PLAY GIRL JATUH CINTA
Part
9. Perdamaian
Dalam keadaan setengah sadar, suara suara terdengar
sangat bising ditelinga Tata.. satu tangan memapah dirinya untuk mencari tempat
ternyaman. Matanya masih terpejam setengah sadar, bebauan minyak menyengat dihidung,
Tata memegangi
kepala, rasa sakit dan pusing kini mendominasi disana
“Mbak…. Mbak nggak apa apa kan?”
Satu suara yang cukup jelas meneriakinya sebelum semua
menjadi gelap dalam pandangan mata kembali menyapa
pendengaran tata, Tata hanya
bisa menggeleng sambil terus memegangi kepalanya yang terasa pusing, ia masih
menerka nerka apa yang sebenarnya baru ia alami hingga ia merasakan semuanya
gelap dan memusingkan..
Puk
puk puk beberapa kali
seseorang menepuk nepuk pipinya, Tata mencoba membuka mata dan bangun dari
tidurnya. Suara suara yang saling bersautan di telinganya cukup jelas
memberikan gambaran jika saat ini dirinya menjadi pusat perhatian,
riuh dan sangat mengganggu
“Ridho, makasih ya atas bantuannya…. Untung ada kamu,
tapi tangan kamu
nggak apa kan?”
“Nggak mas, kegores dikit tapi nggak apa kok”
“Thanks ya bro….”
“Santai Al….”
‘Ridho’ dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Tata
menyesali keadaan, Ia bisa menyimpulkan siapa yang sudah menjadi pahlawan dalam
kejadian aneh yang ia alami, namun sayang kepala yang baru saja mendapatkan
hantaman keras itu terasa sangat berat untuk ia topang sendiri sehingga ia
hanya pasrah bersandar pada bahu yang memeluknya saat ini. Dia sudah tidak bisa
mau memusingkan diri menebak bahu siapa yang ia pakai untuk bersandar, tapi dia
yakin pastinya itu adalah orang yang ia kenal. Bau minyak angin yang menyengat
di depan hidung Tata sangat mengganggu pernafasan, Tata menyingkirkan bebauan
itu dengan berusaha menjauhkan botol minyak dari depan hidungnya
“Hmmm… aku udah nggak apa apa”
Rintihnya pelan berusaha menguatkan diri membuka mata.
Nampak Zaldy berjongkok di depannya dengan wajah panic dan juga ada Irene
berdiri tepat dihadapannya… Raka??? Apakah kini ia
bersandar dan berlindung dalam pelukan Raka? Tata tak lagi bisa memikirkan apa apa kecuali pasrah
dengan sakit yang ia rasakan
“Ren, bisa aku pinjam cardigan kamu??”
“Ya??”
Irene sedikit kaget dengan permintaan Raka, tapi dia
tidak menolak dan lantas melepaskan Cardigan yang ia kenakan. Raka menutup kaki
Tata dengan itu, rupanya kehawatiran Zaldy saat hendak berangkat tadi
mengandung maksud dan kini semuanya terjawab. Kaos oblong putih dengan celana
super pendek yang Tata kenakan benar benar bukanlah pakaian yang pas ia gunakan
ke tempat umum seperti taman ini, apalagi dengan kejadian yang tiba tiba ia
alami sehingga ia harus jadi pusat perhatian.
“Lo bawa mobil Al?”
Tanya Raka kemudian pada Zaldy
yang masih berjongkok dihadapan Tata dengan wajah paniknya
“Nggak, gue bawa motor!”
“Ta…. Lo kuat jalan kan?”
Kini
pertanyaan beralih pada Tata yang masih lemas dan Tata mengangguk pelan
“Pakai mobil aku aja, biar Tatanya lebih enak”
Irene menawarkan bantuannya tapi Raka menolaknya halus
“Nggak usah Ren.. hmmm lo balik sendiri nggak apa apa
kan? Soalnya gue harus ngantar Tata dulu”
“Hmmm gitu ya… iya pake mobil gue aja Ka,
apa kita nggak ke Rumah sakit saja untuk memastikan tidak ada yang serius”
“hmmm
nggak usah, pulang aja deh... gue nggak apa apa kok”
Mendengar
ide akan membawanya ke Rumah Sakit, Tata segera menyela... ia merasa cukup kuat
dan yakin bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang serius sampai harus
menjalani perawatan di tempat semacam itu.
“Nggak, pake motor masih bisa kok. Lo kuat kan Ta?.
Biar lo
nanti juga nggak
muter muter, Ren. Nggak apa kan?”
“Okay nggak apa kok”
Raka bersikeras menolak tawaran Irene, dia cukup yakin
dengan anggukan kepala Tata. Ia sadar Irene kecewa dengan keputusannya, akan
tetapi dia tidak bisa mengacuhkan Tata. Raka meminta adiknya untuk mengambil
motor dan pelan pelan dia memapah Tata dengan bantuan Irene menunggu di depan
taman.
“Ta, lo yakin kuat naik motor?”
Sekali lagi Irene memastikan keadaan Tata yang
terlihat lemas dalam dekapan Raka. Tata hanya mengangguk lemah dengan
senyumnya. Tangan Raka yang memegang bahunya dengan kuat menepuk nepuk
menenangkan. Zaldy datang membawa motornya, sama hal dengan Irene yang tidak
yakin akan keamanan Tata naik motor sekali lagi menanyakan keputusan Raka
“Mas yakin bisa?”
“Yakin.. lo kalau mau lanjut latihan, lanjutin aja
biar Tata gue yang urus”
“Ntar gue nyusul deh Mas, gue mo pamit aja sama temen
temen. Nggak enak mereka udah nungguin”
Raka memapah Tata untuk menaiki motor… Al sedikit
cemas melihat Tata yang beberapa kali masih memegangi kepalanya, pun demikian
dengan Irene. Wajah gadis itu sulit untuk diartikan, sorot matanya terlihat
cemas, namun saat beralih pandang ke arah Raka, sorot matanya sedikit meredup
terlihat kecewa dan marah. Entah apa yang ada di pikiran Irene, kecemasan yang
tergambar diwajahnya terlihat ambigu dalam pandangan Zaldy. Kecemasan tentang
rasa hawatir Raka yang berlebihan ataukah kecemasan akan keselamatan Tata tidak
bisa Zaldy bedakan dari raut wajah Irene yang kini ada di hadapannya.
“Lo pegang yang kuat”
Tata sedikit menolak saat Raka menarik kedua tangan
Tata ke depan memeluk tubuhnya, kali ini alam bawah sadarnya yang masih terjaga
sedikit menjaga gengsi
“Udah nggak usah keras kepala, Ta. Nurut! Nyandar aja
dari pada ntar lo jatuh”
Zaldy yang ikut menguatkan pelukan itu menarik tangan
Tata dan menepuk nepuknya dengan penuh penekanan di depan perut Raka dan
mendorong punggung Tata menempatkan kepala gadis itu dipunggung Raka
“Hati hati Mas, pelan pelan aja”
Zaldy menepuk punggung Tata dengan beberapa tepukan
dan pesan ‘jangan keras kepala’
melepaskan kepergian Raka dan berdua dengan Irene. Irene nampak menarik nafas
dalam dengan mengulum bibirnya kecewa, mungkin tragedy pelepah palem yang jatuh
tepat di kepala Tata sudah memporak porandakan semua rencana bahagianya
sehingga dia hanya bisa pasrah memasang senyumnya pada salam Zaldy yang juga
meninggalkannya untuk bergabung dengan team basket.
---
Sepanjang jalan menuju rumah, Raka terus memegang erat
tangan Tata karena hawatir gadis itu terjatuh. Raka tak perduli lagi bahwa
gadis itu masih bersikap dingin padanya yang ada dalam pikirnnya saat ini
adalah Tata, bagaimana keadaan Tata dan apakah benar tidak ada hal yang serius
terjadi padanya (lebay). Sesampainya di depan rumah Tata, pembantu yang
sedang menghidupkan lampu rumah segera membuka pintu saat melihat sang nona
dipapah oleh Raka menuruni motor
“Kenapa Mas, Non Tata sakit?”
“Ambilkan minum aja Mbak, biar Tata saya bawa ke
kamarnya”
Jawab Raka meminta pembantu mengambilkan air minum
untuk Tata, tapi Tata yang masih terlihat pucat menghentikan langkah
pembantunya
“Nggak usah Mbak, ambilkan alat pijat kepalanya mama
aja”
Raka menganggukkan kepalanya pada pembantu Tata yang
sedikit ragu ragu antara menuruti perintah Raka dan nona mudanya.
Raka membaringkan tubuh Tata diatas kasurnya, gadis
itu masih diam seribu bahasa membiarkan Raka melakukan apapun padanya walaupun
sebenarnya dia ingin sekali menolak, akan tetapi sakit di kepalanya membuat dia
membiarkan apapun yang Raka perbuat untuknya. Tidak lama waktu berselang,
pijatan kepala milik nyonya Jasmine sudah ada di genggaman Tata.
Auww baru saja alat itu ia tancapkan di kepalanya, ia
meringis kesakitan. Raka merebut alat itu dari tangan Tata dan dengan satu
gerakan dia menarik kepala Tata dalam dekapannya mencoba memeriksa keadaan
kepala gadis itu. Deg deg deg suara degup
jantung Raka terdengar di kuping Tata, tanpa sadar gadis itu memejamkan matanya
menikmati setiap degupan yang sanggup ia dengar.
Eemmh..ssst…. Tata berdesis saat tangan Raka menyentuh luka kecil
yang ada dikapalanya.
“Hmmm… lo mikir apaan si Ta sampe itu pelepah segede
gamban ga terlihat”
“Ya mana gue tahu…. Aaauw hati hati Mas, sakit nih
ah!!”
Dalam hati Tata sedikit mengomel ‘hmm andai lo tahu apa yang gue lihat’ dia menyingkirkan tangan
Raka dari kepalanya sedikit kasar dengan muka yang tak lagi ramah, tapi sekali
lagi Raka menepis tangan Tata dan kembali menyentuh kepala gadis keras kepala
itu tanpa keraguan. Saat menemukan apa yang ia cari, Raka tersenyum jahil
melihat Tata yang masih memasang wajah cemberutnya dan dengan keisengan dia
menyentuh luka kecil yang ada di kepala Tata dengan sengaja
Aawww… Tata reflek menjauhkan kepalanya dari dekapan
Raka dan mengibaskan tangan Raka untuk tidak lagi memegang kepalanya.
“Hmmm… Manja!!”
“Maksud Lo?!”
Tata tersulut dengan olokan Raka yang sengaja ia
lontarkan untuk menggoda gadis itu.
“Diam disana, gue ambil kotak obat dulu. Ada luka
dikepala lo”
“Serius?? Berdarah nggak?”
Tata mulai panik mendengar ada luka tersisa dari
tragedy yang ia alami, dalam pikirannya kini cuma satu ‘apakah luka ini akan
membuatnya memiliki satu pitakan di kepala’. Tata mengdengus kesal dengan wajah
hawatirnya mencoba bangun dari tempat tidur dan berniat mendekati meja rias
yang tidak jauh dari ranjang. Sedikit terhuyun karena pusing yang masih ia
rasakan, Tata berhasil duduk di depan kaca, namun luka yang letaknya sulit ia
jangkau dengan kaca membuatnya menyerah pasrah meletakkan kepala telungkup
bertopang dua lengannya diatas meja rias sampai akhirnya Raka masuk dengan
kotak obat. Raka tersenyum, ia seakan sanggup membaca apa yang Tata pikirkan. Plok dengan sengaja ia menaruh kotak
obat tepat di sebelah kepala Tata sehingga gadis itu sedikit kaget mengangkat
kepalanya, tapi Raka justru meneruskan langkah menuju kamar mandi dan keluar
dengan sedikit air dalam gayung
“Ih… buat apaan?”
Tata melongo melihat Raka dengan gayung air
ditangannya
“Bersihin luka lo lah”
“Kok pake air sih…. Revanol Mas!!!”
Tata sedikit berteriak protes dan membuka kotak obat
yang ada di hadapannya
“Ada nggak??? Kalau memang ada, nggak perlu lo kasih
tahu gue juga paham Ta”
“Hmmm sial banget sih gue…. Mama kemana juga nggak
pulang pulang, anaknya lagi kena musibah juga!”
Tata sedikit merengek menyesali apa yang sudah ia
alami sore ini.
“Udah sini, jangan ngeluh lagi”
“Bentar deh….. lukanya nggak gede kan? Kepala gue
nggak akan pitak kan?”
Raka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Tata yang
sesuai dengan pikirannya.. tangannya cekatan membersihkan luka Tata dan
membubuhkan antiseptic tanpa perduli dengan rintihan Tata menahan perih. Dari
cermin Raka bisa melihat wajah Tata yang gusar memikirkan luka di kepalanya,
beberapa kali ia mencoba menyentuh luka itu untuk memastikan seberapa besar
ukuran luka yang sudah menghiasi mahkotanya. Dengan satu tangan menopang dagu
dan tangan lainnya yang tidak henti meraba luka, wajah Tata begitu jelas
terlihat hawatir. Ya, rambut adalah salah satu asset yang ia miliki untuk
tampil diberbagai media dan alasan yang sama pula telah membuatnya menjadi
model kepercayaan perusahaan sang papa selama ia berkarir.
“Tidak ada yang akan merubah kecantikan kamu, semuanya
masih sama. Nggak akan meninggalkan bekas luka. Jadi jangan terlalu hawatir.
Kamu masih menjadi yang paling cantik”
Deg
Tata terpaku, ia
seakan berhenti bernafas. Secara tiba tiba Raka mendekapnya dari belakang
membisikkan kata tanpa ia duga sebelumnya, selama yang ia kenal Raka adalah
sosok dingin nan menyebalkan dengan kata kata super nyelekit saat ia mengkritik
apapun yang menurutnya salah. Tata masih tidak percaya dengan apa yang Raka
lakukan padanya, dari cermin ia bisa melihat senyum yang Raka miliki begitu
tulus, dekapannya juga terasa sangat hangat. Usapan di kepala dan kecupan yang
Raka berikan di kepalanya seperti sebuah mimpi bagi Tata
‘Wake up, Ta…..
lo berhalusinasi, apakah rasa pusing di kepala lo udah sebegitu dasyatnya
hingga lo nggak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan halusinasi?’
Ah…. Tata kembali tersentak, tangan Raka yang erat
memegang bahunya membantu Tata kembali berbaring diatas kasur
“Lo masih pusing kan, istirahat aja ya”
‘Lo??.... ah
seperti benar gue berhalusinasi, nggak mungkin mas Raka memakai kata kamu untuk
bicara sama gue. Sejak kapan?’
Tata menggelengkan kepalanya membuang segala kebingungan
yang ia miliki, tapi rasa pusing membuatnya berdesis dan membuat Raka yang
telah memegang remot tivi menyandarkan punggungnya di sofa tidak jauh dari Tata
menoleh mengangkat alis
“Nggak, nggak apa apa kok Mas… hanya pusing aja dikit”
“Makanya lo pake tidur gih.. gue akan tetap disini
sambil nunggu Al. kalau lo butuh apa apa, bilang aja”
Tata mengangguk menuruti perkataan Raka tanpa
memprotes lagi, tapi tatapan matanya masih tidak bisa beralih dari sosok pria
yang kini sangat ia benci itu. Rasa pusing yang ada teralihkan pada rasa tidak
percaya yang kini memenuhi otaknya. Bukan itu yang ia cari selama ini, segala
kemarahan yang ia simpan buat Raka memang telah menemukan sedikit amunisi, akan
tetapi sikap Raka membuatnya tidak sanggup untuk menembakkan semua amunisi yang
ia miliki walaupun sekadar untuk meringankan rasa kesalnya. Kantuk pun tak juga
menyapa, detik jam yang ada di dinding terasa melambat dalam pikirannya.
Keinginan untuk tidak menambah kebingungannya tak juga datang karena Zaldy seakan
tidak ada harapan akan segera menjemput kakaknya pergi dari hadapan Tata.
“Jangan lihat gue terus, kalau mau ngomong. Ngomong
aja”
Tiba tiba Raka bersuara tanpa menoleh ke arah Tata.
Gadis itu untuk kesekian kalinya seakan di skakmat, ia membalikkan badannya
membelakangi Raka dan menarik selimutnya rapat rapat menutup seluruh badan
mungilnya dan hanya menyisakan kepala yang kini semakin dipusingkan oleh
keadaan.
“Lo kalau mau ngomong nggak usah ditahan. Ngomong aja,
gue dengerin kok”
“Nggak ada… Mas Raka kalau mau pulang, pulang aja.
Tata udah nggak apa apa kok”
“Lo ngusir?”
“Nggak…. Tata mau istirahat aja, pusing”
“Yakin nggak ada yang mau disampaiin? Kalau beneran
yakin, gue mau turun nih. Gue tunggu Al di bawah aja biar lo bisa istirahat”
Tat terdiam, dia nggak bersuara lagi. Terdengar
olehnya suara langkah Raka yang kini mungkin benar tengah bersiap untuk
meninggalkannya sendiri.
“Ini… ati ati tumpah, biar lo nggak susah ngambilnya,
gue deketin disini….. tapi lo hati hati jangan sampai menendangnya”
Raka menaruh gelas minum Tata di meja kecil tepat
disisi ranjang..
Srek
srek…. Ia melangkah menuju pintu hendak meninggalkan
Tata yang pura pura memejamkan matanya
“Mas Raka munafik”
Raka menghentikan langkahnya beberapa centi dari
pintu, ia membalikkan badan melihat Tata yang masih memejamkan matanya. Raka
mencoba menalar maksud kata munafik yang Tata lontarkan padanya, namun ia tidak
menemukan konteks yang pas dari kata itu mengingat apa yang ia lakukan untuk
Tata sore ini
“Maksud lo??”
“Mas Raka pikir aja sendiri…. Tata bilang sekalipun
juga nggak akan ada pengaruhnya karena Mas Raka nggak pernah merasa dan tidak
pernah menganggap itu sebagai suatu kesalahan”
Raka kembali mendekati ranjang Tata, tetapi gadis itu kembali membalikkan badannya membelakangi dan masih dengan mata yang ia pertahankan untuk terpejam
Raka kembali mendekati ranjang Tata, tetapi gadis itu kembali membalikkan badannya membelakangi dan masih dengan mata yang ia pertahankan untuk terpejam
“Gue tahu Ta, lo marah sama gue selama ini, Lo diem
saat ada gue dan lo menghindar setiap ada gue…. Tapi jujur, gue nggak ngerti
kenapa lo seperti itu sama gue”
“Karena Mas Raka memang munafik dan satu lagi egois”
“Munafik??? Apa maksud lo…. Kalau gue munafik dan
egois, gue nggak akan nolong lo ya”
Tata menegakkan badannya terduduk bersandar pada badan
ranjang, matanya memerah menahan emosi
“Lo kalau mau ngomong, ngomong yang jelas. Jangan
setengah setengah…. Sudahi sifat manja dan kekanakan lo itu. Kita selesaikan”
“Gue bukan piala bergilir seperti yang Mas Raka
katakan. Gue masih punya otak untuk menjaga harga diri”
Prak seperti satu hantaman keras tepat mengenai kepala
Raka, bulir bening yang keluar dari sudut mata Tata dan coba disembunyikan oleh
gadis itu menyayat hatinya. Ia baru menyadari alasan kemarahan Tata padanya,
selama ini ia banyak mendengar dari Zaldy tentang kebiasaan Tata yang dengan
mudah memutuskan dan dekat dengan cowok serta beberapa kali melihat gadis itu
memperkenalkan seseorang sebagai kekasihnya memang membuatnya sedikit terusik
tanpa alasan jelas sampai sore itu dia menegur secara langsung pada Tata saat
secara kebetulan dia berada di rumah Tata ketika dengan tiba tiba gadis cantik
itu pulang membawa sesosok pria baru dalam hidupnya dan diperkenalkan kepada
kedua orang tuanya. Secara langsung, Tata tidak pernah menyebut cowok cowok
yang ia perkenalkan kepada orang tuanya sebagai kekasih dan itupun sudah pernah
Zaldy jelaskan pada Raka bahwa gadis itu tidak pernah mengakui siapapun yang
dekat dengannya sebagai kekasihnya akan tetapi ia akan menjaga jarak dengan
siapapun selama ia dekat dengan seseorang. Alasan lainnya yang Raka temukan
dari sikap Tata itu tidak pernah ia mengerti, tapi baginya kebiasaan Tata yang
dengan mudah melepaskan seseorang dan berpindah ke orang baru bukanlah sesuatu
yang dapat ia terima sebagai hal yang wajar. Bagaimanapun hubungan antara
seorang laki laki dan wanita diusia mereka bukanlah hubungan yang hanya cukup
dengan bergandeng tangan sebagai wujud sebuah kedekatan apalagi di Ibu kota dan
kalangan model yang Tata tekuni selama ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang
tidak bisa menerima semua itu dan sangat terusik setiap kali Tata menjalin
hubungan baru.
‘Jangan
bersikap murah seperti piala bergilir memamerkan kemesraan luar biasa dihadapan
umum. Itu bukan sesuatu yang membanggakan, tetapi memalukan bagaimanapun rupa
cantik yang kamu miliki pada akhirnya akan tidak ada harganya jika sikapmu
seperti itu’
Raka berdiri mematung melihat Tata yang terus membuang
wajahnya tak ingin terlihat lemah dihadapan Raka. Bibirnya terkatup dan matanya
memerah dengan sudut yang basah. Kata kata yang ia ucapkan pada sore itu secara
jelas terus terngiang ditelinganya dan kini terdengar begitu kejam menyayat, ia
benar benar tidak menduga kata sekejam itu pernah ia lontarkan tanpa perasaan
bersalah sedikitpun.
“Ta…..”
“Apa bedanya Mas Raka sama Tata?? Apakah sikap Tata
itu terlalu murahan??”
Tata memotong apa yang hendak Raka katakana, gadis itu
seakan tidak memberinya ruang membela diri
“Gue melakukannya hanya dihadapan keluarga dan orang
yang gue kenal, tidak ditempat umum. Mas Raka, apa???”
“Gue….. itu Irene, Ta dan gue…..”
“Kenapa??? Kalau dia mbak Irena apakah itu berbeda?
Karena Mas Raka hanya bersikap seperti itu sama mbak Irene dan itu membanggakan
gitu??? Mas Raka pernah tahu nggak alasan kenapa gue putus dengan si A, si B
dan mereka yang pernah dekat dengan Tata sebelum Hendra… nggak kan???”
“Tapi gue dan Irene nggak…..”
“Nggak mesra??? Bergelendotan di tempat umum dan
dilihat oleh banyak mata asing yang tidak tahu hubungan kalian itu sah sah
saja???. Lantas apa bedanya dengan gue??? Gue cuma memperlakukan mereka
layaknya orang yang special buat gue… gue nggak ciuman sama mereka, gue nggak
pamer kemesraan di depan public…. Mas Raka pernah dengar desas desus apa
tentang gue sampai bisa mengatakan hal yang begitu buruknya. Gue kira Mas Raka
adalah orang yang dewasa dan bisa melihat segala sesuatu dari sisi kedewasaan
tanpa emosi… nyatanya semua hanya ilusi dari penampilan dewasa yang tertangkap
mata. Mas Raka nggak mampu berkaca pada diri sendiri sebelum menilai orang
lain”
“Ta…. Gue nggak bermaksud mengatakan hal itu sama lo”
“Nggak bermaksud??? Enteng banget Mas…. Apakah menjudge
seseorang seperti itu adalah hal biasa buat Mas Raka…. Apakah mas Raka paham
bagaimana rasanya sakit hati dinilai buruk seperti itu. Tata tahu dengan pasti
kok kalau sikap Tata yang seenaknya dan dingin didunia kerja menjadi bahan
taruhan, Tata sadar mereka bermain dengan Tata hanya untuk membuktikan bahwa
mereka mampu mendobrak tembok pertahanan Tata. Pada akhirnya mereka sendirilah
yang memilih menjauh karena garis itu terlalu kuat untuk mereka lewati. Mas
Raka tahu nggak??!!”
Tata sedikit berteriak, kata kata penuh emosi yang
sebelumnya ia sampaikan dengan ketengan kini sudah berubah meluap luap.
Suaranya parau menahan isak dengan air mata yang terus berderai memborbardir
Raka yang hanya terdiam mendengarkan apapun yang ia katakana. Emosi Tata tidak
bisa lagi ia bending, tangisnya pecah. Apa yang sudah ia tahan begitu lama kini
meluap tanpa ada rem yang menahannya. Tata menangis dalam emosi memburu
nafasnya, Raka mendekati gadis itu dengan tatapan bersalahnya. Tangannya meraih
tubuh mungil yang ada dihadapannya. Beberapa kali Tata menepis akan tetapi isak
tangis yang penuh dengan emosi itu seakan telah menyedot habis kekuatannya
sehingga tak mampu menjauhkan Raka yang kini erat mendekap tubuhnya. Raka
menggigit kuat bibirnya merasakan setiap getir dari suara isakan Tata, rasa
sesalnya tidak bisa ia lukiskan. Tubuh yang ada didekapannya kini membuatnya merasa
gagal menjadi sosok sempurna yang patut dibanggakan dan dikagumi seperti yang
selama ini ia yakini. Matanya terpejam mendekap erat Tata yang meluapkan sesak
yang menghimpit dadanya selama ini
‘I’m sorry if I
too rude… I just can’t tell it sofly but I never mean to hurt you like this.
I’m so sorry’
Penyesalan Raka tak sanggup ia ucapkan, ia hanya
membiarkan Tata terus meluapkan emosi yang tumpah dalam isak tangis membasahi
dadanya. Ia memahami arti rasa kecewa yang Tata rasakan dan membiarkan gadis
itu perlahan tenang, Raka mengecup lembut ujung kepala Tata dengan penuh
penyesalan
“Maaf… maafkan gue Ta. Maaf ya”
Tata hanya diam tanpa berucap dan tak bersedia menatap
Raka walaupun tangan Raka yang menghapus air matanya mencoba mengarahkan
pandangan itu kepadanya.
“Maafkan gue, gue terlalu naïf menilai lo seperti
itu.. gue paham jika lo marah atau mungkin tak bisa memaafkan gue. Gue nggak
akan membela diri karena gue tahu gue memang salah… maafkan gue ya…. I’m so
sorry Ta”
Raka menyodorkan segelas air putih yang ada di meja
dekat ranjang Tata berharap gadis itu akan lebih tenang lagi… sekali lagi ia
mendekap kepala Tata dalam pelukannya dan mengecup pucuk kepala Tata lalu
membiarkan gadis itu memenangkan diri dan emosinya.. ia meninggalkan Tata
terbaring dengan mata basah. Tata merasakan batu besar yang ada di dalam
dadanya lenyap tanpa sisa, luapan emosi yang ia tumpahkan serasa menyapu bersih
segala yang menghimpit dalam hatinya selama ia bertahan dalam sikap diam selama
ini. Ia menatap punggung Raka yang perlahan menjauh darinya, segala perlakuan
Raka padanya sudah bukan hal yang ia pikirkan… yang ada dikepalanya kini cuma
satu…. Lega. Namun hatinya terus berbisik seakan belum bisa memaafkan Raka
sepenuhnya
‘I
don’t want to forgive you, but I can’t push you to away from me becauce I don’t
want to. But…. You so bad to me. Ah Wake me up God’
Tata memejamkan matanya dalam linangan airmata yang ia
tidak mengerti lagi artinya, yang ia pahami kini adalah bahwa ia sudah
kehilangan alasan untuk sekali lagi marah pada Raka. Apakah ia mampu berdamai
dengan Raka?? Tata tidak bisa menjawab itu.. langkah gontai Raka saat
meninggalkannya tadi cukup jelas memberikan jawaban bahwa Raka cukup terpukul
mengetahui alasan diam yang ia lakukan.
Dont Miss It:
PLAY GIRL JATUH CINTA : Siluet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar