Selasa, 19 Januari 2016

PART 16 : HOLD MY HAND





Part 16

Beberapa hari berlalu Indira masih belum menemukan jawaban atas rasa penasarannya pada sosok yang ia kenal sebagai Rendy di depan mini market waktu itu dan saat ia melihat plaster yang menutup lukanya, rasanya bayangan wajah itu melintas di depan matanya. Seperti malam ini, saat Anggi pulang ke rumahnya dan ia hanya diam seorang diri di dalam rumah tanpa ada kegiatan, pikirannya tidak bisa lepas dari peristiwa sore itu. Indira memegang plaster dikakinya tersenyum, ia teringat wajah gadis kecil yang sangat cantik itu ketakutan saat melihat darah yang keluar dari luka di kaki Indira lalu bersembunyi di balik badan sang Bunda dengan wajah memelasnya
‘Seandainya benar mereka adalah anak dan istrimu, Ren. Dia putri yang sangat manis dan menggemaskan dan pastinya dia juga sepintar kamu’
“Ah aku bayangin apa sih? Belum tentu itu Rendy. Lagian dia mau mati menikah tanpa kasih kabar”
Indira memungkiri sendiri apa yang ia pikirkan, dia melihat mawar putih yang selama dua hari ini tergeletak manis di atas meja kerjanya menemani kotak makanan yang Bagas berikan padanya, ada senyum menghias wajah cantiknya. Apa yang dilakukan Bagas saat mengetahui dirinya terluka dan dengan cekatan mengobatinya hingga ia melupakan bahasa formal yang ia pakai setelah kejadian di ruang Meeting Mahardika
‘Bagas, Bagas…. Andai saja dirimu bukan keliuaga Bagaskara, mungkin aku akan dengan mudah melewati ini semua. Come On Indira, kuasai dirimu’
Indira meletakkan kembali mawar putih itu di Vas bunga yang sengaja ia beli untuk menyimpan mawar yang ia bawa dari Rumah Sakit, terlalu sayang bila mawar mawar manis itu layu dengan cepat. Entah apa yang Indira pikirkan, dia tidak memikirkan apa yang Bagas rasakan seandainya ia mengetahui bahwa mawar mawar yang ia berikan sengaja Indira bawa pulang. Tetapi setelah pertemuan mereka di parkiran yang berakhir pada kecelakaan kecil yang melukai kakinya itu Indira tidak lagi melihat Bagas. Setiap ia pulang, ia hanya melihat Fortuner putih itu masih terparkir kosong di area parkiran, tidak ada lagi Bagas di dalamnya. Malam semakin larut, suasana diluar rumahnya sangat lengang. Hidup di kota kecil yang lebih mendekati daerah pegunungan membuat suasana lebih cepat lengang kala mentari sudah pulang ke peraduannya. Dan anehnya mala mini tak seorangpun yang datang ke rumahnya untuk periksa, bisanya selalu ada dua atau tiga orang yang datang padanya. Indira mengunci pagar rumahnya, memastikan orang asing tidak bisa memasuki pekarangan rumah saat ia terlelap.
♫♫ I see lies in your eyes, I know you baby
I’m telling you what I see, I already know
I see love in your lies, I know you lady
Don’t you think that I know whay you’re doing
Please tell me the truth
I see lies in your eyes, I know you baby
Dou you love me? Hey don’t you? I believe in you
I see love in your lies, I know you lady
Don’t you think that I know whay you’re doing
Please tell me the truth ♫♫♫♫
Ponsel yang ia kantongi berteriak teriak menanti pertolongan untuk segera di angkat, Indira mengerutkan dahinya membaca siapa yang menghubunginya malam ini ‘Mama is Calling’…. Indira menghentikan langkahnya di teras rumah, duduk menyandar pada pilar penyangga
“Ya Ma… “
“Indi… kamu nggak kangen sama Mama ya?”
“Kangenlah Ma, ada apa Ma?”
“Pulang dong sayang, Mama kangen sama Indi… kamu sehat sehat saja kan? Kok Mama akhir akhir ini selalu kepikiran sama kamu, Ndi”
“Mama…. Indira sehat kok Ma”
Indira tersenyum kecut, ada rasa bersalah bersarang di hatinya saat ia mengingat paras letih sang Mama yang telah membesarkan dirinya dan selalu menjadi tumpuan hatinya saat ia goyah. Dialah satu satunya orang yang sama sekali tidak melarangnya untuk pergi dari rumah saat menutuskan mengapdikan diri jauh dari kampung halaman, bahkan air matapun tak ia perlihatkan pada Indira meskipun hatinya enggan untuk melepaskan Indira pergi jauh dari jangkauannya
“Mama tenang aja Ma, Indi dalam keadaan sehat wal afiat tidak kurang satu apapun, anak Mama ini masih mulus tiada goresan..... Sebenarnya Indi juga kangen sama masakan Mama, tapi harus bagaimana lagi? Indi nggak bisa cuti lama lama, Ma”
“Ini anak, bukannya kangen sama Mamanya malah sama masakannya… kamu nggak pingin ketemu sama temen temen kamu?”
“Oh iya Ma…..”
Indira terdiam, saat sang Mama membahas soal teman, kembali bayangan tentang Rendy terlintas
“Rendy apa kabarnya, Ma?”
“Rendy??? Rendynya Prasta? Memang kenapa dengan Rendy, jangan bilang sama Mama kalau kamu berpikir akan memilih Rendy setelah gagal dengan Prasta”
“Aduuuuh Mama, kejauhan Ma, memang Mama mau punya menantu seperti Rendy? Kalau Mama mau, nggak apa apa juga sih kan Indi udah kenal banget sama Rendy”
“Ini anak ditanyain kok malah godain Mamanya”
“hahahahaa Mama sih, tapi apa dia udah nikah Ma?”
“Memang kenapa kamu kok tiba tiba tanya soal Rendy. Bukankah dia satu kantor sama Prasta itu… kamu bilang kamu ketemu dengan Prasta disana. Jangan main main ya Ndi”
“Mama……”
“Mama belum pernah dengar si Rendy menikah dan sepertinya memang belum… lagian dia pasti akan mengundangmu kan?
“Iya juga sih Ma”
“Lain ceritanya jika dia mengikuti jejak Prasta yang tiba tiba pulang membawa istri… Indi kamu inget pesan mama, jangan mudah percaya lagi pada janji laki laki”
“Mama ah… iya, Indi selalu ingat pesan itu. Indi harus jual mahal dan tidak mudah termakan rayuan kan?”
“Mama sangat mengenal kamu, sayang. Mama tahu kepribadianmu yang mudah percaya itu. Mama hanya nggak ingin kamu terluka untuk kesekian kalinya, sayang. Berjalanlah kedepan, Carilah kebahagiaan barumu dan lupakanlah semua pengalaman itu. Anak Mama cantik kok, baik… pasti banyak yang mau….”
“Ih Mama… Iya, Indi paham… pahaaaam banget”
Oh iya, kabar dokter ganteng yang kamu ceritakan pada Mama itu bagaimana?
Indira terdiam… dia bingung harus menjawab pertanyaan sang Mama dengan jawaban seperti apa, rasanya kali ini dia sudah melakukan kesalahan dengan mengirimkan foto Bagas pada Mamanya saat belum ada kesepakatan apapun diantara dirinya dengan Bagas
“Eh… bentar Ma, Indi ada pasien. Nanti kita ngobrol lagi ya Ma.. dada Mama”
Tut… tut…. Tut…
Indira memilih untuk mengakhiri pembicaraannya dengan sang Mama sebelum topic melebar kemana mana. Ia paham dengan sebenar benarnya bahwa Mamanya menaruh harapan besar padanya untuk segera mengakhiri masa lajangnya, bahkan sejak awal ia resmi menyandang gelar dokter.
‘Maafkan Indi, Ma… Indi mungkin akan mengecewakan Mama sekali lagi’ Indira menyandarkan dirinya pada pilar rumah dan memandang bintang diatas langit, matanya berkaca kaca mengenang segala peristiwa yang ia alami dengan sang Mama yang penuh kesabaran membesarkan hatinya saat ia merasa sudah tidak memiliki kekuatan untuk berdiri.
‘terangnya sinarmu kenapa tidak kau biaskan padaku, Bintang. Kenapa kau menikmati kegelapan itu seorang diri agar kamu terlihat terang dan tegar dan membiarkanku sendirian dalam gelap perasaanku ini… Oh Tuhan, maafkan aku, Mama maafkan Indi
Dalam satu kali hembusan nafas Indira melepaskan semua penyesalannya pada sikap yang ia berikan pada ibundanya. Selalu ada senyum dan penyesalan tiap kali ia berbicara dengan wanita setengah baya itu. Setidaknya malam ini ia menemukan jawaban bahwa pria yang ia lihat bukanlah Rendy, sahabatnya.
Brb…. Angin dingin menyapu wajah ayunya, Indira beranjak dari duduknya dan memasuki rumah. Malam ini hatinya bahagia setelah mendengar suara wanita yang melahirkannya ke dunia. Bahagia yang berselimutkan rasa bersalah. Tangannya ringan menutup pintu dan horden rumah untuk menutup hari ini lebih awal demi menyongsong esok pagi lebih ceria sebelum hatinya kembali diselimuti kabut yang tidak dapat ia tolak datangnya.
***


“Aish… sepertinya aku butuh asupan energy lain hari ini…..Ah Tuhan, kenapa dia tidak menelponku sih? Indira… kenapa musti kamu sih, Ndi? Ah coba kamu bisa bantuin aku siapkan semuanya. Selain memang Bagas melarang kamu dilibatkan karena takut kamu kecapekan, aku juga tidak bisa membayangkan suasana canggung macam apa yang akan tercipta nanti… oh God, somebody help me?”
Anggi memasuki ruang kerja Indira dengan omelan yang tidak mengenal tanda koma itu, tangannya mengutak atik ponselnya dan beberapa kali mengumpat memanggil nama cowoknya, Indira hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala melihat sahabatnya yang kini sedang merebahkan diri nampak sangat lelah di sofa. Indira merapikan meja kerjanya bersiap untuk meninggalkan ruang kerja.
“Suster Mia nggak kelihatan, sudah pulang?”
“Huum”
“Tumben, biasanya dia selalu menunggumu pulang terlebih dulu”
“Mamanya sakit, jadi begitu pasien tidak ada aku ijinkan dia pulang lebih awal untuk melihat mamanya”
“Oooh begitu...  atasan yang baik”
“Lagian Nggi, bukannya udah diurus sama EO ya, kenapa kamu pontang panting gitu sih?”
“Kamu nggak tahu sih cerewetnya seperti apa Om Adhi, seandainya Om Adhi setenang Bagas mungkin aku akan bisa bernafas normal. Untung mahkluk satu itu mengikuti gen emaknya yang tenang dan sabar, seandainya dia perfectionis seperti Papanya mungkin aku nggak akan betah deket deket dengan dia. Mbak Cristine aja nggak betah kerja sama Papanya dan memilih berdiri sendiri lepas dari perusahaan Papanya”
“Oh ya??”
“Huum… meskipun ada saham dari Papanya, tapi ada persyaratan dari Mbak Christine agar sang Papa tidak terlalu ikut campur dengan usaha dia itu dan Om Adhi harus sepenuhnya melepaskan usaha yang diserahkan pada Mbak Christine. Alhasil dia tenang mengelolah bisnisnya hanya dengan sang suami, awalnya Bagaspun juga berencana seperti itu, tapi dia mikir lagi sebagai anak laki laki tentunya dia nggak bisa mengambil sikap demikian. Dan anehnya keputusannya begitu mendadak untuk mengambil alih tanggung jawab yang selama ini ia hindari jauh jauh
“Oh… begitu, kok bisa?
Nggak ngerti juga, tapi itulah keluarga Bagas yang kompleks… macam macam karakter ada disana. Ayah dengan sifat perfectionisnya, Ibu dengan bijaksana, sabar dan tenangnya, Kakak yang low profile dan berjiwa bebas serta Bagas yang super duper enjoy with his world”
“Maksudnya??”
“Kamu nggak sadar Ndi, Bagas itu memiliki dunia lain diluar keluarganya. Dia tidak pernah mau disangkut pautkan dengan keluarganya yang mentereng itu. Penampilannya, kecuali fasilitas yang ia miliki loh ya, mana ada yang menyangka dia keturunan Cipto Adhi Bagaskara. Semua yang melihat Bagas pertama kali tanpa jas putih pasti menganggap dia model dan bukan keturunan pengusaha. Akan tetapi terlepas dari itu semua, aku cukup bangga sama keluarga Omku itu… sementerengnya kehidupan mereka, sekalipun mereka tidak pernah menilai seseorang dengan materi dan menghargai seseorang sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Coba kalau mereka seperti keluarga kaya umumnya, mungkin akupun tidak akan duduk manis di kursi rumah sakit ini”
“Sudah?”
“Oh???”
“Kalau kamu nerocos terus, kapan kita pulangnya?”
Anggi tersadar bahwa dia sudah banyak bercerita sampai melupakan niatnya datang ke ruangan Indira, nebeng pulang.
“Lah kamu kan nanya, jadinya aku perjelas”
“Iya.... yuk ah jangan ngeluh dan ngomel aja. Di depan mataku udah kelihat nih kasur di rumah”
Indira melangkahkan kakinya meninggalkan Anggi dibelakang dan keduanya kini meninggalkan ruangan Indira melangkah menuju parkiran dengan candaan candaan kecil ulah Anggi yang selalu memiliki cara untuk tidak membuang waktu sedikitpun dalam keheningan
“Sudah berapa tangkai Ndi mawar putihnya? Huh?” Anggi menyenggol bahu Indira yang berjalan di sampingnya, Indira hanya tersenyum melihat mawar putih yang ia pegang
“Tanyakan pada sepupumu, sudah berapa kotak nasi yang ia beli untukku akhir akhir ini? Mungkin jumlahnya akan sama jika ditotalkan”
“Eit…!!!” Anggi mengangkat tangannya dengan muka serius membuat Indira menghentikan langkah memandang ke arah sahabatnya
“Kan aku yang bertugas menjadi kurir untuk mengembalikan itu ke Mbok Darsih, pastinya dia nggak perlu beli kotak lagi kan, setiap aku kerumah Bagas selalu bawa 4 sampai 5 kotak. Mungkin dia beli setengah lusin kali ya... lama lama aku sudah kayak tukang Cattering”
“Oh iya lupa… maaf”
Indira tersenyum dengan ceria tanpa dosa lalu melangkahkan kembali kakinya menuju mobil
“Hmmm… kasihan juga ya itu si Mbok, dikiranya itu masakan buat bekal sang tuan muda. Taunya buat kamu… ckckckck dosa kamu Ndi sama wanita tua itu kalau nggak sempat berterima kasih”
“Lho kok gitu….??”
“Ya iyalah dia selalu menaruh cinta dalam tiap masakan yang kamu makan kok, harus dan wajib hukumnya buat mengucapkan terima kasih, itu kata mamaku… by the way, jika itu kotak makanan nggak aku bawa ke rumah Bagas, kira kira sudah numpuk berapa kotak ya di rumah. Hahahahahaa. Bagaaaas, Bagas…. Kenapa nggak dia buka usaha Cattering aja sih”
“Hust jangan keras keras, ruangan dia nih”
Indira melirik ke pintu ruangan yang ada disisi jalan yang mereka lewati, Anggia menutup mulutnya dengan wajah lucunya karena keceplosan bercanda sampai melupakan keberadaan ruangan kepala rumah sakit yang ada di jalan yang ia lewati. Sementara itu tanpa diketahui oleh keduanya, Bagas yang mengurungkan niatnya keluar ruangan setelah melihat Indira dan Anggi hendak menuju parkiran mengawasi keduanya dari balik kaca bahkan mendengar pembicaraan mereka nampak tersenyum sendiri dan terlihat bersemu merah melihat mawar putih yang ia tinggalkan bersama kotak makanan di ruangan Indira ada dalam genggaman dokter cantik berambut panjang itu. Bagas merogoh sakunya, ia kembali duduk di sofa untuk menunggu sampai keadaan aman untuknya meninggalkan rumah sakit tanpa bertemu dengan Indira ataupun terjebak dalam situasi canggung bahkan suasana yang tidak ia inginkan karena godaan Anggi.
‘dr. Indira… terima kasih’
Satu pesan ia kirimkan pada nomor Indira, lama tidak ada jawaban. Nampak di layar ponselnya jika pesan belum dibuka, Bagas membaca kembali pesan yang sudah ia kirimkan…
‘Ah… bodoh, kenapa isinya gini, kalau dia tanya terima kasih untuk apa, aku harus jawab apa. Bagas… bloon kamu ya, cinta sih cinta tapi mikir dong Gas. Cinta??? Hah benarkah aku merasakan cinta untuk Indira… wait kenapa aku baru sadar, ya … mungkin ini cinta dan ternyata aku benar benar jatuh cinta’
Bagas meletakkan tas yang ia pegang diatas meja, ia merebahkan badannya di atas sofa dengan bermalas malasan, rasanya ia enggan untuk meninggalkan ruangan. Pikirannya kini tertuju pada Indira dan meraba raba kira kira balasan apa yang akan ia terima, mungkinkah kali ini tidak ada jawaban lagi.

Di area parkir, Anggi meletakkan tasnya di kursi belakang lalu dia segera memejamkan mata bersandar dengan tenang pada kursinya setelah memasang safety belt. Indira merogoh kantong tasnya sebelum menghidupkan mesin mobil, ia mendengar ada pesan yang masuk dalam ponselnya, sekedar ingin memastikan dari mana pesan yang masuk dan sepenting apa pesan itu untuknya
‘dr. Indira… terima kasih’
Indira bingung setelah membaca pesan yang ia terima, ia mengedarkan pandangan sejenak di area parkir, nampak olehnya mobil Bagas masih di tempatnya dan tidak ada siapa siapa di wilayah itu. Indira kembali pada layar ponselnya sambil sedikit berfikir tentang maksud Bagas, bibirnya mengerucut
‘terima kasih, what for?.... Bagas ini apa apan sih tiba tiba mengucapkan terima kasih… atau….’ Indira menatap mawar putih yang ia letakkan di dashboard mobilnya, ‘apakah ia melihat aku membawa ini’ ada senyum mengembang di bibir tipis Indira dan ia menggeleng geleng merasa lucu
“Kita akan tetap disini?” Anggi mengagetkan Indira yang sesaat sibuk dengan dunianya
“Huh?”
“Kita akan kembali masuk ke Rumah Sakit dan bermalam disinikah?”
“Okay… kita pulang……”
Indira segera menghidupkan mesin mobilnya dan melaju meninggalkan Waluyo dengan senyumnya yang meninggalkan tanda tanya bagi Anggi yang terpaksa membuka matanya karena mesin tak juga menyala, namun ia tidak berkomentar lantas kembali memejamkan matanya dengan mengangkat alisnya menyerah pada lelah yang ia rasakan.
Sepanjang perjalanan Indira masih menerka maksud terima kasih yang Bagas kirim dalam pesannya, setelah sekian lama tidak mengirimkan pesan dan pesan pertamanya begitu singkat padat ‘terima kasih’ tanpa ada hal yang Indira dapat tebak sebagai penyebab dokter tampan itu berucap terima kasih padanya selain mawar putih yang kini mengiasi meja kerjanya di rumah. Beberapa saat ia memandang mawar mawar itu. Setelah sekian mawar ia terima, baru hari ini ia berfikir kenapa harus mawar putih yang Bagas kirimkan dan bukan mawar merah seperti layaknya orang orang pada umumnya.
‘putih adalah ketulusan, permintaan maaf dan perdamaian…. Yang mana yang Bagas kehendaki dari symbol putih dalam mawar ini?’
“kayaknya lama lama itu mawar akan layu karena kamu pelototin Ndi, atau bahkan kaku tanpa membutuhkan air keras saking takutnya pada sorot matamu
Anggi dengan botol minuman khasnya memasuki ruang tengah dengan beberapa berkas di tangan
“Sudah?”
“Ya… tidak banyak yang datang malam mini, sepertinya para Ibu hamil memahami kalau dokternya lagi butuh banyak istirahat”
Indira manggut manggut dengan mulut monyongnya dan ponsel di tangan
“Kenapa, mau curhat? Atau minta obat buat awetin itu mawar”
“Mulai deh…. Sono selesaikan PR mu dan jangan banyak mengomel. Kerja pake otak dan tangan bukan degan mulut ya dr. Anggia yang bawel”
Indira meninggalkan Anggi yang melotot mendengar komentarnya menuju kamarnya, Malam tanpa praktek adalah malam yang memberinya ruang untuk beristirahat lebih awal dengan tenang dan nyaman.
“Jangan lupa ntar pager, pintu dan lampunya ya Nggi” teriaknya kemudian dari dalam kamar mengingatkan sahabatnya yang masih sibuk di ruang tengah
“okay...” sahut Anggi setengah berteriak pula

Di dalam kamar, Indira masih memutar mutar ponselnya. Pesan dari Bagas ia baca berulang ulang, rasanya kalimat singkat itu begitu rumit untuk ia pecahkan tak ubahnya pertanyaan tes IQ yang penuh dengan trik dalam penyelesaiannya
‘tanya… nggak, balas…. nggak’ di atas pembaringannya, Indira terus meragu untuk menjawab pesan Bagas, tapi kemudian ia teringat pada kata kata sang Bunda
‘Jangan mudah percaya pada seseorang, tapi berjalanlah kedepan carilah kebahagiaan barumu dan lupakanlah semua pengalaman itu’
‘Ah Mama… semoga kali ini keputusan Indira benar’ Indira meletakkan ponselnya dan menutup horden kamarnya sebelum ia membersihkan diri sebelum pergi tidur, tapi
Ddrrr drrrr ponselnya bergetar di atas kasurnya, ia menoleh dan melihat lampu tanda pesan masuk berkedip kedip, Indira melihat jam dinding yang ada di kamarnya. 20.47 Wib semalam ini siapa yang menghubunginya. Ia menyelesaikan aktivitasnya menutup horden dengan tenang, ia berfikir jika memang penting pasti akan ada yang menelpon. Beberapa menit berlalu setelah ia membersihkan muka dan berganti pakaian, ia membuka selimutnya berniat untuk menutup hari dengan pergi ke alam mimpi, tapi kelap kelip ponselnya menyadarkan Indira bahwa ada seseorang yang mungkin menunggu jawaban darinya. Dengan memasukkan setengah badannya ke dalam selimut, ia mengatur bantal untuk ia gunakan bersandar pada ranjang seraya membuka pesan yang masuk. ‘Bagas’ nama Bagas tertera di layar ponselnya.
‘Mungkin aku adalah orang yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menahan diri. Sekali lagi untuk hal yang mengecewakanmu aku meminta maaf, maaf kalau apa yang aku anggap sebagai kebenaran itu secara tidak sengaja membuatmu terluka dan terima kasih untuk masih bertahan tidak berubah sikap padaku’
Indira bengong membaca pesan panjang dari Bagas, ia bingung dan semakin bingung untuk memberikan respon, rasanya terlambat baginya untuk menghindar karena Bagas pasti mengetau jika ia sudah membaca pesan yang ia kirimkan malam ini, jika ia tidak menjawab juga mungkin Bagas selamanya akan menganggap dia marah
‘Mungkin aku tidak bisa menebus rasa kecewamu akan sikapku, tapi ijinkan aku untuk menerima maaf darimu serta kembali merasakan kehangatan sikapmu seperti dulu. Indira… kamu masih marahkah padaku?’
Dab benar begitu pesan dibuka oleh Indira, maka pesan kedua masuk, artinya Bagas masih menunggu jawaban darinya. Indira mulai memainkan jari lentiknya
‘Marah?? Atas alasan apa saya marah pada Dokter? Saya tidak memiliki hak untuk itu Dokter dan Anda tidak perlu menghawatirkan akan hal itu. Saya sama sekali tidak marah dan saya mencoba berfikir realistis terhadap apapun alasan yang membuat Anda menyembunyikannya dari saya’
‘Ndi, tolong… jangan lagi pakai Anda, saya ataupun dokter. Kita sedang diluar Rumah Sakit dan apa yang kita bahas jauh dari masalah pekerjaan… bersikaplah sebagai Indira yang aku kenal beberapa bulan lalu, Indira yang melihatku sebagai Bagas dan bukan sebagai dr. Raihan’
‘Lalu?’
‘Maksudmu?’
‘Mawar putih dan terima kasih… apa yang ada di balik semua itu? Inikah yang hendak Anda sampaikan pada saya’
‘Indi Please… panggil aku Bagas’
‘Okay… tolong jelaskankan padaku tentang terima kasih itu… untuk apa?’
Lama Indira menunggu balasan dari Bagas, sepertinya Bagas bingung atas kalimat yang ia kirimkan pada Indira…huft ya sudahlah pikir Indira merapikan dirinya bersiap untuk memejamkan mata tapi lagi lagi ponselnya bergetar
‘Terima kasih karena telah sudi membawa pulang mawar yang kutinggalkan untukmu’
Tepat dugaan Indira, ini soal mawar putih yang selalu ia bawa pulang, atau jangan jangan Anggi mengirim laporan pada Bagas, kalau tidak lantas dari mana Bagas mengetahuinya. Apakah dia mengecek tempat sampah memastikan bunga yang ia tinggalkan tidak berakhir disana? Atau dia melihat langsung tanpa diketahui oleh Indira? Tidak ada yang tahu pasti, tidak mungkin bagi Indira untuk menanyakan itu pada Anggi disaat sahabatnya itu sedang sibuk bekerja, rasanya ini adalah masalah sepele yang sama sekali tidak penting untuk di tanyakan
‘Terlalu sayang untuk dibuang, Dokter… terlalu cantik untuk dibiarkan dan terlalu manis jika harus berakhir di tempat sampah. Itu akan merubah nilai mawar yang indah dan penuh cinta menjadi begitu jahat dan dingin’
‘Begitu ya… sepertinya saya terlalu percaya diri akan hal ini. Maaf Dokter Indira karena sudah mengganggu waktu istirahat Dokter. Selamat malam dan selamat beristirahat’
Sepertinya Bagas kecewa dengan jawaban yang Indira berikan, ia menyudahi pesan yang ia kirimkan dengan ucapan selamat malam. Kini giliran Indira yang merasa tidak enak hati dan bersalah. Indira kembali dengan posisinya bersandar di ranjang. Beberapa kali ia menarik nafas dalam sambil memutar ponselnya bimbang dengan apa yang akan ia lakukan
‘Ah selesaikan Indira, ini yang seharusnya kamu lakukan dengan benar. Kali ini dan jangan ditunda lagi’ bisik hatinya yang mulai cemas
Panggilan cepat ia lakukan, Indira bahkan masih bingung akan mengatakan apa, yang ia sadari hanya satu… bicara dan menyudahi semua konflik maya yang ada antara dirinya dan Bagas. Beberapa saat menunggu, akhirnya telepon terjawab
“Ya, Dokter…”
suara Bagas di seberang, mendengar Bagas menyapanya demikian Indira merasa sakit, Bagas yang selalu menyebut namanya langsung dan kali ini mengikutinya dengan gaya formal membuatnya sedikit terluka ‘what do you want Indira?’ jerit hatinya
“Dokter Bagas marah?”
“Marah??? Atas alasan apa?” Bagas mengembalikan semua jawaban Indira atas pertanyaan yang sama yang telah Bagas tanyakan padanya
“hmmm… barangkali Dokter Bagas tersinggung dengan jawaban saya”
“Nggak ada yang membuat saya tersinggung, Dokter. Tenang saja, saya tidak marah ataupun tersinggung. Dokter tidurlah sudah malam, bukankah besok belum waktunya Dokter Free kan?”
“Dokter”
Indira enggan untuk menutup teleponnya, dan merasaada yang mengganjal dengan sikap Bagas, dalam hatinya ia takut Bagas akan berubah sikap terhadapnya
“Kali ini ijinkan saya ucapkan terima kasih atas sikap Dokter Bagas yang tidak pernah berubah terhadap saya”
“Dokter Indira menginginkan saya berubah dan menyudahi semua sikap saya itu?”
Indira terdiam, sekali lagi ia kebingungan kenapa justru Bagas berbalik menyerangnya dengan pertanyaan
“Dari dulu sampai saat ini saya masih mengharapkan dr. Indira menjadi orang yang terdekat dengan saya. Walaupun saat ini saya tahu sudah kehilangan kesempatan itu, tapi saya masih ingin berusaha mengembalikan semua kepercayaan dr, Indira pada saya. Dokter keberatan?”
“Ah… tidak Dokter, makanya saya berterima kasih untuk sikap Dokter yang masih konsisten itu, tapi……”
“Tapi Dokter Indira masih belum bisa memaafkan saya?”
“Bukan seperti itu Dok, saya… saya bingung untuk menjelaskannya kepada Dokter”
“Dokter Indira tidak perlu menjelaskan apapun, saya bisa mengerti. Yang saya butuhkan saat ini hanya satu, keyakinan bahwa saya dimaafkan dan saya masih mempunyai kesempatan untuk membenahi kesalahan saya itu”
“Tapi Dokter, semuanya tidak sesederhana itu untuk saya”
“Jadikan hal yang tidak sederhana itu menjadi sederhana Dokter, ini bukanlah sebuah penyakit yang membutuhkan uji klinis secara detail dan tidak bisa disederhanakan. Jangan bebani pikiran dan hati Dokter dengan masalah ini, berfikirlah secara sederhana pada hal yang bisa disederhanakan”
“hmmmm baiklah Dok, saya akan memakai cara Anda. Sabtu ini, jika Dokter melihat saya di acara pelantikan dengan menanggalkan semua bahasa formal ini, maka itu artinya saya sudah menyederhankan cara pikir saya”
Oh begitukah, Dok. … saya berharap yang terbaik akan saya dapatkan sabtu ini, walaupun saya tidak berani bermimpi banyak, tapi saya akan menunggunya. Dan sekarang sudah malam, Dokter Indira harus dinas esok pagi, istirahatlah”
Pembicaraan disudahi dan Indira menarik nafasnya lega, ia membaringkan tubuhnya dengan tenang. Matanya terpejam tanpa beban


*Note : Last Part nya nyusul ya…. Hehehehe ternyata lom bisa rampungin, sabar sabar bagi yang sudah menunggu dan terima kasih sudah berkenan menunggu untuk membaca karya ini


Dont Miss It :
Part 15 :HOLD MY HAND 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar