Part
16
Beberapa
hari berlalu Indira masih belum menemukan jawaban atas rasa penasarannya pada
sosok yang ia kenal sebagai Rendy di depan mini market waktu itu dan saat ia
melihat plaster yang menutup lukanya, rasanya bayangan wajah itu melintas di
depan matanya. Seperti malam ini, saat Anggi pulang ke rumahnya dan ia hanya
diam seorang diri di dalam rumah tanpa ada kegiatan, pikirannya tidak bisa
lepas dari peristiwa sore itu. Indira memegang plaster dikakinya tersenyum, ia
teringat wajah gadis kecil yang sangat cantik itu ketakutan saat melihat darah
yang keluar dari luka di kaki Indira lalu bersembunyi di balik badan sang Bunda
dengan wajah memelasnya
‘Seandainya benar
mereka adalah anak dan istrimu, Ren. Dia putri yang sangat manis dan
menggemaskan dan pastinya dia juga sepintar kamu’
“Ah
aku bayangin apa sih? Belum tentu itu Rendy. Lagian dia mau mati menikah tanpa
kasih kabar”
Indira
memungkiri sendiri apa yang ia pikirkan, dia melihat mawar putih yang selama
dua hari ini tergeletak manis di atas meja kerjanya menemani kotak makanan yang
Bagas berikan padanya, ada senyum menghias wajah cantiknya. Apa yang dilakukan
Bagas saat mengetahui dirinya terluka dan dengan cekatan mengobatinya hingga ia
melupakan bahasa formal yang ia pakai setelah kejadian di ruang Meeting
Mahardika
‘Bagas, Bagas…. Andai
saja dirimu bukan keliuaga Bagaskara, mungkin aku akan dengan mudah melewati
ini semua. Come On Indira, kuasai dirimu’
Indira
meletakkan kembali mawar putih itu di Vas bunga yang sengaja ia beli untuk
menyimpan mawar yang ia bawa dari Rumah Sakit, terlalu sayang bila mawar mawar
manis itu layu dengan cepat. Entah apa yang Indira pikirkan, dia tidak
memikirkan apa yang Bagas rasakan seandainya ia mengetahui bahwa mawar mawar
yang ia berikan sengaja Indira bawa pulang. Tetapi setelah pertemuan mereka di
parkiran yang berakhir pada kecelakaan kecil yang melukai kakinya itu Indira
tidak lagi melihat Bagas. Setiap ia pulang, ia hanya melihat Fortuner putih itu masih terparkir
kosong di area parkiran, tidak ada lagi Bagas di dalamnya. Malam semakin larut,
suasana diluar rumahnya sangat lengang. Hidup di kota kecil yang lebih
mendekati daerah pegunungan membuat suasana lebih cepat lengang kala mentari
sudah pulang ke peraduannya. Dan anehnya mala mini tak seorangpun yang datang
ke rumahnya untuk periksa, bisanya selalu ada dua atau tiga orang yang datang
padanya. Indira mengunci pagar rumahnya, memastikan orang asing tidak bisa
memasuki pekarangan rumah saat ia terlelap.
♫♫
I see lies in your eyes, I know you baby
I’m telling you what I
see, I already know
I see love in your
lies, I know you lady
Don’t you think that I
know whay you’re doing
Please tell me the
truth
I see lies in your
eyes, I know you baby
Dou you love me? Hey
don’t you? I believe in you
I see love in your
lies, I know you lady
Don’t you think that I
know whay you’re doing
Please tell me the
truth ♫♫♫♫
Ponsel
yang ia kantongi berteriak teriak menanti pertolongan untuk segera di angkat,
Indira mengerutkan dahinya membaca siapa yang menghubunginya malam ini ‘Mama is Calling’…. Indira menghentikan
langkahnya di teras rumah, duduk menyandar
pada pilar penyangga …
“Ya
Ma… “
“Indi…
kamu nggak kangen sama Mama ya?”
“Kangenlah
Ma, ada apa Ma?”
