Selasa, 19 Januari 2016

PART 14 : HOLD MY HAND




Part 14

Bagas memarkirkan mobilnya dipelataran rumah.. ya Bagas membawa Tama pulang ke rumahnya, ia meminta pembantunya menyiapkan makan siang untuknya juga untuk Tama. Memasuki ruang keluarga, Tama merebahkan dirinya diatas Sofa Beds yang berada di sana dan menghidupkan tivi dihadapannya selayaknya tengah berada di dalam rumahnya sendiri, sedangkan Bagas langsung masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian Bagas sudah kembali muncul di ruang keluarga dengan pakaian santai ciri khasnya.. kaos oblong dan celana pant.. kali ini pant pendek warna cream gelap menjadi pilihannya. Bagas melemparkan satu kaleng soft drink ke arah Tama. Tidak ada kecanggungan diantara keduanya, yang terlihat kini bukanlah pemandangan antara dokter dan jasa konsultan pembangunan seperti yang nampak selama mereka berada di Waluyo ataupun Medika, melainkan hubungan layaknya dua saudara yang tengah bercengkrama setelah lama tidak bertemu. Ya persahabatan keduanya yang terjalin tanpa kesengajaan mempunyai dua sisi yang akan membuat orang benar benar tidak bisa mengerti. Dua sisi yang sungguh jauh berbeda
“Kamu masih memilih betah disini di temani Mbok Darsih Ray… ckckckck benar benar anak yang tidak berbakti” Tama cuek mengkritik Bagas masih dalam posisinya di atas sofa mengalahkan sang tuan rumah yang memilih merebahkan diri di atas karpet tebal sambil memeluk bantal asyik membolak balikkan halaman majalah
“Hust ngawur kamu… aku masih anak yang sangat taat pada perintah orang tua Tam”
“Hahahaha taat apanya kalau selalu kabur dari bayangannya sendiri. Ngomong ngomong tumben kamu ke Waluyo?”
“Kalau aku sampai melangkahkan kaki masuk Waluyo itu artinya ada yang sangat penting yang harus aku pastikan sendiri… hhhmmm dan itu yang akan aku bagikan padamu hari ini”
“Dibagi????” Tama mengerutkan dahinya merasa bingung dengan kata dibagikan dengannya, apa yang hendak dibagi Bagas dengannya, Pria itu menerka nerka
“Tapi kamu keluar Waluyo dengan wajah sumrigah, terus apa yang akan kamu bagikan?? Ada proyek lagikah yang akan kamu sodorkan padaku?”
“Dasar mata duitan, proyek aja yang ada dalam pikiranmu itu Tam. Apa kalau kita ketemu tidak ada bahasan lain selain bagungan …..” Bagas menutup majalah yang ada di hadapannya dan membenani posisinya untuk duduk menghadap pada Tama
“hmmm....benar benar ajaib ini orang” Bagas menenggak minumannya lalu melemparkan bantal yang menjadi tumpuannya pada Tama yang sedang menikmati damainya semilir angin yang masuk dalam ruangan sambil memejamkan matanya cuek
“Ough…. Santai Bro”
“Bisa ya kamu benar benar jadi orang lain saat berada di luar jika ketemu sama aku… sok polos berlagak nggak pernah kenal… ckckckck ajaib”
“lah… aku kan menjaga wibawa kamu Ray.. masa iya aku diluar ngobrol sama kamu dengan bahasa seperti ini. Apa kata dunia jika….”
“Makanan sudah siap Mas….” Tiba tiba Mbok Darsih memasuki ruang keluarga untuk memberitahukan pada Bagas jika apa yang diperintahkan padanya sudah terlaksana dengan baik dan kini makanan sudah menanti mereka di ruang makan.
“Yuk ah makan dulu, kebanyakan ngoceh ntar kamu makin ajaib Tam”
“hahahahahahaaa” Tama tertawa renyah tanpa beban dan melangkah mengikuti langkah kaki Bagas menuju ruang makan walaupun pikirannya mulai penasaran akan cerita yang masih Bagas gantungkan
“ckckckck kamu bener benar mencintai designku ya Ray, sedikitpun tak ada yang berubah” Tama mengamati setiap sudut ruangan yang ia lewati, sudah lama memang ia tidak main ke rumah Bagas dan keduanya hanya bertemu di Medika ataupun di Café jika ada yang ingin dibicarakan. Bagas mengangkat bahu dan alisnya mendengar pertanyaan Tama sambil terus mengambil makanan dalam piringnya
“Mbok… siapa gadis yang sudah dibawa dr. Raihan kesini?” Tama melemparkan pertanyaannya beralih pada Mbok Darsih yang sibuk membersihkan sisa pekerjaannya di dapur yang berada tepat di depan ruang makan
“Jangan bilang cuma dr. Anggia yang memasuki rumah ini… atau……. Devina???!!
Tama melongok melihat kearah Bagas saat menyebut nama Devina, Bagas masih konsisten acuh tak acuh dengan segala hal yang Tama bicarakan. Mbok Darsih tersenyum menatap Bagas yang cuek dan terus melahap makanannya tanpa memperdulikan apapun yang Tama ributkan
“Tanya sama Mas Bagas saja Mas Tama… si MBok mah taunya memang cuma neng Anggi yang datang kemari selain Mbak Christine” jawab Mbok Darsih yang disambut dengan suara tawa Tama menggoda Bagas
“Makan dulu jangan ngoceh saja.. kamu akan semakin gila kalau perutmu itu belum penuh” Bagas yang terganggu dengan suara tawa Tama bersuara kesal
“Rugi banget aku Ray… mikir keras untuk mewujudkan konsep rumah yang kamu inginkan ternyata masih sama setelah sekian tahun berlalu penghuninya tidak berkembang. Masa Anggia dan mbak Christine doang yang main kesini…kapan juniormu lahir kalau cuma mereka yang datang …hahahahahah”
“Tenang saja, nggak lama lagi akan ada wajah baru yang bakal setiap saat main ke rumah ini dan mungkin barangkali akan segera jadi nyonya rumah ini”
Tanpa beban kalimat itu meluncur mulus dari mulut Bagas dengan wajah yang sumringah dan makanan masih ada dalam mulutnya menari nari.
Deg…  Tama nyaris menyemburkan makanan yang ada di dalam mulutnya mendengarkan apa yang Bagas ucapkan dengan penuh keyakinan, begitupun dengan Mbok Darsih. Pembantu rumah tangga yang sudah berusia sepuh itu kaget sekaligus sumringah mendengar sang majikan akhirnya memiliki niatan untuk menikah, tapi siapa gadis itu?? Tama dan mbok Darsih tidak memiliki gambaran akan gadis yang dimaksud oleh Bagas
“Siapa?? Devina???”
“Dalam otakmu itu cuma ada nama Devina ya??, kalau itu Devina maka aku nggak perlu lagi menceritakan apapun padamu”
Tama menebak dengan semangat dan rasa penasaran, jauh dalam hatinya ia sedikit hawatir dengan kebenaran yang akan ia dapatkan setelah jawaban yang diberikan oleh Bagas. Bagas tersenyum dengan mata berbinar dan menggeleng penuh keyakinan… Tama menyamber gelas minuman yang ada dihadapannya, seketika bayangan Indira memasuki ruang pikirannya, pertemuan kala itu dengan Tama dan Indira sepertinya bukanlah hal yang kebetulan. Tenggorokan yang sedari tadi terasa normal mendadak kering dan terasa sakit saat menelan... Tama grogi...
“Jangan bilang dia adalah…..”
“Your Right…. Indira. dr. Indira Larasati”
“What????
Tama yang spontan menyemburkan apa yang ada didalam mulutnya membuat Bagas mengeryitkan alisnya sedikit heran dengan reaksi berlebihan yang telah Tama berikan. Dia merasa Tama sudah pernah mendengar ceritanya tentang kencan buta dan juga pertemuan mereka saat bersama Indira seharusnya dapat mengurangi rasa kaget Tama. Selain itu tidak ada yang salah dengan Indira sehingga ia harus bereaksi begitu kaget. Indira bukanlah mantan pacar Bagas ataupun seseorang yang memiliki cerita aneh dan harus menjadi orang yang harus di hindari.
Tama mengusap mulutnya yang belepotan oleh makanan dan air yang ia semburkan, ia sedikit kikuk setelah apa yang ia lakukan, Bagas hanya diam memperhatikan begitupun dengan mbok Darsih. Tama gerak geriknya di awasi ‘tenang Tam, tenang… mungkin pikiranmu salah’ jerit suara hatinya mengutuk setiap gerak badannya yang seakan semakin serba salah dihadapan dua pasang mata di ruangan itu.
“Kamu tahu kan dia dokter yang ada di Waluyo?” suaranya kemudian mencoba mencari pembenaran atas reaksinya, status yang selama ini Bagas tutupi dari setiap dokter di Waluyo dan siapapun tentang apa kedudukannya di Waluyo di jadikan Tama sebagai alasan untuk mengorek kebenaran yang sesungguhnya
“Lantas kenapa jika dia dokter disana?” Bagas bereaksi santai
“Yakin kamu dengan itu, Ray?”
“Itulah yang ingin aku diskusikan denganmu”
Tama menegakkan duduknya mencoba untuk bersikap serius menanggapi apa yang akan Bagas ceritakan, ia merasa apa yang akan Bagas ceritakan akan mempengaruhi sikapnya pada Indira dikemudian hari. Tama memang menyadari dengan sepenuhnya bahwa apa yang ia lakukan tidak ada sisi kebenarannya sedikitpun. Sekeras apapun dia mencoba mengembalikan kesadarannya akan hal itu tapi hatinya selalu menolak. Logika dan hatinya tidak dapat ia kendalikan lagi, sesaat ia mungkin merasa bersalah dan berdosa pada Sekar ataupun Syifa akan tetapi saat melihat Indira ataupun hanya mengingat Indira yang kini berada dalam jangkauannya maka segala logika itu seakan sirna tanpa ia tahu kemana perginya, yang ia tahu inilah kesempatan yang ia miliki untuk menebus dosa pada Indira.
“Sebenarnya aku sudah hampir menyerah pada Indira.. awal pertemuan ini adalah ulah Anggia, tapi seiring berjalannya waktu yang dibarengi usahaku untuk mendekatinya akhirnya kami lumayan dekat. Kedekatan itu pada awalnya nyaris gagal bahkan sebelum dimulai karena Indira yang terjebak pada luka masa lalunya. Dengan segala kemampuan yang aku miliki aku yakinkan dia agar bisa percaya padaku dan berhasil”
Bagas menghentikan ceritanya, ia terdiam bayangan masa indah yang ia lewati dengan tawa bersama Indira seakan kini ada dipelupuk matanya…
“Lalu???” tanya Tama yang masih menunggu kelanjutan cerita Bagas dengan perasaan yang mulai tidak menentu, kata kata Bagas bahwa Indira masih terjebak pada masa lalunya yang ia ketahui dengan sangat benar itu adalah dirinya
“ya, dia sempat menghindariku, tapi itu awalnya saja. Akhirnya kami dekat tanpa ada status yang jelas, aku mengatasnamakan persahabatan untuk tetap bisa mendekatinya sampai akhirnya dia membuka masa lalunya padaku. Masa lalu yang membuatnya tidak bisa membuka diri pada orang lain… aku sempat merasa kasihan padanya tapi itu juga membuatku merasa harus meraih tangan gadis itu. Tembok pertahanannya akhirnya dapat aku tembus bahkan dia juga sempat menerima penghinaan dari Devina. Tapi semua berantakan saat dia melihatku di ruang rapat direksi Waluyo”
“Rapat Direksi?” Tama ikut terkejut dengan pernyataan Bagas tentang keberadaan di rapat direksi Rumah Sakit Waluyo
“Ya, aku memutuskan untuk ambil bagian disana setelah mempertimbangkan banyak hal. Akan tetapi keputusan itu membuat aku jatuh kembali ke titik nol”
Tama semakin merasakan ada yang tidak beres dengan Bagas, Indira telah menceritakan masa lalunya yang artinya siapa dirinya dimata Tama saat ini masih seperti kabut pekat yang tak dapat ia tebak apa yang ada didalamnya. Tama ragu untuk menanyakan apapun lagi, ia takut bahwa apa yang akan ia ucapkan hanya akan memperkeruh keadaan
“Tapi hari ini aku mendapatkan jawaban atas semua perubahan sikapnya”
“Maksudmu??”
“Sekarang aku yakin Indira juga menaruh perasaan padaku, dia sudah lepas dari masa lalunya tanpa ia sadari”
‘lepas??... Indira sudah lepas?apakah saat ini Bagas hanya ingin memberitahuku tentang itu, apakah dia sebenarnya tahu siapa masa lalu Indira’
“Kamu yakin Ray? Apa kamu benar benar bisa memastikan bahwa dia sudah lepas dari rasa sakitnya”
“Tentu saja Tam, hanya saja dia tidak menyadari itu. Hari ini sebenarnya aku berniat untuk memberikan penjelasan tentang siapa aku dan apa alasan yang membuat aku melakukan itu. Dia sih mengatakan bahwa dia sudah mengerti dan tidak mempersoalkan apapun alasan yang membuat aku menutupi identitasku, dia mengatakan pasti alasan itu cukup kuat sehingga aku melakukan itu padanya. Diluar dugaan aku justru mendapatkan kejutan darinya, dia ingin meraih bintang yang ia anggap dapat memberikan penerangan dalam kegelapannya....”
Tama melongo… dia tidak menyangka Bagas akan bertingkah lebay saat ia jatuh cinta… pria itu memberikan sentyum kecutnya merasa geli dengan kata kata hiperbol yang keluar dari dokter tampan yang ia kenal sebagai pribadi cool itu
“Biasa sajalah Tam, nggak perlu mencibir seperti itu…  tapi sebenarnya yang aku butuhkan darimu adalah sebuah saran bukan hanya mendengarkan seperti ini”
“oh?”
“Ya… menurutmu apa yang harus aku lakukan padanya?.....
Ok.. dia memang sempat marah karena merasa telah dibohongi tapi diluar semua itu dia saat ini tengah dilema antara melepaskan uluran tanganku ataukan terus menggenggamku”
“Menurut ceritamu, dia pribadi yang susah untuk ditaklukan. Jika memang…..”
“Sebentar… apa aku harus mencari si Prasta dulu untuk meyakinkan dia agar tidak lagi menjadi bayangan langkah Indira?”
“Prasta?”
“Ya… masa lalunya itu bernama Prasta dan saat ini tanpa diduga muncul kembali dihadapan Indira tanpa bisa dihindari lagi. Indira ingin menolak tapi tidak bisa dia lakukan karena tidak ingin mengecewakan dan juga ia takut kalau sikapnya ini akan membuat Prasta merasa memiliki peluang”
Tama tertegun beberapa saat sementara Bagas yang sedang bersemangat masih tampak memikirkan langkah untuk menyambut kembali sebuah mimpi yang seakan tengah berjalan kearahnya…
“Bersikaplah seperti lelaki Ray…. Jangan terlalu masuk dalam urusan pribadinya kala ia belum memberikanmu ijin jika kamu tidak ingin kehilangan dia lagi”
“Maksudmu?”
“Kamu memiliki otak yang lebih pintar dariku, pastinya kamu mengerti apa yang aku maksudku tanpa perlu aku perjelas lagi”
***

Ponsel itu terus ditatap oleh Sekar, jam pelajaran sudah usai dan para siswa telah meninggalkan kelasnya sesaat setelah bel dibunyikan. Sekar belum juga beranjak dari kursinya, pikirannya melayang layang tak tentu arah. Ketakutan yang ia coba redam selama ini akhirnya tak dapat ia kendalikan lagi.
“kamu menginginkan aku berbuat apa?, Tama memang sahabatku dan Indira juga. Saat ini aku jauh lebih bingung dari pada kamu, Sekar”
“Lalu apakah kamu akan membiarkan aku menanggung dosa sendirian, apakah kamu lebih senang melihat aku hancur tanpa masa depan?”
“Dari awal, bukankah Tama sudah mengatakan padamu kalau dia memiliki seseorang yang ia sayangi. Dia berpacaran denganmu dan kamu tidak berkeberatan saat dia mengatakan bahwa dia mencintai gadis lain, gadis yang mendiami sisi hatinya jauh lebih lama sebelum kamu masuk dalam kehidupannya”
“Tapi Ren…. Dia memiliki masa depan yang sangat cerah bahkan saat dia harus kehilangan Tama sekalipun. Sementara aku??? Lihat aku, Rendy. Jika Tama pergi dariku apa lagi yang bisa aku banggakan. Nothing”
“Huft… kenapa kalian menyeretku dalam pusara tak bermuara seperti ini? Selama ini kalian memaksa aku untuk menjadi seorang penghianat dan sekarang kalian memaksa aku untuk menjadi seorang algojo. Hah… kalian benar benar gila”
“Ren… aku mohon, hanya kamu yang bisa meyakinkan Tama. Nasibku ada di tanganmu, Ren… please bantu aku sekali lagi, aku mohon”
“Kamu siap hidup dalam penantian yang entah kapan akan berakhir?”
“maksudmu?”
“Tama mencintai Indira jauh lebih dalam dari apa yang ia sadari, apa kamu siap menunggu Tama bisa melepaskan perasaan cinta itu sepenuhnya. Hidup dalam bayang bayang akan membuat kamu semakin tersiksa, Sekar. Kamu sadar bahwa dirimu hanya pelampiasan Tama saat Indira jauh darinya dan kamu sering menangis karena itu dihadapanku. Sekarang kamu memaksa aku untuk membantumu agar bisa sepenuhnya hidup dengan orang itu. Jika kamu siap, aku akan membantumu. Biarlah aku menanggung rasa bersalahku pada Indira, tapi aku tidak bisa membutakan mata pada nasibmu”
“Aku tidak ada pilihan lain Ren, hanya itu yang bisa aku ambil. Aku tidak ingin menjadi pendosa yang terus diburu rasa bersalah seumur hidup saat memandangnya kelak. Aku tidak pernah mengenal dan mengetahui Indira dengan pasti, setidaknya itu akan membantu aku dari segala perasaan marah yang akan aku tanggung saat bayang bayang itu mengikutiku. Aku siap bersaing dengan sesuatu yang tak pernah aku ketahui. Tolong bantu aku, Ren”
Sekar menarik nafas panjang, menghubungi Randy hanya akan menambah daftar panjang hutang budinya pada sahabat suaminya itu, segala apa yang pernah Rendy ucapkan di masa lalu seakan terus mengiang di telinganya seumpama sirine peringatan bahaya. Apa yang ia takutkan selama bertahun tahun ini akhirnya masuk dalam kehidupannya tanpa permisi. Bukan, bukan masa lalu itu yang masuk tanpa permisi, melainkan dirinyalah yang tanpa ijin telah masuk dalam kehidupan masa lalu itu dengan cara yang kejam.
“Ibu Sekar, nggak pulang Bu” 
Sekar tak bergeming, suara rekan kerjanya seolah menjadi udara yang lewat tanpa rupa. Ia tenggelam dalam pikiran kalutnya dan tetap memandang ponsel yang ada ditanggannya.
‘Tok tok tok’
Ketukan pintu kelas membuat Sekar tersadar….
“Ya?”
“Bu Sekar nggak pulang, apa ada jam pelajaran tambahan?”
“Oh… nggak Bu, sebentar lagi saya juga akan pulang. Ibu duluan saja”
Sekar menarik lengan panjangnya sekedar ingin mengetahui waktu yang ia lewatkan dalam pergulatan pikiran siang itu
“Astaga…. Kenapa aku menjadi begitu kacau. Huft”
Sekar sekali lagi menghembuskan nafas panjangnya, ia menyadari bahwa ponsel yang ia pegang selama beberapa menit terbengong dalam ruang kelas juga menampilkan jam di layar utamanya, ia merasa sangat bodoh.
---
Ini adalah akhir pekan, seharusnya hari ini adalah hari dimana suaminya kembali pulang dari kota dimana ia berdomolisi karena pekerjaan, tapi suaminya sudah pulang beberapa hari yang lalu
“Bunda… Papa nggak pulang lagi?”
“Kan Papa baru pulang kemarin, Syifa harus menghitung hari lagi sampai Papa pulang”
“Kapan Bun?”
“Kalau Syifa hitungnya mulai besok, berari di kalender itu butuh 5 lingkaran lagi. Papa akan pulang di lingkarang yang ke enam”
“Hmmmm Papa gitu! Syifa dilupakan terus…. Tapi Bun, saat Papa nanti pulang, Papa akan membawa Hadiah kan buat Syifa?”
“Pasti…. Sekarang, Syifa masuk gih…”
“Bunda telepon Papa dulu dong, Syifa mau mengingatkan Papa untuk bawa hadiah”
Syifa menunjuk pada ponsel yang ada dalam genggaman Sekar, gadis kecil itu memasang wajah memelasnya untuk meminta sang bunda menghubungi papanya. Sekar tersenyum mengusap lembut pipi Syifa…
‘Seandainya Bunda bisa membawa Papamu saat ini, pasti bunda akan lakukan sayang’
Batinnya berharap…
Papa lagi sibuk, Sayang… nanti Bunda pasti hubungi Papa ya…. Sekarang Syifa main dulu, Bunda masih ada pekerjaan….”
Gadis kecil itu mengangguk dan mengikuti perintah Bundanya untuk meninggalkan sang bunda di ruang kerjanya bersama tumpukan buku buku yang ia tidak mengerti.
‘Huft seberat inikah yang harus aku hadapi kini, seperti inikah pergulatan batin yang dialami Indira waktu itu antara kekewaan dan persahabatan.. betapa kejamnya aku sebagai sesama wanita, inikah hukuman dariMu ya Rabb’
Sekar kembali tertegun mengingat setiap kalimat yang suaminya ucapkan tentang Indira, dia mulai memahami setiap maksud yang suaminya sampaikan pada waktu itu dan konsekwensi atas keputusannya waktu itu mulai ia rasakan kini.
ini yang kamu inginkan dari hubungan kita selama ini, bahkan aku sangat terbuai mengikuti setiap alur yang kau ciptakan sehingga tanpa menyadari semua telah terjadi. Aku pun tidak ada alasan lain selain melepas semua janji yang aku pegang selama ini... janji yang yang munkin telah aku lupakan sejak kamu memasuki kehidupanku’
‘aku tidak akan menuntut hal yang lebih dari ini lagi Tama, aku hanya tidak ingin semua yang sudah kita lakukan atas kesalahan ini berakibat lebih memalukan nantinya’
‘aku paham apa yang kamu maksudkan Sekar, akupun tidak akan memilih jalan yang akan membuat aku akan dikejar dosa selama hidupku’
‘jika kamu mengijinkan, biar aku yang bicara dengan Indira dan meminta maaf padanya atas nama dirimu juga diriku tentunya. Paling tidak keadaan akan berbeda jika kami bertemu karena kami sesama perempuan.. dia akan lebih memahami keadaannya’
‘Jangan sekalipun kamu mendekati Indira, jangan mencoba untuk masuk dalam kehidupannya.. tak mengenalnyapun kamu sudah memberikan luka yang tidak pernah ia sangka dan mungkin luka yang cukup dalam walau sekali sayatan... biarlah aku yang akan mengurusnya sendiri. Sekali lagi jangan pernah mencoba mendekati Indira, apa yang dia hadapi nantinya mungkin akan sangat sulit baginya untuk berdiri dihadapanku juga Rendy’
‘tapi paling tidak tolong beri tahu aku seperti apa dia, selama ini aku hanya mencoba untuk menutup mata tentang dirinya’
‘tidak akan pernah, Sekar.... dalam sekejap aku membuyarkan segala impiannya dan aku tidak akan menambahkan garam dalam luka itu. Cukup dia tahu bahwa aku mengingkari janjiku, tidak untuk melihat seperti apa kejamnya pengingkaran itu... yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana kamu akan menghadapi orang tuamu juga orang tuaku, itu saja. Selama aku masih kuat berdiri diatas kakiku, Indira tidak akan pernah berdiri di hadapanmu’
Sekar menjatuhkan dirinya diatas meja, air mata tidak lagi dapat ia bendung... Indira adalah momok dalam kehidupan yang selama ini ia takutkan, setelah sekian tahun berlalu nama itu muncul dan sanggup membuat suaminya bertingkah aneh. Pikiran Sekar tidak lagi mampu menebak apa yang sudah terjadi pada suaminya saat mereka berada dalam satu kota. Bayangan akan yang ia lakukan apa dimasa lalu untuk mendapatkan Tama mulai mengusik dalam tiap kesempatan
‘Rendy... ya kali ini tidak ada pilihan lagi buatku untuk menghindar, jika aku masih sembunyi maka selamanya aku harus sembunyi dan ditempa rasa capek tanpa sebab seperti ini, aku tidak boleh seperti ini... maafkan aku Mas’
***
‘Rendy, tolong aku’
Rendy memandang Message Text yang masuk dalam ponselnya, perasaannya mulai tidak enak. Setelah berhasil memiliki Tama sebagai seorang suami, Sekar tidak pernah sekalipun mengucapkan kata “tolong” padanya. Komunikasi yang terjalin antara mereka tidak lebih dari komunikasi biasa tanpa pernah bernada serius. Dan saat ini pesan itu sangat singkat namun cukup mampu membuat pikiran Rendy terpecah, dan semua pikiran itu tak pernah menemukan muara lain selain Tama.
‘Ada apa? Syifa sakit?’ balasnya singkat mencoba berpikiran positif. Beberapa menit tidak ada jawaban dari Sekar. Rendy terus berpikir tentang segala kemungkinan dari persoalan yang akan membuatnya berada dalam situasi sulit, sekali lagi. Tampak pesan itu telah dibaca oleh Sekar, tapi balasan tak kunjung ia dapatkan. Sekar, Tama dan Indira... entah panggung kehidupan mana lagi yang mereka perankan kini, Rendy hanya bisa menggeleng dan sabar menunggu.
Sementara itu Sekar yang mengalami perang batin antara mengikuti apa kata suami dan mencoba berperang dengan caranya masih menatap dan membaca balasan dari Rendy, ia ragu untuk meneruskan langkahnya melibatkan Rendy dalam pusara masalah kehidupan yang ia alami
‘Andai ada cara lain yang dapat aku tempuh, maka aku tidak akan melibatkan dirimu, Ren. Tidak ada lagi yang bisa aku mintai pertolongan saat ini kecuali dirimu’ kesahnya dalam hati seiring hembusan nafas berat yang keluar melegakan dadanya
“Maafkan aku, Ren... mungkin aku akan menempatkanmu pada bibir jurang simalakama sekali lagi” ia bergumam sendiri sambil jarinya menari lincah menuliskan pesan balasan untuk Rendy
‘Tolong kamu jemput aku di stasiun akhir pekan ini, aku harus ketemu dengan Indira’
‘Indira... ada apa lagi dan kenapa kamu harus menemui Indira?’
‘Aku nggak akan menyakiti Indira, Ren. Aku hanya ingin mengenalnya tidak  lebih’
‘Bagaimana dengan Tama, bukankah dia selalu pulang akhir pekan’
‘Dia tidak mengetahuinya, dia kemarin pulang diluar jadwal dan kemungkinan dia tidak akan pulang dan tolong rahasiakan kedatanganku dari Mas Tama’
‘Sekar... tolong jangan libatkan Indira dalam kehidupan kalian apapun alasanmu itu. Aku bukan tidak ingin menolongmu, tapi aku tidak mau menambah beban hati Indira jika dia harus melihatmu’
‘beban hati?? Dia juga menjadi beban hati dalam kehidupanku... setidaknya aku harus bicara dengan dia untuk mengurangi segala beban yang menghimpit dada kami berdua. Aku tahu jika saat ini Mas Tama mengetahui keberadaan Indira dan aku tidak ingin dia ataupun Mas Tama melakukan kesalahan yang sama seperti yang sudah sudah lakukan saat aku terjebak dalam tuntutan hati yang tidak pernah mengenal kata sudah’
‘Indira bukan pribadi seperti itu Sekar, percalah dia tidak akan mengganggu Tama sedikitpun. Posisimu masih aman meskipun Tama mencoba sekuat tenaga Indira tidak akan pernah goyah. Biarkan Indira dengan kehidupannya, dia sudah tenang dengan kehidupannya dan mungkin segera akan menemukan senyum bahagia diujung perjalanannya’
‘Maksudmu?? Dia akan menikah?’
‘Yang aku ketahui dia berhubungan dengan rekan sejawatnya, sesama dokter. Dan aku harap kamu tidak merusak itu semua dengan muncul dihadapannya. Tenangkan dirimu, Tama masih milikmu sepenuhnya’
Ada kelegaan yang Sekar temukan dari komunikasi yang ia lakukan dengan Rendy, dia tahu Rendylah satu satunya dermaga yang akan memberikannya ketenangan saat dalam kekalutan karena hanya Rendy yang mengetahui setiap sisi dalam kehidupan suaminya bahkan bayangannya dalam persembunyianpun ia yakin Rendy mengetahuinya.
“Bunda, bagaimana... Papa akan pulang dengan kadonya kan?”
Suara Syifa yang kembali masuk dalam ruang baca membuat Sekar kaget, ia menaruh ponselnya lalu menghampiri putri kecilnya yang masih menunggu jawaban. Sekar tersenyum dan memegang pundak sang putri sambil berlutut dihadapannya agar bisa menatap mata bening gadis cilik itu
“Bagaimana kalau kita ambil kadonya kepada Papa... kita kasih Papa kejutan. Syifa maukan kalau akhir pekan nanti kita ke tempat kerja Papa?... ah bukan akhir pekan tapi secepatnya!
“Bunda serius?? Kita ke tempat Papa?? Ya.... Syifa mau Bun... Syifa pingin pergi kesana”
Gadis itu memeluk sang Bunda dengan kegirangan, Sekar menerima pelukan sang putri dengan hangat ‘Kita akan selalu bahagia, sayang.... Bunda pastikan kamu akan selalu ceria apapun itu caranya’ janji Sekar pada putrinya dalam hati
Huuft apapun itu Sekar telah mantap dengan langkahnya, dia tidak perduli apa yang akan terjadi baik itu padanya ataupun Indira, yang dia butuhkan hanyalah keyakinan hati yang akan ia dapatkan setelah ia mampu menemui Indira dan berbicara dengan mantan pacar suaminya itu.


Don't Miss It :
Part 13 : HOLD MY HAND


1 komentar:

  1. Hotel Casino & RV Park, Harrah's Cherokee, NC - Mapyro
    Compare reviews and find 구미 출장마사지 the 제주도 출장샵 best deal for the Hotel Casino & RV Park in Cherokee, NC. (360) 846-7777. 나주 출장샵 Open now. 부산광역 출장마사지 No 여수 출장마사지 ATM Fees.

    BalasHapus