Part
14
Bagas
memarkirkan mobilnya dipelataran rumah.. ya Bagas membawa Tama pulang ke
rumahnya, ia meminta pembantunya menyiapkan makan siang untuknya juga untuk
Tama. Memasuki ruang keluarga, Tama merebahkan dirinya diatas Sofa Beds yang berada di sana dan
menghidupkan tivi dihadapannya selayaknya tengah berada di dalam rumahnya
sendiri, sedangkan Bagas langsung
masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian Bagas sudah
kembali muncul di ruang keluarga dengan pakaian santai ciri khasnya.. kaos
oblong dan celana pant.. kali ini pant pendek warna cream gelap menjadi
pilihannya. Bagas melemparkan satu kaleng soft drink ke arah Tama. Tidak ada kecanggungan diantara keduanya, yang
terlihat kini bukanlah pemandangan antara dokter dan jasa konsultan pembangunan
seperti yang nampak selama mereka berada di Waluyo ataupun Medika, melainkan
hubungan layaknya dua saudara yang tengah bercengkrama setelah lama tidak
bertemu. Ya persahabatan keduanya yang terjalin tanpa kesengajaan
mempunyai dua sisi yang akan membuat orang benar benar tidak bisa mengerti. Dua
sisi yang sungguh jauh berbeda
“Kamu
masih memilih betah disini di temani Mbok Darsih Ray… ckckckck benar benar anak
yang tidak berbakti” Tama cuek mengkritik Bagas masih dalam posisinya di atas sofa mengalahkan sang tuan rumah yang memilih
merebahkan diri di atas karpet tebal sambil memeluk bantal asyik membolak
balikkan halaman majalah
“Hust
ngawur kamu… aku masih anak yang sangat taat pada perintah orang tua Tam”
“Hahahaha
taat apanya kalau selalu kabur dari bayangannya sendiri. Ngomong ngomong tumben
kamu ke Waluyo?”
“Kalau
aku sampai melangkahkan kaki masuk Waluyo itu artinya ada yang sangat penting
yang harus aku pastikan sendiri… hhhmmm dan itu yang akan aku bagikan padamu
hari ini”
“Dibagi????”
Tama mengerutkan dahinya merasa bingung dengan kata dibagikan dengannya, apa
yang hendak dibagi Bagas dengannya, Pria itu menerka nerka
“Tapi
kamu keluar Waluyo dengan wajah sumrigah, terus apa yang akan kamu bagikan??
Ada proyek lagikah yang akan kamu sodorkan padaku?”
“Dasar
mata duitan, proyek aja yang ada dalam pikiranmu itu Tam. Apa kalau kita ketemu
tidak ada bahasan lain selain bagungan …..” Bagas menutup majalah yang ada di
hadapannya dan membenani posisinya untuk duduk menghadap pada Tama
“hmmm....benar benar ajaib ini
orang” Bagas menenggak minumannya lalu melemparkan bantal yang menjadi tumpuannya pada
Tama yang sedang menikmati damainya semilir angin yang masuk dalam ruangan sambil
memejamkan matanya cuek
“Ough….
Santai Bro”
“Bisa
ya kamu benar benar jadi orang lain saat berada di luar jika ketemu sama aku…
sok polos berlagak nggak pernah kenal… ckckckck ajaib”
“lah…
aku kan menjaga wibawa kamu Ray.. masa iya aku diluar ngobrol sama kamu dengan
bahasa seperti ini. Apa kata dunia jika….”
“Makanan
sudah siap Mas….” Tiba tiba Mbok Darsih memasuki ruang keluarga untuk
memberitahukan pada Bagas jika apa yang diperintahkan padanya sudah terlaksana
dengan baik dan kini makanan sudah menanti mereka di ruang makan.
“Yuk
ah makan dulu, kebanyakan ngoceh ntar kamu makin ajaib Tam”
“hahahahahahaaa”
Tama tertawa renyah tanpa beban dan melangkah mengikuti langkah kaki Bagas
menuju ruang makan walaupun pikirannya mulai penasaran akan cerita yang masih
Bagas gantungkan
“ckckckck
kamu bener benar mencintai designku ya Ray, sedikitpun tak ada yang berubah”
Tama mengamati setiap sudut ruangan yang ia lewati, sudah lama memang ia tidak
main ke rumah Bagas dan keduanya hanya bertemu di Medika ataupun di Café jika
ada yang ingin dibicarakan. Bagas mengangkat bahu dan alisnya mendengar
pertanyaan Tama sambil terus mengambil makanan dalam piringnya
“Mbok…
siapa gadis yang sudah dibawa dr. Raihan kesini?” Tama melemparkan
pertanyaannya beralih pada Mbok Darsih yang sibuk membersihkan sisa pekerjaannya
di dapur yang berada tepat di depan ruang makan
“Jangan
bilang cuma dr. Anggia yang memasuki rumah ini… atau……. Devina???!!”
Tama melongok melihat kearah Bagas saat menyebut nama
Devina, Bagas masih konsisten acuh tak acuh dengan segala hal yang Tama bicarakan.
Mbok Darsih tersenyum menatap Bagas yang cuek dan
terus melahap makanannya tanpa memperdulikan apapun yang Tama ributkan
“Tanya
sama Mas Bagas saja Mas Tama… si MBok mah taunya memang cuma neng Anggi yang
datang kemari selain Mbak Christine” jawab Mbok Darsih yang disambut dengan
suara tawa Tama menggoda Bagas
“Makan
dulu jangan ngoceh saja.. kamu akan semakin gila kalau perutmu itu belum penuh”
Bagas yang terganggu dengan suara tawa Tama bersuara kesal
“Rugi
banget aku Ray… mikir keras untuk mewujudkan konsep rumah yang kamu inginkan
ternyata masih sama setelah sekian tahun berlalu penghuninya tidak berkembang.
Masa Anggia dan mbak Christine doang yang main kesini…kapan juniormu lahir
kalau cuma mereka yang datang …hahahahahah”
“Tenang
saja, nggak lama lagi
akan ada
wajah baru yang bakal setiap saat main ke rumah ini dan mungkin barangkali akan
segera jadi nyonya rumah ini”
Tanpa beban kalimat itu meluncur mulus dari mulut Bagas
dengan wajah yang sumringah dan makanan masih ada
dalam mulutnya menari nari.
Deg… Tama nyaris menyemburkan makanan yang ada di
dalam mulutnya mendengarkan apa yang Bagas ucapkan dengan penuh keyakinan,
begitupun dengan Mbok Darsih. Pembantu rumah tangga yang sudah berusia sepuh itu
kaget sekaligus sumringah mendengar sang majikan akhirnya memiliki niatan untuk
menikah, tapi siapa gadis itu?? Tama dan mbok Darsih tidak
memiliki gambaran akan gadis yang dimaksud oleh Bagas
“Siapa??
Devina???”
“Dalam
otakmu itu cuma ada nama Devina ya??, kalau itu Devina maka aku nggak perlu
lagi menceritakan apapun padamu”
Tama
menebak dengan semangat dan rasa penasaran, jauh dalam hatinya ia sedikit
hawatir dengan kebenaran yang akan ia dapatkan setelah jawaban yang diberikan
oleh Bagas. Bagas tersenyum dengan mata berbinar dan menggeleng penuh
keyakinan… Tama menyamber gelas minuman
yang ada dihadapannya, seketika bayangan Indira memasuki ruang pikirannya,
pertemuan kala itu dengan Tama dan Indira sepertinya bukanlah hal yang
kebetulan. Tenggorokan yang sedari tadi terasa normal mendadak kering dan
terasa sakit saat menelan...
Tama grogi...
“Jangan
bilang dia adalah…..”
“Your
Right…. Indira. dr. Indira Larasati”
“What????
Tama yang spontan menyemburkan
apa yang ada didalam mulutnya membuat Bagas mengeryitkan alisnya sedikit heran
dengan reaksi berlebihan yang telah Tama berikan. Dia merasa Tama sudah pernah
mendengar ceritanya tentang kencan buta dan juga pertemuan mereka saat bersama
Indira seharusnya dapat mengurangi rasa kaget Tama. Selain itu tidak ada yang
salah dengan Indira sehingga ia harus bereaksi begitu kaget. Indira bukanlah
mantan pacar Bagas ataupun seseorang yang memiliki cerita aneh dan harus
menjadi orang yang harus di hindari.
Tama
mengusap mulutnya yang belepotan oleh makanan dan air yang ia semburkan, ia
sedikit kikuk setelah apa yang ia lakukan, Bagas hanya diam memperhatikan
begitupun dengan mbok Darsih. Tama gerak geriknya di awasi ‘tenang Tam, tenang… mungkin pikiranmu salah’ jerit suara hatinya
mengutuk setiap gerak badannya yang seakan semakin serba salah dihadapan dua
pasang mata di ruangan itu.
“Kamu
tahu kan dia dokter yang ada di Waluyo?” suaranya kemudian mencoba mencari
pembenaran atas reaksinya, status yang selama ini Bagas tutupi dari setiap
dokter di Waluyo dan siapapun tentang apa kedudukannya di Waluyo di jadikan
Tama sebagai alasan untuk mengorek kebenaran yang sesungguhnya
“Lantas
kenapa jika dia dokter disana?” Bagas bereaksi santai
“Yakin
kamu dengan itu, Ray?”
“Itulah
yang ingin aku diskusikan denganmu”
Tama
menegakkan duduknya mencoba untuk bersikap serius menanggapi apa yang akan
Bagas ceritakan, ia merasa apa yang akan Bagas ceritakan akan mempengaruhi
sikapnya pada Indira dikemudian hari. Tama memang menyadari dengan sepenuhnya
bahwa apa yang ia lakukan tidak ada sisi kebenarannya sedikitpun. Sekeras
apapun dia mencoba mengembalikan kesadarannya akan hal itu tapi hatinya selalu
menolak. Logika dan hatinya tidak dapat ia kendalikan lagi, sesaat ia mungkin
merasa bersalah dan berdosa pada Sekar ataupun Syifa akan tetapi saat melihat
Indira ataupun hanya mengingat Indira yang kini berada dalam jangkauannya maka
segala logika itu seakan sirna tanpa ia tahu kemana perginya, yang ia tahu
inilah kesempatan yang ia miliki untuk menebus dosa pada Indira.
“Sebenarnya
aku sudah hampir menyerah pada Indira.. awal pertemuan ini adalah ulah Anggia,
tapi seiring berjalannya waktu yang dibarengi usahaku untuk mendekatinya
akhirnya kami lumayan dekat. Kedekatan itu pada awalnya nyaris gagal bahkan
sebelum dimulai karena Indira yang terjebak pada luka masa lalunya. Dengan
segala kemampuan yang aku miliki aku yakinkan dia agar bisa percaya padaku dan
berhasil”
Bagas
menghentikan ceritanya, ia terdiam bayangan masa indah yang ia lewati dengan
tawa bersama Indira seakan kini ada dipelupuk matanya…
“Lalu???”
tanya Tama yang masih menunggu kelanjutan cerita Bagas dengan perasaan yang
mulai tidak menentu, kata kata Bagas bahwa Indira masih terjebak pada masa
lalunya yang ia ketahui dengan sangat benar itu adalah dirinya
“ya,
dia sempat menghindariku, tapi itu awalnya saja. Akhirnya kami dekat tanpa ada
status yang jelas, aku mengatasnamakan persahabatan untuk tetap bisa
mendekatinya sampai akhirnya dia membuka masa lalunya padaku. Masa lalu yang
membuatnya tidak bisa membuka diri pada orang lain… aku sempat merasa kasihan
padanya tapi itu juga membuatku merasa harus meraih tangan gadis itu. Tembok
pertahanannya akhirnya dapat aku tembus bahkan dia juga sempat menerima
penghinaan dari Devina. Tapi semua berantakan saat dia melihatku di ruang rapat
direksi Waluyo”
“Rapat
Direksi?” Tama ikut terkejut dengan pernyataan Bagas tentang keberadaan di
rapat direksi Rumah Sakit Waluyo
“Ya,
aku memutuskan untuk ambil bagian disana setelah mempertimbangkan banyak hal.
Akan tetapi keputusan itu membuat aku jatuh kembali ke titik nol”
Tama
semakin merasakan ada yang tidak beres dengan Bagas, Indira telah menceritakan
masa lalunya yang artinya siapa dirinya dimata Tama saat ini masih seperti
kabut pekat yang tak dapat ia tebak apa yang ada didalamnya. Tama ragu untuk
menanyakan apapun lagi, ia takut bahwa apa yang akan ia ucapkan hanya akan
memperkeruh keadaan
“Tapi
hari ini aku mendapatkan jawaban atas semua perubahan sikapnya”
“Maksudmu??”
“Sekarang
aku yakin Indira juga menaruh perasaan padaku, dia sudah lepas dari masa
lalunya tanpa ia sadari”
‘lepas??... Indira
sudah lepas?apakah saat ini Bagas hanya ingin memberitahuku tentang itu, apakah
dia sebenarnya tahu siapa masa lalu Indira’
“Kamu
yakin Ray? Apa kamu benar benar bisa memastikan bahwa dia sudah lepas dari rasa
sakitnya”
“Tentu
saja Tam, hanya saja dia tidak menyadari itu. Hari ini sebenarnya aku berniat
untuk memberikan penjelasan tentang siapa aku dan apa alasan yang membuat aku
melakukan itu. Dia sih mengatakan bahwa dia sudah mengerti dan tidak
mempersoalkan apapun alasan yang membuat aku menutupi identitasku, dia
mengatakan pasti alasan itu cukup kuat sehingga aku melakukan itu padanya.
Diluar dugaan aku justru mendapatkan kejutan darinya, dia ingin meraih bintang
yang ia anggap dapat memberikan penerangan dalam kegelapannya....”
Tama
melongo… dia tidak menyangka Bagas akan bertingkah lebay saat ia jatuh cinta…
pria itu memberikan sentyum kecutnya merasa geli dengan kata kata hiperbol yang
keluar dari dokter tampan yang ia kenal sebagai pribadi cool itu
“Biasa
sajalah Tam, nggak perlu mencibir seperti itu…
tapi sebenarnya yang aku butuhkan darimu adalah sebuah saran bukan hanya
mendengarkan seperti ini”
“oh?”
“Ya…
menurutmu apa yang harus aku lakukan padanya?.....
Ok..
dia memang sempat marah karena merasa telah dibohongi tapi diluar semua itu dia
saat ini tengah dilema antara melepaskan uluran tanganku ataukan terus
menggenggamku”
“Menurut
ceritamu, dia pribadi yang susah untuk ditaklukan. Jika memang…..”
“Sebentar…
apa aku harus mencari si Prasta dulu untuk meyakinkan dia agar tidak lagi
menjadi bayangan langkah Indira?”
“Prasta?”
“Ya…
masa lalunya itu bernama Prasta dan saat ini tanpa diduga muncul kembali
dihadapan Indira tanpa bisa dihindari lagi. Indira ingin menolak tapi tidak
bisa dia lakukan karena tidak ingin mengecewakan dan juga ia takut kalau
sikapnya ini akan membuat Prasta merasa memiliki peluang”
Tama
tertegun beberapa saat sementara Bagas yang sedang bersemangat masih tampak
memikirkan langkah untuk menyambut kembali sebuah mimpi yang seakan tengah
berjalan kearahnya…
“Bersikaplah
seperti lelaki Ray…. Jangan terlalu masuk dalam urusan pribadinya kala ia belum
memberikanmu ijin jika kamu tidak ingin kehilangan dia lagi”
“Maksudmu?”
“Kamu
memiliki otak yang lebih pintar dariku, pastinya kamu mengerti apa yang aku
maksudku tanpa perlu aku perjelas lagi”
***
Ponsel
itu terus ditatap oleh Sekar, jam pelajaran sudah usai dan para siswa telah
meninggalkan kelasnya sesaat setelah bel dibunyikan. Sekar belum juga beranjak
dari kursinya, pikirannya melayang layang tak tentu arah. Ketakutan yang ia
coba redam selama ini akhirnya tak dapat ia kendalikan lagi.
“kamu menginginkan aku
berbuat apa?, Tama memang sahabatku dan Indira juga. Saat ini aku jauh lebih
bingung dari pada kamu, Sekar”
“Lalu apakah kamu akan
membiarkan aku menanggung dosa sendirian, apakah kamu lebih senang melihat aku
hancur tanpa masa depan?”
“Dari awal, bukankah
Tama sudah mengatakan padamu kalau dia memiliki seseorang yang ia sayangi. Dia
berpacaran denganmu dan kamu tidak berkeberatan saat dia mengatakan bahwa dia
mencintai gadis lain, gadis yang mendiami sisi hatinya jauh lebih lama sebelum
kamu masuk dalam kehidupannya”
“Tapi Ren…. Dia
memiliki masa depan yang sangat cerah bahkan saat dia harus kehilangan Tama
sekalipun. Sementara aku??? Lihat aku, Rendy. Jika Tama pergi dariku apa lagi
yang bisa aku banggakan. Nothing”
“Huft… kenapa kalian
menyeretku dalam pusara tak bermuara seperti ini? Selama ini kalian memaksa aku
untuk menjadi seorang penghianat dan sekarang kalian memaksa aku untuk menjadi
seorang algojo. Hah… kalian benar benar gila”
“Ren… aku mohon, hanya
kamu yang bisa meyakinkan Tama. Nasibku ada di tanganmu, Ren… please bantu aku
sekali lagi, aku mohon”
“Kamu siap hidup dalam
penantian yang entah kapan akan berakhir?”
“maksudmu?”
“Tama mencintai Indira
jauh lebih dalam dari apa yang ia sadari, apa kamu siap menunggu Tama bisa
melepaskan perasaan cinta itu sepenuhnya. Hidup dalam bayang bayang akan
membuat kamu semakin tersiksa, Sekar. Kamu sadar bahwa dirimu hanya pelampiasan
Tama saat Indira jauh darinya dan kamu sering menangis karena itu dihadapanku.
Sekarang kamu memaksa aku untuk membantumu agar bisa sepenuhnya hidup dengan
orang itu. Jika kamu siap, aku akan membantumu. Biarlah aku menanggung rasa
bersalahku pada Indira, tapi aku tidak bisa membutakan mata pada nasibmu”
“Aku tidak ada pilihan
lain Ren, hanya itu yang bisa aku ambil. Aku tidak ingin menjadi pendosa yang
terus diburu rasa bersalah seumur hidup saat memandangnya kelak. Aku tidak
pernah mengenal dan mengetahui Indira dengan pasti, setidaknya itu akan
membantu aku dari segala perasaan marah yang akan aku tanggung saat bayang
bayang itu mengikutiku. Aku siap bersaing dengan sesuatu yang tak pernah aku
ketahui. Tolong bantu aku, Ren”
Sekar
menarik nafas panjang, menghubungi Randy hanya akan menambah daftar panjang
hutang budinya pada sahabat suaminya itu, segala apa yang pernah Rendy ucapkan
di masa lalu seakan terus mengiang di telinganya seumpama sirine peringatan
bahaya. Apa yang ia takutkan selama bertahun tahun ini akhirnya masuk dalam
kehidupannya tanpa permisi. Bukan, bukan masa lalu itu yang masuk tanpa
permisi, melainkan dirinyalah yang tanpa ijin telah masuk dalam kehidupan masa
lalu itu dengan cara yang kejam.
“Ibu
Sekar, nggak pulang Bu”
Sekar
tak bergeming, suara rekan kerjanya seolah menjadi udara yang lewat tanpa rupa.
Ia tenggelam dalam pikiran kalutnya
dan tetap memandang ponsel yang ada ditanggannya.
‘Tok tok tok’
Ketukan
pintu kelas membuat Sekar tersadar….
“Ya?”
“Bu
Sekar nggak pulang, apa ada jam pelajaran tambahan?”
“Oh…
nggak Bu, sebentar lagi saya juga akan pulang. Ibu duluan saja”
Sekar
menarik lengan panjangnya sekedar ingin mengetahui waktu yang ia lewatkan dalam
pergulatan pikiran siang itu
“Astaga….
Kenapa aku menjadi begitu kacau. Huft”
Sekar
sekali lagi menghembuskan nafas panjangnya, ia menyadari bahwa ponsel yang ia
pegang selama beberapa menit terbengong dalam ruang kelas juga menampilkan jam
di layar utamanya, ia merasa sangat bodoh.
---
Ini
adalah akhir pekan, seharusnya hari ini adalah hari dimana suaminya kembali
pulang dari kota dimana ia berdomolisi karena pekerjaan, tapi suaminya sudah
pulang beberapa hari yang lalu
“Bunda…
Papa nggak pulang lagi?”
“Kan
Papa baru pulang kemarin,
Syifa harus menghitung hari lagi sampai Papa
pulang”
“Kapan
Bun?”
“Kalau
Syifa hitungnya mulai besok, berari di kalender itu butuh 5 lingkaran lagi. Papa akan pulang di
lingkarang yang ke enam”
“Hmmmm
Papa gitu! Syifa dilupakan
terus…. Tapi Bun, saat Papa
nanti pulang, Papa
akan membawa Hadiah kan buat Syifa?”
“Pasti….
Sekarang, Syifa masuk gih…”
“Bunda
telepon Papa dulu dong, Syifa mau
mengingatkan Papa untuk
bawa hadiah”
Syifa
menunjuk pada ponsel yang ada dalam genggaman Sekar, gadis kecil itu memasang
wajah memelasnya untuk meminta sang bunda menghubungi papanya. Sekar tersenyum
mengusap lembut pipi
Syifa…
‘Seandainya Bunda bisa
membawa Papamu
saat ini, pasti bunda akan lakukan sayang’
Batinnya
berharap…
“Papa lagi sibuk, Sayang…
nanti Bunda pasti hubungi Papa
ya…. Sekarang Syifa main dulu, Bunda masih ada pekerjaan….”
Gadis kecil itu mengangguk dan mengikuti perintah
Bundanya untuk meninggalkan sang bunda di ruang kerjanya bersama tumpukan buku
buku yang ia tidak mengerti.
‘Huft seberat
inikah yang harus aku hadapi kini, seperti inikah pergulatan batin yang dialami
Indira waktu itu antara kekewaan dan persahabatan.. betapa kejamnya aku sebagai
sesama wanita, inikah hukuman dariMu ya Rabb’
Sekar kembali tertegun mengingat setiap kalimat yang
suaminya ucapkan tentang Indira, dia mulai memahami setiap maksud yang suaminya
sampaikan pada waktu itu dan konsekwensi atas keputusannya waktu itu mulai ia
rasakan kini.
‘ini yang kamu
inginkan dari hubungan kita selama ini, bahkan aku sangat terbuai mengikuti
setiap alur yang kau ciptakan sehingga tanpa menyadari semua telah terjadi. Aku
pun tidak ada alasan lain selain melepas semua janji yang aku pegang selama
ini... janji yang yang munkin telah aku lupakan sejak kamu memasuki
kehidupanku’
‘aku tidak
akan menuntut hal yang lebih dari ini lagi Tama, aku hanya tidak ingin semua
yang sudah kita lakukan atas kesalahan ini berakibat lebih memalukan nantinya’
‘aku paham apa
yang kamu maksudkan Sekar, akupun tidak akan memilih jalan yang akan membuat
aku akan dikejar dosa selama hidupku’
‘jika kamu
mengijinkan, biar aku yang bicara dengan Indira dan meminta maaf padanya atas
nama dirimu juga diriku tentunya. Paling tidak keadaan akan berbeda jika kami
bertemu karena kami sesama perempuan.. dia akan lebih memahami keadaannya’
‘Jangan
sekalipun kamu mendekati Indira, jangan mencoba untuk masuk dalam kehidupannya..
tak mengenalnyapun kamu sudah memberikan luka yang tidak pernah ia sangka dan
mungkin luka yang cukup dalam walau sekali sayatan... biarlah aku yang akan
mengurusnya sendiri. Sekali lagi jangan pernah mencoba mendekati Indira, apa
yang dia hadapi nantinya mungkin akan sangat sulit baginya untuk berdiri
dihadapanku juga Rendy’
‘tapi paling
tidak tolong beri tahu aku seperti apa dia, selama ini aku hanya mencoba untuk
menutup mata tentang dirinya’
‘tidak akan
pernah, Sekar.... dalam sekejap aku membuyarkan segala impiannya dan aku tidak
akan menambahkan garam dalam luka itu. Cukup dia tahu bahwa aku mengingkari
janjiku, tidak untuk melihat seperti apa kejamnya pengingkaran itu... yang
perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana kamu akan menghadapi orang tuamu
juga orang tuaku, itu saja. Selama aku masih kuat berdiri diatas kakiku, Indira
tidak akan pernah berdiri di hadapanmu’
Sekar menjatuhkan dirinya diatas meja, air mata tidak
lagi dapat ia bendung... Indira adalah momok dalam kehidupan yang selama ini ia
takutkan, setelah sekian tahun berlalu nama itu muncul dan sanggup membuat
suaminya bertingkah aneh. Pikiran Sekar tidak lagi mampu menebak apa yang sudah
terjadi pada suaminya saat mereka berada dalam satu kota. Bayangan akan yang ia
lakukan apa dimasa lalu untuk mendapatkan Tama mulai mengusik dalam tiap
kesempatan
‘Rendy... ya
kali ini tidak ada pilihan lagi buatku untuk menghindar, jika aku masih
sembunyi maka selamanya aku harus sembunyi dan ditempa rasa capek tanpa sebab
seperti ini, aku tidak boleh seperti ini... maafkan aku Mas’
***
‘Rendy, tolong
aku’
Rendy memandang Message
Text yang masuk dalam ponselnya, perasaannya mulai tidak enak. Setelah
berhasil memiliki Tama sebagai seorang suami, Sekar tidak pernah sekalipun
mengucapkan kata “tolong” padanya. Komunikasi yang terjalin antara mereka tidak
lebih dari komunikasi biasa tanpa pernah bernada serius. Dan saat ini pesan itu
sangat singkat namun cukup mampu membuat pikiran Rendy terpecah, dan semua
pikiran itu tak pernah menemukan muara lain selain Tama.
‘Ada apa?
Syifa sakit?’ balasnya singkat
mencoba berpikiran positif. Beberapa menit tidak ada jawaban dari Sekar. Rendy
terus berpikir tentang segala kemungkinan dari persoalan yang akan membuatnya
berada dalam situasi sulit, sekali lagi. Tampak pesan itu telah dibaca oleh
Sekar, tapi balasan tak kunjung ia dapatkan. Sekar, Tama dan Indira... entah
panggung kehidupan mana lagi yang mereka perankan kini, Rendy hanya bisa
menggeleng dan sabar menunggu.
Sementara itu Sekar yang mengalami perang batin antara
mengikuti apa kata suami dan mencoba berperang dengan caranya masih menatap dan
membaca balasan dari Rendy, ia ragu untuk meneruskan langkahnya melibatkan
Rendy dalam pusara masalah kehidupan yang ia alami
‘Andai ada
cara lain yang dapat aku tempuh, maka aku tidak akan melibatkan dirimu, Ren.
Tidak ada lagi yang bisa aku mintai pertolongan saat ini kecuali dirimu’ kesahnya dalam hati seiring hembusan nafas berat yang
keluar melegakan dadanya
“Maafkan aku, Ren... mungkin aku akan menempatkanmu pada
bibir jurang simalakama sekali lagi” ia bergumam sendiri sambil jarinya menari
lincah menuliskan pesan balasan untuk Rendy
‘Tolong kamu
jemput aku di stasiun akhir pekan ini, aku harus ketemu dengan Indira’
‘Indira... ada
apa lagi dan kenapa kamu harus menemui Indira?’
‘Aku nggak
akan menyakiti Indira, Ren. Aku hanya ingin mengenalnya tidak lebih’
‘Bagaimana
dengan Tama, bukankah dia selalu pulang akhir pekan’
‘Dia tidak
mengetahuinya, dia kemarin pulang diluar jadwal dan kemungkinan dia tidak akan
pulang dan tolong rahasiakan kedatanganku dari Mas Tama’
‘Sekar...
tolong jangan libatkan Indira dalam kehidupan kalian apapun alasanmu itu. Aku
bukan tidak ingin menolongmu, tapi aku tidak mau menambah beban hati Indira
jika dia harus melihatmu’
‘beban hati??
Dia juga menjadi beban hati dalam kehidupanku... setidaknya aku harus bicara
dengan dia untuk mengurangi segala beban yang menghimpit dada kami berdua. Aku
tahu jika saat ini Mas Tama mengetahui keberadaan Indira dan aku tidak ingin
dia ataupun Mas Tama melakukan kesalahan yang sama seperti yang sudah sudah
lakukan saat aku terjebak dalam tuntutan hati yang tidak pernah mengenal kata
sudah’
‘Indira bukan
pribadi seperti itu Sekar, percalah dia tidak akan mengganggu Tama sedikitpun.
Posisimu masih aman meskipun Tama mencoba sekuat tenaga Indira tidak akan
pernah goyah. Biarkan Indira dengan kehidupannya, dia sudah tenang dengan
kehidupannya dan mungkin segera akan menemukan senyum bahagia diujung
perjalanannya’
‘Maksudmu??
Dia akan menikah?’
‘Yang aku
ketahui dia berhubungan dengan rekan sejawatnya, sesama dokter. Dan aku harap
kamu tidak merusak itu semua dengan muncul dihadapannya. Tenangkan dirimu, Tama
masih milikmu sepenuhnya’
Ada kelegaan yang Sekar temukan dari komunikasi yang ia
lakukan dengan Rendy, dia tahu Rendylah satu satunya dermaga yang akan
memberikannya ketenangan saat dalam kekalutan karena hanya Rendy yang
mengetahui setiap sisi dalam kehidupan suaminya bahkan bayangannya dalam
persembunyianpun ia yakin Rendy mengetahuinya.
“Bunda, bagaimana... Papa akan pulang dengan kadonya
kan?”
Suara Syifa yang kembali masuk dalam ruang baca membuat
Sekar kaget, ia menaruh ponselnya lalu menghampiri putri kecilnya yang masih menunggu
jawaban. Sekar tersenyum dan memegang pundak sang putri sambil berlutut
dihadapannya agar bisa menatap mata bening gadis cilik itu
“Bagaimana kalau kita ambil kadonya kepada Papa... kita
kasih Papa kejutan. Syifa maukan kalau akhir pekan nanti kita ke tempat kerja
Papa?... ah bukan akhir pekan tapi
secepatnya!”
“Bunda serius?? Kita ke tempat Papa?? Ya.... Syifa mau
Bun... Syifa pingin pergi kesana”
Gadis itu memeluk sang Bunda dengan kegirangan, Sekar
menerima pelukan sang putri dengan hangat ‘Kita
akan selalu bahagia, sayang.... Bunda pastikan kamu akan selalu ceria apapun
itu caranya’ janji Sekar pada putrinya dalam hati
Huuft apapun itu Sekar telah mantap dengan langkahnya,
dia tidak perduli apa yang akan terjadi baik itu padanya ataupun Indira, yang
dia butuhkan hanyalah keyakinan hati yang akan ia dapatkan setelah ia mampu
menemui Indira dan berbicara dengan mantan pacar suaminya itu.
Don't Miss It :
Part 13 : HOLD MY HAND
Hotel Casino & RV Park, Harrah's Cherokee, NC - Mapyro
BalasHapusCompare reviews and find 구미 출장마사지 the 제주도 출장샵 best deal for the Hotel Casino & RV Park in Cherokee, NC. (360) 846-7777. 나주 출장샵 Open now. 부산광역 출장마사지 No 여수 출장마사지 ATM Fees.