Senin, 12 September 2016

PLAY GIRL JATUH CINTA : Perdamaian




 
PLAY GIRL JATUH CINTA

Part 9. Perdamaian 

Dalam keadaan setengah sadar, suara suara terdengar sangat bising ditelinga Tata.. satu tangan memapah dirinya untuk mencari tempat ternyaman. Matanya masih terpejam setengah sadar, bebauan minyak menyengat dihidung, Tata memegangi kepala, rasa sakit dan pusing kini mendominasi disana
“Mbak…. Mbak nggak apa apa kan?”
Satu suara yang cukup jelas meneriakinya sebelum semua menjadi gelap dalam pandangan mata kembali menyapa pendengaran tata, Tata hanya bisa menggeleng sambil terus memegangi kepalanya yang terasa pusing, ia masih menerka nerka apa yang sebenarnya baru ia alami hingga ia merasakan semuanya gelap dan memusingkan..
Puk puk puk beberapa kali seseorang menepuk nepuk pipinya, Tata mencoba membuka mata dan bangun dari tidurnya. Suara suara yang saling bersautan di telinganya cukup jelas memberikan gambaran jika saat ini dirinya menjadi pusat perhatian, riuh dan sangat mengganggu
“Ridho, makasih ya atas bantuannya…. Untung ada kamu, tapi tangan kamu nggak apa kan?”
“Nggak mas, kegores dikit tapi nggak apa kok”
“Thanks ya bro….”
“Santai Al….”
‘Ridho’ dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Tata menyesali keadaan, Ia bisa menyimpulkan siapa yang sudah menjadi pahlawan dalam kejadian aneh yang ia alami, namun sayang kepala yang baru saja mendapatkan hantaman keras itu terasa sangat berat untuk ia topang sendiri sehingga ia hanya pasrah bersandar pada bahu yang memeluknya saat ini. Dia sudah tidak bisa mau memusingkan diri menebak bahu siapa yang ia pakai untuk bersandar, tapi dia yakin pastinya itu adalah orang yang ia kenal. Bau minyak angin yang menyengat di depan hidung Tata sangat mengganggu pernafasan, Tata menyingkirkan bebauan itu dengan berusaha menjauhkan botol minyak dari depan hidungnya
“Hmmm… aku udah nggak apa apa”
Rintihnya pelan berusaha menguatkan diri membuka mata. Nampak Zaldy berjongkok di depannya dengan wajah panic dan juga ada Irene berdiri tepat dihadapannya… Raka??? Apakah kini ia bersandar dan berlindung dalam pelukan Raka? Tata tak lagi bisa memikirkan apa apa kecuali pasrah dengan sakit yang ia rasakan
“Ren, bisa aku pinjam cardigan kamu??”
“Ya??”
Irene sedikit kaget dengan permintaan Raka, tapi dia tidak menolak dan lantas melepaskan Cardigan yang ia kenakan. Raka menutup kaki Tata dengan itu, rupanya kehawatiran Zaldy saat hendak berangkat tadi mengandung maksud dan kini semuanya terjawab. Kaos oblong putih dengan celana super pendek yang Tata kenakan benar benar bukanlah pakaian yang pas ia gunakan ke tempat umum seperti taman ini, apalagi dengan kejadian yang tiba tiba ia alami sehingga ia harus jadi pusat perhatian.
“Lo bawa mobil Al?”
Tanya Raka kemudian pada Zaldy yang masih berjongkok dihadapan Tata dengan wajah paniknya
“Nggak, gue bawa motor!
“Ta…. Lo kuat jalan kan?”
Kini pertanyaan beralih pada Tata yang masih lemas dan Tata mengangguk pelan
“Pakai mobil aku aja, biar Tatanya lebih enak”
Irene menawarkan bantuannya tapi Raka menolaknya halus
“Nggak usah Ren.. hmmm lo balik sendiri nggak apa apa kan? Soalnya gue harus ngantar Tata dulu”
“Hmmm gitu ya… iya pake mobil gue aja Ka, apa kita nggak ke Rumah sakit saja untuk memastikan tidak ada yang serius
“hmmm nggak usah, pulang aja deh... gue nggak apa apa kok”
Mendengar ide akan membawanya ke Rumah Sakit, Tata segera menyela... ia merasa cukup kuat dan yakin bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang serius sampai harus menjalani perawatan di tempat semacam itu.
“Nggak, pake motor masih bisa kok. Lo kuat kan Ta?. Biar lo nanti juga nggak muter muter, Ren. Nggak apa kan?”
“Okay nggak apa kok”
Raka bersikeras menolak tawaran Irene, dia cukup yakin dengan anggukan kepala Tata. Ia sadar Irene kecewa dengan keputusannya, akan tetapi dia tidak bisa mengacuhkan Tata. Raka meminta adiknya untuk mengambil motor dan pelan pelan dia memapah Tata dengan bantuan Irene menunggu di depan taman.
“Ta, lo yakin kuat naik motor?”
Sekali lagi Irene memastikan keadaan Tata yang terlihat lemas dalam dekapan Raka. Tata hanya mengangguk lemah dengan senyumnya. Tangan Raka yang memegang bahunya dengan kuat menepuk nepuk menenangkan. Zaldy datang membawa motornya, sama hal dengan Irene yang tidak yakin akan keamanan Tata naik motor sekali lagi menanyakan keputusan Raka
“Mas yakin bisa?”
“Yakin.. lo kalau mau lanjut latihan, lanjutin aja biar Tata gue yang urus”
“Ntar gue nyusul deh Mas, gue mo pamit aja sama temen temen. Nggak enak mereka udah nungguin”
Raka memapah Tata untuk menaiki motor… Al sedikit cemas melihat Tata yang beberapa kali masih memegangi kepalanya, pun demikian dengan Irene. Wajah gadis itu sulit untuk diartikan, sorot matanya terlihat cemas, namun saat beralih pandang ke arah Raka, sorot matanya sedikit meredup terlihat kecewa dan marah. Entah apa yang ada di pikiran Irene, kecemasan yang tergambar diwajahnya terlihat ambigu dalam pandangan Zaldy. Kecemasan tentang rasa hawatir Raka yang berlebihan ataukah kecemasan akan keselamatan Tata tidak bisa Zaldy bedakan dari raut wajah Irene yang kini ada di hadapannya.
“Lo pegang yang kuat”
Tata sedikit menolak saat Raka menarik kedua tangan Tata ke depan memeluk tubuhnya, kali ini alam bawah sadarnya yang masih terjaga sedikit menjaga gengsi
“Udah nggak usah keras kepala, Ta. Nurut! Nyandar aja dari pada ntar lo jatuh”
Zaldy yang ikut menguatkan pelukan itu menarik tangan Tata dan menepuk nepuknya dengan penuh penekanan di depan perut Raka dan mendorong punggung Tata menempatkan kepala gadis itu dipunggung Raka
“Hati hati Mas, pelan pelan aja”
Zaldy menepuk punggung Tata dengan beberapa tepukan dan pesan ‘jangan keras kepala’ melepaskan kepergian Raka dan berdua dengan Irene. Irene nampak menarik nafas dalam dengan mengulum bibirnya kecewa, mungkin tragedy pelepah palem yang jatuh tepat di kepala Tata sudah memporak porandakan semua rencana bahagianya sehingga dia hanya bisa pasrah memasang senyumnya pada salam Zaldy yang juga meninggalkannya untuk bergabung dengan team basket.
---


Sepanjang jalan menuju rumah, Raka terus memegang erat tangan Tata karena hawatir gadis itu terjatuh. Raka tak perduli lagi bahwa gadis itu masih bersikap dingin padanya yang ada dalam pikirnnya saat ini adalah Tata, bagaimana keadaan Tata dan apakah benar tidak ada hal yang serius terjadi padanya (lebay).  Sesampainya di depan rumah Tata, pembantu yang sedang menghidupkan lampu rumah segera membuka pintu saat melihat sang nona dipapah oleh Raka menuruni motor
“Kenapa Mas, Non Tata sakit?”
“Ambilkan minum aja Mbak, biar Tata saya bawa ke kamarnya”
Jawab Raka meminta pembantu mengambilkan air minum untuk Tata, tapi Tata yang masih terlihat pucat menghentikan langkah pembantunya
“Nggak usah Mbak, ambilkan alat pijat kepalanya mama aja”
Raka menganggukkan kepalanya pada pembantu Tata yang sedikit ragu ragu antara menuruti perintah Raka dan nona mudanya.
Raka membaringkan tubuh Tata diatas kasurnya, gadis itu masih diam seribu bahasa membiarkan Raka melakukan apapun padanya walaupun sebenarnya dia ingin sekali menolak, akan tetapi sakit di kepalanya membuat dia membiarkan apapun yang Raka perbuat untuknya. Tidak lama waktu berselang, pijatan kepala milik nyonya Jasmine sudah ada di genggaman Tata.
Auww baru saja alat itu ia tancapkan di kepalanya, ia meringis kesakitan. Raka merebut alat itu dari tangan Tata dan dengan satu gerakan dia menarik kepala Tata dalam dekapannya mencoba memeriksa keadaan kepala gadis itu. Deg deg deg suara degup jantung Raka terdengar di kuping Tata, tanpa sadar gadis itu memejamkan matanya menikmati setiap degupan yang sanggup ia dengar.
Eemmh..ssst…. Tata berdesis saat tangan Raka menyentuh luka kecil yang ada dikapalanya.
“Hmmm… lo mikir apaan si Ta sampe itu pelepah segede gamban ga terlihat”
“Ya mana gue tahu…. Aaauw hati hati Mas, sakit nih ah!!”
Dalam hati Tata sedikit mengomel ‘hmm andai lo tahu apa yang gue lihat’ dia menyingkirkan tangan Raka dari kepalanya sedikit kasar dengan muka yang tak lagi ramah, tapi sekali lagi Raka menepis tangan Tata dan kembali menyentuh kepala gadis keras kepala itu tanpa keraguan. Saat menemukan apa yang ia cari, Raka tersenyum jahil melihat Tata yang masih memasang wajah cemberutnya dan dengan keisengan dia menyentuh luka kecil yang ada di kepala Tata dengan sengaja
Aawww… Tata reflek menjauhkan kepalanya dari dekapan Raka dan mengibaskan tangan Raka untuk tidak lagi memegang kepalanya.
“Hmmm… Manja!!”
“Maksud Lo?!”
Tata tersulut dengan olokan Raka yang sengaja ia lontarkan untuk menggoda gadis itu.
“Diam disana, gue ambil kotak obat dulu. Ada luka dikepala lo”
“Serius?? Berdarah nggak?”
Tata mulai panik mendengar ada luka tersisa dari tragedy yang ia alami, dalam pikirannya kini cuma satu ‘apakah luka ini akan membuatnya memiliki satu pitakan di kepala’. Tata mengdengus kesal dengan wajah hawatirnya mencoba bangun dari tempat tidur dan berniat mendekati meja rias yang tidak jauh dari ranjang. Sedikit terhuyun karena pusing yang masih ia rasakan, Tata berhasil duduk di depan kaca, namun luka yang letaknya sulit ia jangkau dengan kaca membuatnya menyerah pasrah meletakkan kepala telungkup bertopang dua lengannya diatas meja rias sampai akhirnya Raka masuk dengan kotak obat. Raka tersenyum, ia seakan sanggup membaca apa yang Tata pikirkan. Plok dengan sengaja ia menaruh kotak obat tepat di sebelah kepala Tata sehingga gadis itu sedikit kaget mengangkat kepalanya, tapi Raka justru meneruskan langkah menuju kamar mandi dan keluar dengan sedikit air dalam gayung
“Ih… buat apaan?”
Tata melongo melihat Raka dengan gayung air ditangannya
“Bersihin luka lo lah”
“Kok pake air sih…. Revanol Mas!!!”
Tata sedikit berteriak protes dan membuka kotak obat yang ada di hadapannya
“Ada nggak??? Kalau memang ada, nggak perlu lo kasih tahu gue juga paham Ta”
“Hmmm sial banget sih gue…. Mama kemana juga nggak pulang pulang, anaknya lagi kena musibah juga!”
Tata sedikit merengek menyesali apa yang sudah ia alami sore ini.
“Udah sini, jangan ngeluh lagi”
“Bentar deh….. lukanya nggak gede kan? Kepala gue nggak akan pitak kan?”
Raka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Tata yang sesuai dengan pikirannya.. tangannya cekatan membersihkan luka Tata dan membubuhkan antiseptic tanpa perduli dengan rintihan Tata menahan perih. Dari cermin Raka bisa melihat wajah Tata yang gusar memikirkan luka di kepalanya, beberapa kali ia mencoba menyentuh luka itu untuk memastikan seberapa besar ukuran luka yang sudah menghiasi mahkotanya. Dengan satu tangan menopang dagu dan tangan lainnya yang tidak henti meraba luka, wajah Tata begitu jelas terlihat hawatir. Ya, rambut adalah salah satu asset yang ia miliki untuk tampil diberbagai media dan alasan yang sama pula telah membuatnya menjadi model kepercayaan perusahaan sang papa selama ia berkarir.
“Tidak ada yang akan merubah kecantikan kamu, semuanya masih sama. Nggak akan meninggalkan bekas luka. Jadi jangan terlalu hawatir. Kamu masih menjadi yang paling cantik”
Deg Tata terpaku, ia seakan berhenti bernafas. Secara tiba tiba Raka mendekapnya dari belakang membisikkan kata tanpa ia duga sebelumnya, selama yang ia kenal Raka adalah sosok dingin nan menyebalkan dengan kata kata super nyelekit saat ia mengkritik apapun yang menurutnya salah. Tata masih tidak percaya dengan apa yang Raka lakukan padanya, dari cermin ia bisa melihat senyum yang Raka miliki begitu tulus, dekapannya juga terasa sangat hangat. Usapan di kepala dan kecupan yang Raka berikan di kepalanya seperti sebuah mimpi bagi Tata
Wake up, Ta….. lo berhalusinasi, apakah rasa pusing di kepala lo udah sebegitu dasyatnya hingga lo nggak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan halusinasi?’
Ah…. Tata kembali tersentak, tangan Raka yang erat memegang bahunya membantu Tata kembali berbaring diatas kasur
“Lo masih pusing kan, istirahat aja ya”
Lo??.... ah seperti benar gue berhalusinasi, nggak mungkin mas Raka memakai kata kamu untuk bicara sama gue. Sejak kapan?’
Tata menggelengkan kepalanya membuang segala kebingungan yang ia miliki, tapi rasa pusing membuatnya berdesis dan membuat Raka yang telah memegang remot tivi menyandarkan punggungnya di sofa tidak jauh dari Tata menoleh mengangkat alis
“Nggak, nggak apa apa kok Mas… hanya pusing aja dikit”
“Makanya lo pake tidur gih.. gue akan tetap disini sambil nunggu Al. kalau lo butuh apa apa, bilang aja”
Tata mengangguk menuruti perkataan Raka tanpa memprotes lagi, tapi tatapan matanya masih tidak bisa beralih dari sosok pria yang kini sangat ia benci itu. Rasa pusing yang ada teralihkan pada rasa tidak percaya yang kini memenuhi otaknya. Bukan itu yang ia cari selama ini, segala kemarahan yang ia simpan buat Raka memang telah menemukan sedikit amunisi, akan tetapi sikap Raka membuatnya tidak sanggup untuk menembakkan semua amunisi yang ia miliki walaupun sekadar untuk meringankan rasa kesalnya. Kantuk pun tak juga menyapa, detik jam yang ada di dinding terasa melambat dalam pikirannya. Keinginan untuk tidak menambah kebingungannya tak juga datang karena Zaldy seakan tidak ada harapan akan segera menjemput kakaknya pergi dari hadapan Tata.
“Jangan lihat gue terus, kalau mau ngomong. Ngomong aja”
Tiba tiba Raka bersuara tanpa menoleh ke arah Tata. Gadis itu untuk kesekian kalinya seakan di skakmat, ia membalikkan badannya membelakangi Raka dan menarik selimutnya rapat rapat menutup seluruh badan mungilnya dan hanya menyisakan kepala yang kini semakin dipusingkan oleh keadaan.
“Lo kalau mau ngomong nggak usah ditahan. Ngomong aja, gue dengerin kok”
“Nggak ada… Mas Raka kalau mau pulang, pulang aja. Tata udah nggak apa apa kok”
“Lo ngusir?”
“Nggak…. Tata mau istirahat aja, pusing”
“Yakin nggak ada yang mau disampaiin? Kalau beneran yakin, gue mau turun nih. Gue tunggu Al di bawah aja biar lo bisa istirahat”
Tat terdiam, dia nggak bersuara lagi. Terdengar olehnya suara langkah Raka yang kini mungkin benar tengah bersiap untuk meninggalkannya sendiri.
“Ini… ati ati tumpah, biar lo nggak susah ngambilnya, gue deketin disini….. tapi lo hati hati jangan sampai menendangnya”
Raka menaruh gelas minum Tata di meja kecil tepat disisi ranjang..
Srek srek….  Ia melangkah menuju pintu hendak meninggalkan Tata yang pura pura memejamkan matanya
“Mas Raka munafik”
Raka menghentikan langkahnya beberapa centi dari pintu, ia membalikkan badan melihat Tata yang masih memejamkan matanya. Raka mencoba menalar maksud kata munafik yang Tata lontarkan padanya, namun ia tidak menemukan konteks yang pas dari kata itu mengingat apa yang ia lakukan untuk Tata sore ini
“Maksud lo??”
“Mas Raka pikir aja sendiri…. Tata bilang sekalipun juga nggak akan ada pengaruhnya karena Mas Raka nggak pernah merasa dan tidak pernah menganggap itu sebagai suatu kesalahan”
Raka kembali mendekati ranjang Tata, tetapi gadis itu kembali membalikkan badannya membelakangi dan masih dengan mata yang ia pertahankan untuk terpejam
“Gue tahu Ta, lo marah sama gue selama ini, Lo diem saat ada gue dan lo menghindar setiap ada gue…. Tapi jujur, gue nggak ngerti kenapa lo seperti itu sama gue”
“Karena Mas Raka memang munafik dan satu lagi egois”
“Munafik??? Apa maksud lo…. Kalau gue munafik dan egois, gue nggak akan nolong lo ya”
Tata menegakkan badannya terduduk bersandar pada badan ranjang, matanya memerah menahan emosi
“Lo kalau mau ngomong, ngomong yang jelas. Jangan setengah setengah…. Sudahi sifat manja dan kekanakan lo itu. Kita selesaikan”
“Gue bukan piala bergilir seperti yang Mas Raka katakan. Gue masih punya otak untuk menjaga harga diri”
Prak seperti satu hantaman keras tepat mengenai kepala Raka, bulir bening yang keluar dari sudut mata Tata dan coba disembunyikan oleh gadis itu menyayat hatinya. Ia baru menyadari alasan kemarahan Tata padanya, selama ini ia banyak mendengar dari Zaldy tentang kebiasaan Tata yang dengan mudah memutuskan dan dekat dengan cowok serta beberapa kali melihat gadis itu memperkenalkan seseorang sebagai kekasihnya memang membuatnya sedikit terusik tanpa alasan jelas sampai sore itu dia menegur secara langsung pada Tata saat secara kebetulan dia berada di rumah Tata ketika dengan tiba tiba gadis cantik itu pulang membawa sesosok pria baru dalam hidupnya dan diperkenalkan kepada kedua orang tuanya. Secara langsung, Tata tidak pernah menyebut cowok cowok yang ia perkenalkan kepada orang tuanya sebagai kekasih dan itupun sudah pernah Zaldy jelaskan pada Raka bahwa gadis itu tidak pernah mengakui siapapun yang dekat dengannya sebagai kekasihnya akan tetapi ia akan menjaga jarak dengan siapapun selama ia dekat dengan seseorang. Alasan lainnya yang Raka temukan dari sikap Tata itu tidak pernah ia mengerti, tapi baginya kebiasaan Tata yang dengan mudah melepaskan seseorang dan berpindah ke orang baru bukanlah sesuatu yang dapat ia terima sebagai hal yang wajar. Bagaimanapun hubungan antara seorang laki laki dan wanita diusia mereka bukanlah hubungan yang hanya cukup dengan bergandeng tangan sebagai wujud sebuah kedekatan apalagi di Ibu kota dan kalangan model yang Tata tekuni selama ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa menerima semua itu dan sangat terusik setiap kali Tata menjalin hubungan baru.
‘Jangan bersikap murah seperti piala bergilir memamerkan kemesraan luar biasa dihadapan umum. Itu bukan sesuatu yang membanggakan, tetapi memalukan bagaimanapun rupa cantik yang kamu miliki pada akhirnya akan tidak ada harganya jika sikapmu seperti itu’
Raka berdiri mematung melihat Tata yang terus membuang wajahnya tak ingin terlihat lemah dihadapan Raka. Bibirnya terkatup dan matanya memerah dengan sudut yang basah. Kata kata yang ia ucapkan pada sore itu secara jelas terus terngiang ditelinganya dan kini terdengar begitu kejam menyayat, ia benar benar tidak menduga kata sekejam itu pernah ia lontarkan tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
“Ta…..”
“Apa bedanya Mas Raka sama Tata?? Apakah sikap Tata itu terlalu murahan??”
Tata memotong apa yang hendak Raka katakana, gadis itu seakan tidak memberinya ruang membela diri
“Gue melakukannya hanya dihadapan keluarga dan orang yang gue kenal, tidak ditempat umum. Mas Raka, apa???”
“Gue….. itu Irene, Ta dan gue…..”
“Kenapa??? Kalau dia mbak Irena apakah itu berbeda? Karena Mas Raka hanya bersikap seperti itu sama mbak Irene dan itu membanggakan gitu??? Mas Raka pernah tahu nggak alasan kenapa gue putus dengan si A, si B dan mereka yang pernah dekat dengan Tata sebelum Hendra… nggak kan???”
“Tapi gue dan Irene nggak…..”
“Nggak mesra??? Bergelendotan di tempat umum dan dilihat oleh banyak mata asing yang tidak tahu hubungan kalian itu sah sah saja???. Lantas apa bedanya dengan gue??? Gue cuma memperlakukan mereka layaknya orang yang special buat gue… gue nggak ciuman sama mereka, gue nggak pamer kemesraan di depan public…. Mas Raka pernah dengar desas desus apa tentang gue sampai bisa mengatakan hal yang begitu buruknya. Gue kira Mas Raka adalah orang yang dewasa dan bisa melihat segala sesuatu dari sisi kedewasaan tanpa emosi… nyatanya semua hanya ilusi dari penampilan dewasa yang tertangkap mata. Mas Raka nggak mampu berkaca pada diri sendiri sebelum menilai orang lain”
“Ta…. Gue nggak bermaksud mengatakan hal itu sama lo”
“Nggak bermaksud??? Enteng banget Mas…. Apakah menjudge seseorang seperti itu adalah hal biasa buat Mas Raka…. Apakah mas Raka paham bagaimana rasanya sakit hati dinilai buruk seperti itu. Tata tahu dengan pasti kok kalau sikap Tata yang seenaknya dan dingin didunia kerja menjadi bahan taruhan, Tata sadar mereka bermain dengan Tata hanya untuk membuktikan bahwa mereka mampu mendobrak tembok pertahanan Tata. Pada akhirnya mereka sendirilah yang memilih menjauh karena garis itu terlalu kuat untuk mereka lewati. Mas Raka tahu nggak??!!”
Tata sedikit berteriak, kata kata penuh emosi yang sebelumnya ia sampaikan dengan ketengan kini sudah berubah meluap luap. Suaranya parau menahan isak dengan air mata yang terus berderai memborbardir Raka yang hanya terdiam mendengarkan apapun yang ia katakana. Emosi Tata tidak bisa lagi ia bending, tangisnya pecah. Apa yang sudah ia tahan begitu lama kini meluap tanpa ada rem yang menahannya. Tata menangis dalam emosi memburu nafasnya, Raka mendekati gadis itu dengan tatapan bersalahnya. Tangannya meraih tubuh mungil yang ada dihadapannya. Beberapa kali Tata menepis akan tetapi isak tangis yang penuh dengan emosi itu seakan telah menyedot habis kekuatannya sehingga tak mampu menjauhkan Raka yang kini erat mendekap tubuhnya. Raka menggigit kuat bibirnya merasakan setiap getir dari suara isakan Tata, rasa sesalnya tidak bisa ia lukiskan. Tubuh yang ada didekapannya kini membuatnya merasa gagal menjadi sosok sempurna yang patut dibanggakan dan dikagumi seperti yang selama ini ia yakini. Matanya terpejam mendekap erat Tata yang meluapkan sesak yang menghimpit dadanya selama ini
I’m sorry if I too rude… I just can’t tell it sofly but I never mean to hurt you like this. I’m so sorry’
Penyesalan Raka tak sanggup ia ucapkan, ia hanya membiarkan Tata terus meluapkan emosi yang tumpah dalam isak tangis membasahi dadanya. Ia memahami arti rasa kecewa yang Tata rasakan dan membiarkan gadis itu perlahan tenang, Raka mengecup lembut ujung kepala Tata dengan penuh penyesalan
“Maaf… maafkan gue Ta. Maaf ya”
Tata hanya diam tanpa berucap dan tak bersedia menatap Raka walaupun tangan Raka yang menghapus air matanya mencoba mengarahkan pandangan itu kepadanya.
“Maafkan gue, gue terlalu naïf menilai lo seperti itu.. gue paham jika lo marah atau mungkin tak bisa memaafkan gue. Gue nggak akan membela diri karena gue tahu gue memang salah… maafkan gue ya…. I’m so sorry Ta”
Raka menyodorkan segelas air putih yang ada di meja dekat ranjang Tata berharap gadis itu akan lebih tenang lagi… sekali lagi ia mendekap kepala Tata dalam pelukannya dan mengecup pucuk kepala Tata lalu membiarkan gadis itu memenangkan diri dan emosinya.. ia meninggalkan Tata terbaring dengan mata basah. Tata merasakan batu besar yang ada di dalam dadanya lenyap tanpa sisa, luapan emosi yang ia tumpahkan serasa menyapu bersih segala yang menghimpit dalam hatinya selama ia bertahan dalam sikap diam selama ini. Ia menatap punggung Raka yang perlahan menjauh darinya, segala perlakuan Raka padanya sudah bukan hal yang ia pikirkan… yang ada dikepalanya kini cuma satu…. Lega. Namun hatinya terus berbisik seakan belum bisa memaafkan Raka sepenuhnya
‘I don’t want to forgive you, but I can’t push you to away from me becauce I don’t want to. But…. You so bad to me. Ah Wake me up God’
Tata memejamkan matanya dalam linangan airmata yang ia tidak mengerti lagi artinya, yang ia pahami kini adalah bahwa ia sudah kehilangan alasan untuk sekali lagi marah pada Raka. Apakah ia mampu berdamai dengan Raka?? Tata tidak bisa menjawab itu.. langkah gontai Raka saat meninggalkannya tadi cukup jelas memberikan jawaban bahwa Raka cukup terpukul mengetahui alasan diam yang ia lakukan.

 Dont Miss It:
PLAY GIRL JATUH CINTA : Siluet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar