Part
12
Sebenarnya
Tama sendiri tidak yakin dengan apa yang ia lakukan saat ini, bisa melihat Indira
di kota kecil ini dengan kedua matanya adalah hal yang sama sekali tidak pernah
ia duga sebelumnya, penyesalan yang ia rasakan mungkin tidak akan ada habisnya.
Mata indah Indira bahkan masih menatapnya dengan ramah, bibir tipisnya masih
memberikan senyum manis yang sama, tapi keterkejutannya setiap kali mereka bertemu
masih sangat mengganjal bagi Tama. Setiap kali mereka bertemu Tama selalu
menangkap ada kegugupan yang Indira coba sembunyikan. Apakah benar Indira pergi waktu itu karena dirinya dan bukan
semata mata tuntutan profesi yang ia pilih seperti yang Rendi katakan selama
ini. Jika benar demikian seharusnya Indira membencinya dan tidak memberikan
peluang padanya untuk kembali mendekat, tapi kenyataannya Tama tidak melihat
amarah ataupun kebencian dalam sorot mata Indira selain rasa keterkejutan itu. Sebenarnya
itu cukup melegakan bagi Tama, tapi apa yang saat ini terlihat olehnya benar
benar mengusik sisi ego yang selama ini seakan telah lama hilang, tapi mengapa??
Menemukan kembali bagian hidupnya yang ia nodai adalah sebuah keberuntungan baginya,
tetapi kenyataan yang harus dia terima dibalik itu mengusik egoism dirinya sebagai
lelaki…. Bayangan pertemuan dengan Indira bersama dengan dr. Raihan kembali
melintas, bagaimana Indira sekuat tenaga mendominasi ruang percakapan dan
seakan tidak mengijinkan dirinya berbincang dengan dr. Raihan terasa sangat
aneh ‘Apa yang terjadi denganku
sebenarnya, bukankah sudah aku putuskan untuk memperbaiki kesalahan itu melalui
keluargaku saat ini, apakah aku merasa tersaingi? Normalkah perasaan ini
ataukah …. Ah aku benar benar bisa gila, kenapa bayangan Indira kembali
menguasaiku?’.
“Kamu
masih punya muka ketemu dengan Indira?” Tiba tiba Rendi datang dan memergoki
Tama bengong di depan laptopnya dan seakan dia mampu menebak apa yang ada di
dalam pikiran Tama saat ini
“Apa
maksudmu?”
“Jangan
pikir aku tidak tahu kegilaan macam apa yang kamu lakukan saat ini… jangan lupa
Brother, kita bersama sudah lebih dari 20 th” Rendi menghentikan langkah tepat
di depan meja kerja Tama sambil menyeringai penuh makna pada Tama
“Ya…
awalnya aku nggak memang yakin Indira masih mau menemuiku. Mengetahuinya sebagai
dokter disana, tapi aku hanya bisa melihatnya dari jauh adalah hal yang belum
pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku takut untuk mendekatinya bahkan sebagai
pasiennya pun rasanya aku tak cukup memiliki keberanian”
“trus,
apa yang membawamu bisa senekat ini? ingat Tam, bagaimana kamu melukai dia.
Menganggap dia tidak pernah ada dalam kesetiaannya. Andai aku bukan sahabatmu,
pasti aku sudah membunuhmu dari dulu. Apakah kamu akan mengulangi kesalahan
yang sama pada Sekar dan apakah setega itu dirimu pada kepolosan Syifa?”
“Nekat?”
Tama mengerutkan dahinya tak mengerti dengan yang di maksud kata nekat dalam
kalimat Rendi, tatapannya penuh selidik pada apa yang sebenarnya Rendi ketahui
tentang apa yang ia lakukan akhir akhir ini sehingga harus membawa nama Sekar
ataupun Syifa
“Yup…
nekad dan konyol yang menjurus pada kekurangajaran, you know!!”
“Jangan
berfikir terlalu jauh, Ren. Aku tak mungkin melakukan itu. Hanya saja…..
Aku
hanya ingin menebus dosaku pada Indira. Paling tidak aku ingin membuatnya
selalu tersenyum”
“Ah…
konyol, itu cuma ada dalam roman picisan, hah menebus dosa, memperbaiki
kesalahan… wake up Bro, kamu sudah bermimpi terlalu indah”
“Bagaimanapun
juga dia adalah orang yang mengajarkan banyak hal padaku. Kesetiaan,
pengorbanan, ketulusan …. Semua aku pelajari darinya”
“Dan
sayangnya kamu justru mengajarkan luka padanya. Hentikan Tam, jika kamu nggak
mau melihatnya terluka kedua kalinya karenamu. Isi pikiranmu itu sudah tidak
beres, jika kamu menganggap dia bisa tersenyum karenamu lantas buat apa dia
menjauh darimu sampai disini, Profesi??? Itu hanya sepersekian prosen alasan
yang ia gunakan. Udah hentikan Tam, kalau nggak aku akan benar benar marah padamu
karena itu sama saja kamu semakin mempertegas keegoisanmu dan satu lagi dr.
Raihan adalah orang yang baik dan pantas Indira dapatkan”
Dengan
nada sarkastik Rendi meninggalkan Tama sendiri di meja kerjanya sibuk mengotak
atik isi laptopnya. Entah apa yang dia lalukan dengan laptop itu, bahkan untuk
menghasilkan satu kerangka design saja dia belum ia lakukan. Sebagai seorang
sahabat Rendi memang sudah berkorban banyak untuknya, termasuk kehilangan
Indira. Demi menutupi semua kesalahan yang Tama lakukan membuat Rendi menjadi
satu satunya orang yang menjadi sasaran kemarahan Indira saat mengetahui kebenaran.
Rasa bersalah Rendi yang membuatnya tidak mampu bertemu Indira adalah
pengorbanan terbesar dalam hidupnya meskipun Indira telah memaafkan dirinya namun
justru sikap Indira yang memaafkan itu membuatnya semakin merasa bersalah.
Sebagai seorang sahabat Rendi merasa gagal untuk melindungi sahabat kecilnya
hingga ia merasa tidak punya muka untuk bertatap muka.
‘sebenarnya apa yang
kini kamu rasakan Ndi, kamu bahkan tidak pernah menolak kehadiranku atapun
pemberianku, tapi kenapa kamu tidak pernah menjawab pesanku?’ Tama
kini menatap layar ponselnya, ponsel yang tidak pernah memberikannya suara
Indira seperti yang ia harapkan karena tidak pernah ada jawaban seberapa keraspun
ia mencoba.
‘Apakah dr. Raihan
adalah pilihan masa depanmu?’ Tama
menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikirannya tentang Indira dan dr.
Raihan dalam otaknya. Tama memejamkan matanya bersandar pada kursi kerjanya,
wajah Indira tak bisa ia usir dari pikirannya.
“ah
ini gila”
Tama
menutup laptopnya dan mengambil kunci mobil yang ia taruh sembarangan di atas
meja kerja dan melangkap pergi begitu saja, Rendi yang tadinya berkonsentrasi
pada pekerjaannyapun terkejut melihat Tama yang tiba tiba berdiri dari kursinya
“Tam
ingat Syifa” teriaknya pada Tama yang berjalan keluar kantor
***
Di
Hotel Mahardika Bagas sudah tidak lagi bisa berkonsentrasi, pikirannya melayang
pada kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi pada hubungannya dengan Indira.
Bagas masih belum melupakan reaksi Indira pada penghinaan Devina dan sekarang
mungkin Indira telah melihatnya sebagai bagian dari Rumah Sakit Waluyo
“Gas,
konsentrasilah sedikit” bisik dr. Satya pelan melihat Bagas yang acap kali
mengusap wajahnya dengan kedua tangan berusaha untuk focus.
“Ah
… maaf Om”
‘Sepertinya keputusan
untuk terlibat dalam Waluyo tidak akan pernah jadi pilihan tepat’
sekali lagi Bagas menyesali keputusan keberadaannya di Mahardika pagi ini, pikirannya
benar benar tidak dapat dikembalikan secara sempurna dalam ruang rapat,
begitupun dengan Anggi. Ketakutan akan amarah Indira padanya membuatnya merasa
sedikit ngeri untuk pulang ke kontrakan, jelas Anggi bisa menebak Indira akan
menanyakan alasan keberadaan Bagas dalam ruang rapat ini dan rasa dibohongi itu
pastinya sudah menguasai hati Indira, tatapan dua orang saudara sepupu itu
bertemu saling menanyakan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Tepat
jam 13.00 rapat usai, Bagas mengejar langkah dr. Satya sebelum meninggalkan
ruang rapat
“Om..
untuk sementara waktu Bagas belum bisa meninggalkan Medika, tolong kasih waktu
buat Bagas sampai benar benar siap berada di Waluyo. Bantu Bagas membujuk Papa,
Om”
“Ya…
Om mengerti, tapi jangan terlalu lama Gas. Om sudah tua dan sudah waktunya
pensiun. Soal Indira…..” dr. Satya mengalihkan pandangan pada Anggi yang kini
terduduk menutup wajahnya dengan dua tangan bertumpu di atas meja
“Kalian
bicarakan baik baik, Om sudah tahu semuanya meskipun kalian tidak pernah cerita
secara gamblang dan Om dukung pilihanmu kali ini anak nakal, sudah saatnya kamu
kembali membuka hati. Kapanpun kamu membutuhkan bantuan, Om siap” dr. Satya
menepuk bahu Bagas memberikan dukungannya tulus dengan anggukan dan pandangan
teduh nan menenangkan. Dokter senior itu sangat paham akan perasaan Bagas yang
kini mungkin tidak bisa dideskripsikan seperti apa.
Sementara
itu, Anggi yang masih terdiam kalut masih tidak bisa melupakan tatapan Indira
yang seakan menghujam penuh amarah membutuhkan penjelasan, suara lirih nan
penuh penekanan itu tak mampu membuat otaknya berfikir penjelasan seperti apa
yang akan ia berikan pada sahabat yang ia sayangi itu
“Maaf, saya
mengantarkan ini untuk dr. Anggia. Beliau tidak sengaja meninggalkannya dan
sepertinya sangat penting”
Kalimat
Indira saat menyerahkan map yang Anggi tinggalkan dengan tatapan yang tak lepas
pada Anggi adalah tatapan pertama yang ia dapatkan dari Indira sepanjang
persahabatan yang mereka jalani, tatapan penuh dengan emosi dan Anggi benar
benar tidak dapat menerka apa yang akan Indira lakukan padanya, akankah dia
juga akan meninggalkan dirinya sama dengan dia lari dari perasaan frustasi dari
kebohongan Tama.
“Ah,
aku benar benar bisa gila, Gas! Penjelasan apa yang akan aku berikan pada
Indira, dia pasti sangat marah padaku”
Anggi
menatap Bagas yang kini berada di sampingnya dengan wajah yang tak kalah
bingungnya
“Apakah
sekalipun kamu tidak pernah membahas tentang Waluyo?” Bagas menggeleng
“Dia
tidak pernah menanyakan alasanmu yang enggan masuk ke Waluyo?” kembali Bagas
menggelengkan kepalanya
“Aish…
semua yang aku lakukan untukmu selalu akan menyeretku pada kegilaan yang tidak
terbayangkan” Anggi mengacak rambutnya lalu menjatuhkan dirinya pada meja yang
ada didepannya pasrah
“Santai
Nggi, kamu jangan mengatakan apapun… biar aku sendiri yang akan berbicara
dengan Indira” akhirnya Bagas bersuara dengan suara tegasnya
“Sebenarnya
sejauh apa perkembangan hubunganmu dengan Indira? Kamu harus mengatakannya
padaku agar aku ada bayangan seperti apa penjelasan yang dapat aku sampaikan
pada gadis frustasi itu” Anggi menatap Bagas dengan pandangan memohon
selayaknya wajah seorang pendosa yang mengharapkan pengampunan dan pertolongan
agar terbebas dari hukuman
“Aku
sendiri tidak bisa menjelaskan hal itu Nggi, yang jelas ada sesuatu yang
mengikat kami, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Belum ada kesepakatan
apapun antara aku dengan Indira, tapi aku sanggup terluka saat dia terluka
seperti saat ini. Entahlah, aku juga belum yakin telah memenangkan hatinya, yang
aku tahu dia sedang mencoba percaya padaku dan aku menciderai kepercayaan itu
saat ini” Bagas merapikan berkasnya dan berdiri
“Kita
pikirkan sambil melihat perkembangan keadaan saja Nggi, ini urusan pribadiku
dan biarkan aku yang akan mengatasinya, kamu jangan terlalu memusingkannya.
Oke!” Bagas memaksakan satu senyum dibibirnya mencoba mengusir segala bentuk
kehawatiran dalam hatinya
“Kamu
lupa aku hidup satu atap dengan dia?” Anggi memasang wajah kesalnya pada Bagas
“Santailah
Nggi, berikan jawaban seperlunya saja, aku akan cari waktu untuk memberikan
penjelasan padanya sesegera mungkin”
“Oh
God… dosa apa yang sudah aku lakukan hingga setiap kali aku menolongmu justru
seakan mendorongku masuk dalam jurang gelap. Hidupmu yang seperti surga itu
ternyata sangat melelahkan bagiku Gas. Tak ada cawan madu yang aku nikmati dan
selalu hanya mendapat teh pahit… sial sial dan sial” Anggi menggerutu kesal
“Surga???
Kamu pernah ke surga Nggi?” Bagas sekali lagi tersenyum mendengar gerutuan
Anggi yang tiada hentinya
“Ayo
Bu Dokter saya belikan susu murni biar nggak pahit lidah anda menelan teh pahit
terus”
Bagas
memaksa Anggi untuk berdiri dari kursinya meninggalkan ruang rapat yang telah
menjelma menjadi ruang eksekusi bagi keduanya sehingga tidak memberikan peluang
bagi keduanya untuk menghindar dari hal yang selama ini ia sembunyikan rapat
dari Indira.
Sampai
di Rumah suasana sangat sepi meskipun mobil Indira nampak sudah terparkir di
garasi, tapitidak ada tanda tanda kehidupan disana. Anggi memasuki ruang tengah
dengan penuh tanda tanya kemana Indira sebenarnya. Ia meletakkan tas kerjanya
beserta blazer yang ia kenakan hari ini begitu saja di atas karpet ruang
keluarga, dia melangkah menuju teras samping rumah tempat favorit Indira membunuh
rasa penat dari himpitan beban hati yang menderanya namun nihil. Anggi
menggelengkan kepala lemas dan berniat menghidupkan lampu, tapi…
“Kamu
pulang telat Nggi”
“Aaah…
jantungku hampir copot, ngapain kamu disana?” Anggi sangat terkejut saat
menyadari Indira yang berada di atas Sofa Beds di pojok ruangan, segera ia
menyalakan lampu ruangan agar bisa melihat Indira dengan kemarahannya
“Maaf
Ndi, aku nggak mengabarimu”
“Ya
sudahlah, kamu istirahat. Aku juga mau tidur, terlalu capek hari ini…”
“Ndi…”
Anggi ragu memghentikan langkah Indira
“Ada
yang ingin kamu sampaikan padaku”
“Kamu
nggak ingin menanyakan sesuatu padaku, Ndi??”
“Tentang
apa, apakah aku harus menanyakan sesuatu yang penting padamu?”
“Indi!?”
“Aku
nggak perlu menanyakan apapun padamu Nggi. Istirahatlah … aku yakin semua ada
alasannya” Indira ringan menjawab dan dengan nada suara lirih yang hampir tak
terdengar oleh Anggi lalu berlalu begitu saja tanpa menatap Anggi sedikitpun dan
melangkah memasuki kamarnya
Meninggalkan
Anggi dengan sejuta pertanyaan yang ia tahan merupakan hukuman baginya yang
tidak pernah bisa meluapkan amarahnya meski keadaan hatinya menyimpan amarah
yang tidah dapat dibayangkan
‘Kamu
jangan terlalu tinggi meletakkan posisimu Indira, kamu bukan siapa siapa yang
memiliki hak untuk marah pada mereka’ Indira menahan nafasnya dalam dalam.
Entah sudah berapa lama ia menggigit bibirnya sendiri untuk menahan emosi yang
berontak dalam dirinya. Rasanya ia begitu ingin marah, tapi kembali mengingat
posisinya dalam kehidupan Bagas dan Anggia yang hanyalah seorang sahabat
membuatnya menahan diri.
‘apakah
kamu punya hak? Apakan kamu adalah orang yang harus mereka mintai ijin sebelum
mereka melakukan sesuatu, siapa dirimu Indira??? Kamu harus sadari itu’
Indira
menatap dirinya di depan cermin, sepertinya ia bingung dengan apa yang akan ia
hadapi lagi esok hari di Rumah Sakit. Apa yang harus ia perbuat saat ia bertemu
dengan Bagas…
“Ndi,
boleh aku bicara sebentar” Anggi tiba tiba masuk dalam kamarnya, gadis itu
sudah terlihat lebih segar setelah ia mengguyur badannya dan berganti pakaian
“Apa
yang ingin kamu bicarakan denganku selarut ini?” Indira melangkahkan kakinya
mendekati kasur dimana Anggi duduk lemas tanpa gairah di dalah satu sudutnya
“Bagas….”
Anggi meragu bahkan di kalimat pertama, ia menatap Indira memastikan ekspresi
apa yang bisa ia tangkap dari wajah yang kini seakan kehilangan sinarnya itu.
Indira menatap Anggi menunggu kelanjutan kalimat yang akan Anggi sampaikan
padanya
“Aku
tahu saat ini kamu marah dan merasa dibohongi olehku ataupun Bagas. Jujur Ndi,
tidak ada sedikitpun niatan untuk membohongimu. Aku harap kamu bisa memaafkan
aku, Ndi”
“memangnya
kamu melakukan kesalahan padaku? Apa yang membuat aku harus marah padamu.
Dibohongi? Kebohongan seperti apa yang kamu maksudkan?” Indira masih mencoba
untuk menahan diri
“Nggi,
semakin kamu bersikap seolah olah tidak terjadi sesuatu, maka semakin besar
lagi rasa bersalah yang ada dipundakku. Seperti masalah Devina, kamu sedikitun
tidak menyinggungnya di depanku, tapi kamu menghindari Bagas tanpa ia tahu apa
yang terjadi dan hanya bisa menebak isi hatimu yang terlalu dalam untuk
dijangkau itu”
“Memangnya
Bagas kenapa Nggi, katakan apa yang ingin kamu sampaikan. Aku akan mendengar
apapun itu”
“Bagas….
Ehm… Bagas adalah anak dari pemilik Waluyo, Cipto Adhi Bagaskara. Dia adalah
orang yang selama ini menolak keras keberadaannya di Waluyo. Bagas tidak pernah
menginginkan berada di Waluyo, dia tidak pernah ingin orang melihatnya karena
siapa dan dari mana ia berasal, tapi dia ingin orang memandangnya karena
dirinya, karena kemampuannya bukan karena latar belakang keluarganya. Bagas…..”
“Dan
kamu adalah salah satu yang berasal dari keluarga itu kan?”
“Ndi…
siapa aku dan bagaimana aku kamu sudah tahu kan? Aku tidak pernah menutupi
apapun darimu. Bagas sebagai sepupuku kamu juga tahu itu kan?, tapi keluarga
kami berbeda…”
“ya
… aku tahu itu. Bagas bukanlah orang yang bangga akan kekayaan orang tuanya.
Bagas tidak pernah ingin dianggap dan diakui orang karena dari mana ia berasal.
Aku paham itu karena Bagas juga pernah membahas soal itu sebelumnya. Tapi
apakah itu juga alasan kenapa kalian menutupi status kalian dariku?”
”Indira….
Aku bukan siapa siapa, aku di Waluyo hanya membantu Bagas”
“Sudahlah
Nggi, kalian nggak pernah membohongiku kok. Lagian aku juga tidak pernah
membahas atau menanyakan siapa pemilik Waluyo kan, keluarga siapa dan dari mana
uang yang aku terima setiap bulannya juga tidak pernah aku ributkan kan?. It’s
okay… istirahatlah semua akan baik baik saja”
Indira
menepuk pundak Anggi yang masih terlihat tidak tenang, ada senyum yang Indira
berikan untuk Anggi meskipun sedikit perasaan kesal merasa dibohongi masih
bertengger dengan manis dalam hatinya. Anggi memberikan pelukan dalam perasaan
bersalahnya, ia tahu Indira menakan ego dan rasa kesalnya, Anggi sangat
memahami ada luka dalam senyum yang menghias wajah Indira.
***
Sementara
itu Tama yang dikejar perasaan kebingungan dan bersalahnya memutuskan untuk
meninggalkan segala pekerjaan dan keruwetan pikirannya sejenak berkumpul dengan
keluarga kecilnya meskipun diluar jadwal kepulangannya. Tama menyadari dengan
sebenar benarnya jika kepulangannya akan membuat sang istri banyak bertanya,
tapi itulah satu satunya cara yang bisa Tama pikirkan untuk lepas dari kegilaan
yang mulai menguasai hatinya
“Mas,
kok tumben kamu pulang tanpa mengabariku dan bukankah ini belum akhir pekan.
Ada apa?” Sekar memberikan secangkir teh hangat pada Tama yang duduk di ruang
tengah, tampak wajahnya yang lelah karena menghabiskan waktu menemani Syifa
bermain sepanjang hari sejak kepulangannya bahkan sebelum ia sempat berganti
pakaian. Tama tersenyum dan meminum apa yang diberikan oleh Istrinya, dugaannya
tepat. Akhirnya pertanyaan itu meluncur mulus dari bibir sang istri
“ah
segarnya… terima kasih Bunda” Tama mencoba untuk tidak mengindahkan pertanyaan
ibu dari putri kecilnya itu. Sekar menatap Tama dengan ekspresi sedikit aneh,
aneh melihat tingkah sang suami yang keluar dari koridor semestinya, sungguh
mencurigakan
“Kamu
aneh Mas, seharian kamu memanjakan Syifa bahkan sebelum kamu berganti pakaian
sudah membawanya bermain. Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas? Bicaralah…
sikap kamu ini sungguh membuat aku semakin curiga”
“Apakah
aku tidak boleh pulang diluar jadwal biasanya, apakah seorang ayah tidak boleh melampiaskan
rasa kangennya pada putrinya?” Tama masih berusaha menutupi gejolak hatinya
yang diburu perasaan bersalah pada keluarga kecilnya
“Tapi
kamu sungguh aneh seakan akan ada dosa yang ingin kamu kubur dengan sikap
manismu yang diluar kebiasaan itu”
“Heiiii
Bunda…. belajar dari mana kata kata barusan? Jangan terlalu curiga Bun…. Ah
jadi ini yang orang bilang kalau perasaan Istri sangat peka seperti sinyal
radar”
“Iiiihs
Mas Tama Aneh” Sekar meninggalkan suaminya dengan wajah yang sedikit kesal
memasuki kamar dimana putri kecilnya tertidur pulas karena capek bermain. Ia
membelai wajah polos sang putri dengan sejuta tanda tanya dalam hati.
Kedatangan suami yang tiba tiba dan sikap manisnya membuatnya sedikit hawatir.
‘katakan
pada Bunda, Nak. Semua hanya perasaan bunda yang terlalu hawatir… Syifa dan
Bunda adalah dunianya Ayah. Dunia yang akan selalu Ayah hias dengan
kebahagiaan’ bisik sekar pelan ditelinga Syifa yang tenang. Ia membaringkan
badannya memeluk tubuh kecil Syifa… sementara dari pintu Tama memperhatikan
sang istri dan bahkan ia mendengar kesahnya. Ia memasuki kamar dengan hati
hati. Di sofa yang diletakkan dekat pintu ia menjatuhkan diri
“Bunda
sudah tidur” tanyanya kemudian
“Bunda
nggak kangen sama Ayah ya, kok kepulangan Ayah jutru dicurigai seperti ini”
Ucap Tama dalam pejaman mata yang bersandar di sofa. Sekar belum menimpali
barang sekata semua yang Tama ucapkan, ia berpura pura tertidur karena dia tidak
ingin kecurigaannya akan memancing amarah sang suami dan akhirnya membuyarkan
mimpi indah putri kecilnya
“Ayah
tahu Bunda belum tertidur…. Ayah bertemu dengan Indira, Bun” lanjutnya kemudian
tanpa menunggu jawaban sang istri, ia berharap Sekar tidak mendengar apa yang
ia ucapkan meskipun ia menganggap itu sebagai pengakuan
Degg….
‘Indira….. Indira Larasati?’ Sekar bertahan dengan pejaman matanya dan hatinya
yang sedikit terkoyak oleh nama yang disebutkan oleh suaminya. Ia sangat
memahami dengan benar siapa Indira dan seperti apa hubungan suaminya dengan
sosok itu. Hening …. Tidak ada suara yang terdengar baik Tama maupun sekar
masih bertahan dalam pertahanan masing masing untuk tidak terbawa dalam emosi.
Tama mengerti bahwa Sekar akan sangat terganggu dengan nama Indira dan Sekar
sangat paham bagaimana rasa bersalah Tama pada Indira
“dimana
Mas Tama bertemu dengan Indira?” akhirnya Sekar bersuara dan ia membenahi
posisinya untuk duduk bersandar pada ranjang
“Mas
Tama bertemu dengan Indira di kota tempat Mas Tama sekarang? Bagaimana?” Tama
mengangguk pelan, suara Sekar yang pelan nyaris tak terdengar itu bagaikan belati
yang menyayat hatinya, ia tahu wanita itu menahan perasaan terluka
“Apanya
yang bagaimana, Bun?” tanyanya kemudian
“Mas
Tama pulang karena Mas Tama merasa bersalah pada kami? Mas Tama ingin menebus
dosa pada Indira?”
“Bunda….”
“Boleh
Aku ketemu dengan Indira? Paling tidak aku mengenal Indira”
Tama
tersentak, ia tidak pernah menyangka Sekar akan meminta mempertemukannya dengan
Indira, untuk apa? Apa yang akan Sekar lakukan? … Tama hanya bisa bertanya
dalam hati tanpa memiliki keberanian untuk mengutarakannya pada Sekar selain
hanya menatap wajah istrinya itu dalam diam dan tatapan penuh rasa bersalah
Dont Miss It :
Part 11 : HOLD MY HAND
Part 10 : HOLD MY HAND
Part 9 : HOLD MY HAND
Part 8 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar