Part 10
Indira
menopang dagu dengan kedua tangannya, matanya tertuju pada kotak nasi yang ada
di mejanya. Diam dan tidak ia sentuh sedikitpun, sesekali ia menggeleng
mengingat dari siapa paket itu ia terima
‘huft kemana
saja kamu selama ini?’runtuknya dalam hati.
‘Andai waktu bisa kuputar ulang, mungkin aku
tidak akan mengambil jalanku kini’
‘Maaf atas
luka yang telah lalu, seandainya aku tahu pastinya tak akan pernah kulakukan’
‘jangan lupa
makan’
‘Meskipun kini
aku tak bisa menggenggam tanganmu, tapi ada ruang hatiku yang terus terisi
olehmu. Ijinkan aku untuk selalu melihat senyummu’
‘jangan
berubah, jadilah Indira yang aku kenal ... selalu jadilah dirimu yang dulu’
‘Sudah saatnya
mengisi perut, jangan pernah ditunda. Jaga kesehatanmu’
Indira terus
membaca pesan pesan yang masuk ke ponselnya, pesan yang tak pernah ia balas
sekalipun. Prasta yang kini sangat aktif menghubunginya seakan melupakan setiap
detail peristiwa yang membuatnya berlari hingga terdampar di kota kecil sampai
sekarang ini. Dalam seminggu Prasta bisa mengirim tiga kali kotak nasi padanya
‘apa yang kamu
pikirkan Pras’ Indira memasukkan ponselnya dalam saku jas. Ia melanjutkan
pekerjaannya tanpa sedikitpun menyentuh kotak nasi yang ada di hadapannya,
hanya beberapa kali ia meminum smoothies yang Anggi berikan padanya pagi tadi.
‘have a nice
day, my sweety’ itulah yang Anggi ucapkan kala memasuki ruang kerjanya dan
menaruh botol smoothies dan kotak berisi beberapa potong roti sandwich di meja
kerja Indira dengan senyum sedikit menggoda, entah itu buatannya sendiri atau
sekali lagi titipan Bagas, Indira tidak lagi mempersoalkan.
“Sus, ambil
saja kotak nasi yang ada di meja saya” Indira berpesan pada Suster Mia yang
sedang merapikan catatannya saat ia berniat untuk pulang
“dokter mau pulang sekarang?”
“kenapa Sus,
ada yang gawat kah?”
“Bukan Dok,
tapi tadi dr. Satya berpesan untuk menahan Dokter”
“dr. Satya?”
Suster Mia
mengangguk, Indira meletakkan kembali tasnya di atas meja suster Mia, dia
melihat jam ditangannya. Hampir jam 3 sore, dahinya berkerut....bukankah jam 2
jam kerjanya sudah usai tapi satu jam pasca jam kerja itu lewat dr. Satya belum
juga menghubunginya. Indira merogoh jas dokter yang masih ia kenakan. Ia
memutar mutar ponsel itu sambil berpikir menerka tujuan dr. Satya menahan
kepulangannya, apakah sekali lagi Bagas memanfaatkan kenalannya untuk
menemuinya, bukankah ia bisa langsung menghubungi dirinya jika memang ada sesuatu yang ingin ia sampaikan tanpa harus melibatkan
dr. Satya lagi. Tangan Indira mumbuka kunci kode ponselnya
‘Oh... ada
pesan’ setelah membaca pesan pesan Prasta, Indira memang tidak sekalipun
menengok ponselnya sehingga ia tidak menyadari ada pesan yang masuk padanya
‘Seperti
biasa’ pesan singkat dan padat itu cukup membuat Indira melompat dari kursinya,
dengan cepat ia memasukkan kembali ponsel itu dalam kantong dan menyamber tas
yang ia taruh dengan manis dihadapan suster Mia
“Suster,
bilang pada dr. Satya saya buru buru” Suster Mia yang melihat ekspresi wajah
dr. Indira hanya bisa mengangguk dan mengangguk, Indira sekali lagi melihat jam
yang melingkar di tangannya. Langkahnya cepat dengan mata yang jauh sudah
menyapu pandangan di ujung depan Rumah Sakit
‘Huft….gila, satu jam???
Masihkah dia
menunggu?’
Indira terus melangkah melewati pintu masuk dan pelataran parkir. Juru parkir
yang melihatnya sempat menyapa menunjukkan dimana mobil Indira di parkirkan,
tapi Indira hanya tersenyum dan mengangguk dan terus berjalan melewati
gerbang. Jam ditangannya menjadi begitu sering ia lihat, ia menoleh kekanan dan
ke kiri mencari sesuatu tapi sama sekali tidak nampak olehnya apa yang ia cari
‘haruskah aku
menelponnya?....’ ponsel yang sudah ia pegang masih ia genggam, sekali lagi ia
ingin pastikan bahwa masih ada yang menunggunya di seberang jalan dan akan
memutar balik mobilnya untuk sampai dihadapannya. Sedikit memonyongkan bibirnya
Indira menelan kecewa, ia membuka ponsel hendak menelpon
‘tit tit...’
Indira menoleh, sebuah Forturner Silver Metalic menghampirinya dari sisi kanan
ia berdiri, Indira terdiam sesaat. Kaca mobil diturunkan sehingga kini terlihat
olehnya siapa yang berada di balik kemudi. Dokter cantik itu melepas nafasnya
lega dan tersenyum kemudian menangkupkan kedua tangannya meminta maaf dengan
pandangan penuh penyesalan. Indira mendekati mobil itu dan membuka pintunya lalu masuk dengan memasang wajah mengiba untuk dimaafkan
karena Bagas hanya diam dan memasang wajah datar tanpa sedikitpun senyum.
“Maaf, aku
sama sekali tidak melihat pesanmu” Indira bersuara lirih
“hmm” saut
Bagas dengan pandangan masih fokus pada jalan yang ada di depannya.
“Gas maaf....”
“tapi apakah
kamu akan menegaskan pada orang orang diluar sana kalau kamu seorang dokter?”
“maksudnya?”
tanya Indira bingung
“Apakah kamu
akan menggunakan jas itu saat kita jalan” tanpa menoleh Bagas menjelaskan
maksudnya, Indira tersenyum menyadari kebodohannya yang tanpa sadar masih
mengenakan jas kebesarannya keluar dari Rumah Sakit. Setelah Indira melepaskan
identitasnya, Bagas menginjak pedal gas membawa Indira menjauh dari Waluyo
Suasana
hening, sepanjang jalan Bagas hanya diam hanya lantunan lagu lembut terdengar
dari tape yang dinyalakan pelan. Indirapun diam tanpa sedikitpun berani
bersuara karena merasa bersalah. Ya diluar sepengetahuan Anggi setelah
pertemuan yang membuatnya kalang kabut oleh sikap Indira, hubungan Bagas dan
Indira semakin akrab. Pembicaraan keduanya di “Dapur Gendhis” membuat mereka
semakin dekat dan hubungan mengalir tanpa direncanakan, dan beberapa kali Bagas
menjemput Indira sepulang dinas saat dia sedang tidak berdinas. Dengan alasan
tidak enak dengan rekan kerja keduanya sepakat bertemu diluar Rumah Sakit.
‘Waktu tidak pernah berputar
ke belakang dan begitupun kehidupan dr. Indira ataupun saya. Kita harus tetap melangkah maju
untuk menemukan masa yang lebih baik saat sampai di ujung jalan nanti. Semoga perkenalan
kita
tidak akan pernah menjadi sisi buruk yang tidak ingin Anda kenang dan akan selalu menjadi waktu yang akan
Anda lihat dan Anda ingat selamanya
Jangan pernah
berhenti karena waktu yang menyedihkan, tapi tetaplah maju untuk membuktikan
bahwa masa itu tak pernah membuat Anda kalah. Jika Anda tadi memberi hak pada
saya untuk marah, saya tidak akan marah, tapi saya berharap Dokter Indira
mengijinkan saya untuk membantu Anda membuktikan itu’
‘tapi saya
tidak ingin memberikan luka pada orang lain setelah saya tahu bagaimana rasanya
terluka’
sela Indira kala itu
‘kita tidak
tahu apa yang akan terjadi di
kemudian hari, saya anggap
adanya Dokter disini adalah bentuk penolakan Dokter kepada saya. Ini terlalu
dini, jadi kita jalani saja kemana waktu akan membawa kita pergi, Dokter tidak
perlu merisaukan apa yang akan terjadi esok, anggap saja perkenalan ini sebagai
perkenalan biasa. Jangan pakai hati. Dermaga tidak pernah memilih kapal mana yang akan
singgah padanya, begitupun dengan hati. Dia akan menemukan jalannya sendiri’
Itulah kalimat
kalimat Bagas yang akhirnya meyakinkan Indira untuk tidak menolak apapun bentuk
perhatian yang Bagas berikan, mulai dari pesan yang selalu Bagas kirimkan
memberi semangat sampai dengan paket makanan yang ia titipkan pada Anggi bahkan
panggilan Anda dan Saya kini sudah tidak pernah lagi terdengar diantara mereka.
Meski belum ada kesepakatan hubungan seperti apa yang ada di antara keduanya
namun sikap Bagas memperlakukan Indira seakan mewakili maksud yang ia miliki
sebenarnya
“Kok?” Indira
menatap Bagas yang masih berekspresi datar tanpa senyum. Mobil memasuki
pelataran sebuah Hypermarket berjalan sedikit pelan memasuki area parkir. Mesin
dimatikan
“Sebagai ganti
dari satu jam aku menunggu, sekarang temani aku belanja” Bagas turun dari
mobilnya menahan tawa melihat ekspresi Indira yang masih kaget kemana ia
membawanya
“Ayo turun”
Bagas membukakan pintu untuk Indira yang tetap dengan muka kecutnya turun dari
mobil. Indira mengikuti langkah Bagas
memasuki
Hypermarket. Memasuki area perbelanjaan Bagas mengambil troli dan mulai
mengambil apa apa yang ia butuhkan, kebutuhan dapur! Sekilas dia melirik Indira
yang masih kecut berjalan disisinya sedikit cemberut..
“siapa suruh
membuat aku menunggu di pinggir jalan sampai ngantuk?” suaranya membuat Indira
memandang dengan tatapan kesal
“Aku sudah
meminta maaf untuk itu kan, aku nggak baca pesanmu”
“Ya sudah, ini
hukumannya”
“Lagian kamu
menjemputku sebenarnya cuma minta ditemani belanja ginian kan?”
“Hei... ini
urusan mbak dapur ya. Seorang
Bagas
tidak pernah masuk tempat beginian sebelumnya”
“Lah terus ini
kenapa membawa aku kesini?” Indira protes
“Biar kamu
merasa siap jadi Ibu rumah tangga”
“Hah??!!”
Indira terbelalak mendengar jawaban Bagas, sementara Bagas tersenyum puas
melihat Indira yang seakan siap melemparkan bola matanya karena kaget
“Masuk kesini
tidakkah kamu merasa kita terlihat seperti pasangan suami istri” lanjutnya kemudian
“Bagas!!”
Indira menghentikan langkahnya merasa
kesal
dikerjai oleh dokter ganteng itu. Bagas yang sepanjang perjalanan bertahan
dengan muka asam dan membuat Indira cuma bisa diam dengan wajah penyesalan kini
keadaan berubah,
Bagas ditemani wajah sumringah selama belanja dan Indira memasang muka datar
dengan pandangan kesal.
“senyumlah Ndi… huh!”
Bagas setengah berbisik membujuk Indira untuk tersenyum
“Ogah” dengan cuek
Indira memberi jawaban dan memasukkan beberapa barang dalam troli yang di
dorong oleh Bagas. Bagas membiarkan saja apapun yang Indira masukkan, entah itu
barang yang ia butuhkan ataupun mungkin Indira hanya mengambil secara random
untuk membuat Bagas kesal
“Jangan buat orang yang
melihat kita salah sangka, nanti mereka pikir aku suami yang pelit lagi”
“Huft!.....” Indira
menarik nafasnya panjang lalu mempercepat langkahnya menuju stand sayur, dia
pikir Bagas akan merasa tidak tahan berada di stand itu dan segera mengajaknya
keluar. Sementara Bagas yang santai menahan tawa puasnya sedikit tertinggal
dibelakang, dia mengawasi Indira dari jauh. Bagas menghentikan langkahnya
beberapa meter dari tempat Indira, ada seseorang yang ia kenal mendekati gadis
cantik itu menyapa dengan ramah
‘Tama??? Tama mengenal
Indira?’ tanpa bermaksud menguping, pembicaraan Tama dan Indira terdengar oleh
Bagas
“Indira, sedang apa
kamu disini?”
“Hei… ngapain lagi,
yang jelas bukan untuk memeriksa pasienlah”
“Mana belanjaannya
kalau memang lagi belanja?”
“Ada kok… oh iya,
terima kasih untuk kirimannya” Indira sedikit berbisik, Ia teringat bahwa
dirinya sedang bersama Bagas saat ini. Indira menoleh kebelakang mencari
keberadaan Bagas, tapi ia tidak menemukan sosok itu… Indira mulai kikuk karena
Prasta terus mengikutinya
“Hai Tam, sedang
belanja?”
“dr. Raihan, Anda?”
Tama sedikit kaget melihat Bagas di depan mereka dengan troli penuh belanjaan,
yang ia tahu Bagas adalah orang yang anti masuk wilayah perempuan, Tama
memandang Indira dan Bagas bergantian setelah dengan santainya Indira
memasukkan beberapa sayur dalam troli yang Bagas pegang
“Kamu kenal dr.
Indira?” tanya Bagas kemudian
“Ya, karena beberapa
waktu lalu anak buah Tama masuk Waluyo” sela Indira sebelum Prasta memberikan
jawaban yang tidak ingin Indira dengarkan, Prasta tersenyum, ia mencoba
bersikap wajar meskipun dia sedikit terkejut Indira menyebutnya dengan nama
Tama dihadapan Bagas, tidak seperti biasanya ia menggunakan nama itu, sekalipun
ia tidak pernah mendengar Indira menyebutnya demikian di hadapan orang lain,
tapi kini di hadapan Bagas seakan akan Indira tidak ingin hubungannya dengan
Tama diketahui oleh Bagas.
“Ya, aku mengenal dr.
Indira karena itu. Ah kalian belanja bersama?” selidik Tama kemudian
Bagas tersenyum dan
mengangkat bahunya memandang Indira yang tersenyum kecut mendengar kata
“belanja bersama” diucapkan untuk menyebut kebersamaan mereka dalam Hypermarket
itu.
Tama menepuk pundak
Bagas yang tampak sumringah dengan troli belanjaannya dan wanita cantik yang
ada di hadapannya, serasi. Melihat kebersamaan Bagas dan Indira membuat Tama
sedikit menelan pil kina, meskipun dia sadar dimana kini dia berdiri, tetap
melihat Indira bersama orang lain memberikan luka yang tak pernah ia mengerti.
“Sudah semua kan?
Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus kita beli” sekali lagi Indira
menyela kesempatan Bagas dan Tama untuk mengobrol, sedikit sibuk memasukkan
beberapa daging dan sayur dalam troli Bagas, Indira membuat Tama sedikit
menggeser posisinya.
“sepertinya kita harus
duluan Dokter. Tam, kami duluan ya” tanpa menunggu persetujuan Bagas, Indira
pamit pada Tama dan menyeret troli yang Bagas pegang sehingga Bagaspun
mengikutinya tanpa banyak bicara
“Tam, duluan ya. Isi
keranjang belanjaanmu yang penuh” pamitnya pada Tama yang hanya di balas dengan
lambaian tangan oleh Tama. Bagas tersenyum melihat reaksi Indira yang tiba tiba
sedikit aneh menyebut dirinya dengan sebutan dokter dihadapan Tama, dalam
pikirannya Indira tidak ingin dianggap sebagai pacarnya atau dia sedikit malu
ketahuan sedang berbelanja bersama dengannya selayaknya pasangan suami istri
karena sorot mata Indira begitu tajam menatapnya saat Tama menyebut kebersamaan
mereka dengan istilah itu.
***
Tak ada yang berubah
dari kebiasaan Tama mengirimkan makanan untuk Indira dengan pesan pesan penuh
perhatiannya, semua masih sama setelah pertemuannya di Hypermarket bersama
dengan Bagas. Entah apa yang Tama pikirkan sehingga dia tidak merasa perlu
menghentikan apa yang ia lakukan untuk Indira, mungkin ia berfikir bahwa
kebersamaan itu hanya kebersamaan biasa karena mereka satu profesi. Itu yang
ada dalam pikiran Indira setelah menerima paket makanan itu masih terus Tama
kirimkan untuknya, paket makanan yang berakhir di meja suster Mia atau ruang
kerja Anggi.
Seperti siang ini,
Indira membawa kotak makanan itu ke ruangan Anggi. Begitu memasuki ruangan
Anggi, Indira sempat menghentikan langkahnya. Ada jaket kulit di sandaran kusri
di depan meja kerja Anggi, Anggi yang sedang melihat laporan kerja yang di
serahkan oleh asistennya sedikit terkejut
“Hei…. Masuk Ndi”
sapanya
“hmmm… kamu ada tamu?
Ini?!” Anggi meletakkan kotak nasi di meja Anggi sambil menunjuk pada jaket
kulit yang tergeletak manis di sandaran kursi.
“Apa lagi ini?” Anggi
tidak menjawab pertanyaan Indira dan mengalihkannya pada apa yang dibawa oleh
Indira karena dia sendiri bingung harus menjelaskan seperti apa tentang pemilik
jaket itu
“Makan aja nggak usah
banyak tanya” Indira menjawab pertanyaan sahabatnya sedikit kesal sambil
menjatuhkan dirinya di atas kasur pemeriksaan dan menutup tirai yang memisahkan
meja kerja dengan kasur tempatnya merebahkan diri
“Aaaah nyamannya bisa
tidur jam segini… Nggi, aku tidur nggak apa ya?”
Bersamaan dengan itu
Bagas kembali ke ruangan Anggi setelah menemui dr. Satya dengan penampilan ala
modelnya setiap kali mendatangi Waluyo. Bagas yang sempat mendengar suara
Indira memberikan isyarat pada Anggi untuk tetap diam tidak memberitahu Indira
perihal keberadaannya di ruangan itu.
“Eh jawab dulu ini
apaan?” Anggi bersikap normal menimpali Indira yang kini mulai memejamkan
matanya
“Makan saja, dari pada
kamu harus beli. Hari ini kamu nggak bawa bekal kan, juga nggak ada titipan
kan?” Goda Indira pada Anggi tentang makanan makanan yang biasa Anggi berikan
padanya.
“Bekal, Titipan??? Itu
bukan titipan Ndi” Anggi merapikan berkasberkasnya dan mulai membuka kotak makanan
yang Indira sodorkan padanya
“Halah… memang kamu
pikir aku percaya makanan makanan yang kamu antar ke ruanganku itu kamu yang
beli.. sok manis lagi…. ‘have a nice day, my sweety’…’happy working, cantik’…
trus apalagi itu kata kata yang sering kamu pakai, Nggi… Geli aku dengernya”
Bagas yang mendengar
kata kata Indira lengkap dengan nada suara yang menirukan suara centil khas
Anggia menahan tawa begitupun dengan Anggia yang cekikikan mendengar celoteh
sahabatnya.
“Nggi, ini makanan enak
loh, yakin kamu nggak mau makan” Anggi membuka kotak makanan yang Indira bawa
untuknya
“Habisin dari pada aku
kasih suster Mia”
“Memang kamu sendiri
sudah makan?”
“Aku kelaparan pun
nggak akan makan itu makanan Nggi….” Jawab Indira enteng
“meskipun makanannya
nggak salah, tapi menelannya hanya akan membuat aku kembali tercekik”
lanjutnya. Anggi menatap Bagas tajam setelah mendengar lanjutan kalimat Indira,
ia menggigit bibirnya sendiri menyadari bahwa Indira akan membuka apa yang
tidak ingin dia ceritakan pada Bagas. Sementara Bagas menegakkan badannya saat
mendengar kalimat terakhir Indira ‘Akhirnya sisi kelam itu akan aku ketahui’
pikirnya
“Jangan bilang ini
dariiiiii…..” Anggi tidak menyelesaikan kalimatnya, ia bingung harus meneruskan
dengan kalimat seperti apa, kode yang Bagas berikan untuk meneruskan
pembicaraannya dengan Indira memaksanya terus bersuara sementara jika Indira
mengetahui keberadaan Bagas dalam ruangan itu pasti akan merasa dihianati oleh
sahabatnya sendiri.
“Prasta…. Hmmm aku
sampai bingung menebak apa yang ada dipikirannya, apa coba yang dia pikirkan
saat mengirim itu padaku, apa dia pikir aku orang yang punya hati?. Apa
Prasta...”
“Eh sudah selesai Gas?”
Anggi memotong kata kata Indira dengan sedikit berakting seolah olah Bagas baru
datang ke ruangannya, Bagas menatap Anggi heran kenapa dia harus memotong
kalimat Indira yang begitu ingin ia ketahui
“Begitulah…. Ehmm siapa
Prasta, Ndi”
“Ya?” Indira menyibak
tirai yang menjadi sekat ruang periksa dan meja kerja Anggi. Dia melihat Bagas
sudah duduk di kursi depan meja kerja Anggi memegang jaket kulit yang tadi ia
tanyakan pada Anggi. Indira menatap Anggi bertanya
“Bagas barusan menemui dr.
Satya” Anggi yang mulutnya masih menguyah makanan hasil kiriman Tama memberikan
penjelasan. Indira sedikit kikuk, dia sedikit hawatir Bagas mendengar lebih
banyak dari yang bisa ia tebak
“barusan aku sempat
mendengar nama Prsata, siapa… pacar kamu, Ndi?” goda Bagas pura pura tidak
mengetahui apapun dari pembicaraan dua sahabat itu, namun tidak bisa di tutupi
nada suara Bagas berbeda. Bagas yang selalu tersenyum pada Indira kini memasang
senyum kecutnya menunggu jawaban Indira
“Ah bukan siapa siapa,
nggak penting untuk dibahas” Indira kini menjatuhkan dirinya di sofa yang ada
dipojok ruangan, Bagas mengangangkat bahu sambil ber oh oh ria
“uhuk….” Anggi berpura
pura tersedak untuk lepas dari konflik yang ada antara Bagas dan Indira.
Meskipun belum memproklamirkan hubungan secara resmi, namun Anggi bisa melihat
ikatan emosional diantara dua orang yang ia sayangi itu.
“sepertinya aku harus
menyingkir dari penyelesaian urusan dalam negeri” celetuknya sambil mencuci
tangan di wastafel lalu meninggalkan ruang kerjanya. Indira menatap Bagas yang
kini sedang sibuk memakai jaket dan kaca matanya juga bersiap meninggalkan
ruangan. Ada raut wajah kecewa yang Indira baca karena tidak seperti biasanya
Bagas acuh pada keberadaannya
“Mau balik” tanyanya
pada Bagas
“Hmm”
“Kamu marah?”
“Nggak!”
“Kok?”
“Apanya?” Bagas selesai
dengan jaketnya dan kini duduk kembali di kursinya menghadap ke arah Indira
“Kamu kenapa sih Gas?
Katanya nggak marah, tapi kok aneh gini. Kamu sibuk?”
“See.. aku bebas dari
kemeja. Apakah kamu belum hafal jika aku berpenampilan seperti ini?”
“Lantas, kamu kenapa?”
“Aku sedikit kecewa”
“Soal Prasta?”
“I don’t know about him
and I had no reason to be angry. I don’t have any reason for it” Bagas bangun
dari kursinya melangkah kemana arah pintu berada, tapi tangan Indira
menghentikan langkah itu, Indira memegang erat lengan Bagas yang siap membuka
pintu, gadis itu mencoba menerawang dalam kaca mata yang kini menutup mata
Bagas untuk menemukan jawaban atas sikap aneh pria yang kini ada dihadapannya
Dont Miss It :
Part 9 : HOLD MY HAND
Part 8 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar