Part
9
Bagas
membenamkan dirinya dalam kolam renang yang ada di belakang rumahnya, kebiasaan
yang ia lakukan saat dirinya tidak sedang berdinas, berenang dan berdiam diri
sepanjang hari di rumah sambil membaca atau pergi ke pusat kebugaran. Kali ini pilihannya
jatuh pada menghabiskan waktu untuk diam menikmati waktunya di rumah, renang
sudah cukup untuk membuat otot ototnya berlatih. Selesai membersihkan dirinya,
ia memasuki ruang tengah dengan buku ditangan dan segelas orange juice siap
memanjakan diri bersantai sepanjang hari. Ia menjatuhkan merebahkan diri pada Faith
Relax Sofa yang ada dipojokan dekat dengan jendela dan menghadap taman
samping rumah. Udara segar setidaknya
akan membuatnya betah membaca buku di sudut
itu, ia keluarkan
ponsel dari dalam kantong Pant yang
ia kenakan.
‘Oh.. ada pesan masuk
rupanya’ bisiknya dalam hati setelah melihat
lampu ponselnya berkedip kedip. Bagas segera
membuka pesan itu….
“Gas, kamu dimana?
Jawab segera, penting!”
‘Anggi?... tumben!’
Bagas sekali lagi mengerutkan keningnya membaca pesan Anggi yang dia rasakan sedikit aneh, bahasa yang ia
pakai sama sekali jauh dari gaya Anggi biasanya yang selalu santai dan bercanda
‘ada apa ini, sepertinya ada yang tidak
beres’ dengan segera Bagas memencet nomor Anggi, ia lupakan rencana
membacanya. Buku Ainun Habibie yang sengaja ia beli beberapa hari lalu ia
letakkan diatas sofa sementara ia keluar menuju taman untuk menelpon Anggi
“Lama
amat sih Gas?”
belum
sempat Bagas menanyakan apapun, Anggi sudah menggerutu. Rupanya saat Bagas
sedang menikmati segarnya air
kolam, Anggi menunggu jawaban pesan yang ia kirimkan
“Emang
kenapa, ada apaan sih?”
Tanyanya
santai bertolak belakang dengan gemuruh hati Anggi yang sedang menelponnya
“Kamu
dimanaaa??” Anggi terus menanyakan posisi Bagas saat ini
“Dimana
lagi?” jawabnya singkat
“Rumah
Sakit? Di rumah? Dimana?”
“Kamu
kenapa sih Nggi, ada apa?... aku di rumah”
“huft…
aku hampir gila karena kamu. Kamu kasih…..”
Anggi
menggantungkan kalimatnya, untuk sesaat
keduanya terdiam. Bagas menantikan kelanjutan kalimat yang tak terselesaikan
dengan tetap tenang
“ya
sudahlah… aku cuma mau kasih tahu kamu kalau akan ada orang yang menemuimu. Aku
mohon kamu bisa bersikap bijak. Jadi siapkan dirimu. Itu saja!” tut tut tut….
“Anggi…
Nggi? Halo...” Anggi memutuskan
sambungan teleponnya, Bagas menatap ponselnya menggelengkan kepala masih tak
mengerti, tapi dia tetap tenang, ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun
yang mewajibkan dirinya untuk merasa panik ataupun bingung akan sikap Anggi
Bagas
kembali pada sofa yang menantinya, belum sempat melumat habis lima halaman dari buku yang ia baca,
ponselnya kembali berdering…. Bagas membenarkan posisi duduknya, kembali buku
Ainun Habibie mengalami nasib yang sama, diabaikan!. Satu nomor tanpa nama
memanggilnya… ‘siapa ini, apakah ini yang
dimaksudkan oleh Anggi?’ bisik hatinya lirih
“Hallo... siapa ini?”
Tidak ada sautan dari si penelpon, Bagas terdiam mencoba
bersabar menanti
“hallo....” Bagas terus mencoba menyapa...
“Hallo... ini dokter Bagas?” akhirnya suara itu terdengar
menjawab pertanyaan Bagas
“Ya benar, ini siapa ya?”
“Maaf Dokter, ini saya Indira”
“Dokter Indira? Hmmm ada apa Dok?”
“hmmm... dokter ada waktu, saat ini saya ada di dekat Medika. Bisa kita bicara?” Indira tidak ingin bertele
tele, ia sampaikan maksudnya pada Bagas tanpa banyak melakukan basa basi
“Medika?!” Bagas sedikit kaget Indira menyebutkan
posisinya saat ini berada, dia bangun dari duduknya dan berdiri dengan sedikit
rasa penasaran apa yang membawa Indira sampai harus menemuinya ke Medika.
Wajahnya yang sedari tadi tampak tenang tiada beban kontan berubah dengan raut
wajah yang sedikit serius
“Ya, di dekat taman setelah traffic light
arah menuju Medika, dokter ada waktu?”
“Maaf dr. Indira.. saat ini saya tidak sedang berada di
Rumah Sakit. Kalau boleh saya tahu, sebenarnya apa yang membawa Dokter sampai
repot menemui saya di Medika?” Bagas mencoba menyelidik... Indira terdiam
sesaat dengan kekecewaan. Meskipun keraguan menyerangnya, akan tetapi ia ingin
menyingkirkan setiap rasa bersalah yang akan menghadang langkahnya jika dia memilih diam.
“Ah Dokter sedang tidak di tempat, ya.....”
“Dokter Indira tunggu sebentar, saya akan kesana. 15
menit saya akan sampai disana. Bagaimana, dr. Indira bisa menunggu?”
Bagas segera menyela kalimat yang belum sempat Indira
selesaikan, ia menangkap ketidakberesan dari dua wanita cantik yang bersahabat
itu, Anggi dan Indira. Pastinya ketidakberesan itu ada sangkut pautnya dengan
dirinya sehingga ia memutuskan untuk menemui Indira. Selain dia penasaran juga
karena ia ingin melihat Indira setelah hampir 3 minggu sejak pertemuannya di Rumah Sakit
waktu itu.
‘Tuhan jika
ini jalan yang Engkau tunjukkan, aku berharap aku tidak lagi Kau biarkan
menjadi sosok yang lemah. Aku tidak akan berlari sedikitpun, tidak akan pernah’
Indira memainkan jarinya sembari membunuh segala rasa
grogi, ia pandang Paper Bag yang ada di sebalahnya.
‘Jam tangan,
Waktu? Apa ini sinyal darimu?’
Indira tersenyum sendiri melihat Paper Bag yang ia terima
siang ini, Paper Bag yang membawanya sampai di Pusat Kota dan rela menunggu
seorang pria.
‘Ah ada apa
denganmu Indira, apakah selamanya kamu akan menutup pintu itu, bukankah kamu
mengakui bahwa Bagas adalah sosok yang cukup menarik dan bahkan mungkin dia
mampu membuat seorang wanita jatuh hati pada pandangan pertama. Tidakkah kamu
ada diantara para wanita itu?
Untuk apa kamu
sampai disini, mengembalikan hadiah yang ia berikan? Ingin bersikap adil padanya.
Adil dalam hal apa? Apakah Bagas sudah mencuri sedikit ruang hatimu sehingga
kamu berkewajiban untuk melindunginya? Jangan mencari alasan untuk sekali lagi
berlari dari kenyataan Ndi’
Indira menopang dagunya di atas setir mobil dengan kedua
tangannya dan wajah cemberut, gemuruh pergulatan hatinya antara ya dan tidak
terus mengusik dan terdengar berisik. Ia mulai ragu dengan apa yang akan ia
katakan pada Bagas saat pria itu ada di depannya, dipandanginya Paper Bag itu
sekali lagi
‘Apa aku pergi
saja dari sini, apa aku menghindar saja sekali lagi dan membiarkan dia nantinya
yang akan datang mencariku?
Oh nooo...
alasan apa yang akan kamu berikan pada Bagas sampai harus memaksanya menemuimu.
Maaf Dokter,
saya tidak bisa menerima hadiah ini, ini terlalu berharga~~~~ No!
Maaf Dokter,
apa arti dari hadiah ini~~~~ No! Ini akan memberikan kesan bahwa aku
mengharapkan lebih
Maaf Dokter, saya.....
’
Tok tok
tok.... belum selesai Indira dengan
alasan-alasan yang berputar di kapalanya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara
ketukan di kaca mobil, ia mengalihkan pandangannya dari Paper Bag itu dan
membalikkan badannya siap melihat siapa yang mengetuk kaca mobilnya. Tak
terlihat olehnya wajah orang tersebut, yang jelas ia seorang pria. Ia berdiri
disamping mobil Indira dan hanya terlihat bagian perutnya yang sejajar dengan
kaca mobil sedan yang ia tumpangi. Tanpa bermaksud turun dari mobilnya, Indira
membuka kaca mobilnya perlahan
“Oh”
Indira tersenyum, ada dr. Bagas disana. Dengan berusaha
tenang Indira turun dari mobil.
“Kita bicara dimana?”
Bagas dengan tegas dan tanpa basa basi menanyakan dimana
mereka harus berbicara, Indira nampak bingung, sepertinya Bagas membalas
sikapnya yang semi Diktator meminta waktu dari Bagas. Indira menarik nafas
dalam lalu ia melihat daerah sekitar dimana kini ia berada dengan ekspresi yang
mencoba untuk tetap tenang, dihadapannya kini hanya ada sebuah taman. Haruskan
dia mengajak Bagas ke Taman itu. Indira meragu, jika ia mengajak Bagas kesana
maka akan terlihat seperti dua orang berpacaran dan pastinya tempat itu
dipenuhi oleh remaja yang sedang memadu kasih, mobil? Apakah tidak terkesan
aneh, tapi Indira tak mengetahui dengan pasti dimana ia harus mengajak Bagas
duduk berbicara dengan tenang
“Di mobil, di Taman, atau..... disini” Bagas sekali lagi
membuatnya bingung.
“ehmmm....”
“Kalau Dokter tidak keberatan kita pergi sedikit jauh
lagi akan ada tempat yang tenang untuk kita berbicara, bagaimana?” Bagas
membaca raut bingung dari ekspresi wajah Indira yang kini menggigit bibir
bawahnya sambil memainkan rambut panjangnya kikuk. Indira mengangguk, tidak
terlihat lagi kegarangan emosi yang sempat menguasainya beberapa saat lalu,
sepertinya pesona Bagas sekali lagi telah membiusnya tanpa ia sadari
Bagas memainkan jarinya, menunjuk dari mobil Indira ke
mobilnya sambil memandang Indira yang masih mematung menyandarkan dirinya pada
pintu mobil, Indira menggeleng dengan senyumnya yang khas dan tampak sangat cantik
dalam pandangan Bagas
“Okey... Dokter bisa ikuti mobil saya” lanjutnya kemudian.... ting tung tangan Indira yang siap
membuka kembali pintu mobil terhenti dan kini membuka pesan yang masuk ke ponselnya
“Dimana, tidak
lupa makan siang kan? Jaga kesehatanmu, jangan sampai sakit dan jangan lupa
jangan memforsir diri hanya demi mematikan waktu”
Dari kaca spion Bagas terus mengamati tingkah Indira yang
sempat memasang wajah kesalnya lengkap dengan senyum kecutnya setelah menatap
layar ponsel yang ia pegang, entah apa yang membuat Indira harus menggelengkan
kepala dengan wajah demikian, Bagas hanya bisa menebak tanpa tahu kebenarannya.
Tot.. tot suara klakson Bagas menyadarkan Indira untuk segera
berada di balik kemudi, ia melambaikan tangannya dan siap mengikuti kemana
Bagas akan memandunya.
***
Suasana yang cukup nyaman menyambut kedatangan mereka
begitu memasuki Rumah Makan. “Dapur Gendhis” itu yang Indira baca saat ia turun
dari mobil. Sedikit menepi dari pusat kota, sepertinya Rumah Makan ini lumayan
rame pengunjung namun kesan tenang dengan konsep pedesaan membuat siapapun yang
datang merasa betah. Gubug gubug terbuka terpisah dari bangunan utama resto
menjadikan kesan privasi pengunjung terjaga, sangat tepat dijadikan sebagai
tempat berkumpul dengan keluarga dengan angin yang bebas masuk menyapa, benar
benar sangat nyaman. Bagas terlihat begitu akrab dengan pelayan yang menyambut
kedatangan mereka, sepertinya tempat ini sering ia kunjungi sehingga pelayan
sudah hafal dimana tempat favorit Bagas.
“dekat kolam?”
itu yang terdengar oleh Indira saat Bagas memberikan
pukulan kecil pada sang pelayan itu sambil tersenyum dan benar saja langkah
kaki Bagas terhenti di salah satu Gubug yang berada tepat disisi kolam ikan
lengkap dengan suara gemericik air mancurnya, sedikit terpisah lebih jauh dari
gubug gubug lainnya setelah musholla kecil yang ada.
“Apa yang ingin Anda bicarakan, Dok?”
Bagas sekali lagi
berhasil membuat rasa nyaman Indira menghilang karena sedikit grogi dan bingung
harus memulai dari mana, Bagas melirik Paper Bag yang ada disamping Indira, ia
mengenali Paper Bag itu sehingga tidak menemukan alasan untuk berbasa basi
lebih lama jika sebenarnya jauh dalam hatinya akhirnya ia bisa menangkap maksud
Indira yang sebenarnya.
Indira
menggeser Paper Bag yang ia simpan disisinya dan menyodorkannya pada Bagas
“Bukan
maksud saya tidak menghargai Dokter Bagas, tapi ini membuat saya ti….”
Indira
tidak menyelesaikan kalimatnya karena bersamaan dengan itu dua orang pelayan
datang membawa menu yang Bagas pesan. Makanan tersaji dihadapan mereka kini,
menu khas pedesaan nasi jagung dalam bakul, urap, ikan asin dan sambel pecak.
Indira terdiam sesaat melihat sajian yang sungguh diluar dugaannya, seorang
Bagas memesan sajian yang benar benar seleranya, Indira menelan ludahnya pelan,
namun Paper Bag kembali membuat alarm kesadarannya berdering
“Makanlah
dulu Dokter, bukankah untuk menemui saya, Anda telah melewatkan jam makan
siang. Setelah semua ini tersentuh habis, apapun yang Dokter Indira sampaikan
sehubungan dengan Paper Bag itu akan saya terima”
Indira
terdiam, matanya kembali tertuju pada Paper Bag…
“Sebelum
memastikan kesehatan orang lain, bukankah kita harus sehat terlebih dahulu.
Kita makan dulu baru bicara”
“Dokter
Bagas!”
Indira
tidak mampu menahan dirinya, Bagas yang telah mencelupkan tangannya dalam
kobokan mengurungkan niatnya untuk mengambi nasi melihat wajah tegang Indira
kini…
“Okey…
kemarikan Paper Bag nya”
Bagas
menarik nafasnya dan meminta hal yang seakan menjadi pokok permasalahan
diantara mereka, Indira menyodorkan apa yang memang sudah ingin ia serahkan
pada Bagas sejak mereka bertemu di perempatan. Dalam diamnya Bagas membuka dan
mengeluarkan kotak putih yang ada didalam Paper Bag…
“Minum
ini, pilih! Jangan anggap saya sebagai Bagas, tetapi anggap saya sebagai rekan
sesama profesi yang tidak menginginkan dr. Indira jatuh sakit sementara diluar
sana pastinya banyak yang akan membutuhkan tenaga dan keahlihan Anda”
Indira
masih terdiam membisu tanpa bergerak sedikitpun
“Mungkin
ini sangat aneh, setelah pertemuan itu tidak sekalipun saya menghubungi Dokter
dan tiba tiba saya mengirim ini semua untuk Dokter. Boleh saya jujur dr.
Indira??”
Indira
mengangguk pelan, kali ini Indira sedikit tidak siap dengan apa yang akan
disampaikan oleh Bagas sehingga ia harus mengambil beberapa teguk air mineral
untuk sedikit menenangkan hatinya.
‘Jangan bilang Anda
akan mundur, jangan bilang Anda menyerah…. Jangan!!!... Aish, apa yang kamu
harapkan Indira? apakan kamu melakukan semua ini untuk meyakinkan hatimu? dia
bukan orang yang pantas untuk kamu jadikan obyek percobaanmu Ndi, dia terlalu
sempurna untuk itu! Apa yang terjadi padamu Ndi, apa sebenarnya yang kamu
inginkan?’
Indira
masih terdiam begitupun dengan Bagas yang terus melihat setiap perubahan sikap
ataupun mimik Indira dengan seksama, sikap Indira sedikit aneh. Apa yang
sebenarnya terjadi dan apa yang sedang Indira pikirkan benar benar tidak dapat
Bagas tebak sedikitpun.
“Apa
yang sebenarnya Dokter Indira inginkan dalam hidup ini?”
“Ya?”
Indira mengangkat kepalanya kaget menatap Bagas, tanpa disengaja pandangan mata
mereka beradu. Bagas menatapnya tajam mengunci sorot mata Indira untuk sesaat,
Bagas mengangkat satu alisnya menunggu jawaban, bebarapa detik terkunci oleh
pandangan tajam Bagas, Indira kikuk mencoba menguasai dirinya, ia meneguk
kembali air mineral yang masih ia pegang
“Saya
ingin hidup tenang” jawabnya kemudia dengan suara lirih
“Tenang,
cukup dengan tenang saja. Bagaimana dengan bahagia?”
‘apakah aku terlihat tidak bahagia, apakah
aku terlihat sebagai pribadi rapuh yang menyedihkan?’ Indira memejamkan
matanya bebarapa detik dalam tarikan nafas panjang, mendengar pertanyaan Bagas
seakan memaksanya tertarik kembali pada dimensi waktu saat ia memilih untuk
menetap di kota kecil ini jauh dari keluarganya. Masa yang seakan menggoyahkan
seluruh pertahan dirinya sehingga ia butuh untuk berlari ke belahan bumi yang
tidak berpenghuni jikalau itu memungkinkan. Matanya memanas, Indira menggigit
bibirnya perih, ia menutup mukanya dengan kedua tangan lentiknya, Bagas menunggu
jawaban yang akan menentukan langkahnya kemudia ‘Jangan berikan jawaban yang memaksaku untuk mundur bahkan sebelum aku
memulainya, tolong jangan lakukan itu’ harap Bagas cemas.….
“Apa
yang Dokter Bagas maksudkan? Apakah saya terlihat tidak bahagia?”
Bagas
tersenyum, ia memandang Indira lalu membuang pandangannya kesisi lain… ia takut
akan melihat Indira menitikkan airmatanya karena kini mata indah itu terlihat
memerah. Bagas mengatur nafasnya, menahan dirinya untuk hal yang sangat ia
inginkan, menggenggam tangannya memberikan kekuatan untuk sisi rapuh yang ia
lihat kini.
“Lupakan
Dok…. Saya lapar, kita makan saja ya”
sambungnya kemudian, Indira menarik
nafasnya setelah mendengar kata kata Bagas, ada kelegaan disana yang membuatnya
sedikit tenang karena nyaris ia terjatuh dari pertahanan diri yang ia bangun,
namun juga menyisakan sesal dalam akan keadaan yang mengganjal hatinya.
Tanpa
menunggu persetujuan Indira, Bagas melahap hidangan yang ada dihadapannya
dengan santai dan apa adanya, ia bahkan telah membuka Kiwi Smoothies yang
tadinya ia kirimkan pada Indira dan meminumnya dengan santai, Indira tersenyum
melihat apa yang Bagas lakukan
“Ayo
silahkan makan Dokter, oooh ini??? Bukankah ini dikembalikan? Kalau sekarang
saya meminumnya sendiri sudah bukan masalah kan?” Bagas mengangkat botol
smoothiesnya dengan senyum lebar, Indira mengangguk lalu ia pun akhirnya
mengikuti apa yang Bagas lakukan, apalagi sambel pecak yang ada dihadapannya
seakan memanggil namanya untuk segera menikmati kenikmatan yang selalu ia
kangeni. Bagaspun membukakan Strawberry Smoothies yang ia sodorkan untuk Indira
lalu mempersilahkan Indira untuk menikmatinya, semua ia lakukan dengan senyum
dan Indira tidak menangkap satu kemarahan ataupun perasaan tersinggung dari
Bagas. Indira tersenyum kecut.
‘Tuhan, Pria ini
terlalu baik untuk aku hindari, meskipun ini terlalu dini, tapi sikapnya yang
selalu mengalah membuat aku merasa dia orang yang tulus, apakah aku terlalu
kejam padanya’
Mereka
menikmati makanan yang tersedia, segala alasan yang membawa keduanya sampai di
resto ini seakan terkikis habis oleh suasana yang nyaman dan sikap santai Bagas
“Ah
saya suka sekali berlama lama disini Dokter, karena suasana disini sangat
nyaman. Suasana pedesaan dengan gemericik air terasa sejuk dihati. Bukankah
demikian Dokter”
Bagas kini duduk menyandar
pada tiang gubung menghadap kolam ikan yang ada disisinya setelah
menyelesaikan makannya. Indira masih tetap di posisinya duduk menyila mengikuti
kemana Bagas mengarahkan pandangannya.
“Maaf
untuk semuanya Dokter” bibirnya yang tipis akhirnya bersuara lirih
“Lupakanlah
Dok, saya tidak mau merusak hubungan kita karena keegoisan dan kekurang ajaran
saya” jawab Bagas ringan
“oh
ya, saya boleh menyimpan nomor dr Indira kan? Barangkali nanti saya butuh teman
untuk makan disini lagi… hahahahaha” Indira tersenyum menganggukkan kepalanya
“Apakah
Dokter tidak marah?” Indira sangat berhati hati kembali bersuara
“Apakah
saya punya alasan untuk marah?”
“Ya,
tentunya”
“Yakin….
Saya boleh marah?”
Indira
bingung, Bagas menatap gadis cantik di depannya. Ekspresi bingung yang Indira
tampilkan benar benar menggemaskan. Gadis itu terus manggut manggut dan
sesekali memainkan rambut panjangnya dengan mata yang penuh tanya menatap
Bagas. Sekali lagi Bagas tidak bisa menebak keinginan gadis cantik itu, gadis
yang menghubunginya dengan sedikit paksaan seakan dibakar emosi, tetapi justru
tidak sanggup bersuara lantang kala berhadapan dengannya ‘Apa sebenarnya yang ada dalam hatimu, Indira?’ tanya bagas dalam
hati
“Tak
ada alasan bagi saya untuk marah pada Anda, Dok. Jujur kekecewaan mungkin
sedikit saya rasakan tapi saya sangat memahaminya. Saya sempat menghilang dari
kehidupan Anda dan tiba tiba hadir dengan cara seperti ini, sebenarnya bukan
niat saya untuk menghilang tapi pasca cidera yang dialami dr. Mayang membuat
saya tidak memiliki waktu luang untuk kehidupan pribadi”
Untuk
sesaat Bagas terdiam, ia ragu untuk melanjutkan kata katanya…. Indira masih
menunggu, meskipun tak ada kalimat yang menggantung tapi tarikan nafas Bagas
cukup menjelaskan bahwa ada sesuatu yang hendak ia sampaikan dan tertahan….
Dont Miss It :
Part 8 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar