Part
6
Bagas
memasuki kamarnya dengan wajah sumrigah, kepanatan menangani operasi di luar
jadwalnya sendiri sirna seketika oleh pengalamannya sore ini, kepanikan
menghadapi pasien yang harus masuk kamar operasi karena kondisi kronisnya
lenyap dan terbayar lunas oleh suksesnya ia menjalankan misi. Alunan music Jazz
dengan timbre khas yang Andien miliki mengalun begitu apik dalam alunan lagu
Pulang yang kini menggaung memenuhi ruang udara di kamar Bagas
“Pernahkah
kau merasa
Berdiri
diri tempat yang sama
Seperti
saai ini ku ada
Rindukan
nyaman ku sendiri ingin pulang
Membuat
diriku jatuh cinta
Tanpa
sadar Bagas tersenyum geli mendapati dirinya yang bertingkah aneh. Lagu ini
sudah sering ia dengarkan tapi baru kali ini ia merasa alunan dalam setiap
liriknya membuatnya malu untuk menatap bayangan dirinya sendiri dalam kaca
cermin.
“ini gila, jangan
katakan kamu jatuh cinta pada pandangan pertama pada dokter itu, Gas.
Perasaanmu cuma semangat yang muncul karena hal baru”
Bagas
menggeleng gelengkan kepalanya sendiri mencoba menghalau segala pikiran yang
kini ia rasakan sudah tidak jelas sampai akhirnya dikejutkan oleh deringan
ponsel pintarnya yang ia geletakkan dia atas kasur ♫♫♫♪♪
“Gimana
Gas??? Apa kataku, kamu pasti jatuh cinta sama Indira”
suara Anggi seakan
memecahkan gendang telinganya hingga ia menjauhkan ponsel yang ia genggam dari
telinga
“Bagaimana??
Sukses kan?”
“Udah
malam Nggi, tidur sana. Kalau kamu penasaran kan bisa tanya langsung sama
Indira”
“Indira
mana pernah cerita kalau nggak ditanya dan hari ini juga ekspresinya biasa saja
tidak ada yang aneh. Lagian aku kan pura pura bego Gas, aku taunya kamu ke
Rumah Sakit juga dari Om Satya”
“Om
Sayta? Beliau ngomong apa saja sama kamu?”
“Nggak
ada sih, hanya saja Beliau penasaran kenapa Indira yang tidak mengenal kamu
justru berhasil membawamu masuk ke Rumah Sakit Waluyo
Tapi
menurut kamu, Bagaimana seorang Indira. Memenuhi kriteria kan?”
“Ya”
“Iya
itu gimana Gas, apakah kamu tertarik ataukah nggak?”
“Nggi,
aku baru bertemu dengan dia sekali dan apakah aku bisa memutuskan sebelum
mengetahui pribadinya? Okay.. sejauh ini dia orang yang menyenangkan dan sangat
tenang, ramah. Apakah itu cukup?
Sudahlah
Nggi kita lihat saja apa yang akan terjadi esok, Indira juga bukan orang yang
mudah memutuskan sesuatu kan?”
Bagas
mengembalikan logikanya setelah sempat tak mampu mengendalikan kegilaan oleh
antusiasnya tentang Indira. Tidak dapat dipungkiri pesona Indira sempat
membiusnya hanya dalam hitungan detik, sorot mata yang teduh dan senyum tulus
itu sangat hangat merasuk dalam hatinya meski ia melihat Indira untuk pertama
kali.
“Ada sisi dalam
kehidupan seseorang yang dia sendiri tidak ingin mengungkitnya kan Dokter? Ya…
anggap saja bagian yang ingin Dokter ketahui saat ini adalah sisi itu, sisi
yang saya sendiri tidak ingin mengingatnya’
kalimat
Indira saat dia menanyakan alasan gadis cantik itu mengurungkan niat bertemu
dengannya malam itu membuat Bagas sedikit penasaran dan berkeinginan untuk
menggali sisi yang Indira coba hapus dalam kehidupannya. Seorang gadis cantik
memiliki sisi yang tidak diinginkan dan sisi itu membuatnya seakan masuk dalam
lingkaran yang sama, limgkaran yang tak seharusnya ada. Tepat dihadapan
langkahnya Indira menemukan sisi yang ia coba lupakan membuat Bagas merasa
bahwa sisi itu ada dalam jangkauannya
***
‘Dia bukan orang yang
mampu melakukan hal semacam ini, dia orang dengan kualifikasi sempurna. Ganteng
dan sangat menarik, seorang Dokter Bedah di usia mudanya adalah hal yang pantas
ia banggakan sebagai seorang Pria. Lalu sepenting itukah pertemuan denganku
sehingga harus datang ke Rumah Sakit?’
Indira masih belum menemukan substansi dari kedatangan Bagas, apakah sekedar
memenuhi janji pada Anggi atau memang dia penasaran terhadap dirinya? Lantas
sebenarnya informasi apa yang ia dapatkan dari Anggi sampai dia meluangkan
waktu sibuknya untuk menemui seorang Indira di Rumah Sakit sampai harus
melibatkan dr. Satya.
Indira
masih duduk di mini bar dapurnya sambil memegangi cangkir coklat hangat yang ia
buat untuk mengusir hawa dingin, sesekali ia memainkan jarinya sambil terus
bermain dengan segala spekulasinya.
“Nglamun
apaan Ndi?”
Anggi datang menghampirinya setelah mengambil sesuatu dalam lemari
es.
“kebanyakan
nglamun akan membuatmu lebih tua dari umurmu sebenarnya Ndi, santai sajalah”
Indira
tersenyum tipis sembari menyeruput minumannya mendengar Anggi berceloteh,
sahabatnya ini memang tak akan pernah membiarkan dirinya duduk santai menikmati
lamunan
“Ndi,
kalau aku atur ulang pertemuanmu dengan Bagas, kamu mau ya?”
“Hah?”
Indira memasang wajah kagetnya, bukan karena dia tidak bersedia untuk bertemu
dengan Bagas, tapi kata mengatur ulang seakan akan dirinya belum bertemu dengan
pria itu membuatnya reflek menjawab kaget.
“kenapa,
kamu nggak mau… jangan beralasan lagi. Sudah saatnya Prasta di deportasi dari
hati kamu” Anggi terus mengomel sedikit sarkastik seakan akan dia tidak
mengetai apa yang sudah terjadi, bahkan dia terus cerewet tanpa melihat
ekspresi Indira dan tetap sibuk meracik sesuatu. Mendengar nama Prasta disebut
membuat Indira memasang wajah kecut namun masih bertahan duduk menghadapi
setiap omelan Anggi yang membuat kupingnya pengang
“Prasta
sudah lama tidak berada di sana dan lagi aku juga sudah bertemu dengan Bagas”
“Sudah
ketemu, kapan???”
“tadi
sore” singkat Indira menjawab pertanyaan Anggi dan beranjak dari duduknya
mencoba menghindari interogasi yang pastinya akan ia terima dari Anggi,
ada senyum puas menghias wajah Anggi
yang ia coba sembunyikan, ia mencoba menahan diri untuk terus berpura pura
tidak mengetahui apapun
“Terus,
bagaimana Bagas menurut kamu?” Anggi meninggalkan aktivitasnya dan mengejar
langkah Indira menuju ruang tengah
“Bagaimana
apanya, biasa aja… memang kenapa” dengan santai Indira mematahkan semangat
Anggi untuk mengorek informasi darinya
“Ya
dia seperti apa, apakah dia keren, apakah dia cukup menarik untuk dijadikan
pacar, apakah dia menawan blab la bla…”
“kamu
lebih kenal Bagas ketimbang aku, ya pastinya kamu lebih tau itu kan?”
“Indi…kamu
bilang Prasta sudah tidak ada dalam hatimu, tapi kenapa kamu seperti ini?”
“seperti
ini bagaimana?”
“Ndi
kamu jangan bilang kalau kamu masih berharap akan bertemu dengan Prasta lagi.
Ingat untuk melihat dia saja kamu nggak mampu, kamu selalu menghindar seakan
akan kamu takut Prasta menemukan sesuatu yang masih kamu coba sembunyikan”
“Cukup
Nggi, jangan bawa nama Prasta lagi. Aku bosan membahas ini. Kamu ingat ya, aku
nggak menyembunyikan apapun dan aku juga tidak mengharapkan sesuatu yang lebih
dari Prasta”
“Lalu
… kejadian malam itu?”
“Nggi,
jika kamu pernah hampir tidak bisa bernafas karena menengak satu jenis minuman,
apakah minuman itu akan kamu ambil lagi?
Lalu
tiba tiba minuman itu ada di dalam lemari es berjajar dengan minuman lainnya,
apakah kamu akan tetap memilih minuman itu, bukankah kamu lebih menyanyangi
nyawamu dan menghindarinya walau sebenarnya itu bukan minuman beracun”
mata
Indira mulai berkaca kaca, tak pernah tersersit dikepalanya akan berbicara
setegas ini pada Anggi, dia menganggap Anggi adalah orang yang paling memahami
situasinya dan mengerti setiap keputusan yang ia ambil, akan tetapi untuk
beberapa hal Anggi membuatnya kehabisan kesabaran dan salah satunya soal
Prasta. Semenjak kemunculan Prasta di kota ini, Indira tidak bisa menghindari
setiap perdebatannya dengan Anggi.
“Ndi,
aku cuma tidak ingin melihat kamu larut dalam kepedihan seperti dulu, aku ingin
kamu kembali mendapatkan kebahagiaan. Aku nggak mau kamu terus menutup diri
seakan akan semua laki laki diluar sana akan menyakitimu. Lupakan Prasta dan
segala kenanganmu dengannya, bagiku kehadiran Prasta kali ini akan membawamu
pada pusara kepedihan yang kamu coba lepaskan selama ini. Aku nggak mau kamu
seperti itu Ndi, jika kamu kembali terseret kesana lantas kamu akan lari kemana
lagi? Jika dikota kecil ini kamu bertemu dengan dia itu semata mata takdir yang
menunjukkan bahwa kamu nggak boleh lari dari masalah. Kamu masih punya masa depan
meski bukan Prasta, lihat dirimu,
sayangi dirimu Ndi”
Indira tak sanggup lagi membendung air matanya, alasannya
berada di kota ini adalah karena ingin lari dari kemungkinan bertemu dengan
Prasta, tapi justru pria itu kembali hadir disaat ia sudah mulai melepaskan
bayangan masa lalu bersamanya.
“Aku
bahagia Nggi, dan aku yakin aku akan lebih bahagia lagi nantinya, entah itu
karena Bagas ataupun pria lain tapi aku mohon jangan pernah bawa Prasta lagi.
Saat ini aku hanya shock dengan kehadiran dia tapi aku yakin semua akan baik
baik saja. Yang aku butuhkan hanya waktu, biarkan waktu menjawab semua
kehawatiranmu”
Anggi memeluk Indira dengan tulus, ia mengerti sahabatnya kini
mencoba lari sekali lagi dari bayangan masa lalu yang tiba tiba hadir di depan
langkahnya.
***
Sepertinya
terlalu pagi Indira meninggalkan rumah, jalanan yang selalu terbebas dari
kemacetan membuatnya akan cepat sampai ke Rumah sakit hanya dalam beberapa
menit. Mengantarkan Anggi ke mengikuti seminar membuatnya memulai aktivitas
lebih cepat dari jadwal yang seharusnya ia jalani. Rumah Sakit masih sepi
bahkan petugas piketpun masih ada yang tertidur di meja kerjanya.
“Bu,
tolong teh hangatnya ya”
Indira
mengakhiri paginya di kantin Rumah Sakit sebelum memualai tugasnya hari itu,
bengong di ruang kerja akan membuatnya lebih aneh di saat belum ada satu
pasienpun yang muncul bahkan perawat yang membantunyapun belum kelihatan batang
hidungnya.
“Setiap
hari apakah Anda sampai di Rumah Sakit sepagi ini Bu Dokter?”
Suara
laki laki itu membuat Indira mengankat kepalanya, sepagi ini apakah ada dokter
yang datang seperti dirinya, kalaupun itu dokter piket, jam seperti ini mereka
pastinya tengah bersiap untuk meninggalkan Rumah Sakit dan kecil kemungkinan
akan mampir ke kantin setelah jam kerja usai dan makanan di rumah sudah menanti
mereka.
Don't Miss It :
Part 5 : HOLD MY HAND
Part 4 : HOLD MY HAND
Part 3 : HOLD MY HAND
Part 2 : HOLD MY HAND
Part 1 :HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar