tanganmu, tapi ada ruang hatiku yang terus terisi olehmu. Ijinkan aku untuk selalu melihat senyummu’
‘jangan berubah, jadilah Indira yang aku kenal ... selalu jadilah dirimu yang dulu’
‘Sudah saatnya mengisi perut, jangan pernah ditunda. Jaga kesehatanmu’
Indira terus membaca pesan pesan yang masuk ke ponselnya, pesan yang tak pernah ia balas sekalipun. Prasta yang kini sangat aktif menghubunginya seakan melupakan setiap detail peristiwa yang membuatnya berlari hingga terdampar di kota kecil sampai sekarang ini. Dalam seminggu Prasta bisa mengirim tiga kali kotak nasi padanya
‘apa yang kamu pikirkan Pras’ Indira memasukkan ponselnya dalam saku jas. Ia melanjutkan pekerjaannya tanpa sedikitpun menyentuh kotak nasi yang ada di hadapannya, hanya beberapa kali ia meminum smoothies yang Anggi berikan padanya pagi tadi.
‘have a nice day, my sweety’ itulah yang Anggi ucapkan kala memasuki ruang kerjanya dan menaruh botol smoothies dan kotak berisi beberapa potong roti sandwich di meja kerja Indira dengan senyum sedikit menggoda, entah itu buatannya sendiri atau sekali lagi titipan Bagas, Indira tidak lagi mempersoalkan.
“Sus, ambil saja kotak nasi yang ada di meja saya” Indira berpesan pada Suster Mia yang sedang merapikan catatannya saat ia berniat untuk pulang
“dokter mau pulang sekarang?”
“kenapa Sus, ada yang gawat kah?”
“Bukan Dok, tapi tadi dr. Satya berpesan untuk menahan Dokter”
“dr. Satya?”
Suster Mia mengangguk, Indira meletakkan kembali tasnya di atas meja suster Mia, dia melihat jam ditangannya. Hampir jam 3 sore, dahinya berkerut....bukankah jam 2 jam kerjanya sudah usai tapi satu jam pasca jam kerja itu lewat dr. Satya belum juga menghubunginya. Indira merogoh jas dokter yang masih ia kenakan. Ia memutar mutar ponsel itu sambil berpikir menerka tujuan dr. Satya menahan kepulangannya, apakah sekali lagi Bagas memanfaatkan kenalannya untuk menemuinya, bukankah ia bisa langsung menghubungi dirinya jika memang ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tanpa harus melibatkan dr. Satya lagi. Tangan Indira mumbuka kunci kode ponselnya
‘Oh... ada pesan’ setelah membaca pesan pesan Prasta, Indira memang tidak sekalipun menengok ponselnya sehingga ia tidak menyadari ada pesan yang masuk padanya
‘Seperti biasa’ pesan singkat dan padat itu cukup membuat Indira melompat dari kursinya, dengan cepat ia memasukkan kembali ponsel itu dalam kantong dan menyamber tas yang ia taruh dengan manis dihadapan suster Mia
“Suster, bilang pada dr. Satya saya buru buru” Suster Mia yang melihat ekspresi wajah dr. Indira hanya bisa mengangguk dan mengangguk, Indira sekali lagi melihat jam yang melingkar di tangannya. Langkahnya cepat dengan mata yang jauh sudah menyapu pandangan di ujung depan Rumah Sakit
‘Huft….gila, satu jam??? Masihkah dia menunggu?’ Indira terus melangkah melewati pintu masuk dan pelataran parkir. Juru parkir yang melihatnya sempat menyapa menunjukkan dimana mobil Indira di parkirkan, tapi Indira hanya tersenyum dan mengangguk dan terus berjalan melewati gerbang. Jam ditangannya menjadi begitu sering ia lihat, ia menoleh kekanan dan ke kiri mencari sesuatu tapi sama sekali tidak nampak olehnya apa yang ia cari
‘haruskah aku menelponnya?....’ ponsel yang sudah ia pegang masih ia genggam, sekali lagi ia ingin pastikan bahwa masih ada yang menunggunya di seberang jalan dan akan memutar balik mobilnya untuk sampai dihadapannya. Sedikit memonyongkan bibirnya Indira menelan kecewa, ia membuka ponsel hendak menelpon
‘tit tit...’ Indira menoleh, sebuah Forturner Silver Metalic menghampirinya dari sisi kanan ia berdiri, Indira terdiam sesaat. Kaca mobil diturunkan sehingga kini terlihat olehnya siapa yang berada di balik kemudi. Dokter cantik itu melepas nafasnya lega dan tersenyum kemudian menangkupkan kedua tangannya meminta maaf dengan pandangan penuh penyesalan. Indira mendekati mobil itu dan membuka pintunya lalu masuk dengan memasang wajah mengiba untuk dimaafkan karena Bagas hanya diam dan memasang wajah datar tanpa sedikitpun senyum.
“Maaf, aku sama sekali tidak melihat pesanmu” Indira bersuara lirih
“hmm” saut Bagas dengan pandangan masih fokus pada jalan yang ada di depannya.
“Gas maaf....”
“tapi apakah kamu akan menegaskan pada orang orang diluar sana kalau kamu seorang dokter?”
“maksudnya?” tanya Indira bingung
“Apakah kamu akan menggunakan jas itu saat kita jalan” tanpa menoleh Bagas menjelaskan maksudnya, Indira tersenyum menyadari kebodohannya yang tanpa sadar masih mengenakan jas kebesarannya keluar dari Rumah Sakit. Setelah Indira melepaskan identitasnya, Bagas menginjak pedal gas membawa Indira menjauh dari Waluyo
Suasana hening, sepanjang jalan Bagas hanya diam hanya lantunan lagu lembut terdengar dari tape yang dinyalakan pelan. Indirapun diam tanpa sedikitpun berani bersuara karena merasa bersalah. Ya diluar sepengetahuan Anggi setelah pertemuan yang membuatnya kalang kabut oleh sikap Indira, hubungan Bagas dan Indira semakin akrab. Pembicaraan keduanya di “Dapur Gendhis” membuat mereka semakin dekat dan hubungan mengalir tanpa direncanakan, dan beberapa kali Bagas menjemput Indira sepulang dinas saat dia sedang tidak berdinas. Dengan alasan tidak enak dengan rekan kerja keduanya sepakat bertemu diluar Rumah Sakit.
‘Waktu tidak pernah berputar ke belakang dan begitupun kehidupan dr. Indira ataupun saya. Kita harus tetap melangkah maju untuk menemukan masa yang lebih baik saat sampai di ujung jalan nanti. Semoga perkenalan kita tidak akan pernah menjadi sisi buruk yang tidak ingin Anda kenang dan akan selalu menjadi waktu yang akan Anda lihat dan Anda ingat selamanya

Jangan pernah berhenti karena waktu yang menyedihkan, tapi tetaplah maju untuk membuktikan bahwa masa itu tak pernah membuat Anda kalah. Jika Anda tadi memberi hak pada saya untuk marah, saya tidak akan marah, tapi saya berharap Dokter Indira mengijinkan saya untuk membantu Anda membuktikan itu
‘tapi saya tidak ingin memberikan luka pada orang lain setelah saya tahu bagaimana rasanya terluka’ sela Indira kala itu
‘kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, saya anggap adanya Dokter disini adalah bentuk penolakan Dokter kepada saya. Ini terlalu dini, jadi kita jalani saja kemana waktu akan membawa kita pergi, Dokter tidak perlu merisaukan apa yang akan terjadi esok, anggap saja perkenalan ini sebagai perkenalan biasa. Jangan pakai hati. Dermaga tidak pernah memilih kapal mana yang akan singgah padanya, begitupun dengan hati. Dia akan menemukan jalannya sendiri
Itulah kalimat kalimat Bagas yang akhirnya meyakinkan Indira untuk tidak menolak apapun bentuk perhatian yang Bagas berikan, mulai dari pesan yang selalu Bagas kirimkan memberi semangat sampai dengan paket makanan yang ia titipkan pada Anggi bahkan panggilan Anda dan Saya kini sudah tidak pernah lagi terdengar diantara mereka. Meski belum ada kesepakatan hubungan seperti apa yang ada di antara keduanya namun sikap Bagas memperlakukan Indira seakan mewakili maksud yang ia miliki sebenarnya
“Kok?” Indira menatap Bagas yang masih berekspresi datar tanpa senyum. Mobil memasuki pelataran sebuah Hypermarket berjalan sedikit pelan memasuki area parkir. Mesin dimatikan
“Sebagai ganti dari satu jam aku menunggu, sekarang temani aku belanja” Bagas turun dari mobilnya menahan tawa melihat ekspresi Indira yang masih kaget kemana ia membawanya
“Ayo turun” Bagas membukakan pintu untuk Indira yang tetap dengan muka kecutnya turun dari mobil. Indira mengikuti langkah Bagas memasuki Hypermarket. Memasuki area perbelanjaan Bagas mengambil troli dan mulai mengambil apa apa yang ia butuhkan, kebutuhan dapur! Sekilas dia melirik Indira yang masih kecut berjalan disisinya sedikit cemberut..
“siapa suruh membuat aku menunggu di pinggir jalan sampai ngantuk?” suaranya membuat Indira memandang dengan tatapan kesal
“Aku sudah meminta maaf untuk itu kan, aku nggak baca pesanmu”
“Ya sudah, ini hukumannya”
“Lagian kamu menjemputku sebenarnya cuma minta ditemani belanja ginian kan?”
“Hei... ini urusan mbak dapur ya. Seorang Bagas tidak pernah masuk tempat beginian sebelumnya”
“Lah terus ini kenapa membawa aku kesini?” Indira protes
“Biar kamu merasa siap jadi Ibu rumah tangga”
“Hah??!!” Indira terbelalak mendengar jawaban Bagas, sementara Bagas tersenyum puas melihat Indira yang seakan siap melemparkan bola matanya karena kaget
“Masuk kesini tidakkah kamu merasa kita terlihat seperti pasangan suami istri” lanjutnya kemudian
“Bagas!!” Indira menghentikan langkahnya merasa kesal dikerjai oleh dokter ganteng itu. Bagas yang sepanjang perjalanan bertahan dengan muka asam dan membuat Indira cuma bisa diam dengan wajah penyesalan kini keadaan berubah, Bagas ditemani wajah sumringah selama belanja dan Indira memasang muka datar dengan pandangan kesal.
“senyumlah Ndi… huh!” Bagas setengah berbisik membujuk Indira untuk tersenyum
“Ogah” dengan cuek Indira memberi jawaban dan memasukkan beberapa barang dalam troli yang di dorong oleh Bagas. Bagas membiarkan saja apapun yang Indira masukkan, entah itu barang yang ia butuhkan ataupun mungkin Indira hanya mengambil secara random untuk membuat Bagas kesal
“Jangan buat orang yang melihat kita salah sangka, nanti mereka pikir aku suami yang pelit lagi”
“Huft!.....” Indira menarik nafasnya panjang lalu mempercepat langkahnya menuju stand sayur, dia pikir Bagas akan merasa tidak tahan berada di stand itu dan segera mengajaknya keluar. Sementara Bagas yang santai menahan tawa puasnya sedikit tertinggal dibelakang, dia mengawasi Indira dari jauh. Bagas menghentikan langkahnya beberapa meter dari tempat Indira, ada seseorang yang ia kenal mendekati gadis cantik itu menyapa dengan ramah
‘Tama??? Tama mengenal Indira?’ tanpa bermaksud menguping, pembicaraan Tama dan Indira terdengar oleh Bagas
“Indira, sedang apa kamu disini?”
“Hei… ngapain lagi, yang jelas bukan untuk memeriksa pasienlah”
“Mana belanjaannya kalau memang lagi belanja?”
“Ada kok… oh iya, terima kasih untuk kirimannya” Indira sedikit berbisik, Ia teringat bahwa dirinya sedang bersama Bagas saat ini. Indira menoleh kebelakang mencari keberadaan Bagas, tapi ia tidak menemukan sosok itu… Indira mulai kikuk karena Prasta terus mengikutinya
“Hai Tam, sedang belanja?”
“dr. Raihan, Anda?” Tama sedikit kaget melihat Bagas di depan mereka dengan troli penuh belanjaan, yang ia tahu Bagas adalah orang yang anti masuk wilayah perempuan, Tama memandang Indira dan Bagas bergantian setelah dengan santainya Indira memasukkan beberapa sayur dalam troli yang Bagas pegang
“Kamu kenal dr. Indira?” tanya Bagas kemudian
“Ya, karena beberapa waktu lalu anak buah Tama masuk Waluyo” sela Indira sebelum Prasta memberikan jawaban yang tidak ingin Indira dengarkan, Prasta tersenyum, ia mencoba bersikap wajar meskipun dia sedikit terkejut Indira menyebutnya dengan nama Tama dihadapan Bagas, tidak seperti biasanya ia menggunakan nama itu, sekalipun ia tidak pernah mendengar Indira menyebutnya demikian di hadapan orang lain, tapi kini di hadapan Bagas seakan akan Indira tidak ingin hubungannya dengan Tama diketahui oleh Bagas.
“Ya, aku mengenal dr. Indira karena itu. Ah kalian belanja bersama?” selidik Tama kemudian
Bagas tersenyum dan mengangkat bahunya memandang Indira yang tersenyum kecut mendengar kata “belanja bersama” diucapkan untuk menyebut kebersamaan mereka dalam Hypermarket itu.
Tama menepuk pundak Bagas yang tampak sumringah dengan troli belanjaannya dan wanita cantik yang ada di hadapannya, serasi. Melihat kebersamaan Bagas dan Indira membuat Tama sedikit menelan pil kina, meskipun dia sadar dimana kini dia berdiri, tetap melihat Indira bersama orang lain memberikan luka yang tak pernah ia mengerti.
“Sudah semua kan? Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus kita beli” sekali lagi Indira menyela kesempatan Bagas dan Tama untuk mengobrol, sedikit sibuk memasukkan beberapa daging dan sayur dalam troli Bagas, Indira membuat Tama sedikit menggeser posisinya.
“sepertinya kita harus duluan Dokter. Tam, kami duluan ya” tanpa menunggu persetujuan Bagas, Indira pamit pada Tama dan menyeret troli yang Bagas pegang sehingga Bagaspun mengikutinya tanpa banyak bicara
“Tam, duluan ya. Isi keranjang belanjaanmu yang penuh” pamitnya pada Tama yang hanya di balas dengan lambaian tangan oleh Tama. Bagas tersenyum melihat reaksi Indira yang tiba tiba sedikit aneh menyebut dirinya dengan sebutan dokter dihadapan Tama, dalam pikirannya Indira tidak ingin dianggap sebagai pacarnya atau dia sedikit malu ketahuan sedang berbelanja bersama dengannya selayaknya pasangan suami istri karena sorot mata Indira begitu tajam menatapnya saat Tama menyebut kebersamaan mereka dengan istilah itu.
***

Tak ada yang berubah dari kebiasaan Tama mengirimkan makanan untuk Indira dengan pesan pesan penuh perhatiannya, semua masih sama setelah pertemuannya di Hypermarket bersama dengan Bagas. Entah apa yang Tama pikirkan sehingga dia tidak merasa perlu menghentikan apa yang ia lakukan untuk Indira, mungkin ia berfikir bahwa kebersamaan itu hanya kebersamaan biasa karena mereka satu profesi. Itu yang ada dalam pikiran Indira setelah menerima paket makanan itu masih terus Tama kirimkan untuknya, paket makanan yang berakhir di meja suster Mia atau ruang kerja Anggi.
Seperti siang ini, Indira membawa kotak makanan itu ke ruangan Anggi. Begitu memasuki ruangan Anggi, Indira sempat menghentikan langkahnya. Ada jaket kulit di sandaran kusri di depan meja kerja Anggi, Anggi yang sedang melihat laporan kerja yang di serahkan oleh asistennya sedikit terkejut
“Hei…. Masuk Ndi” sapanya
“hmmm… kamu ada tamu? Ini?!” Anggi meletakkan kotak nasi di meja Anggi sambil menunjuk pada jaket kulit yang tergeletak manis di sandaran kursi.
“Apa lagi ini?” Anggi tidak menjawab pertanyaan Indira dan mengalihkannya pada apa yang dibawa oleh Indira karena dia sendiri bingung harus menjelaskan seperti apa tentang pemilik jaket itu
“Makan aja nggak usah banyak tanya” Indira menjawab pertanyaan sahabatnya sedikit kesal sambil menjatuhkan dirinya di atas kasur pemeriksaan dan menutup tirai yang memisahkan meja kerja dengan kasur tempatnya merebahkan diri
“Aaaah nyamannya bisa tidur jam segini… Nggi, aku tidur nggak apa ya?”
Bersamaan dengan itu Bagas kembali ke ruangan Anggi setelah menemui dr. Satya dengan penampilan ala modelnya setiap kali mendatangi Waluyo. Bagas yang sempat mendengar suara Indira memberikan isyarat pada Anggi untuk tetap diam tidak memberitahu Indira perihal keberadaannya di ruangan itu.
“Eh jawab dulu ini apaan?” Anggi bersikap normal menimpali Indira yang kini mulai memejamkan matanya
“Makan saja, dari pada kamu harus beli. Hari ini kamu nggak bawa bekal kan, juga nggak ada titipan kan?” Goda Indira pada Anggi tentang makanan makanan yang biasa Anggi berikan padanya.
“Bekal, Titipan??? Itu bukan titipan Ndi” Anggi merapikan berkasberkasnya dan mulai membuka kotak makanan yang Indira sodorkan padanya
“Halah… memang kamu pikir aku percaya makanan makanan yang kamu antar ke ruanganku itu kamu yang beli.. sok manis lagi…. ‘have a nice day, my sweety’…’happy working, cantik’… trus apalagi itu kata kata yang sering kamu pakai, Nggi… Geli aku dengernya”
Bagas yang mendengar kata kata Indira lengkap dengan nada suara yang menirukan suara centil khas Anggia menahan tawa begitupun dengan Anggia yang cekikikan mendengar celoteh sahabatnya.
“Nggi, ini makanan enak loh, yakin kamu nggak mau makan” Anggi membuka kotak makanan yang Indira bawa untuknya
“Habisin dari pada aku kasih suster Mia”
“Memang kamu sendiri sudah makan?”
“Aku kelaparan pun nggak akan makan itu makanan Nggi….” Jawab Indira enteng
“meskipun makanannya nggak salah, tapi menelannya hanya akan membuat aku kembali tercekik” lanjutnya. Anggi menatap Bagas tajam setelah mendengar lanjutan kalimat Indira, ia menggigit bibirnya sendiri menyadari bahwa Indira akan membuka apa yang tidak ingin dia ceritakan pada Bagas. Sementara Bagas menegakkan badannya saat mendengar kalimat terakhir Indira ‘Akhirnya sisi kelam itu akan aku ketahui’ pikirnya
“Jangan bilang ini dariiiiii…..” Anggi tidak menyelesaikan kalimatnya, ia bingung harus meneruskan dengan kalimat seperti apa, kode yang Bagas berikan untuk meneruskan pembicaraannya dengan Indira memaksanya terus bersuara sementara jika Indira mengetahui keberadaan Bagas dalam ruangan itu pasti akan merasa dihianati oleh sahabatnya sendiri.
“Prasta…. Hmmm aku sampai bingung menebak apa yang ada dipikirannya, apa coba yang dia pikirkan saat mengirim itu padaku, apa dia pikir aku orang yang punya hati?. Apa Prasta...”
“Eh sudah selesai Gas?” Anggi memotong kata kata Indira dengan sedikit berakting seolah olah Bagas baru datang ke ruangannya, Bagas menatap Anggi heran kenapa dia harus memotong kalimat Indira yang begitu ingin ia ketahui
“Begitulah…. Ehmm siapa Prasta, Ndi”
“Ya?” Indira menyibak tirai yang menjadi sekat ruang periksa dan meja kerja Anggi. Dia melihat Bagas sudah duduk di kursi depan meja kerja Anggi memegang jaket kulit yang tadi ia tanyakan pada Anggi. Indira menatap Anggi bertanya
“Bagas barusan menemui dr. Satya” Anggi yang mulutnya masih menguyah makanan hasil kiriman Tama memberikan penjelasan. Indira sedikit kikuk, dia sedikit hawatir Bagas mendengar lebih banyak dari yang bisa ia tebak
“barusan aku sempat mendengar nama Prsata, siapa… pacar kamu, Ndi?” goda Bagas pura pura tidak mengetahui apapun dari pembicaraan dua sahabat itu, namun tidak bisa di tutupi nada suara Bagas berbeda. Bagas yang selalu tersenyum pada Indira kini memasang senyum kecutnya menunggu jawaban Indira
“Ah bukan siapa siapa, nggak penting untuk dibahas” Indira kini menjatuhkan dirinya di sofa yang ada dipojok ruangan, Bagas mengangangkat bahu sambil ber oh oh ria
“uhuk….” Anggi berpura pura tersedak untuk lepas dari konflik yang ada antara Bagas dan Indira. Meskipun belum memproklamirkan hubungan secara resmi, namun Anggi bisa melihat ikatan emosional diantara dua orang yang ia sayangi itu.
“sepertinya aku harus menyingkir dari penyelesaian urusan dalam negeri” celetuknya sambil mencuci tangan di wastafel lalu meninggalkan ruang kerjanya. Indira menatap Bagas yang kini sedang sibuk memakai jaket dan kaca matanya juga bersiap meninggalkan ruangan. Ada raut wajah kecewa yang Indira baca karena tidak seperti biasanya Bagas acuh pada keberadaannya
“Mau balik” tanyanya pada Bagas
“Hmm”
“Kamu marah?”
“Nggak!”
“Kok?”
“Apanya?” Bagas selesai dengan jaketnya dan kini duduk kembali di kursinya menghadap ke arah Indira
“Kamu kenapa sih Gas? Katanya nggak marah, tapi kok aneh gini. Kamu sibuk?”
“See.. aku bebas dari kemeja. Apakah kamu belum hafal jika aku berpenampilan seperti ini?”
“Lantas, kamu kenapa?”
“Aku sedikit kecewa”
“Soal Prasta?”
“I don’t know about him and I had no reason to be angry. I don’t have any reason for it” Bagas bangun dari kursinya melangkah kemana arah pintu berada, tapi tangan Indira menghentikan langkah itu, Indira memegang erat lengan Bagas yang siap membuka pintu, gadis itu mencoba menerawang dalam kaca mata yang kini menutup mata Bagas untuk menemukan jawaban atas sikap aneh pria yang kini ada dihadapannya


Dont Miss It :
Part 9  : HOLD MY HAND 
Part 8 : HOLD MY HAND













Tidak ada komentar:

Posting Komentar