“Pulang
dong sayang, Mama kangen sama Indi… kamu sehat sehat saja kan? Kok Mama akhir
akhir ini selalu kepikiran sama kamu, Ndi”
“Mama….
Indira sehat kok Ma”
Indira
tersenyum kecut, ada rasa bersalah bersarang di hatinya saat ia mengingat paras
letih sang Mama yang telah membesarkan dirinya dan selalu menjadi tumpuan
hatinya saat ia goyah. Dialah satu satunya orang yang sama sekali tidak
melarangnya untuk pergi dari rumah saat menutuskan mengapdikan diri jauh dari kampung halaman, bahkan air
matapun tak ia perlihatkan pada Indira meskipun hatinya enggan untuk melepaskan
Indira pergi jauh dari jangkauannya
“Mama
tenang aja Ma, Indi dalam keadaan sehat
wal afiat tidak kurang satu apapun, anak Mama ini masih mulus tiada goresan..... Sebenarnya Indi juga
kangen sama masakan Mama, tapi harus bagaimana lagi? Indi nggak bisa cuti lama
lama, Ma”
“Ini
anak, bukannya kangen sama Mamanya malah sama masakannya… kamu nggak pingin
ketemu sama temen temen kamu?”
“Oh
iya Ma…..”
Indira
terdiam, saat sang Mama membahas soal teman, kembali bayangan tentang Rendy
terlintas
“Rendy
apa kabarnya, Ma?”
“Rendy???
Rendynya Prasta? Memang kenapa dengan Rendy, jangan bilang sama Mama kalau kamu
berpikir akan memilih Rendy setelah gagal dengan Prasta”
“Aduuuuh
Mama, kejauhan Ma, memang Mama mau punya menantu seperti Rendy? Kalau Mama mau,
nggak apa apa juga sih kan Indi udah kenal banget sama Rendy”
“Ini
anak ditanyain kok malah godain Mamanya”
“hahahahaa
Mama sih, tapi apa dia udah nikah Ma?”
“Memang
kenapa kamu kok tiba tiba tanya soal Rendy. Bukankah dia satu kantor sama
Prasta itu… kamu bilang kamu ketemu dengan Prasta disana. Jangan main main ya Ndi”
“Mama……”
“Mama
belum pernah dengar si Rendy menikah dan sepertinya memang belum… lagian dia
pasti akan mengundangmu kan?
“Iya
juga sih Ma”
“Lain
ceritanya jika dia mengikuti jejak Prasta yang tiba tiba pulang membawa istri…
Indi kamu inget pesan mama, jangan mudah percaya lagi pada janji laki laki”
“Mama
ah… iya, Indi selalu ingat pesan itu. Indi harus jual mahal dan tidak mudah termakan
rayuan kan?”
“Mama
sangat mengenal kamu, sayang. Mama tahu kepribadianmu yang mudah percaya itu.
Mama hanya nggak ingin kamu terluka untuk kesekian kalinya, sayang. Berjalanlah
kedepan, Carilah kebahagiaan barumu dan lupakanlah semua pengalaman itu. Anak
Mama cantik kok, baik… pasti banyak yang mau….”
“Ih
Mama… Iya, Indi paham… pahaaaam banget”
“Oh iya, kabar dokter ganteng
yang kamu ceritakan pada Mama itu
bagaimana?”
Indira
terdiam… dia bingung harus menjawab pertanyaan sang Mama dengan jawaban seperti
apa, rasanya kali ini dia sudah melakukan kesalahan dengan mengirimkan foto
Bagas pada Mamanya saat belum ada kesepakatan apapun diantara dirinya dengan
Bagas
“Eh…
bentar Ma, Indi ada pasien. Nanti kita ngobrol lagi ya Ma.. dada Mama”
Tut… tut…. Tut…
Indira
memilih untuk mengakhiri pembicaraannya dengan sang Mama sebelum topic melebar
kemana mana. Ia paham dengan sebenar benarnya bahwa Mamanya menaruh harapan
besar padanya untuk segera mengakhiri masa lajangnya, bahkan sejak awal ia resmi menyandang gelar dokter.
‘Maafkan Indi, Ma… Indi
mungkin akan mengecewakan Mama sekali lagi’
Indira menyandarkan dirinya pada pilar rumah dan memandang bintang diatas
langit, matanya berkaca kaca mengenang segala peristiwa yang ia
alami dengan sang Mama yang penuh kesabaran membesarkan hatinya saat ia merasa
sudah tidak memiliki kekuatan untuk berdiri.
‘terangnya sinarmu
kenapa tidak kau biaskan padaku,
Bintang. Kenapa kau menikmati kegelapan itu seorang diri agar kamu
terlihat terang dan tegar dan
membiarkanku sendirian dalam gelap perasaanku ini… Oh Tuhan, maafkan aku, Mama maafkan
Indi’
Dalam
satu kali hembusan nafas Indira melepaskan semua penyesalannya pada sikap yang
ia berikan pada ibundanya. Selalu ada senyum dan penyesalan tiap kali ia
berbicara dengan wanita setengah baya itu. Setidaknya malam ini ia menemukan
jawaban bahwa pria yang ia lihat bukanlah Rendy, sahabatnya.
Brb….
Angin dingin menyapu wajah ayunya, Indira beranjak dari duduknya dan memasuki
rumah. Malam ini hatinya bahagia setelah mendengar suara wanita yang
melahirkannya ke dunia. Bahagia yang
berselimutkan rasa bersalah. Tangannya ringan
menutup pintu dan horden rumah untuk menutup hari ini lebih awal demi
menyongsong esok pagi lebih ceria sebelum hatinya kembali diselimuti kabut yang
tidak dapat ia tolak datangnya.
***
“Aish…
sepertinya aku butuh asupan energy lain
hari ini…..Ah Tuhan, kenapa dia tidak
menelponku sih? Indira… kenapa musti kamu sih, Ndi? Ah coba kamu bisa bantuin
aku siapkan semuanya. Selain memang Bagas melarang kamu dilibatkan karena takut
kamu kecapekan, aku juga tidak bisa membayangkan suasana canggung macam apa
yang akan tercipta nanti… oh God, somebody help me?”
Anggi
memasuki ruang kerja Indira dengan omelan yang tidak mengenal tanda koma itu, tangannya mengutak atik ponselnya dan beberapa kali
mengumpat memanggil nama cowoknya, Indira hanya
bisa tersenyum dan menggelengkan kepala melihat sahabatnya yang kini sedang merebahkan diri
nampak sangat lelah di sofa. Indira merapikan meja kerjanya bersiap untuk meninggalkan ruang kerja.
“Suster
Mia nggak kelihatan, sudah pulang?”
“Huum”
“Tumben,
biasanya dia selalu menunggumu pulang terlebih dulu”
“Mamanya
sakit, jadi begitu pasien tidak ada aku ijinkan dia pulang lebih awal untuk melihat mamanya”
“Oooh begitu... atasan yang baik”
“Lagian
Nggi, bukannya udah diurus sama EO ya, kenapa kamu pontang panting gitu sih?”
“Kamu
nggak tahu sih cerewetnya seperti apa Om Adhi, seandainya Om Adhi setenang
Bagas mungkin aku akan bisa bernafas normal. Untung mahkluk satu itu mengikuti
gen emaknya yang tenang dan sabar, seandainya dia perfectionis seperti Papanya
mungkin aku nggak akan betah deket deket dengan dia. Mbak Cristine aja nggak
betah kerja sama Papanya dan memilih berdiri sendiri lepas dari perusahaan
Papanya”
“Oh
ya??”
“Huum…
meskipun ada saham dari Papanya, tapi ada persyaratan dari Mbak Christine agar
sang Papa tidak terlalu ikut campur dengan usaha dia itu dan Om Adhi harus
sepenuhnya melepaskan usaha yang diserahkan pada Mbak Christine. Alhasil dia
tenang mengelolah bisnisnya hanya dengan sang suami, awalnya Bagaspun juga berencana seperti itu, tapi dia
mikir lagi sebagai anak laki laki tentunya dia nggak bisa mengambil sikap
demikian. Dan anehnya keputusannya begitu mendadak untuk mengambil alih
tanggung jawab yang selama ini ia hindari jauh jauh”
“Oh…
begitu, kok bisa?”
“Nggak ngerti juga, tapi itulah
keluarga Bagas yang kompleks… macam macam karakter ada disana. Ayah dengan
sifat perfectionisnya, Ibu dengan bijaksana, sabar dan tenangnya, Kakak yang
low profile dan berjiwa bebas serta Bagas yang super duper enjoy with his
world”
“Maksudnya??”
“Kamu
nggak sadar Ndi, Bagas itu memiliki dunia lain diluar keluarganya. Dia tidak
pernah mau disangkut pautkan dengan keluarganya yang mentereng itu.
Penampilannya, kecuali fasilitas yang ia miliki loh ya, mana ada yang menyangka
dia keturunan Cipto Adhi Bagaskara. Semua yang melihat Bagas pertama kali tanpa
jas putih pasti menganggap dia model dan bukan keturunan pengusaha. Akan tetapi
terlepas dari itu semua, aku cukup bangga sama keluarga Omku itu…
sementerengnya kehidupan mereka, sekalipun mereka tidak pernah menilai
seseorang dengan materi dan menghargai seseorang sesuai dengan kodratnya sebagai
manusia. Coba kalau mereka seperti keluarga kaya umumnya, mungkin akupun tidak
akan duduk manis di kursi rumah sakit ini”
“Sudah?”
“Oh???”
“Kalau
kamu nerocos terus, kapan kita pulangnya?”
Anggi
tersadar bahwa dia sudah banyak bercerita sampai melupakan niatnya datang ke
ruangan Indira, nebeng pulang.
“Lah kamu kan nanya, jadinya aku perjelas”
“Iya.... yuk ah jangan ngeluh dan ngomel aja. Di depan
mataku udah kelihat nih kasur di rumah”
Indira melangkahkan kakinya meninggalkan Anggi dibelakang
dan keduanya kini meninggalkan ruangan Indira
melangkah menuju parkiran dengan candaan candaan kecil ulah Anggi yang selalu
memiliki cara untuk tidak membuang waktu sedikitpun dalam keheningan
“Sudah
berapa tangkai Ndi mawar putihnya? Huh?” Anggi menyenggol bahu Indira yang
berjalan di sampingnya, Indira hanya tersenyum melihat mawar putih yang ia
pegang
“Tanyakan
pada sepupumu, sudah berapa kotak nasi yang ia beli untukku akhir akhir ini?
Mungkin jumlahnya akan sama jika ditotalkan”
“Eit…!!!”
Anggi mengangkat tangannya dengan muka serius membuat Indira menghentikan
langkah memandang ke arah sahabatnya
“Kan
aku yang bertugas menjadi kurir untuk mengembalikan itu ke Mbok Darsih,
pastinya dia nggak perlu beli kotak lagi kan,
setiap aku kerumah Bagas selalu bawa 4 sampai 5 kotak. Mungkin dia beli setengah lusin kali ya... lama
lama aku sudah kayak tukang Cattering”
“Oh
iya lupa… maaf”
Indira
tersenyum dengan ceria tanpa dosa lalu melangkahkan kembali kakinya menuju
mobil
“Hmmm…
kasihan juga ya itu si Mbok, dikiranya itu masakan buat bekal sang tuan muda.
Taunya buat kamu… ckckckck dosa kamu Ndi sama wanita tua itu kalau nggak sempat
berterima kasih”
“Lho
kok gitu….??”
“Ya
iyalah dia selalu menaruh cinta dalam tiap masakan yang kamu makan kok, harus
dan wajib hukumnya buat mengucapkan terima kasih, itu kata mamaku… by the way,
jika itu kotak makanan nggak aku bawa ke rumah Bagas, kira kira sudah numpuk
berapa kotak ya di rumah. Hahahahahaa. Bagaaaas, Bagas…. Kenapa nggak dia buka
usaha Cattering aja sih”
“Hust
jangan keras keras, ruangan dia nih”
Indira
melirik ke pintu ruangan
yang ada disisi jalan yang mereka lewati, Anggia menutup mulutnya dengan wajah
lucunya karena keceplosan bercanda sampai melupakan keberadaan ruangan kepala
rumah sakit yang ada di jalan yang ia lewati. Sementara itu tanpa diketahui
oleh keduanya, Bagas yang mengurungkan niatnya keluar ruangan setelah melihat
Indira dan Anggi hendak menuju parkiran mengawasi keduanya dari balik kaca
bahkan mendengar pembicaraan mereka nampak tersenyum sendiri dan terlihat
bersemu merah melihat mawar putih yang ia tinggalkan bersama kotak makanan di
ruangan Indira ada dalam genggaman dokter cantik berambut panjang itu. Bagas merogoh
sakunya, ia kembali duduk di sofa untuk menunggu sampai keadaan aman untuknya
meninggalkan rumah sakit tanpa bertemu dengan Indira ataupun terjebak dalam
situasi canggung bahkan
suasana yang tidak ia inginkan karena godaan Anggi.
‘dr. Indira… terima kasih’
Satu
pesan ia kirimkan pada nomor Indira, lama tidak ada jawaban. Nampak di layar
ponselnya jika pesan belum dibuka, Bagas membaca kembali pesan yang sudah ia
kirimkan…
‘Ah… bodoh, kenapa
isinya gini, kalau dia tanya terima kasih untuk apa, aku harus jawab apa.
Bagas… bloon kamu ya, cinta sih cinta tapi mikir dong Gas. Cinta??? Hah
benarkah aku merasakan cinta untuk Indira… wait kenapa aku baru sadar, ya …
mungkin ini cinta dan ternyata aku benar benar jatuh cinta’
Bagas
meletakkan tas yang ia pegang diatas meja, ia merebahkan badannya di atas sofa
dengan bermalas malasan, rasanya ia enggan untuk meninggalkan ruangan.
Pikirannya kini tertuju pada Indira dan meraba raba kira kira balasan apa yang
akan ia terima, mungkinkah kali ini tidak ada jawaban lagi.
Di
area parkir, Anggi meletakkan tasnya di kursi belakang lalu dia segera
memejamkan mata bersandar dengan tenang pada kursinya setelah memasang safety belt. Indira merogoh kantong
tasnya sebelum menghidupkan mesin mobil, ia mendengar ada pesan yang masuk
dalam ponselnya, sekedar ingin memastikan dari mana pesan yang masuk dan
sepenting apa pesan itu untuknya
‘dr. Indira… terima
kasih’
Indira
bingung setelah membaca pesan yang ia terima, ia mengedarkan pandangan sejenak
di area parkir, nampak olehnya mobil Bagas masih di tempatnya dan tidak ada
siapa siapa di wilayah itu. Indira kembali pada layar ponselnya sambil sedikit
berfikir tentang maksud Bagas, bibirnya
mengerucut
‘terima kasih, what
for?.... Bagas ini apa apan sih tiba tiba mengucapkan terima kasih… atau….’ Indira
menatap mawar putih yang ia letakkan di dashboard
mobilnya, ‘apakah ia melihat aku membawa
ini’ ada senyum mengembang di bibir tipis Indira dan ia menggeleng geleng
merasa lucu
“Kita
akan tetap disini?” Anggi mengagetkan Indira yang sesaat sibuk dengan dunianya
“Huh?”
“Kita
akan kembali masuk ke Rumah Sakit dan bermalam disinikah?”
“Okay…
kita pulang……”
Indira
segera menghidupkan mesin mobilnya dan melaju meninggalkan Waluyo dengan
senyumnya yang meninggalkan tanda tanya bagi Anggi yang terpaksa membuka
matanya karena mesin tak juga menyala, namun ia tidak berkomentar lantas
kembali memejamkan matanya dengan mengangkat alisnya menyerah pada lelah yang ia rasakan.
Sepanjang
perjalanan Indira masih menerka maksud terima kasih yang Bagas kirim dalam
pesannya, setelah sekian lama tidak mengirimkan pesan dan pesan pertamanya
begitu singkat padat ‘terima kasih’ tanpa ada hal yang Indira dapat tebak sebagai penyebab dokter tampan
itu berucap terima kasih padanya selain mawar putih yang kini mengiasi meja
kerjanya di rumah. Beberapa saat ia
memandang mawar mawar itu. Setelah sekian mawar ia terima, baru hari ini ia
berfikir kenapa harus mawar putih yang Bagas kirimkan dan bukan mawar merah
seperti layaknya orang orang pada umumnya.
‘putih adalah
ketulusan, permintaan maaf dan perdamaian…. Yang mana yang Bagas kehendaki dari
symbol putih dalam mawar ini?’
“kayaknya
lama lama itu mawar akan layu karena kamu pelototin Ndi, atau bahkan kaku tanpa membutuhkan air keras saking
takutnya pada sorot matamu”
Anggi
dengan botol minuman khasnya memasuki ruang tengah dengan beberapa berkas di
tangan
“Sudah?”
“Ya…
tidak banyak yang datang malam mini, sepertinya para Ibu hamil memahami kalau
dokternya lagi butuh banyak istirahat”
Indira
manggut manggut dengan mulut monyongnya dan ponsel di tangan
“Kenapa,
mau curhat? Atau minta obat buat awetin itu mawar”
“Mulai
deh…. Sono selesaikan PR mu dan jangan banyak mengomel. Kerja pake otak dan
tangan bukan degan mulut ya dr. Anggia yang bawel”
Indira
meninggalkan Anggi yang melotot mendengar komentarnya menuju kamarnya, Malam
tanpa praktek adalah malam yang memberinya ruang untuk beristirahat lebih awal dengan tenang dan nyaman.
“Jangan
lupa ntar pager, pintu dan lampunya ya Nggi” teriaknya kemudian dari dalam
kamar mengingatkan sahabatnya yang masih sibuk di ruang tengah
“okay...” sahut Anggi setengah berteriak pula
Di
dalam kamar, Indira masih memutar mutar ponselnya. Pesan dari Bagas ia baca berulang
ulang, rasanya kalimat singkat itu begitu rumit untuk ia pecahkan tak ubahnya
pertanyaan tes IQ yang penuh dengan trik dalam penyelesaiannya
‘tanya… nggak, balas….
nggak’ di atas pembaringannya, Indira terus
meragu untuk menjawab pesan Bagas, tapi kemudian ia teringat pada kata kata
sang Bunda
‘Jangan mudah percaya
pada seseorang, tapi berjalanlah kedepan carilah kebahagiaan barumu dan
lupakanlah semua pengalaman itu’
‘Ah Mama… semoga kali
ini keputusan Indira benar’ Indira meletakkan ponselnya
dan menutup horden kamarnya sebelum ia membersihkan diri sebelum pergi tidur,
tapi
Ddrrr drrrr
ponselnya bergetar di atas kasurnya, ia menoleh dan melihat lampu tanda pesan
masuk berkedip kedip, Indira melihat jam dinding yang ada di kamarnya. 20.47
Wib semalam ini siapa yang menghubunginya. Ia menyelesaikan aktivitasnya
menutup horden dengan tenang, ia berfikir jika memang penting pasti akan ada
yang menelpon. Beberapa menit berlalu setelah ia membersihkan muka dan berganti
pakaian, ia membuka selimutnya berniat untuk menutup hari dengan pergi ke alam mimpi, tapi kelap
kelip ponselnya menyadarkan Indira bahwa ada seseorang yang mungkin menunggu
jawaban darinya. Dengan memasukkan setengah badannya ke dalam selimut, ia
mengatur bantal untuk ia gunakan bersandar pada ranjang seraya membuka pesan
yang masuk. ‘Bagas’ nama Bagas
tertera di layar ponselnya.
‘Mungkin aku adalah
orang yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menahan diri. Sekali lagi
untuk hal yang mengecewakanmu aku meminta maaf, maaf kalau apa yang aku anggap
sebagai kebenaran itu secara tidak sengaja membuatmu terluka dan terima kasih
untuk masih bertahan tidak berubah sikap padaku’
Indira
bengong membaca pesan panjang dari Bagas, ia bingung dan semakin bingung untuk
memberikan respon, rasanya terlambat baginya untuk menghindar karena Bagas
pasti mengetau jika ia sudah membaca pesan yang ia kirimkan malam ini, jika ia tidak menjawab juga mungkin Bagas
selamanya akan menganggap dia marah
‘Mungkin aku tidak bisa
menebus rasa kecewamu akan sikapku, tapi ijinkan aku untuk menerima maaf darimu
serta kembali merasakan kehangatan sikapmu seperti dulu. Indira… kamu masih
marahkah padaku?’
Dab benar begitu pesan dibuka oleh Indira, maka pesan
kedua masuk, artinya Bagas masih menunggu jawaban darinya. Indira mulai
memainkan jari lentiknya
‘Marah?? Atas alasan
apa saya marah pada Dokter? Saya tidak memiliki hak untuk itu Dokter dan Anda
tidak perlu menghawatirkan akan hal itu. Saya sama sekali tidak marah dan saya
mencoba berfikir realistis terhadap apapun alasan yang membuat Anda
menyembunyikannya dari saya’
‘Ndi, tolong… jangan
lagi pakai Anda, saya ataupun dokter. Kita sedang diluar Rumah Sakit dan apa
yang kita bahas jauh dari masalah pekerjaan… bersikaplah sebagai Indira yang
aku kenal beberapa bulan lalu, Indira yang melihatku sebagai Bagas dan bukan
sebagai dr. Raihan’
‘Lalu?’
‘Maksudmu?’
‘Mawar putih dan terima
kasih… apa yang ada di balik semua itu? Inikah yang hendak Anda sampaikan pada
saya’
‘Indi Please… panggil
aku Bagas’
‘Okay… tolong
jelaskankan padaku tentang terima kasih itu… untuk apa?’
Lama
Indira menunggu balasan dari Bagas, sepertinya Bagas bingung atas kalimat yang
ia kirimkan pada Indira…huft ya sudahlah pikir Indira merapikan dirinya bersiap
untuk memejamkan mata tapi lagi lagi ponselnya bergetar
‘Terima kasih karena
telah sudi membawa pulang mawar yang kutinggalkan untukmu’
Tepat
dugaan Indira, ini soal mawar putih yang selalu ia bawa pulang, atau jangan
jangan Anggi mengirim laporan pada Bagas, kalau tidak lantas dari mana Bagas
mengetahuinya. Apakah dia mengecek tempat sampah memastikan bunga yang ia
tinggalkan tidak berakhir disana? Atau
dia melihat langsung tanpa diketahui oleh Indira? Tidak
ada yang tahu pasti, tidak mungkin bagi Indira untuk menanyakan itu pada Anggi
disaat sahabatnya itu sedang sibuk bekerja, rasanya ini adalah masalah sepele
yang sama sekali tidak penting untuk di tanyakan
‘Terlalu sayang untuk
dibuang, Dokter… terlalu cantik untuk dibiarkan dan terlalu manis jika harus
berakhir di tempat sampah. Itu akan merubah nilai mawar yang indah dan penuh
cinta menjadi begitu jahat dan dingin’
‘Begitu ya… sepertinya
saya terlalu percaya diri akan hal ini. Maaf Dokter Indira karena sudah
mengganggu waktu istirahat Dokter. Selamat malam dan selamat beristirahat’
Sepertinya
Bagas kecewa dengan jawaban yang Indira berikan, ia menyudahi pesan yang ia
kirimkan dengan ucapan selamat malam. Kini giliran Indira yang merasa tidak
enak hati dan bersalah. Indira kembali dengan posisinya bersandar di ranjang.
Beberapa kali ia menarik nafas dalam sambil memutar ponselnya bimbang dengan
apa yang akan ia lakukan
‘Ah selesaikan Indira,
ini yang seharusnya kamu lakukan dengan benar. Kali ini dan jangan ditunda
lagi’ bisik hatinya
yang mulai cemas
Panggilan
cepat ia lakukan, Indira bahkan masih bingung akan mengatakan apa, yang ia
sadari hanya satu… bicara dan menyudahi semua konflik maya yang ada antara
dirinya dan Bagas. Beberapa saat menunggu, akhirnya telepon terjawab
“Ya,
Dokter…”
suara
Bagas di seberang, mendengar Bagas menyapanya demikian Indira merasa sakit,
Bagas yang selalu menyebut namanya langsung dan kali ini mengikutinya dengan
gaya formal membuatnya sedikit terluka ‘what
do
you
want Indira?’ jerit hatinya
“Dokter
Bagas marah?”
“Marah???
Atas alasan apa?” Bagas mengembalikan semua jawaban Indira atas pertanyaan yang
sama yang telah Bagas tanyakan padanya
“hmmm…
barangkali Dokter Bagas tersinggung dengan jawaban saya”
“Nggak
ada yang membuat saya tersinggung, Dokter. Tenang saja, saya tidak marah
ataupun tersinggung. Dokter tidurlah sudah malam, bukankah besok belum waktunya
Dokter Free kan?”
“Dokter”
Indira
enggan untuk menutup teleponnya, dan merasaada
yang mengganjal dengan sikap Bagas, dalam
hatinya ia takut Bagas akan berubah sikap terhadapnya
“Kali
ini ijinkan saya ucapkan terima kasih atas sikap Dokter Bagas yang tidak pernah
berubah terhadap saya”
“Dokter
Indira menginginkan saya berubah dan menyudahi semua sikap saya itu?”
Indira
terdiam, sekali lagi ia kebingungan
kenapa justru Bagas berbalik menyerangnya dengan pertanyaan
“Dari
dulu sampai saat ini saya masih mengharapkan dr. Indira menjadi orang yang
terdekat dengan saya. Walaupun saat ini saya tahu sudah kehilangan kesempatan
itu, tapi saya masih ingin berusaha mengembalikan semua kepercayaan dr, Indira
pada saya. Dokter keberatan?”
“Ah…
tidak Dokter, makanya saya berterima kasih untuk sikap Dokter yang masih
konsisten itu, tapi……”
“Tapi
Dokter Indira masih belum bisa memaafkan saya?”
“Bukan
seperti itu Dok, saya… saya bingung untuk menjelaskannya kepada Dokter”
“Dokter
Indira tidak perlu menjelaskan apapun, saya bisa mengerti. Yang saya butuhkan
saat ini hanya satu, keyakinan bahwa saya dimaafkan dan saya masih mempunyai
kesempatan untuk membenahi kesalahan saya itu”
“Tapi
Dokter, semuanya tidak sesederhana itu untuk saya”
“Jadikan
hal yang tidak sederhana itu menjadi sederhana Dokter, ini bukanlah sebuah
penyakit yang membutuhkan uji klinis secara detail dan tidak bisa
disederhanakan. Jangan bebani pikiran dan hati Dokter dengan masalah ini,
berfikirlah secara sederhana pada hal yang bisa disederhanakan”
“hmmmm
baiklah Dok, saya akan memakai cara Anda. Sabtu ini, jika Dokter melihat saya
di acara pelantikan dengan menanggalkan semua bahasa formal ini, maka itu
artinya saya sudah menyederhankan cara pikir saya”
“Oh begitukah, Dok. … saya
berharap yang terbaik akan saya dapatkan sabtu ini, walaupun saya tidak berani bermimpi banyak, tapi saya
akan menunggunya. Dan sekarang sudah malam, Dokter
Indira harus dinas esok pagi, istirahatlah”
Pembicaraan
disudahi dan Indira menarik nafasnya lega, ia membaringkan tubuhnya dengan
tenang. Matanya terpejam tanpa beban
*Note : Last
Part nya nyusul ya…. Hehehehe ternyata lom bisa rampungin, sabar sabar bagi
yang sudah menunggu dan terima kasih sudah berkenan menunggu untuk membaca
karya ini
Dont Miss It :
Part 15 :HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar