Minggu, 27 Desember 2015

PART 8 : HOLD MY HAND




Part 8

Suasana Rumah Sakit tak ubahnya seperti Mall selalu ramai di jam sibuk setiap harinya, pasien dengan penyakit yang bermacam macam memenuhi antrian loket. Bagas menghentikan mobilnya tepat di depan RS. Waluyo, ia nampak ragu untuk memasuki wilayah Rumah Sakit itu meski kini jaraknya tidak lebih dari 300 m
“Nggi, kamu ada praktek hari ini? Akhirnya pesan ia kirimkan ke nomor Anggi
“Ada ataupun nggak ada jadwal praktek, bukankah saya harus selalu stand by di RS. Ah nasibku kok ya begini amat Gas, semua karena kamu nih. Kenapa, tumben nanya?” balas Anggi cepat
“Nggak apa apa, nanya doang”
“Lha, kamu mau ngontrol aku, sejak kapan?”
“Jangan cerewet, kamu di ruang kerja kan?”
“ini jam berapa Gas, ya jelas saja aku di ruang kerja. Pasienku masih banyak, tolong jangan ganggu aku kalau nggak mau ada yang brojol karena emosi nunggu giliran periksa”
Bagas tersenyum membaca jawaban Anggi, dimasukkan kembali hand phonenya ke dalam saku dan dalam satu kali tarikan nafas dia menginjak pedal gas memasuki area parkir Waluyo
‘Dengan penampilanku saat ini, pasti tidak akan ada yang tahu aku disini’
Bagas merapikan dirinya dengan melihat kaca spion, ia pakai rayben andalannya, penampilan yang sama sekali tidak mengenal kemeja dan dasi lengkap dengan sneaker membuatnya lebih sporty dibandingkan biasanya yang selalu serius lengkap dengan stetoskop dalam saku ataupun lehernya.
Diluar dugaan, sedetik dia membuka pintu mobil justru pandangan mata seakan mengarah padanya. Setelan Polo Tsirt hitam berlengan panjang yang ditarik sesiku dan jeans di tunjang oleh proporsi badannya yang tegap membuat dia nyaris sempurna dimata kaun hawa, sedikit menundukkan kepanya Bagas melangkah memasuki Rumah Sakit dan segera menuju ruang SpOG dimana Anggi berada, beberapa ibu hamil duduk di depan ruangan, tanpa menunggu apapun lagi Bagas segera memasuki ruangan
“Wuuuuih mimpi apa kamu datang kesini di jam ramai gini Gas?”
Anggi nampak kaget melihat kedatangan Bagas yang begitu tiba tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya memasuki ruang kerja saat masih ada pasien yang ia periksa.
“Bentar ya Gas” Anggi melanjutkan pemeriksaan sedangkan Bagas memilih menunggu di sofa yang ada di pojok ruangan.
“Jadi kamu tadi nelpon aku untuk ini. Tumben, ada apa?” Anggi mendekati Bagas setelah pemeriksaan yang ia lakukan selesai
“Aku cuma mampir aja Nggi, cuma mau nitip ini buat Indira”
Bagas menyodorkan Paper Bag pada Anggi yang membuat Anggi sedikit melebarkan senyumnya menggoda
“kenapa nggak kamu sampaikan aja sendiri, mungki dia...... ehhmm ya udah deh taruh disini dulu, jam segini pasti dia lagi Visite. Apaan ini Gas?”
Anggi sedikit memperhatikan Paper bag yang Bagas sodorkan, ia mencoba menjinjingnya dan sesaat kemudian dia mengangkat alisnya sambil mengangguk anggukkan kepala lalu menatap Bagas yang berekspresi datar
“Well, the mission will be executed” Anggi meletakkan paper bag diatas meja
“Apaan sih, bukan misi kok.. hanya hadiah saja”
“Hadiah??? Lah buat aku mana… Ya Tuhan apa iya seumur hidup aku harus rela menerima ucapan terima kasih doang Gas. Jahat kamu”
Anggi menarik nafas dalam lalu bergaya lemas menjatuhkan dirinya di sandaran sofa, Bagas memukul bahu Anggi pelan mendengar keluhan sepupunya
“Sus, Pasien selanjutnya ya” Perintah Anggi pada assisten yang membantunya dengan memasang muka betenya
“Baik Dokter” jawab perawat singkat
Oooo jadi kamu ngusir nih...” Bagas berdiri dari duduknya dan mengambil note book yang ada di meja kerja Anggi, menuliskan sesuatu kemudian membuka Paper Bag yang ada di hadapan Anggi
“kamu datang di jam yang nggak tepat, Gas. Pasienku masih banyak, kalau kamu mau nunggu ya nggak apa apa sih, cuma maaf aku harus selesaikan tugasku dulu”
“Okelah... aku juga nggak bisa lama disini. Aku balik dulu ya, tapi jangan lupa ini disampaikan”
“Eh.. aku musti bilang titipan ini dari siapa, apa aku bilangg dari pangeran hatinya kali ya?” Anggi menghentikan langkah Bagas tepat di depan pintu
hust ngawur kamu! nggak usah bilang apa apa, sudah ada pesan di dalamnya”
“ooooooh begitu  siap Bos.... hahahahaha by the way Gas, sepertinya misiku berhasil ya?” Bagas hanya tersenyum menimpali godaan Anggi sambil melambai berlalu dibalik pintu ruang kerja Anggi bersamaan dengan seorang ibu muda yang memasuki ruang periksa.
***
Rumah sakit mulai lengang, jam istirahat siang ini sepertinya akan Anggi habiskan untuk merebahkan dirinya melemaskan otot ototnya setelah sekian banyak pasien yang ia tangani.
“Sus, tadi yang terima siapa?” tanya Anggi memastikan kiriman Bagas sampai pada tujuannya
“Suster Mia, Dok”
“Oh... dr. Indira belum kembali?”
“sepertinya belum Dok”
“Oh ya sudah, terima kasih ya” setelah menjawab pertanyaan Anggi, perawat itu meninggalkan ruangan meninggalkan Anggi sendiri.
‘kemana Indira, kenapa belum juga menghubungi aku, apakah dia belum terima titipannya?’pertanyaan pertanyaan itu membuat Anggi tidak bisa menikmati waktu rehatnya, ia membuka lacinya hendak menghubungi Indira, tapi tak disangka telepon yang semula diam berdering bersamaan dengan tangannya membuka laci
“hmmm...” jawabnya singkat begitu membaca nama yang tertera di layar ponselnya, tapi tiba tiba dia menjauhkan ponsel dari kupingnya
“hmmm?? sejak kapan kamu bersikap manis padaku, Nggi?” Indira bersuara di seberang
“Aku?? Iiiiih mana sudi” Anggi masih cuek dengan jawabannya
“Lah ini apa? Sok sok an kirim Smoothies segala, suruh OB kirim teh anget saja aku sudah seneng  kok Nggi” Smoothies?? Anggi terdiam ‘ooooh jadi Bagas mengirim smoothies, sweet juga tu orang, kirain lama nggak pacaran sudah lupa caranya mengambil hati perempuan’ ada senyum mengembang di bibir Anggi
“kamu sudah baca pesannya?” lanjutnya menjawab rasa penasaran Indira
“pesan?.... pesan apaan… ini ada hurup capital gede bener JANGAN DI BALIK”
“hahahahhaa kamu Ndi, itu memang tulisanku?? Teliti lagi kek! buka dulu pesannya biar tahu itu dari siapa. Pokoknya aku nggak ada sangkut pautnya. Udah ah kamu gangguin istirahat aku aja
Anggi menutup teleponnya dan sesaat dia hanya tersenyum, ada kelegaan dan harapan dalam senyumnya. Ia rapikan meja kerjanya dan dengan tenang merebahkan badannya di sofa yang ada di sudut ruangan. Beberapa menit berlalu, rumah sakit bukanlah tempat yang tepat untuk beristirahat, bagaimanapun usahanya untuk menikmati ia tetap tidak bisa tenang. Anggi mengambil tasnya dan ...ting tung’ ada notif masuk dalam ponselnya. Anggi mengacuhkan dan membuka pintu ruangan bermaksud untuk pergi, tapi…
“Ndi, ada apa, kamu mau kemana?” sapa Anggi sedikit cemas melihat ekspresi Indira yang berbeda dari biasanya. Anggi yang melihat Indira berjalan cepat seakan memburu sesuatu melintasi ruangannya menuju parkiran membuatnya ikut panik
“jawab saja pesanku segera” singkat Indira menanggapi Anggi dan terus melangkah semakin jauh meninggalkan sahabatnya, semakin jauh dan hilang dari pandangan Anggi.
Anggi merogoh saku blazer yang ia pakai, ternyata notif yang masuk adalah pesan dari Indira. Tanpa ragu ia membuka pesan yang masuk sambil berjalan mencoba mengejar Indira, tapi sayang sesampainya Anggi di parkiran nampak mobil Indira sudah keluar dari pintu gerbang Rumah Sakit.
’Nggi, tolong nomor ponselnya Bagas ya, penting!’
Setelah membaca pesan singkat Indira, Anggi menatap lurus gerbang Rumah Sakit … pandangannya terlihat sangat cemas
‘ada apa dengan kamu Ndi? sekian lama hidupmu begitu tenang. Apakah kini aku justru mengusik ketenangan yang kamu cari dengan menghadirkan Bagas’
Huft… Anggi menarik nafas panjang, ia masukkan kembali ponselnya dalam saku dan dia melangkah kembali ke ruangan kerjanya, rasanya keputusan untuk keluar mencari angin segar adalah keputusn yang paling tepat. Segera setelah memastikan pekerjaannya telah usai dan mengambil tasnya, Anggi bergegas melangkah menuju parkiran. Di balik kemudi sebelum ia meninggalkan area parkir, ia kembali mengingat pesan Indira yang belum ia balas
“Dimana kamu sekarang Ndi?” tanya Anggi dalam teleponnya
“Cepat berikan nomor Bagas, Nggi. Aku butuh bicara sama dia”
“Tapi kamu sekarang lagi dimana?”
“Nggak penting dimana, berikan saja nomornya”
“Indi… aku nggak tahu apa yang terjadi sesungguhnya, tapi aku kira kamu menjadi aneh karena paket itu. Apa sih isinya selain smoothies seperti yang kamu bilang padaku?”
“Nanti aku akan ceritakan semuanya, tolong saat ini aku perlu ketemu dengan dia. Please Nggi… kumohon”
“hmmm okelah aku akan kirimkan, tapi aku mohon juga sekali lagi, pikirkan apa yang akan kamu lakukan dengan benar. Apapun isi dari paket itu, pastinya Bagas tidak ada maksud buruk padamu. Aku bisa pastikan itu”
“hmm”
Tutup Indira dingin dan beberapa detik kemudian pesan dari Anggi masuk ke ponselnya. Tanpa membuka isi pesan itu, Indira terus memacu mobilnya menuju pusat kota
***
Sementara itu Anggi masih bertahan di dalam mobilnya dan sibuk menata pikirannya akan bayang bayang ekspresi Indira yang ia lihat sebelum sahabatnya itu meninggalkan Rumah Sakit dan mengabaikan dirinya. Tangan Anggi terus memutar mutar ponselnya mewakili perasaan bingung tentang apa yang harus ia lakukan.
‘Om Satya? Apa kali ini aku harus melibatkan Om Satya sekali lagi. Oh tidak!! Pertanyaan Om Satya tentang Tama sudah membuat aku bingung, lantas jika beliau menanyakan alasan kebingunganku apa yang harus aku jelaskan. Stop Nggi, stop it. Ini urusan mereka, biarkan mereka menyelesaikan dengan cara mereka sendiri’
“Ah bodoh. Come On Anggi… let,s go!”
Anggi menenangkan dirinya sendiri dengan mencoba menyingkirkan semua rasa hawatir yang menyelimuti hati dan pikirannya
“Ah ini gila!!! Oh God, give me reasons! Why? Why i can’t ignore them…. Huh gila gila gila”
Anggi menepikan mobil sedan yang ia kemudikan, matanya terpejam sesaat dan….
“Gas, kamu dimana? Jawab segera, penting!”
Beberapa saat Anggi semakin panik karena pesan yang ia kirimkan pada Bagas tidak juga dibalas. Menundukkan wajahnya pada setir mobil, memejamkan matanya dan bersandar tidak mengurangi stresss yang kini ia rasakan.
‘kamu lagi ngapain sih Gas? Ah apa di telepon aja… tapi aku ngomong apa? Mikir mikir mikir… ayolah Nggi, kamu pasti menemukan jawaban’
Anggi menghidupkan kembali mesin mobilnya berniat meninggalkan segala stress yang melandanya di tepi jalan itu, tapi tiba tiba ponselnya berdering.. tanpa melihat siapa yang menelponnya, ia memberikan jawaban…
“Lama amat sih Gas?”
“Emang kenapa, ada apaan sih?” untung benar itu adalah Bagas, tanpa membalas pesan Anggi, Bagas justru menghubunginya
“Kamu dimanaaa??” Anggi terus menanyakan posisi Bagas saat ini
“Dimana lagi?”
“Rumah Sakit? Di rumah? Dimana?”
“Kamu kenapa sih Nggi, ada apa?... aku di rumah”
“huft… aku hampir gila karena kamu. Kamu kasih…..”
Anggi mengurungkan pertanyaan yang hendak ia lontarkan pada Bagas, ia merasa tak punya hak untuk masuk terlalu dalam pada urusan pribadi Bagas meskipun dia sepupunya dan dirinya yang memperkenalkan Indira pada dokter bedah itu
“ya sudahlah… aku cuma mau kasih tahu kamu kalau akan ada orang yang menemuimu. Aku mohon kamu bisa bersikap bijak. Jadi siapkan dirimu. Itu saja!” tut tut tut….
“Anggi… Nggi?”
Anggi menutup teleponnya sementara Bagas masih dibuat bingung dengan semua yang dibicarakan oleh Anggi
‘Aku sepenuhnya percaya padamu Tuhan, aku hanya jalan buat mereka untuk bertemu. Semua keputusan ada ditangan mereka. Ya Indira bukanlah orang yang mudah mengikuti emosinya… semuanya akan baik baik saja. Pasti!’
“Pasti!”
Dengan anggukan yakin Anggi segera melaju dan sedan hitam itu membawanya pulang.
**
Dipesimpangan jalan Indira kebingungan, ia merasa ragu akan apa yang akan ia lakukan, setelah lepas dari traffic light, ia menepi… mesin mobil dimatikan dan ia meraih ponsel. Ia membuka pesan dari Anggi… sesuai permintaannya, satu nomor telepon Anggi kirimkan tanpa banyak kalimat dan pertanyaan
“+62857 4854 4582 ini nomor Bagas. Apapun masalahmu dengan dia, jangan terbawa emosi”
‘Emosi?? Bukan… ini bukan emosi Nggi, aku hanya tidak akan membawa Bagas dalam masalahku secara sepihak. Aku akan berbuat adil padanya. Meski ini terlalu dini, namun aku berpikir ini akan jauh lebih baik dari pada aku hanya diam dan menerima tanpa melakukan apapun’ gemuruh hati Indira mencari pembenaran
“Ya, ini lebih baik dari pada tidak sama sekali. Terluka meskipun tanpa sengaja akan tetap terasa sakit, dan aku tidak mau itu”
Indira yakin dengan keputusan yang ia ambil, dengan segera ia menghubungi nomor yang Anggi berikan, nomor Bagas.
Beberapa saat menunggu dan…..


Don't Miss It :
Part 7 : HOLD MY HAND
Part 6 : HOLD MY HAND
Part 5 : HOLD MY HAND
Part 4 : HOLD MY HAND
Part 3 : HOLD MY HAND
Part 2 : HOLD MY HAND  
Part 1 : HOLD MY HAND








Tidak ada komentar:

Posting Komentar