Minggu, 27 Desember 2015

PART 12 : HOLD MY HAND






Part 12 

Sebenarnya Tama sendiri tidak yakin dengan apa yang ia lakukan saat ini, bisa melihat Indira di kota kecil ini dengan kedua matanya adalah hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, penyesalan yang ia rasakan mungkin tidak akan ada habisnya. Mata indah Indira bahkan masih menatapnya dengan ramah, bibir tipisnya masih memberikan senyum manis yang sama, tapi keterkejutannya setiap kali mereka bertemu masih sangat mengganjal bagi Tama. Setiap kali mereka bertemu Tama selalu menangkap ada kegugupan yang Indira coba sembunyikan. Apakah benar Indira  pergi waktu itu karena dirinya dan bukan semata mata tuntutan profesi yang ia pilih seperti yang Rendi katakan selama ini. Jika benar demikian seharusnya Indira membencinya dan tidak memberikan peluang padanya untuk kembali mendekat, tapi kenyataannya Tama tidak melihat amarah ataupun kebencian dalam sorot mata Indira selain rasa keterkejutan itu. Sebenarnya itu cukup melegakan bagi Tama, tapi apa yang saat ini terlihat olehnya benar benar mengusik sisi ego yang selama ini seakan telah lama hilang, tapi mengapa?? Menemukan kembali bagian hidupnya yang ia nodai adalah sebuah keberuntungan baginya, tetapi kenyataan yang harus dia terima dibalik itu mengusik egoism dirinya sebagai lelaki…. Bayangan pertemuan dengan Indira bersama dengan dr. Raihan kembali melintas, bagaimana Indira sekuat tenaga mendominasi ruang percakapan dan seakan tidak mengijinkan dirinya berbincang dengan dr. Raihan terasa sangat aneh ‘Apa yang terjadi denganku sebenarnya, bukankah sudah aku putuskan untuk memperbaiki kesalahan itu melalui keluargaku saat ini, apakah aku merasa tersaingi? Normalkah perasaan ini ataukah …. Ah aku benar benar bisa gila, kenapa bayangan Indira kembali menguasaiku?’.
“Kamu masih punya muka ketemu dengan Indira?” Tiba tiba Rendi datang dan memergoki Tama bengong di depan laptopnya dan seakan dia mampu menebak apa yang ada di dalam pikiran Tama saat ini
“Apa maksudmu?”
“Jangan pikir aku tidak tahu kegilaan macam apa yang kamu lakukan saat ini… jangan lupa Brother, kita bersama sudah lebih dari 20 th” Rendi menghentikan langkah tepat di depan meja kerja Tama sambil menyeringai penuh makna pada Tama
“Ya… awalnya aku nggak memang yakin Indira masih mau menemuiku. Mengetahuinya sebagai dokter disana, tapi aku hanya bisa melihatnya dari jauh adalah hal yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku takut untuk mendekatinya bahkan sebagai pasiennya pun rasanya aku tak cukup memiliki keberanian”
“trus, apa yang membawamu bisa senekat ini? ingat Tam, bagaimana kamu melukai dia. Menganggap dia tidak pernah ada dalam kesetiaannya. Andai aku bukan sahabatmu, pasti aku sudah membunuhmu dari dulu. Apakah kamu akan mengulangi kesalahan yang sama pada Sekar dan apakah setega itu dirimu pada kepolosan Syifa?”
“Nekat?” Tama mengerutkan dahinya tak mengerti dengan yang di maksud kata nekat dalam kalimat Rendi, tatapannya penuh selidik pada apa yang sebenarnya Rendi ketahui tentang apa yang ia lakukan akhir akhir ini sehingga harus membawa nama Sekar ataupun Syifa
“Yup… nekad dan konyol yang menjurus pada kekurangajaran, you know!!”
“Jangan berfikir terlalu jauh, Ren. Aku tak mungkin melakukan itu. Hanya saja…..
Aku hanya ingin menebus dosaku pada Indira. Paling tidak aku ingin membuatnya selalu tersenyum”
“Ah… konyol, itu cuma ada dalam roman picisan, hah menebus dosa, memperbaiki kesalahan… wake up Bro, kamu sudah bermimpi terlalu indah”
“Bagaimanapun juga dia adalah orang yang mengajarkan banyak hal padaku. Kesetiaan, pengorbanan, ketulusan …. Semua aku pelajari darinya”
“Dan sayangnya kamu justru mengajarkan luka padanya. Hentikan Tam, jika kamu nggak mau melihatnya terluka kedua kalinya karenamu. Isi pikiranmu itu sudah tidak beres, jika kamu menganggap dia bisa tersenyum karenamu lantas buat apa dia menjauh darimu sampai disini, Profesi??? Itu hanya sepersekian prosen alasan yang ia gunakan. Udah hentikan Tam, kalau nggak aku akan benar benar marah padamu karena itu sama saja kamu semakin mempertegas keegoisanmu dan satu lagi dr. Raihan adalah orang yang baik dan pantas Indira dapatkan”
Dengan nada sarkastik Rendi meninggalkan Tama sendiri di meja kerjanya sibuk mengotak atik isi laptopnya. Entah apa yang dia lalukan dengan laptop itu, bahkan untuk menghasilkan satu kerangka design saja dia belum ia lakukan. Sebagai seorang sahabat Rendi memang sudah berkorban banyak untuknya, termasuk kehilangan Indira. Demi menutupi semua kesalahan yang Tama lakukan membuat Rendi menjadi satu satunya orang yang menjadi sasaran kemarahan Indira saat mengetahui kebenaran. Rasa bersalah Rendi yang membuatnya tidak mampu bertemu Indira adalah pengorbanan terbesar dalam hidupnya meskipun Indira telah memaafkan dirinya namun justru sikap Indira yang memaafkan itu membuatnya semakin merasa bersalah. Sebagai seorang sahabat Rendi merasa gagal untuk melindungi sahabat kecilnya hingga ia merasa tidak punya muka untuk bertatap muka.
‘sebenarnya apa yang kini kamu rasakan Ndi, kamu bahkan tidak pernah menolak kehadiranku atapun pemberianku, tapi kenapa kamu tidak pernah menjawab pesanku?’ Tama kini menatap layar ponselnya, ponsel yang tidak pernah memberikannya suara Indira seperti yang ia harapkan karena tidak pernah ada jawaban seberapa keraspun ia mencoba.
‘Apakah dr. Raihan adalah pilihan masa depanmu?’ Tama menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikirannya tentang Indira dan dr. Raihan dalam otaknya. Tama memejamkan matanya bersandar pada kursi kerjanya, wajah Indira tak bisa ia usir dari pikirannya.
“ah ini gila”
Tama menutup laptopnya dan mengambil kunci mobil yang ia taruh sembarangan di atas meja kerja dan melangkap pergi begitu saja, Rendi yang tadinya berkonsentrasi pada pekerjaannyapun terkejut melihat Tama yang tiba tiba berdiri dari kursinya
“Tam ingat Syifa” teriaknya pada Tama yang berjalan keluar kantor
***

Di Hotel Mahardika Bagas sudah tidak lagi bisa berkonsentrasi, pikirannya melayang pada kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi pada hubungannya dengan Indira. Bagas masih belum melupakan reaksi Indira pada penghinaan Devina dan sekarang mungkin Indira telah melihatnya sebagai bagian dari Rumah Sakit Waluyo
“Gas, konsentrasilah sedikit” bisik dr. Satya pelan melihat Bagas yang acap kali mengusap wajahnya dengan kedua tangan berusaha untuk focus.
“Ah … maaf Om”
‘Sepertinya keputusan untuk terlibat dalam Waluyo tidak akan pernah jadi pilihan tepat’ sekali lagi Bagas menyesali keputusan keberadaannya di Mahardika pagi ini, pikirannya benar benar tidak dapat dikembalikan secara sempurna dalam ruang rapat, begitupun dengan Anggi. Ketakutan akan amarah Indira padanya membuatnya merasa sedikit ngeri untuk pulang ke kontrakan, jelas Anggi bisa menebak Indira akan menanyakan alasan keberadaan Bagas dalam ruang rapat ini dan rasa dibohongi itu pastinya sudah menguasai hati Indira, tatapan dua orang saudara sepupu itu bertemu saling menanyakan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Tepat jam 13.00 rapat usai, Bagas mengejar langkah dr. Satya sebelum meninggalkan ruang rapat
“Om.. untuk sementara waktu Bagas belum bisa meninggalkan Medika, tolong kasih waktu buat Bagas sampai benar benar siap berada di Waluyo. Bantu Bagas membujuk Papa, Om”
“Ya… Om mengerti, tapi jangan terlalu lama Gas. Om sudah tua dan sudah waktunya pensiun. Soal Indira…..” dr. Satya mengalihkan pandangan pada Anggi yang kini terduduk menutup wajahnya dengan dua tangan bertumpu di atas meja
“Kalian bicarakan baik baik, Om sudah tahu semuanya meskipun kalian tidak pernah cerita secara gamblang dan Om dukung pilihanmu kali ini anak nakal, sudah saatnya kamu kembali membuka hati. Kapanpun kamu membutuhkan bantuan, Om siap” dr. Satya menepuk bahu Bagas memberikan dukungannya tulus dengan anggukan dan pandangan teduh nan menenangkan. Dokter senior itu sangat paham akan perasaan Bagas yang kini mungkin tidak bisa dideskripsikan seperti apa.
Sementara itu, Anggi yang masih terdiam kalut masih tidak bisa melupakan tatapan Indira yang seakan menghujam penuh amarah membutuhkan penjelasan, suara lirih nan penuh penekanan itu tak mampu membuat otaknya berfikir penjelasan seperti apa yang akan ia berikan pada sahabat yang ia sayangi itu
“Maaf, saya mengantarkan ini untuk dr. Anggia. Beliau tidak sengaja meninggalkannya dan sepertinya sangat penting”
Kalimat Indira saat menyerahkan map yang Anggi tinggalkan dengan tatapan yang tak lepas pada Anggi adalah tatapan pertama yang ia dapatkan dari Indira sepanjang persahabatan yang mereka jalani, tatapan penuh dengan emosi dan Anggi benar benar tidak dapat menerka apa yang akan Indira lakukan padanya, akankah dia juga akan meninggalkan dirinya sama dengan dia lari dari perasaan frustasi dari kebohongan Tama.
“Ah, aku benar benar bisa gila, Gas! Penjelasan apa yang akan aku berikan pada Indira, dia pasti sangat marah padaku”
Anggi menatap Bagas yang kini berada di sampingnya dengan wajah yang tak kalah bingungnya
“Apakah sekalipun kamu tidak pernah membahas tentang Waluyo?” Bagas menggeleng
“Dia tidak pernah menanyakan alasanmu yang enggan masuk ke Waluyo?” kembali Bagas menggelengkan kepalanya
“Aish… semua yang aku lakukan untukmu selalu akan menyeretku pada kegilaan yang tidak terbayangkan” Anggi mengacak rambutnya lalu menjatuhkan dirinya pada meja yang ada didepannya pasrah
“Santai Nggi, kamu jangan mengatakan apapun… biar aku sendiri yang akan berbicara dengan Indira” akhirnya Bagas bersuara dengan suara tegasnya
“Sebenarnya sejauh apa perkembangan hubunganmu dengan Indira? Kamu harus mengatakannya padaku agar aku ada bayangan seperti apa penjelasan yang dapat aku sampaikan pada gadis frustasi itu” Anggi menatap Bagas dengan pandangan memohon selayaknya wajah seorang pendosa yang mengharapkan pengampunan dan pertolongan agar terbebas dari hukuman
“Aku sendiri tidak bisa menjelaskan hal itu Nggi, yang jelas ada sesuatu yang mengikat kami, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Belum ada kesepakatan apapun antara aku dengan Indira, tapi aku sanggup terluka saat dia terluka seperti saat ini. Entahlah, aku juga belum yakin telah memenangkan hatinya, yang aku tahu dia sedang mencoba percaya padaku dan aku menciderai kepercayaan itu saat ini” Bagas merapikan berkasnya dan berdiri
“Kita pikirkan sambil melihat perkembangan keadaan saja Nggi, ini urusan pribadiku dan biarkan aku yang akan mengatasinya, kamu jangan terlalu memusingkannya. Oke!” Bagas memaksakan satu senyum dibibirnya mencoba mengusir segala bentuk kehawatiran dalam hatinya
“Kamu lupa aku hidup satu atap dengan dia?” Anggi memasang wajah kesalnya pada Bagas
“Santailah Nggi, berikan jawaban seperlunya saja, aku akan cari waktu untuk memberikan penjelasan padanya sesegera mungkin”
“Oh God… dosa apa yang sudah aku lakukan hingga setiap kali aku menolongmu justru seakan mendorongku masuk dalam jurang gelap. Hidupmu yang seperti surga itu ternyata sangat melelahkan bagiku Gas. Tak ada cawan madu yang aku nikmati dan selalu hanya mendapat teh pahit… sial sial dan sial” Anggi menggerutu kesal
“Surga??? Kamu pernah ke surga Nggi?” Bagas sekali lagi tersenyum mendengar gerutuan Anggi yang tiada hentinya
“Ayo Bu Dokter saya belikan susu murni biar nggak pahit lidah anda menelan teh pahit terus”
Bagas memaksa Anggi untuk berdiri dari kursinya meninggalkan ruang rapat yang telah menjelma menjadi ruang eksekusi bagi keduanya sehingga tidak memberikan peluang bagi keduanya untuk menghindar dari hal yang selama ini ia sembunyikan rapat dari Indira.

Sampai di Rumah suasana sangat sepi meskipun mobil Indira nampak sudah terparkir di garasi, tapitidak ada tanda tanda kehidupan disana. Anggi memasuki ruang tengah dengan penuh tanda tanya kemana Indira sebenarnya. Ia meletakkan tas kerjanya beserta blazer yang ia kenakan hari ini begitu saja di atas karpet ruang keluarga, dia melangkah menuju teras samping rumah tempat favorit Indira membunuh rasa penat dari himpitan beban hati yang menderanya namun nihil. Anggi menggelengkan kepala lemas dan berniat menghidupkan lampu, tapi…
“Kamu pulang telat Nggi”
“Aaah… jantungku hampir copot, ngapain kamu disana?” Anggi sangat terkejut saat menyadari Indira yang berada di atas Sofa Beds di pojok ruangan, segera ia menyalakan lampu ruangan agar bisa melihat Indira dengan kemarahannya
“Maaf Ndi, aku nggak mengabarimu”
“Ya sudahlah, kamu istirahat. Aku juga mau tidur, terlalu capek hari ini…”
“Ndi…” Anggi ragu memghentikan langkah Indira
“Ada yang ingin kamu sampaikan padaku”
“Kamu nggak ingin menanyakan sesuatu padaku, Ndi??”
“Tentang apa, apakah aku harus menanyakan sesuatu yang penting padamu?”
“Indi!?”
“Aku nggak perlu menanyakan apapun padamu Nggi. Istirahatlah … aku yakin semua ada alasannya” Indira ringan menjawab dan dengan nada suara lirih yang hampir tak terdengar oleh Anggi lalu berlalu begitu saja tanpa menatap Anggi sedikitpun dan melangkah memasuki kamarnya
Meninggalkan Anggi dengan sejuta pertanyaan yang ia tahan merupakan hukuman baginya yang tidak pernah bisa meluapkan amarahnya meski keadaan hatinya menyimpan amarah yang tidah dapat dibayangkan
‘Kamu jangan terlalu tinggi meletakkan posisimu Indira, kamu bukan siapa siapa yang memiliki hak untuk marah pada mereka’ Indira menahan nafasnya dalam dalam. Entah sudah berapa lama ia menggigit bibirnya sendiri untuk menahan emosi yang berontak dalam dirinya. Rasanya ia begitu ingin marah, tapi kembali mengingat posisinya dalam kehidupan Bagas dan Anggia yang hanyalah seorang sahabat membuatnya menahan diri.
‘apakah kamu punya hak? Apakan kamu adalah orang yang harus mereka mintai ijin sebelum mereka melakukan sesuatu, siapa dirimu Indira??? Kamu harus sadari itu’
Indira menatap dirinya di depan cermin, sepertinya ia bingung dengan apa yang akan ia hadapi lagi esok hari di Rumah Sakit. Apa yang harus ia perbuat saat ia bertemu dengan Bagas…
“Ndi, boleh aku bicara sebentar” Anggi tiba tiba masuk dalam kamarnya, gadis itu sudah terlihat lebih segar setelah ia mengguyur badannya dan berganti pakaian
“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku selarut ini?” Indira melangkahkan kakinya mendekati kasur dimana Anggi duduk lemas tanpa gairah di dalah satu sudutnya
“Bagas….” Anggi meragu bahkan di kalimat pertama, ia menatap Indira memastikan ekspresi apa yang bisa ia tangkap dari wajah yang kini seakan kehilangan sinarnya itu. Indira menatap Anggi menunggu kelanjutan kalimat yang akan Anggi sampaikan padanya
“Aku tahu saat ini kamu marah dan merasa dibohongi olehku ataupun Bagas. Jujur Ndi, tidak ada sedikitpun niatan untuk membohongimu. Aku harap kamu bisa memaafkan aku, Ndi”
“memangnya kamu melakukan kesalahan padaku? Apa yang membuat aku harus marah padamu. Dibohongi? Kebohongan seperti apa yang kamu maksudkan?” Indira masih mencoba untuk menahan diri
“Nggi, semakin kamu bersikap seolah olah tidak terjadi sesuatu, maka semakin besar lagi rasa bersalah yang ada dipundakku. Seperti masalah Devina, kamu sedikitun tidak menyinggungnya di depanku, tapi kamu menghindari Bagas tanpa ia tahu apa yang terjadi dan hanya bisa menebak isi hatimu yang terlalu dalam untuk dijangkau itu”
“Memangnya Bagas kenapa Nggi, katakan apa yang ingin kamu sampaikan. Aku akan mendengar apapun itu”
“Bagas…. Ehm… Bagas adalah anak dari pemilik Waluyo, Cipto Adhi Bagaskara. Dia adalah orang yang selama ini menolak keras keberadaannya di Waluyo. Bagas tidak pernah menginginkan berada di Waluyo, dia tidak pernah ingin orang melihatnya karena siapa dan dari mana ia berasal, tapi dia ingin orang memandangnya karena dirinya, karena kemampuannya bukan karena latar belakang keluarganya. Bagas…..”
“Dan kamu adalah salah satu yang berasal dari keluarga itu kan?”
“Ndi… siapa aku dan bagaimana aku kamu sudah tahu kan? Aku tidak pernah menutupi apapun darimu. Bagas sebagai sepupuku kamu juga tahu itu kan?, tapi keluarga kami berbeda…”
“ya … aku tahu itu. Bagas bukanlah orang yang bangga akan kekayaan orang tuanya. Bagas tidak pernah ingin dianggap dan diakui orang karena dari mana ia berasal. Aku paham itu karena Bagas juga pernah membahas soal itu sebelumnya. Tapi apakah itu juga alasan kenapa kalian menutupi status kalian dariku?”
”Indira…. Aku bukan siapa siapa, aku di Waluyo hanya membantu Bagas”
“Sudahlah Nggi, kalian nggak pernah membohongiku kok. Lagian aku juga tidak pernah membahas atau menanyakan siapa pemilik Waluyo kan, keluarga siapa dan dari mana uang yang aku terima setiap bulannya juga tidak pernah aku ributkan kan?. It’s okay… istirahatlah semua akan baik baik saja”
Indira menepuk pundak Anggi yang masih terlihat tidak tenang, ada senyum yang Indira berikan untuk Anggi meskipun sedikit perasaan kesal merasa dibohongi masih bertengger dengan manis dalam hatinya. Anggi memberikan pelukan dalam perasaan bersalahnya, ia tahu Indira menakan ego dan rasa kesalnya, Anggi sangat memahami ada luka dalam senyum yang menghias wajah Indira.
***

Sementara itu Tama yang dikejar perasaan kebingungan dan bersalahnya memutuskan untuk meninggalkan segala pekerjaan dan keruwetan pikirannya sejenak berkumpul dengan keluarga kecilnya meskipun diluar jadwal kepulangannya. Tama menyadari dengan sebenar benarnya jika kepulangannya akan membuat sang istri banyak bertanya, tapi itulah satu satunya cara yang bisa Tama pikirkan untuk lepas dari kegilaan yang mulai menguasai hatinya
“Mas, kok tumben kamu pulang tanpa mengabariku dan bukankah ini belum akhir pekan. Ada apa?” Sekar memberikan secangkir teh hangat pada Tama yang duduk di ruang tengah, tampak wajahnya yang lelah karena menghabiskan waktu menemani Syifa bermain sepanjang hari sejak kepulangannya bahkan sebelum ia sempat berganti pakaian. Tama tersenyum dan meminum apa yang diberikan oleh Istrinya, dugaannya tepat. Akhirnya pertanyaan itu meluncur mulus dari bibir sang istri
“ah segarnya… terima kasih Bunda” Tama mencoba untuk tidak mengindahkan pertanyaan ibu dari putri kecilnya itu. Sekar menatap Tama dengan ekspresi sedikit aneh, aneh melihat tingkah sang suami yang keluar dari koridor semestinya, sungguh mencurigakan
“Kamu aneh Mas, seharian kamu memanjakan Syifa bahkan sebelum kamu berganti pakaian sudah membawanya bermain. Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas? Bicaralah… sikap kamu ini sungguh membuat aku semakin curiga”
“Apakah aku tidak boleh pulang diluar jadwal biasanya, apakah seorang ayah tidak boleh melampiaskan rasa kangennya pada putrinya?” Tama masih berusaha menutupi gejolak hatinya yang diburu perasaan bersalah pada keluarga kecilnya
“Tapi kamu sungguh aneh seakan akan ada dosa yang ingin kamu kubur dengan sikap manismu yang diluar kebiasaan itu”
“Heiiii Bunda…. belajar dari mana kata kata barusan? Jangan terlalu curiga Bun…. Ah jadi ini yang orang bilang kalau perasaan Istri sangat peka seperti sinyal radar”
“Iiiihs Mas Tama Aneh” Sekar meninggalkan suaminya dengan wajah yang sedikit kesal memasuki kamar dimana putri kecilnya tertidur pulas karena capek bermain. Ia membelai wajah polos sang putri dengan sejuta tanda tanya dalam hati. Kedatangan suami yang tiba tiba dan sikap manisnya membuatnya sedikit hawatir.
‘katakan pada Bunda, Nak. Semua hanya perasaan bunda yang terlalu hawatir… Syifa dan Bunda adalah dunianya Ayah. Dunia yang akan selalu Ayah hias dengan kebahagiaan’ bisik sekar pelan ditelinga Syifa yang tenang. Ia membaringkan badannya memeluk tubuh kecil Syifa… sementara dari pintu Tama memperhatikan sang istri dan bahkan ia mendengar kesahnya. Ia memasuki kamar dengan hati hati. Di sofa yang diletakkan dekat pintu ia menjatuhkan diri
“Bunda sudah tidur” tanyanya kemudian
“Bunda nggak kangen sama Ayah ya, kok kepulangan Ayah jutru dicurigai seperti ini” Ucap Tama dalam pejaman mata yang bersandar di sofa. Sekar belum menimpali barang sekata semua yang Tama ucapkan, ia berpura pura tertidur karena dia tidak ingin kecurigaannya akan memancing amarah sang suami dan akhirnya membuyarkan mimpi indah putri kecilnya
“Ayah tahu Bunda belum tertidur…. Ayah bertemu dengan Indira, Bun” lanjutnya kemudian tanpa menunggu jawaban sang istri, ia berharap Sekar tidak mendengar apa yang ia ucapkan meskipun ia menganggap itu sebagai pengakuan
Degg…. ‘Indira….. Indira Larasati?’ Sekar bertahan dengan pejaman matanya dan hatinya yang sedikit terkoyak oleh nama yang disebutkan oleh suaminya. Ia sangat memahami dengan benar siapa Indira dan seperti apa hubungan suaminya dengan sosok itu. Hening …. Tidak ada suara yang terdengar baik Tama maupun sekar masih bertahan dalam pertahanan masing masing untuk tidak terbawa dalam emosi. Tama mengerti bahwa Sekar akan sangat terganggu dengan nama Indira dan Sekar sangat paham bagaimana rasa bersalah Tama pada Indira
“dimana Mas Tama bertemu dengan Indira?” akhirnya Sekar bersuara dan ia membenahi posisinya untuk duduk bersandar pada ranjang
“Mas Tama bertemu dengan Indira di kota tempat Mas Tama sekarang? Bagaimana?” Tama mengangguk pelan, suara Sekar yang pelan nyaris tak terdengar itu bagaikan belati yang menyayat hatinya, ia tahu wanita itu menahan perasaan terluka
“Apanya yang bagaimana, Bun?” tanyanya kemudian
“Mas Tama pulang karena Mas Tama merasa bersalah pada kami? Mas Tama ingin menebus dosa pada Indira?”
“Bunda….”
“Boleh Aku ketemu dengan Indira? Paling tidak aku mengenal Indira”
Tama tersentak, ia tidak pernah menyangka Sekar akan meminta mempertemukannya dengan Indira, untuk apa? Apa yang akan Sekar lakukan? … Tama hanya bisa bertanya dalam hati tanpa memiliki keberanian untuk mengutarakannya pada Sekar selain hanya menatap wajah istrinya itu dalam diam dan tatapan penuh rasa bersalah



Dont Miss It :
Part 11 : HOLD MY HAND
Part 10 : HOLD MY HAND
Part 9  : HOLD MY HAND 
Part 8 : HOLD MY HAND




Tidak ada komentar:

Posting Komentar