Selasa, 19 Januari 2016

PART 15 : HOLD MY HAND




Part 15

Masih cukup pagi Bagas terbangun dari tidurnya bahkan adzan subuh juga belum berkumandang tapi mata tidak dapat ia pejamkan kembali, rasanya debar jantungnya makin cepat dan semakin cepat saat dia mulai membuka mata kecepatan debarannya makin bertambah. Bagas menegakkan punggungnya bersandar pada bantal yang ada, duduk di atas ranjang dan memandang jarum jam  dinding berharap hari segera berubah terang, bukan karena dia tidak sabar mengawali aktivitas tetapi berharap hari segera berlalu dan berganti dengan cepat. Huuuuuuft... rasa kantuk seakan benar benar pergi dari matanya dan ia menyesali dirinya yang terjaga sebelum pagi benar benar tiba, Bagas menarik nafasnya lemah, ia melirik meja yang ada di sisi kirinya, ponsel yang diam membisu itu ia raih dan dia kembali membuka kotak pesan yang ada disana
‘Bisa kita bicara sebentar, dalam waktu 5 menit aku akan ke ruang kerjamu’
Pesan itu tidak pernah dijawab oleh Indira dan diamnya Indira itu membawa langkah Bagas sampai ke depan ruang kerjanya dengan jawaban yang ia dapatkan tentang kegundahan hati Indira tentang dirinya. Namun sayangnya jawaban itu membuat Bagas tak sanggup untuk melakukan apapun, saran dari Tama membuatnya sedikit menahan diri dan untuk meminta saran dari Anggi juga ia pikir hanya akan menambah beban pikiran dan memusingkan kepalanya karena pastinya sepupunya itu akan memberikan saran yang ekstrim.
‘terima kasih kamu sudah memberikan tempat buatku dalam hatimu, Ndi. Aku pastikan kamu nggak akan menyesali keputusanmu menempatkan aku dalam ruang kosong itu. Entah berapa persen aku mulai mengisinya, yang pasti aku bersyukur untuk itu. Akan aku raih tanganmu yang mulai lemah terulur untukku .. tunggulah’
Ada senyum tersungging dibibir Bagas yang nampak lebih percaya diri, walaupuun dia belum mengetahui dengan pasti apa yang akan ia lakukan. Yang jelas saran Tama untuk bersikap sebagai lelaki akan selalu ia ingat dan akan ia gunakan disaat yang tepat.

Pagi ini adalah hari pertama ia menginjakkan kaki di RS. Waluyo sebagai bagian dari Rumah Sakit itu setelah ia memutuskan menerima amanah orang tuanya untuk memegang kepemimpinan di Rumah Sakit itu sebagai seorang pemegang tongkat estafet usaha keluarga. Belum ada serah terima langsung dari kepemimpinan sebelumnya yang dipegang oleh dr. Satya, tapi rapat Direksi sudah mengetahui keputusan itu dan hanya menunggu saat pelantikan saja. Sejak ia membuka mata sebelum subuh datang, rasanya debar hatinya tak dapat ia kuasai. Ketegangan memegang pisau operasi untuk pertama kalinya ia rasakan kembali bahkan lebih tegang dari itu, bukan karena ia menduduki posisi paling atas di Rumah Sakit dengan tanggung jawab besar melainkan menepatkan diri di hadapan Indira yang membuatnya bingung harus bersikap seperti apa di hadapan dokter cantik itu setelah apa yang terjadi diantara mereka. Bagas masih ragu dengan apa yang akan ia lakukan jika bertemu dengan Indira di Waluyo dengan statusnya kini dan bakal seperti apa kecanggungan itu terjadi setelah hubungan mereka yang tidak lagi sedekat dulu.
Seperti biasa rutinitas pagi masih ia lakukan tanpa mengingat seperti apa sikap Indira padanya, konsistensi sebagai pejuang masih ia lakukan tiada henti, begitupun hari ini. Sebelum memasuki ruang kerja dr. Satya yang akan berganti sebagai ruang kerjanya, Bagas menyempatkan diri mampir ke ruang kerja Indira. Dalam ruangan itu hanya terlihat suster Mia dengan daftar pasien yang datang. Melihat Bagas datang, ia  melemparkan senyum pada Bagas dengan anggukan hormatnya meskipun ia belum mengetahui secara pasti siapa Bagas sebenarnya. Suster Mia sedikit tersipu melihat ulah Bagas yang ia kenal sebagai dr. Raihan itu. Hari ini Bagas memakai pakaian resmi dengan kemeja dan dasi lengkap dengan Jas putihnya, tapi itu tidak membuat suster Mia kaget, bukan lagi pemandangan aneh jika Bagas memasuki ruang kerja dokter umum karena itu seakan menjadi pemandangan harian saat dr. Indira yang berdinas, bahkan saat Bagas masih dinas di Medika.
“Suster Mia, terima kasih ya atas jawabannya tempo hari” ucap Bagas saat menaruh bawaannya di meja kerja Indira dan seakan tidak memperhatikan suster Mia
“ya?”
“Jawaban Suster pada pertanyaan dr. Indira tempo hari membuat saya benar benar bersyukur dan berharap keajaiban terjadi dari sana”
“itu bukan apa apa, Dokter… saya menyampaikan apa yang memang menjadi pemikiran saya”
“Apapun itu yang menjadi dasarnya, saya ucapkan terima kasih. Dan saya janji Suster Mia akan melihat saya meraih kebahagiaan saya tanpa harus melewatkannya, karena saya juga percaya ada kepantasan untuk saya disana”
Susuter Mia mengangguk dan tersenyum mendengarkan kata kata Bagas penuh keyakinan lalu ia melirik ke arah meja kerja atasannya, kotak biru muda kini berdampingan dengan setangkai mawar putih telah duduk manis disana. Bagas tersenyum sedikit merasa malu karena senyum suster itu seakan menguliti isi hatinya, tapi baginya keberadaan suster Mia sangat membantunya untuk selalu menyampaikan apa yang ia titipkan untuk Indira.
“Dokter”
Suster Mia menghentikan langkah Bagas yang hendak meninggalkan ruangan, suster Mia bangun dari tempat duduknya dan menghampiri dimana Bagas berdiri, Bagas menatap suster Mia dengan pandangan penasaran, ia tahu ada sesuatu yang ingin suster Mia sampaikan padanya
“Hmm… anu, itu…..”
“Kenapa Suster? Bicaralah”
“hmmm… ini soal dr. Indira”
“ kenapa dengan dr. Indira?? ….. ah, soal kotak makanan serupa yang juga selalu di terima oleh dr. Indira?
Saya sudah mengetahuinya Suster dan saya tidak mempersoalkan itu, selama sikap Indira tidak merespon sang pengirimnya maka saya tidak berkeberatan dan saya juga tidak memiliki hak untuk melarang dr. Inidra menerima itu” Bagas mencoba menebak setelah ia mengikuti kemana arah mata suster Mia menuju.
“Bukan itu Dokter”
“lalu?”
“Maaf sebelumnya dr. Raihan… jika soal kotak makanan itu, saya yakin bahwa dr. Raihan telah mengetahuinya, tapi ini bukan soal kotak makanan, melainkan tentang dr. Indira secara pribadi”
“Apa itu Suster?”
“Saya mungkin sedikit lancang, Dokter, tapi saya berharap bahwa dr. Indira bisa merasakan kebahagian dan senyum ceria tanpa beban karena Dokter Bagas. Hanya saja beberapa kali saya mendengar bahwa dr. Indira berniat untuk …. Untuk….”
“Untuk apa Suster? Bicaralah”
Suster Mia sedikit ragu meneruskan kalimatnya, ia takut apa yang akan ia sampaikan pada Bagas justru akan membuatnya dalam masalah dan bukanlah keputusan yang tepat, ia terdiam sejenak menimbang nimbang apakah ia akan meneruskan kalimatnya atau tidak…
“Suster Mia….” Bagas menunggu jawaban suster Mia yang kelihatan sedikit berfikir
“Apa yang akan saya sampaikan ini sepertinya masih dirahasiakan oleh dr. Indira, tapi saya percaya dr. Raihan akan bisa membuat dr. Indira memutuskan segala sesuatunya dengan benar. Kalaupun memang beliau melakukan itu, paling tidak bukan untuk bersembunyi”
“Bersembunyi??? Apa maksud suster Mia? Apa sebenanya yang akan dilakukan oleh  dr. Indira, Suster?” Bagas mulai dipenuhi rada penasaran dengan apa yang hendak Suster Mia sampaikan
“dr. Indira bermaksud untuk mengambil pendidikan specialis” jawab suster Mia tanpa basa basi lagi
“Ya?... apa itu keluar dari mulut dr. Indira sendiri, Suster?”
“Iya Dokter… setelah pembicaraan yang dokter dengarkan tempo hari, saya yakin dr. Indira memutukan itu semua karena ia bingung mengambil keputusan. Saya berharap jika memang Dokter ingin meraih tangan itu, pastikan sebelum dr. Indira pergi untuk melaksanakan niatnya itu, Dokter. Saya tahu itu adalah pilihan tepat bagi seorang dokter, tapi saya ragu untuk mengatakan jika itu adalah keputusan yang dr. Indira ambil sebagai keputusan tepat untuk saat ini
Bagas mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum, dia bisa menangkap bahwa suster Mia menginginkan Indira tinggal ataupun berkeinginan sederhana mengharapkan dirinya segera mengambil langkah konkrit untuk bisa berjalan berdampingan dengan atasannya itu, sepertinya suster Mia sangat paham akan kepribadian Indira yang mencoba menyimpan segala beban hatinya seorang diri dengan berlari menghindar.
“I’ll do my best, suster… doakan saya ya dan terima kasih atas informasinya”
Bagas melangkahkan kakinya dengan sedikit menyisakan tanya di otaknya tentang keputusan Indira untuk mengambil pendidikan specialist, bahkan Bagas sangat yakin kalau sepupunya belum mengetahui itu karena Anggi masih tenang dan tidak seperti seseorang yang akan sanggup meruntuhkan tembok cina kala dia menghawatirkan sesuatu. Bagas memahami benar keinginan terbesar Anggi terhadapnya adalah segera merealisasi hubungan dengan Indira secara formal bukan hubungan dekat yang berkamuflase
‘kuliah…. Indira?’
Pikiran Bagas sekali lagi mulai tidak tenang. Ketidak tenangan yang ia alami sedari pagi buta seakan kini semakin membuatnya ingin menyudahi hari ini dengan segera tak perduli apapun yang terjadi. Berada di ruangan dr. Satya dalam satu wilayah dengan Indira saja membuatnya bingung dengan apa yang akan ia lakukan saat ia bertemu dengan Indira, rasa bersalah pada Indira tentang identitasnya belum ia jelaskan dan sekarang bahkan disaat saat mendekati peresmian dirinya sebagai kepala Rumah Sakit jutru harus menerima kabar tentang rencana Indira meninggalkan Rumah Sakit dimana ia kini berada.
‘Apakah kamu berniat untuk melarikan diri lagi, Ndi… apakah ini jawaban atas kekecewaan dirimu padaku. Sekali lagi kenapa kamu seakan membentangkan jarak, kamu terus berlari saat aku mulai mendekatimu. Kenapa, kenapa kamu harus berubah arah… berjalanlah padaku Ndi, kamu tak perlu lagi bersembunyi dan menghianati hatimu sendiri’
Bagas memegang kepalanya yang tidak terasa pusing, di atas sofa ia menyandarkan dirinya seraya menunggu kedatangan dr. Satya.
melarikan diri dariku…. Tidak, kau tidak boleh melakukan itu padaku Indira’
“Tidak, tidak boleh dibiarkan” Bagas memerangi kata hatinya sendiri
“Apanya yang nggak boleh Gas?”
Bagas terkejut dan membuka matanya… kini Anggi beserta dr. Satya ada dihadapan matanya. Ia melipat lengan bajunya untuk melihat jarum jam lalu beralih menatap Anggi
“Apa yang kamu lakukan disini, pasienmu?” tanyanya kemudian pada Anggi yang memilih untuk mengambil tempat duduk bersebelahan bahkan menempel pada Bagas menggodanya
“Jangan mengalihkan pembicaraan… apanya yang nggak boleh?”
“Bukan mengalihkan pembicaraan, tapi lihat ini baru jam 9, ngapain kamu disini. Apakah pasienmu kamu usir agar bisa melihatku disini”
“Hmmm siapa kamu, artis??? Ckckckckck... ini nih Om yang Anggi takutkan. Dia pasti akan super ketat mengawasi gerak gerik setiap dokter disini. Dia lebih takut kehilangan pasien dari pada sepupunya”
“Tentu saja, kehilangan pasien adalah hukuman mati bagi profesi seperti kita”
“hahahhhaaa santai Mas Bro. ada dokter lain yang berdinas hari ini. Special for you, hari ini adalah waktu rehatku tapi aku harus tetap ada di Rumah Sakit ini demi kelangsungan hidup sepupuku tercinta ini. Makanya jangan hanya memonitor jadwal Indira, sekali kali jadwal aku dong....
Anggi menggoda Bagas dengan keusilannya yang membuat dr. Satya hanya bisa tersenyum melihat dua orang saudara sepupu beradu argument tanpa memandang status. Keduanya menanggalkan status sebagai  atasan dan bawahan, yang ada di pikiran mereka saat bertemu adalah bercanda dan saling menggoda, terutama Anggi. Dan benar, mereka adalah rekan sejawat bukan atasan dan bawahan.
“apa yang nggak boleh, Gas… hem, apa… apa??” Anggi setengah berbisik dan menyenggol nyenggol bahu Bagas masih berusaha menggoda sedangkan Bagas tak merespon sedikitpun
“Indira… kamu sudah bertemu Indira? hari ini dia berangkat lebih pagi loh”
“Apaan sih Nggi… udahlah serius sedikit”
“Hmmm gayamu Gas, kayak nggak butuh saja, hati hati… Indira sudah mengambil ancang ancang”
“Apa??”
“Gas, kamu sudah siap kan, hari ini adalah hari kerja pertamamu disini. Singkirkan segala perasaan pribadi saat kamu duduk di posisimu, kamu harus bisa obyektif melihat segala yang terjadi. Sebelum serah terima jabatan dilaksanan kamu bisa mempelajari semuanya dulu beberapa hari kedepan”
Dr. Satya memutus jalur kegaduhan dari candaan antara Bagas dan Anggi, ia menegaskan konsekwensi dari jabatan yang akan Bagas emban setelah dirinya pensiun.
“Satu lagi, tentang apa yang kamu bilang tidak boleh tadi…. Ya benar, kamu memang nggak boleh seenaknya memperlakukan Indira sebagai teman istimewamu. Dia adalah seorang dokter disini, perlakukan dia sebagai dokter di wilayah ini, diluar wilayah Waluyo kamu bebas memperlakukan dia asalkan dengan satu syarat.. kesepakatan bersama. Hahahhaha”
Anggi terus berusaha menggoda Bagas dalam setiap kesempatan yang ada.
“Itu benar, segala perasaan pribadi harus ditanggalkan atas nama profesionalisme” dr. Satya menyetujui ucapan Anggi seraya tersenyum mengamati perubahan raut muka Bagas dan Bagas hanya tersenyum sambil mengangkat jempolnya lalu berjalan mendekati meja kerja dr. Satya yang kini sudah penuh dengan beberapa proposal kerja.
Jarum jam terus berputar, jam istirahat usai dan mentaripun mulai bergeser membawa suasana sedikit lebih hangat dan meninggalkan teriknya di tengah hari. Makan siang Bagas lakukan dalam ruang kerja dengan makanan yang Anggi bawa dari rumah demi untuk menghindari pertemuan dengan Indira.
Jam menunjukkan pukul 3 sore. Bagas bersiap untuk pulang.
Tak tok tak tok
Ada suara dentuman heels dibalik punggungnya, ia ragu untuk menengok dan mencari sumber suara. Ia takut itu suara heels sepatu Indira. Bagas terus melangkah menuju area parkir dan benar dari dalam mobil sebelum ia meninggalkan Waluyo, Bagas melihat Indira berjalan menuju mobilnya sambil menjawab telepon, tangannya berhenti untuk menghidupkan mesin mobil. Dalam diam Bagas hanya bisa mengawasi Indira dari kejauhan, yang terpenting saat ini adalah Indira belum berubah, ya belum berubah. Bagas memejamkan matanya dan memasang telinga setajam mungkin menunggu derungan suara mobil Indira berlalu.
Tok tok
Ada seseorang mengetuk kaca mobilnya, Bagas membuka mata dan menurunkan kaca ...
“Indira.... ah maksud saya dr. Indira”
Rupanya Indira menyadari keberadaan Bagas di area parkir sehingga dia mengurungkan niatnya untuk memasuki mobil dan justru mendekati Bagas karena ia melihat Bagas yang menyandarkan badannya dan terlihat lelah
“dr. Bagas” Indira menyapa ringan masih dengan senyum khas menghiasi wajahnya seakan tidak ada yang terjadi di antara mereka sehingga Bagas cuma bisa diam di balik kemudi dengan senyum hambarnya....
“Dokter baik baik saja, perlu saya antarkan”
“Apa?”
Bagas sedikit kaget dengan pertanyaan Indira padanya, sedikitpun tidak ada dalam bayangannya Indira menghampirinya dan mengatakan itu. Ada kesan kehawatiran dalam kalimat Indira, dalam hati Bagas tertawa senang
“Ah saya baik baik saja, Dokter” jawabnya kemudian setelah ia mampu menguasai dirinya untuk tidak larut dalam harapannya sendiri
“Yakin?? Kalau dokter tidak berkeberatan, saya bersedia mengantarkan dr. Bagas”
Indira masih belum percaya dengan penjelasan yang Bagas berikan, dalam hati Bagas berfikir apakah ia terlihat sangat kacau sehingga Indira begitu hawatir. Bagas masih tetap dalam kebingungannya untuk memberikan jawaban, sebenarnya ia ingin bersama Indira walau sekedar untuk mengobrol, tapi bukan sebagai seseorang yang membutuhkan pertolongan melainkan seseorang yang memang Indira butuhkan untuk menemaninya menghabiskan waktu.
“Permisi Dokter, berikan pada saya…. Seorang dokter harus bisa menjaga kondisinya untuk selalu sehat sebelum ia menolong orang lain, bukankah itu yang dulu dokter ucapkan pada saya”
Tiba tiba Indira membuka pintu mobil dan memaksa Bagas keluar mengikuti kemana Indira membawanya, duduk dikursi penumpang dan Indira mengambil alih posisi kemudi.
“hmmmm….. mobil dr. Indira?”
Akhirnya pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Bagas, ia merasa bingung harus memberikan respon seperti apa pada gadis yang berhasil membuat setiap waktu sengangnya tidak terbuang sia sia tanpa memikirkannya dan menyapu bersih sisi intelektualnya jika memikirkan tindakan apa yang harus ia ambil saat bertemu dengan gadis itu, dan saat ini ia merasa seperti orang yang sangat bodoh di hadapan Indira karena dia hanya mampu mengikuti petintah Indira tanpa sepatah katapun terucap sebagai usaha penolakan.
“Ini Rumah Sakit tempat saya bekerja, Dok. Bukan pasar… jadi mobil itu pasti aman dalam penjagaan petugas”
Indira mulai menginjak pedal gas dan tersenyum menimpali pertanyaan Bagas yang terdengar seperti pertanyaan konyol dengan ekspresi muka Bagas yang terlihat sedikit shock
“Tenang saja Dok, saya lulus tes untuk mendapatkan SIM dan saya juga tidak akan kesulitan walau meninggalkan mobil saya disini” lanjutnya kemudian, ia tahu Bagas sedang menatapnya saat ini sehingga ia hanya focus pada jalan yang ada di depannya.
‘Bagas… sadar! Indira hanya melakukan tindakan sederhana. Jangan berfikir terlalu tinggi, come on’
Tanpa sadar Bagas tersenyum sendiri menertawakan dirinya, kata kata Indira seakan memaksa segala harapannya untuk pergi

Perjalanan sedikit hening, Bagas tidak berani mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya sehingga ia memilih berpura pura tertidur agar Indira tidak merasa canggung ataupun tidak merasa kikuk dengan suasana yang ada di antara mereka.
Indira tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di rumah Bagas. Menurut Anggi, Bagas tidak tinggal di rumah orang tuanya dan memiliki rumah sendiri yang ia tinggali selama ia menjadi dokter, tapi dimana itu Indira tidak pernah tahu… dengan memperlambat laju mobil yang ia kemudikan, Indira melirik ke arah Bagas. Matanya tertutup bersandar pada tempat duduknya dan pelupuk mata yang tertutup itu nampak sangat lelah
‘kemana aku harus membawa mobil ini, haruskah aku membangunkannya…. Ah tidak, sepertinya dia sangat capek dan seandainya aku membangunkannya, pasti kecanggungan itu akan kembali… huft, tidak ada pilihan lain’
Indira menepikan mobil putih itu di depan sebuah Mini Market, ia mematikan mesin dan membuka sedikit kaca mobil lalu meninggalkan Bagas dalam tidurnya memasuki Mini Market. Rasanya tenggorokannya kering setelah bertahan mengunci mulut beberapa menit selama perjalanan, bersyukur ia hanya berada di sebuah kota kecil yang tidak mengenal istilah macet. Setidaknya ia tidak tersiksa dalam waktu yang lama karena hanya bisa mengunci mulutnya dengan menelan air ludahnya saat ada seseorang yang sebenarnya bisa ia ajak mengobrol.
Memasuki Mini Market, Indira langsung melangkahkan kakinya menuju deretan lemari pendingin yang berisi beraneka macam minuman dingin di sisi kiri pintu masuk setelah rak yang berisi snack. Indira tidak ingin membuang waktunya terlalu banyak, maka langkah kaki itu ia percepat dan….. ‘Ah aouuuuch’ tubuh kecil menabrak dirinya dan kini ia merasakan ada satu benda kecil terasa menusuk kakinya seperti jarum kecil tengah menancap disana. Indira urung membuka lemari pendingin minuman yang sudah ia pegang lalu mengalihkan pandangannya pada kakinya yang terasa sedikit perih.
“Oh… maaf, saya nggak sengaja… anu, Bunda”
Gadis kecil yang membawa satu kantung nungget dan pisau terjatuh dihadapannya nampak ketakutan, Indira membantunya berdiri dengan sabar dan senyuman
“Nggak apa apa, hati hati ya”
“Tapi tante terluka”
“Luka kecil, nanti diobati juga sudah sembuh”
Gadis itu menatap luka di kaki Indira dengan tatapan bersalah, ia hampir menangis melihat ada darah yang diam diam keluar dari goresan pisau yang tidak sengaja ia jatuhkan di kaki Indira.
“Syifa…. Astaga, Oh Anda terluka…. Hmmm bunda kan sudah bilang, Papa pasti sudah punya pisau”
“Bunda, Syifa nggak sengaja Bun, tadi Syifa senang banget mau ketemu Papa. Jadinya…..”
“Ehmm maafkan saya, Bu. Luka Anda?”
“Nggak apa apa kok, nanti diobati. Hmmm namanya Syifa ya? Udah nggak perlu sedih, Tante baik baik saja kok. Bundanya nggak marah, hanya kaget… sekarang anak manis nggak boleh murung ya”
“Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Anak saya terlalu bersemangat untuk ketemu Papanya dan bantuin masak buat Papanya kebetulan kami dari luar kota jadinya dia terlalu senang”
Indira tersenyum dan mengangguk memaklumi, ia merendahkan posisi badannya duduk di depan sang bocah sambil mengeluarkan tissue dari dalam tasnya.
“Lihat… darahnya udah hilang kan, di lap pake tissue ini aja udah nggak keluar darahnya, artinya nggak parah, namcap dikit doang. Masa mau ketemu sama Papa dan kasih kejutan, Syifa mukanya murung. Senyum ya… tante baik baik saja”
Syifa mengangguk lemah dan menggandeng tangan sang Bunda, gadis kecil itu masih sedikit shock dengan apa yang baru ia alami di hari pertama ia menginjakkan kaki di kota asing
“Sudah Bu, saya pastikan saya nggak apa apa kok, kasihan Syifa masih sangat shock. Ibu bawa Syifa belanja lagi ya biar dia sedikit tenang”
“Terima kasih Bu, dan sekali lagi saya minta maaf”
Indira mengangguk tulus, lalu ia melambaikan tangannya pada Syifa agar sang bocah merasa tenang.

Beberapa saat Indira keluar dari dalam mini market dan melihat Bagas sudah ada di luar mobil menunggunya, nampaknya Bagas mengetahui Indira masuk dalam mini Market karena dokter ganteng itu tidak menghubungi nomor ponsel Indira untuk memastikan. Indira sedikit pincang membawa dua kantung tas kresek da nada tissue yang menutup kakinya, Bagas heran
“Haaah dr Bagas sudah bangun, maaf ya Dok jadinya nunggu soalnya saya nggak tahu harus mengantar dokter kemana”
Indira menawarkan air mineral pada Bagas yang berdiri bersandar pada mobilnya, tapi mata Bagas justru berkonsentrasi pada tissue yang menempel di kaki Indira serta keberadaan Betadine serta botol alcohol di dalam tas kresek yang di bawa Indira
“Itu?”
“Oh… iya ini tadi ada kecelakaan kecil”
“Sini biar aku lihat”
Bagas menaruh botol minumannya di atas mobil dan memaksa Indira duduk dalam mobil dengan kaki yang terulur keluar. Tanpa kesadaran Bagas mencopot sepatu Indira dan membuka tissue yang menutup luka itu sementara Indira hanya bisa bengong
“ini kok bisa begini sih, Ndi”
Karena cemas segala bentuk gaya bahasa formal lenyap dari otak Bagas, melihat sikap Bagas yang seperti itu Indira hanya bisa diam dan sesekali meringis menahan perih saat Bagas mengobati lukanya
“Memangnya apa yang terjadi di dalam sana, ini seperti ada benda tajam menancap disini”
“Jangan melebih lebihkan, Dok. Nggak nancap kok hanya jatuh dengan posisi yang salah”
“Tapi apa itu, kok bisa?”
“Tadi ada anak kecil lagi bantuin Ibunya belanja jatuh dan naasnya dia bawa pisau dapur jadinya kena di kaki saya”
“Hmmm… sudah, untung nggak dalam dan nggak butuh jahitan”
“Terima kasih… oh iya, saya harus mengantarkan dr. Bagas kemana ini?”
“Acara berubah… sekarang saya yang akan mengantarkan Anda pulang”
Bagas mengantarkan Indira duduk di kursi penumpang depan dan dia mengambil kembali kendali kemudi bersiap memutar arah mobilnya
“Rendy?”
Tiba tiba Indira menyebut nama seseorang, gadis itu mendorong badannya meju untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Bagas mengikuti kemana arah mata Indira memandang
“Rendy? Oh dr. Indira kenal dia?”
Indira terdiam tidak menjawab pertanyaan Bagas, matanya masih tertuju pada sosok yang ia kenal sebagai Rendy, sahabat kecilnya.
“Sepertinya saya salah orang Dok, Rendy sahabat saya belum menikah”
“Oh begitu…. Bisa kita melanjutkan perjalanan?”
“Ah iya Dokter”
Indira masih sibuk dengan pikirannya, apakah benar yang ia lihat itu bukan Rendy karena ia yakin ia belum lupa bagaimana rupa sahabatnya itu meskipun sejak peristiwa tentang Prasta merusak hubungan persahabatan antara mereka
‘Kalau Prasta ada di kota ini, maka besar kemungkinan Rendy juga ada disini. Lalu wanita dan anak kecil tadi anak istri Rendy…. Dia sudah menikah dengan anak yang sebesar itu??? Kenapa aku tidak tahu, tapi apakah benar itu tadi Rendy. Sepertinya aku tidak salah orang’
Indira terdiam dan sesekali terlihat mengeryitkan dahinya seakan berfikir akan sesuatu. Jari yang ia gigit membuat Bagas sadar bahwa Indira sedang memikirkan sesuatu dengan serius.
‘Rendy?? Siapa lagi Rendy… apakah bagian dari masa lalu Indira yang belum aku ketahui. Tapi sepertinya aku mengenal laki laki tadi… Rendy, apakah itu Rendy sahabat Tama, bukankah dia masih belum berkeluarga, tapi sepertinya tadi dia menjemput seorang wanita dan anak kecil?’
Bagaspun mulai sibuk dengan pikirannya setelah melihat sikap Indira dan seseorang yang Indira kenali. Keduanya larut dalam pikiran masing masing sampai akhirnya tersadar telah tiba di depan kontrakan Indira.


 Dont Miss It :
Part 14 : HOLD MY HAND

Tidak ada komentar:

Posting Komentar