Minggu, 27 Desember 2015

PART 9 : HOLD MY HAND




Part 9

Bagas membenamkan dirinya dalam kolam renang yang ada di belakang rumahnya, kebiasaan yang ia lakukan saat dirinya tidak sedang berdinas, berenang dan berdiam diri sepanjang hari di rumah sambil membaca atau pergi ke pusat kebugaran. Kali ini pilihannya jatuh pada menghabiskan waktu untuk diam menikmati waktunya di rumah, renang sudah cukup untuk membuat otot ototnya berlatih. Selesai membersihkan dirinya, ia memasuki ruang tengah dengan buku ditangan dan segelas orange juice siap memanjakan diri bersantai sepanjang hari. Ia menjatuhkan merebahkan diri pada  Faith Relax Sofa yang ada dipojokan dekat dengan jendela dan menghadap taman samping rumah. Udara segar setidaknya akan membuatnya betah membaca buku di sudut itu, ia keluarkan ponsel dari dalam kantong Pant yang ia kenakan.
‘Oh.. ada pesan masuk rupanya’ bisiknya dalam hati setelah melihat lampu ponselnya berkedip kedip. Bagas segera membuka pesan itu….
“Gas, kamu dimana? Jawab segera, penting!”
‘Anggi?... tumben!’ Bagas sekali lagi mengerutkan keningnya membaca pesan Anggi yang dia rasakan sedikit aneh, bahasa yang ia pakai sama sekali jauh dari gaya Anggi biasanya yang selalu santai dan bercanda ‘ada apa ini, sepertinya ada yang tidak beres’ dengan segera Bagas memencet nomor Anggi, ia lupakan rencana membacanya. Buku Ainun Habibie yang sengaja ia beli beberapa hari lalu ia letakkan diatas sofa sementara ia keluar menuju taman untuk menelpon Anggi
“Lama amat sih Gas?”
belum sempat Bagas menanyakan apapun, Anggi sudah menggerutu. Rupanya saat Bagas sedang menikmati segarnya air kolam, Anggi menunggu jawaban pesan yang ia kirimkan
“Emang kenapa, ada apaan sih?”
Tanyanya santai bertolak belakang dengan gemuruh hati Anggi yang sedang menelponnya
“Kamu dimanaaa??” Anggi terus menanyakan posisi Bagas saat ini
“Dimana lagi?” jawabnya singkat
“Rumah Sakit? Di rumah? Dimana?”
“Kamu kenapa sih Nggi, ada apa?... aku di rumah”
“huft… aku hampir gila karena kamu. Kamu kasih…..”
Anggi menggantungkan kalimatnya, untuk sesaat keduanya terdiam. Bagas menantikan kelanjutan kalimat yang tak terselesaikan dengan tetap tenang
“ya sudahlah… aku cuma mau kasih tahu kamu kalau akan ada orang yang menemuimu. Aku mohon kamu bisa bersikap bijak. Jadi siapkan dirimu. Itu saja!” tut tut tut….
“Anggi… Nggi? Halo...” Anggi memutuskan sambungan teleponnya, Bagas menatap ponselnya menggelengkan kepala masih tak mengerti, tapi dia tetap tenang, ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun yang mewajibkan dirinya untuk merasa panik ataupun bingung akan sikap Anggi
Bagas kembali pada sofa yang menantinya, belum sempat melumat habis lima halaman dari buku yang ia baca, ponselnya kembali berdering…. Bagas membenarkan posisi duduknya, kembali buku Ainun Habibie mengalami nasib yang sama, diabaikan!. Satu nomor tanpa nama memanggilnya… ‘siapa ini, apakah ini yang dimaksudkan oleh Anggi?’ bisik hatinya lirih
Hallo... siapa ini?”
Tidak ada sautan dari si penelpon, Bagas terdiam mencoba bersabar menanti
“hallo....” Bagas terus mencoba menyapa...
“Hallo... ini dokter Bagas?” akhirnya suara itu terdengar menjawab pertanyaan Bagas
“Ya benar, ini siapa ya?”
“Maaf Dokter, ini saya Indira”
“Dokter Indira? Hmmm ada apa Dok?”
“hmmm... dokter ada waktu, saat ini saya ada di dekat Medika. Bisa kita bicara?” Indira tidak ingin bertele tele, ia sampaikan maksudnya pada Bagas tanpa banyak melakukan basa basi
“Medika?!” Bagas sedikit kaget Indira menyebutkan posisinya saat ini berada, dia bangun dari duduknya dan berdiri dengan sedikit rasa penasaran apa yang membawa Indira sampai harus menemuinya ke Medika. Wajahnya yang sedari tadi tampak tenang tiada beban kontan berubah dengan raut wajah yang sedikit serius
“Ya, di dekat taman setelah traffic light arah menuju Medika, dokter ada waktu?”
“Maaf dr. Indira.. saat ini saya tidak sedang berada di Rumah Sakit. Kalau boleh saya tahu, sebenarnya apa yang membawa Dokter sampai repot menemui saya di Medika?” Bagas mencoba menyelidik... Indira terdiam sesaat dengan kekecewaan. Meskipun keraguan menyerangnya, akan tetapi ia ingin menyingkirkan setiap rasa bersalah yang akan menghadang langkahnya jika dia memilih diam.
“Ah Dokter sedang tidak di tempat, ya.....”
“Dokter Indira tunggu sebentar, saya akan kesana. 15 menit saya akan sampai disana. Bagaimana, dr. Indira bisa menunggu?”
Bagas segera menyela kalimat yang belum sempat Indira selesaikan, ia menangkap ketidakberesan dari dua wanita cantik yang bersahabat itu, Anggi dan Indira. Pastinya ketidakberesan itu ada sangkut pautnya dengan dirinya sehingga ia memutuskan untuk menemui Indira. Selain dia penasaran juga karena ia ingin melihat Indira setelah hampir 3 minggu sejak pertemuannya di Rumah Sakit waktu itu.
‘Tuhan jika ini jalan yang Engkau tunjukkan, aku berharap aku tidak lagi Kau biarkan menjadi sosok yang lemah. Aku tidak akan berlari sedikitpun, tidak akan pernah’
Indira memainkan jarinya sembari membunuh segala rasa grogi, ia pandang Paper Bag yang ada di sebalahnya.
‘Jam tangan, Waktu? Apa ini sinyal darimu?’
Indira tersenyum sendiri melihat Paper Bag yang ia terima siang ini, Paper Bag yang membawanya sampai di Pusat Kota dan rela menunggu seorang pria.
‘Ah ada apa denganmu Indira, apakah selamanya kamu akan menutup pintu itu, bukankah kamu mengakui bahwa Bagas adalah sosok yang cukup menarik dan bahkan mungkin dia mampu membuat seorang wanita jatuh hati pada pandangan pertama. Tidakkah kamu ada diantara para wanita itu?
Untuk apa kamu sampai disini, mengembalikan hadiah yang ia berikan? Ingin bersikap adil padanya. Adil dalam hal apa? Apakah Bagas sudah mencuri sedikit ruang hatimu sehingga kamu berkewajiban untuk melindunginya? Jangan mencari alasan untuk sekali lagi berlari dari kenyataan Ndi’
Indira menopang dagunya di atas setir mobil dengan kedua tangannya dan wajah cemberut, gemuruh pergulatan hatinya antara ya dan tidak terus mengusik dan terdengar berisik. Ia mulai ragu dengan apa yang akan ia katakan pada Bagas saat pria itu ada di depannya, dipandanginya Paper Bag itu sekali lagi
‘Apa aku pergi saja dari sini, apa aku menghindar saja sekali lagi dan membiarkan dia nantinya yang akan datang mencariku?
Oh nooo... alasan apa yang akan kamu berikan pada Bagas sampai harus memaksanya menemuimu.
Maaf Dokter, saya tidak bisa menerima hadiah ini, ini terlalu berharga~~~~ No!
Maaf Dokter, apa arti dari hadiah ini~~~~ No! Ini akan memberikan kesan bahwa aku mengharapkan lebih
Maaf Dokter, saya..... ’
Tok tok tok.... belum selesai Indira dengan alasan-alasan yang berputar di kapalanya, tiba tiba ia dikejutkan oleh suara ketukan di kaca mobil, ia mengalihkan pandangannya dari Paper Bag itu dan membalikkan badannya siap melihat siapa yang mengetuk kaca mobilnya. Tak terlihat olehnya wajah orang tersebut, yang jelas ia seorang pria. Ia berdiri disamping mobil Indira dan hanya terlihat bagian perutnya yang sejajar dengan kaca mobil sedan yang ia tumpangi. Tanpa bermaksud turun dari mobilnya, Indira membuka kaca mobilnya perlahan
“Oh”
Indira tersenyum, ada dr. Bagas disana. Dengan berusaha tenang Indira turun dari mobil.
“Kita bicara dimana?”
Bagas dengan tegas dan tanpa basa basi menanyakan dimana mereka harus berbicara, Indira nampak bingung, sepertinya Bagas membalas sikapnya yang semi Diktator meminta waktu dari Bagas. Indira menarik nafas dalam lalu ia melihat daerah sekitar dimana kini ia berada dengan ekspresi yang mencoba untuk tetap tenang, dihadapannya kini hanya ada sebuah taman. Haruskan dia mengajak Bagas ke Taman itu. Indira meragu, jika ia mengajak Bagas kesana maka akan terlihat seperti dua orang berpacaran dan pastinya tempat itu dipenuhi oleh remaja yang sedang memadu kasih, mobil? Apakah tidak terkesan aneh, tapi Indira tak mengetahui dengan pasti dimana ia harus mengajak Bagas duduk berbicara dengan tenang
“Di mobil, di Taman, atau..... disini” Bagas sekali lagi membuatnya bingung.
“ehmmm....”
“Kalau Dokter tidak keberatan kita pergi sedikit jauh lagi akan ada tempat yang tenang untuk kita berbicara, bagaimana?” Bagas membaca raut bingung dari ekspresi wajah Indira yang kini menggigit bibir bawahnya sambil memainkan rambut panjangnya kikuk. Indira mengangguk, tidak terlihat lagi kegarangan emosi yang sempat menguasainya beberapa saat lalu, sepertinya pesona Bagas sekali lagi telah membiusnya tanpa ia sadari
Bagas memainkan jarinya, menunjuk dari mobil Indira ke mobilnya sambil memandang Indira yang masih mematung menyandarkan dirinya pada pintu mobil, Indira menggeleng dengan senyumnya yang khas dan tampak sangat cantik dalam pandangan Bagas
“Okey... Dokter bisa ikuti mobil saya” lanjutnya kemudian.... ting tung tangan Indira yang siap membuka kembali pintu mobil terhenti dan kini membuka pesan yang masuk ke ponselnya
“Dimana, tidak lupa makan siang kan? Jaga kesehatanmu, jangan sampai sakit dan jangan lupa jangan memforsir diri hanya demi mematikan waktu”
Dari kaca spion Bagas terus mengamati tingkah Indira yang sempat memasang wajah kesalnya lengkap dengan senyum kecutnya setelah menatap layar ponsel yang ia pegang, entah apa yang membuat Indira harus menggelengkan kepala dengan wajah demikian, Bagas hanya bisa menebak tanpa tahu kebenarannya.
Tot.. tot suara klakson Bagas menyadarkan Indira untuk segera berada di balik kemudi, ia melambaikan tangannya dan siap mengikuti kemana Bagas akan memandunya.
***

Suasana yang cukup nyaman menyambut kedatangan mereka begitu memasuki Rumah Makan. “Dapur Gendhis” itu yang Indira baca saat ia turun dari mobil. Sedikit menepi dari pusat kota, sepertinya Rumah Makan ini lumayan rame pengunjung namun kesan tenang dengan konsep pedesaan membuat siapapun yang datang merasa betah. Gubug gubug terbuka terpisah dari bangunan utama resto menjadikan kesan privasi pengunjung terjaga, sangat tepat dijadikan sebagai tempat berkumpul dengan keluarga dengan angin yang bebas masuk menyapa, benar benar sangat nyaman. Bagas terlihat begitu akrab dengan pelayan yang menyambut kedatangan mereka, sepertinya tempat ini sering ia kunjungi sehingga pelayan sudah hafal dimana tempat favorit Bagas.
“dekat kolam?” 
itu yang terdengar oleh Indira saat Bagas memberikan pukulan kecil pada sang pelayan itu sambil tersenyum dan benar saja langkah kaki Bagas terhenti di salah satu Gubug yang berada tepat disisi kolam ikan lengkap dengan suara gemericik air mancurnya, sedikit terpisah lebih jauh dari gubug gubug lainnya setelah musholla kecil yang ada.
“Apa yang ingin Anda bicarakan, Dok?” 
Bagas sekali lagi berhasil membuat rasa nyaman Indira menghilang karena sedikit grogi dan bingung harus memulai dari mana, Bagas melirik Paper Bag yang ada disamping Indira, ia mengenali Paper Bag itu sehingga tidak menemukan alasan untuk berbasa basi lebih lama jika sebenarnya jauh dalam hatinya akhirnya ia bisa menangkap maksud Indira yang sebenarnya.
Indira menggeser Paper Bag yang ia simpan disisinya dan menyodorkannya pada Bagas
“Bukan maksud saya tidak menghargai Dokter Bagas, tapi ini membuat saya ti….”
Indira tidak menyelesaikan kalimatnya karena bersamaan dengan itu dua orang pelayan datang membawa menu yang Bagas pesan. Makanan tersaji dihadapan mereka kini, menu khas pedesaan nasi jagung dalam bakul, urap, ikan asin dan sambel pecak. Indira terdiam sesaat melihat sajian yang sungguh diluar dugaannya, seorang Bagas memesan sajian yang benar benar seleranya, Indira menelan ludahnya pelan, namun Paper Bag kembali membuat alarm kesadarannya berdering
“Makanlah dulu Dokter, bukankah untuk menemui saya, Anda telah melewatkan jam makan siang. Setelah semua ini tersentuh habis, apapun yang Dokter Indira sampaikan sehubungan dengan Paper Bag itu akan saya terima”
Indira terdiam, matanya kembali tertuju pada Paper Bag…
“Sebelum memastikan kesehatan orang lain, bukankah kita harus sehat terlebih dahulu. Kita makan dulu baru bicara”
“Dokter Bagas!”
Indira tidak mampu menahan dirinya, Bagas yang telah mencelupkan tangannya dalam kobokan mengurungkan niatnya untuk mengambi nasi melihat wajah tegang Indira kini…
“Okey… kemarikan Paper Bag nya”
Bagas menarik nafasnya dan meminta hal yang seakan menjadi pokok permasalahan diantara mereka, Indira menyodorkan apa yang memang sudah ingin ia serahkan pada Bagas sejak mereka bertemu di perempatan. Dalam diamnya Bagas membuka dan mengeluarkan kotak putih yang ada didalam Paper Bag…
“Minum ini, pilih! Jangan anggap saya sebagai Bagas, tetapi anggap saya sebagai rekan sesama profesi yang tidak menginginkan dr. Indira jatuh sakit sementara diluar sana pastinya banyak yang akan membutuhkan tenaga dan keahlihan Anda”
Indira masih terdiam membisu tanpa bergerak sedikitpun
“Mungkin ini sangat aneh, setelah pertemuan itu tidak sekalipun saya menghubungi Dokter dan tiba tiba saya mengirim ini semua untuk Dokter. Boleh saya jujur dr. Indira??”
Indira mengangguk pelan, kali ini Indira sedikit tidak siap dengan apa yang akan disampaikan oleh Bagas sehingga ia harus mengambil beberapa teguk air mineral untuk sedikit menenangkan hatinya.
‘Jangan bilang Anda akan mundur, jangan bilang Anda menyerah…. Jangan!!!... Aish, apa yang kamu harapkan Indira? apakan kamu melakukan semua ini untuk meyakinkan hatimu? dia bukan orang yang pantas untuk kamu jadikan obyek percobaanmu Ndi, dia terlalu sempurna untuk itu! Apa yang terjadi padamu Ndi, apa sebenarnya yang kamu inginkan?’
Indira masih terdiam begitupun dengan Bagas yang terus melihat setiap perubahan sikap ataupun mimik Indira dengan seksama, sikap Indira sedikit aneh. Apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang sedang Indira pikirkan benar benar tidak dapat Bagas tebak sedikitpun.
“Apa yang sebenarnya Dokter Indira inginkan dalam hidup ini?”
“Ya?” Indira mengangkat kepalanya kaget menatap Bagas, tanpa disengaja pandangan mata mereka beradu. Bagas menatapnya tajam mengunci sorot mata Indira untuk sesaat, Bagas mengangkat satu alisnya menunggu jawaban, bebarapa detik terkunci oleh pandangan tajam Bagas, Indira kikuk mencoba menguasai dirinya, ia meneguk kembali air mineral yang masih ia pegang
“Saya ingin hidup tenang” jawabnya kemudia dengan suara lirih
“Tenang, cukup dengan tenang saja. Bagaimana dengan bahagia?”
apakah aku terlihat tidak bahagia, apakah aku terlihat sebagai pribadi rapuh yang menyedihkan?’ Indira memejamkan matanya bebarapa detik dalam tarikan nafas panjang, mendengar pertanyaan Bagas seakan memaksanya tertarik kembali pada dimensi waktu saat ia memilih untuk menetap di kota kecil ini jauh dari keluarganya. Masa yang seakan menggoyahkan seluruh pertahan dirinya sehingga ia butuh untuk berlari ke belahan bumi yang tidak berpenghuni jikalau itu memungkinkan. Matanya memanas, Indira menggigit bibirnya perih, ia menutup mukanya dengan kedua tangan lentiknya, Bagas menunggu jawaban yang akan menentukan langkahnya kemudia ‘Jangan berikan jawaban yang memaksaku untuk mundur bahkan sebelum aku memulainya, tolong jangan lakukan itu’ harap Bagas cemas.….
“Apa yang Dokter Bagas maksudkan? Apakah saya terlihat tidak bahagia?”
Bagas tersenyum, ia memandang Indira lalu membuang pandangannya kesisi lain… ia takut akan melihat Indira menitikkan airmatanya karena kini mata indah itu terlihat memerah. Bagas mengatur nafasnya, menahan dirinya untuk hal yang sangat ia inginkan, menggenggam tangannya memberikan kekuatan untuk sisi rapuh yang ia lihat kini.
“Lupakan Dok…. Saya lapar, kita makan saja ya” 
sambungnya kemudian, Indira menarik nafasnya setelah mendengar kata kata Bagas, ada kelegaan disana yang membuatnya sedikit tenang karena nyaris ia terjatuh dari pertahanan diri yang ia bangun, namun juga menyisakan sesal dalam akan keadaan yang mengganjal hatinya.
Tanpa menunggu persetujuan Indira, Bagas melahap hidangan yang ada dihadapannya dengan santai dan apa adanya, ia bahkan telah membuka Kiwi Smoothies yang tadinya ia kirimkan pada Indira dan meminumnya dengan santai, Indira tersenyum melihat apa yang Bagas lakukan
“Ayo silahkan makan Dokter, oooh ini??? Bukankah ini dikembalikan? Kalau sekarang saya meminumnya sendiri sudah bukan masalah kan?” Bagas mengangkat botol smoothiesnya dengan senyum lebar, Indira mengangguk lalu ia pun akhirnya mengikuti apa yang Bagas lakukan, apalagi sambel pecak yang ada dihadapannya seakan memanggil namanya untuk segera menikmati kenikmatan yang selalu ia kangeni. Bagaspun membukakan Strawberry Smoothies yang ia sodorkan untuk Indira lalu mempersilahkan Indira untuk menikmatinya, semua ia lakukan dengan senyum dan Indira tidak menangkap satu kemarahan ataupun perasaan tersinggung dari Bagas. Indira tersenyum kecut.
‘Tuhan, Pria ini terlalu baik untuk aku hindari, meskipun ini terlalu dini, tapi sikapnya yang selalu mengalah membuat aku merasa dia orang yang tulus, apakah aku terlalu kejam padanya’
Mereka menikmati makanan yang tersedia, segala alasan yang membawa keduanya sampai di resto ini seakan terkikis habis oleh suasana yang nyaman dan sikap santai Bagas
“Ah saya suka sekali berlama lama disini Dokter, karena suasana disini sangat nyaman. Suasana pedesaan dengan gemericik air terasa sejuk dihati. Bukankah demikian Dokter” 
Bagas kini duduk menyandar  pada tiang gubung menghadap kolam ikan yang ada disisinya setelah menyelesaikan makannya. Indira masih tetap di posisinya duduk menyila mengikuti kemana Bagas mengarahkan pandangannya.
“Maaf untuk semuanya Dokter” bibirnya yang tipis akhirnya bersuara lirih
“Lupakanlah Dok, saya tidak mau merusak hubungan kita karena keegoisan dan kekurang ajaran saya” jawab Bagas ringan
“oh ya, saya boleh menyimpan nomor dr Indira kan? Barangkali nanti saya butuh teman untuk makan disini lagi… hahahahaha” Indira tersenyum menganggukkan kepalanya
“Apakah Dokter tidak marah?” Indira sangat berhati hati kembali bersuara
“Apakah saya punya alasan untuk marah?”
“Ya, tentunya”
“Yakin…. Saya boleh marah?”
Indira bingung, Bagas menatap gadis cantik di depannya. Ekspresi bingung yang Indira tampilkan benar benar menggemaskan. Gadis itu terus manggut manggut dan sesekali memainkan rambut panjangnya dengan mata yang penuh tanya menatap Bagas. Sekali lagi Bagas tidak bisa menebak keinginan gadis cantik itu, gadis yang menghubunginya dengan sedikit paksaan seakan dibakar emosi, tetapi justru tidak sanggup bersuara lantang kala berhadapan dengannya ‘Apa sebenarnya yang ada dalam hatimu, Indira?’ tanya bagas dalam hati
“Tak ada alasan bagi saya untuk marah pada Anda, Dok. Jujur kekecewaan mungkin sedikit saya rasakan tapi saya sangat memahaminya. Saya sempat menghilang dari kehidupan Anda dan tiba tiba hadir dengan cara seperti ini, sebenarnya bukan niat saya untuk menghilang tapi pasca cidera yang dialami dr. Mayang membuat saya tidak memiliki waktu luang untuk kehidupan pribadi”
Untuk sesaat Bagas terdiam, ia ragu untuk melanjutkan kata katanya…. Indira masih menunggu, meskipun tak ada kalimat yang menggantung tapi tarikan nafas Bagas cukup menjelaskan bahwa ada sesuatu yang hendak ia sampaikan dan tertahan….

 Dont Miss It :
Part 8 : HOLD MY HAND

Tidak ada komentar:

Posting Komentar