Part 15
Masih cukup pagi Bagas terbangun dari tidurnya bahkan
adzan subuh juga belum berkumandang tapi mata tidak dapat ia pejamkan kembali, rasanya debar jantungnya makin cepat dan semakin cepat
saat dia mulai membuka mata kecepatan debarannya makin bertambah. Bagas menegakkan
punggungnya bersandar pada bantal yang ada, duduk di atas ranjang dan memandang jarum jam dinding berharap hari segera berubah terang, bukan karena dia
tidak sabar mengawali aktivitas tetapi berharap hari segera berlalu dan berganti
dengan cepat. Huuuuuuft... rasa kantuk seakan
benar benar pergi dari matanya dan ia menyesali dirinya yang terjaga sebelum
pagi benar benar tiba, Bagas menarik
nafasnya lemah, ia melirik meja yang ada di sisi kirinya, ponsel yang diam
membisu itu ia raih dan dia kembali membuka kotak pesan yang ada disana
‘Bisa kita
bicara sebentar, dalam waktu 5 menit aku akan ke ruang kerjamu’
Pesan itu tidak pernah dijawab oleh Indira dan diamnya
Indira itu membawa langkah Bagas sampai ke depan ruang kerjanya dengan jawaban yang
ia dapatkan tentang kegundahan hati
Indira tentang dirinya.
Namun sayangnya jawaban itu membuat Bagas tak sanggup untuk melakukan apapun,
saran dari Tama membuatnya sedikit menahan diri dan untuk meminta saran dari
Anggi juga ia pikir hanya akan menambah beban pikiran dan
memusingkan kepalanya karena pastinya sepupunya itu akan
memberikan saran yang ekstrim.
‘terima kasih kamu
sudah memberikan tempat buatku dalam hatimu, Ndi. Aku pastikan kamu nggak akan
menyesali keputusanmu menempatkan aku dalam ruang kosong itu. Entah berapa
persen aku mulai mengisinya, yang pasti aku bersyukur untuk itu. Akan aku raih
tanganmu yang mulai lemah terulur untukku .. tunggulah’
Ada
senyum tersungging dibibir Bagas yang nampak lebih percaya diri, walaupuun dia
belum mengetahui dengan pasti apa yang akan ia lakukan. Yang jelas saran Tama
untuk bersikap sebagai lelaki akan selalu ia ingat dan akan ia gunakan disaat
yang tepat.
Pagi
ini adalah hari pertama ia menginjakkan kaki di RS. Waluyo sebagai bagian dari
Rumah Sakit itu setelah ia memutuskan menerima amanah orang tuanya untuk memegang
kepemimpinan di Rumah Sakit itu sebagai seorang pemegang tongkat estafet usaha
keluarga. Belum ada serah terima langsung dari kepemimpinan sebelumnya yang
dipegang oleh dr. Satya, tapi rapat Direksi sudah mengetahui keputusan itu dan
hanya menunggu saat pelantikan saja. Sejak ia membuka mata sebelum subuh
datang, rasanya debar hatinya tak dapat ia kuasai. Ketegangan memegang pisau
operasi untuk pertama kalinya ia rasakan kembali bahkan lebih tegang dari itu,
bukan karena ia menduduki posisi paling atas di Rumah Sakit dengan tanggung
jawab besar melainkan menepatkan diri di hadapan Indira yang membuatnya bingung
harus bersikap seperti apa di hadapan dokter cantik itu setelah apa yang
terjadi diantara mereka. Bagas masih ragu dengan apa yang akan ia lakukan jika
bertemu dengan Indira di Waluyo dengan statusnya kini dan bakal seperti apa
kecanggungan itu terjadi setelah hubungan mereka yang tidak lagi sedekat dulu.
Seperti
biasa rutinitas pagi masih ia lakukan tanpa mengingat seperti apa sikap Indira
padanya, konsistensi sebagai pejuang masih ia lakukan tiada henti, begitupun
hari ini. Sebelum memasuki ruang kerja dr. Satya yang akan berganti sebagai
ruang kerjanya, Bagas menyempatkan diri mampir ke ruang kerja Indira. Dalam
ruangan itu hanya terlihat suster Mia dengan daftar pasien yang datang. Melihat
Bagas datang, ia melemparkan senyum pada
Bagas dengan anggukan hormatnya meskipun ia belum mengetahui secara pasti siapa
Bagas sebenarnya. Suster Mia sedikit tersipu melihat ulah Bagas yang ia kenal
sebagai dr. Raihan itu. Hari ini Bagas memakai pakaian resmi dengan kemeja dan
dasi lengkap dengan Jas putihnya, tapi itu tidak membuat suster Mia kaget, bukan
lagi pemandangan aneh jika Bagas memasuki ruang kerja dokter umum karena itu
seakan menjadi pemandangan harian saat dr. Indira yang berdinas, bahkan saat Bagas
masih dinas di Medika.
“Suster
Mia, terima kasih ya atas jawabannya tempo hari” ucap Bagas saat menaruh
bawaannya di meja kerja Indira dan seakan tidak memperhatikan suster Mia
“ya?”
“Jawaban
Suster pada pertanyaan dr. Indira tempo hari membuat saya benar benar bersyukur
dan berharap keajaiban terjadi dari sana”
“itu
bukan apa apa, Dokter… saya menyampaikan apa yang memang menjadi pemikiran
saya”
“Apapun
itu yang menjadi dasarnya, saya ucapkan terima kasih. Dan saya janji Suster Mia
akan melihat saya meraih kebahagiaan saya tanpa harus melewatkannya, karena
saya juga percaya ada kepantasan untuk saya disana”
Susuter
Mia mengangguk dan tersenyum mendengarkan kata kata Bagas penuh keyakinan lalu
ia melirik ke arah meja kerja atasannya, kotak biru muda kini berdampingan
dengan setangkai mawar putih telah duduk manis disana. Bagas tersenyum sedikit
merasa malu karena senyum suster itu seakan menguliti isi hatinya, tapi baginya
keberadaan suster Mia sangat membantunya untuk selalu menyampaikan apa yang ia
titipkan untuk Indira.
“Dokter”
Suster
Mia menghentikan langkah Bagas yang hendak meninggalkan ruangan, suster Mia
bangun dari tempat duduknya dan menghampiri dimana Bagas berdiri, Bagas menatap
suster Mia dengan pandangan penasaran, ia tahu ada sesuatu yang ingin suster
Mia sampaikan padanya
“Hmm…
anu, itu…..”
“Kenapa
Suster? Bicaralah”
“hmmm…
ini soal dr. Indira”
“
kenapa dengan dr. Indira?? ….. ah, soal kotak makanan serupa yang juga selalu di
terima oleh dr. Indira?
Saya
sudah mengetahuinya Suster dan saya tidak mempersoalkan itu, selama sikap
Indira tidak merespon sang pengirimnya maka saya tidak berkeberatan dan saya
juga tidak memiliki hak untuk melarang dr. Inidra menerima itu” Bagas mencoba
menebak setelah ia mengikuti kemana arah mata suster Mia menuju.
“Bukan
itu Dokter”
“lalu?”
“Maaf
sebelumnya dr. Raihan… jika soal kotak makanan itu, saya yakin bahwa dr. Raihan
telah mengetahuinya, tapi ini bukan soal kotak makanan, melainkan tentang dr.
Indira secara pribadi”
“Apa
itu Suster?”
“Saya
mungkin sedikit lancang, Dokter, tapi saya berharap bahwa dr. Indira bisa
merasakan kebahagian dan senyum ceria tanpa beban karena Dokter Bagas. Hanya
saja beberapa kali saya mendengar bahwa dr. Indira berniat untuk …. Untuk….”
“Untuk
apa Suster? Bicaralah”
Suster
Mia sedikit ragu meneruskan kalimatnya, ia takut apa yang akan ia sampaikan
pada Bagas justru akan membuatnya dalam masalah dan bukanlah keputusan yang
tepat, ia terdiam sejenak menimbang nimbang apakah ia akan meneruskan
kalimatnya atau tidak…
“Suster
Mia….” Bagas menunggu jawaban suster Mia yang kelihatan sedikit
berfikir
“Apa
yang akan saya sampaikan ini sepertinya masih dirahasiakan oleh dr. Indira,
tapi saya percaya dr. Raihan akan bisa membuat dr. Indira memutuskan segala
sesuatunya dengan benar. Kalaupun memang beliau melakukan itu, paling tidak
bukan untuk bersembunyi”
“Bersembunyi???
Apa maksud suster Mia? Apa sebenanya yang
akan dilakukan oleh dr. Indira, Suster?”
Bagas mulai dipenuhi rada penasaran dengan apa yang hendak Suster Mia sampaikan
“dr.
Indira bermaksud untuk mengambil pendidikan specialis” jawab suster Mia tanpa
basa basi lagi
“Ya?...
apa itu keluar dari mulut dr. Indira sendiri, Suster?”
“Iya
Dokter… setelah pembicaraan yang dokter dengarkan tempo hari, saya yakin dr.
Indira memutukan itu semua karena ia bingung mengambil keputusan. Saya berharap
jika memang Dokter ingin meraih tangan itu, pastikan sebelum dr. Indira pergi
untuk melaksanakan niatnya itu, Dokter.
Saya tahu itu adalah pilihan tepat bagi seorang dokter, tapi saya ragu untuk
mengatakan jika itu adalah keputusan yang dr. Indira ambil sebagai keputusan
tepat untuk saat ini”
Bagas
mengangguk anggukkan kepalanya sambil tersenyum, dia bisa menangkap bahwa
suster Mia menginginkan Indira tinggal ataupun berkeinginan sederhana
mengharapkan dirinya segera mengambil langkah konkrit untuk bisa berjalan
berdampingan dengan atasannya itu,
sepertinya suster Mia sangat paham akan kepribadian Indira yang mencoba menyimpan segala
beban hatinya seorang diri dengan berlari menghindar.
“I’ll
do my best, suster… doakan saya ya dan terima kasih atas informasinya”
Bagas
melangkahkan kakinya dengan sedikit menyisakan tanya di otaknya tentang keputusan
Indira untuk mengambil pendidikan specialist, bahkan Bagas sangat yakin kalau
sepupunya belum mengetahui itu karena Anggi masih tenang dan tidak seperti seseorang
yang akan sanggup meruntuhkan tembok cina kala dia menghawatirkan sesuatu.
Bagas memahami benar keinginan terbesar Anggi terhadapnya adalah segera
merealisasi hubungan dengan Indira secara formal bukan hubungan dekat yang
berkamuflase
‘kuliah…. Indira?’
Pikiran
Bagas sekali lagi mulai tidak tenang. Ketidak tenangan yang ia alami sedari
pagi buta seakan kini semakin membuatnya ingin menyudahi hari ini dengan segera
tak perduli apapun yang terjadi. Berada di ruangan dr. Satya dalam satu wilayah
dengan Indira saja membuatnya bingung dengan apa yang akan ia lakukan saat ia
bertemu dengan Indira, rasa bersalah pada Indira tentang identitasnya belum ia
jelaskan dan sekarang bahkan disaat saat mendekati peresmian dirinya sebagai
kepala Rumah Sakit jutru harus menerima kabar tentang rencana Indira
meninggalkan Rumah Sakit dimana ia kini berada.
‘Apakah kamu berniat
untuk melarikan diri lagi, Ndi… apakah ini jawaban atas kekecewaan dirimu
padaku. Sekali lagi kenapa kamu seakan membentangkan jarak, kamu terus berlari
saat aku mulai mendekatimu. Kenapa, kenapa kamu harus berubah arah… berjalanlah
padaku Ndi, kamu tak perlu lagi bersembunyi dan menghianati hatimu sendiri’
Bagas
memegang kepalanya yang tidak terasa pusing, di atas sofa ia menyandarkan
dirinya seraya menunggu kedatangan dr. Satya.
‘melarikan diri dariku…. Tidak, kau tidak
boleh melakukan itu padaku Indira’
“Tidak,
tidak boleh dibiarkan” Bagas memerangi kata hatinya sendiri
“Apanya
yang nggak boleh Gas?”
Bagas
terkejut dan membuka matanya… kini Anggi beserta dr. Satya ada dihadapan
matanya. Ia melipat lengan bajunya untuk melihat jarum jam lalu beralih menatap
Anggi
“Apa
yang kamu lakukan disini, pasienmu?” tanyanya kemudian pada Anggi yang memilih
untuk mengambil tempat duduk bersebelahan bahkan menempel pada Bagas
menggodanya
“Jangan
mengalihkan pembicaraan… apanya yang nggak boleh?”
“Bukan
mengalihkan pembicaraan, tapi lihat ini baru jam 9, ngapain
kamu disini. Apakah pasienmu kamu usir agar bisa melihatku disini”
“Hmmm siapa kamu, artis??? Ckckckckck...
ini nih Om yang Anggi takutkan. Dia pasti akan super ketat mengawasi gerak
gerik setiap dokter disini. Dia lebih takut kehilangan pasien dari pada
sepupunya”
“Tentu
saja, kehilangan pasien adalah hukuman mati bagi profesi seperti kita”
“hahahhhaaa
santai Mas Bro. ada dokter lain yang berdinas hari ini. Special for you, hari
ini adalah waktu rehatku tapi aku harus tetap ada di Rumah Sakit ini demi
kelangsungan hidup sepupuku tercinta ini.
Makanya jangan hanya memonitor jadwal Indira, sekali kali jadwal aku dong....”
Anggi
menggoda Bagas dengan keusilannya yang membuat dr. Satya hanya bisa tersenyum
melihat dua orang saudara sepupu beradu argument tanpa memandang status.
Keduanya menanggalkan status sebagai
atasan dan bawahan, yang ada di pikiran mereka saat bertemu adalah bercanda
dan saling menggoda, terutama Anggi.
Dan benar, mereka adalah rekan sejawat bukan atasan dan bawahan.
“apa
yang nggak boleh, Gas… hem, apa… apa??” Anggi setengah berbisik dan menyenggol
nyenggol bahu Bagas masih berusaha menggoda
sedangkan Bagas tak merespon sedikitpun
“Indira…
kamu sudah bertemu Indira? hari ini dia berangkat lebih pagi loh”
“Apaan
sih Nggi… udahlah serius sedikit”
“Hmmm
gayamu Gas, kayak nggak butuh saja, hati hati… Indira sudah mengambil ancang
ancang”
“Apa??”
“Gas,
kamu sudah siap kan, hari ini adalah hari kerja pertamamu disini. Singkirkan
segala perasaan pribadi saat kamu duduk di posisimu, kamu harus bisa obyektif
melihat segala yang terjadi. Sebelum serah terima jabatan dilaksanan kamu bisa
mempelajari semuanya dulu beberapa hari kedepan”
Dr.
Satya memutus jalur kegaduhan dari candaan antara Bagas dan Anggi, ia
menegaskan konsekwensi dari jabatan yang akan Bagas emban setelah dirinya
pensiun.
“Satu
lagi, tentang apa yang kamu bilang tidak boleh tadi…. Ya benar, kamu memang nggak
boleh seenaknya memperlakukan Indira sebagai teman istimewamu. Dia adalah
seorang dokter disini, perlakukan dia sebagai dokter di wilayah ini, diluar
wilayah Waluyo kamu bebas memperlakukan dia asalkan dengan satu syarat..
kesepakatan bersama. Hahahhaha”
Anggi
terus berusaha menggoda Bagas
dalam setiap kesempatan yang ada.
“Itu
benar, segala perasaan pribadi harus ditanggalkan atas nama profesionalisme”
dr. Satya menyetujui ucapan Anggi seraya tersenyum mengamati perubahan raut
muka Bagas dan Bagas hanya tersenyum sambil mengangkat jempolnya lalu berjalan
mendekati meja kerja dr. Satya yang kini sudah penuh dengan beberapa proposal
kerja.
Jarum
jam terus berputar, jam istirahat usai dan mentaripun mulai bergeser membawa suasana sedikit lebih
hangat dan meninggalkan teriknya
di tengah hari. Makan siang Bagas lakukan dalam ruang kerja dengan makanan yang
Anggi bawa dari rumah demi untuk menghindari pertemuan dengan Indira.
Jam
menunjukkan pukul 3 sore. Bagas bersiap untuk pulang.
Tak tok tak tok
Ada
suara dentuman heels dibalik punggungnya, ia ragu untuk menengok dan mencari
sumber suara. Ia takut itu suara heels sepatu Indira. Bagas terus melangkah
menuju area parkir dan benar dari dalam mobil sebelum ia meninggalkan Waluyo, Bagas
melihat Indira berjalan menuju mobilnya sambil menjawab telepon, tangannya
berhenti untuk menghidupkan mesin mobil. Dalam diam Bagas hanya bisa mengawasi
Indira dari kejauhan, yang terpenting saat ini adalah Indira belum berubah, ya
belum berubah. Bagas memejamkan matanya dan memasang telinga setajam mungkin menunggu
derungan suara mobil Indira berlalu.
Tok tok
Ada seseorang mengetuk kaca mobilnya, Bagas membuka mata
dan menurunkan kaca ...
“Indira.... ah maksud saya dr. Indira”
Rupanya Indira menyadari keberadaan Bagas di area parkir sehingga
dia mengurungkan niatnya untuk memasuki mobil dan justru mendekati Bagas
karena ia melihat Bagas yang menyandarkan badannya dan terlihat lelah
“dr. Bagas” Indira menyapa ringan masih dengan senyum
khas menghiasi wajahnya seakan tidak ada yang terjadi di antara mereka sehingga
Bagas cuma bisa diam di balik kemudi dengan senyum hambarnya....
“Dokter
baik baik saja, perlu saya antarkan”
“Apa?”
Bagas
sedikit kaget dengan pertanyaan Indira padanya, sedikitpun tidak ada dalam
bayangannya Indira menghampirinya dan mengatakan itu. Ada kesan kehawatiran
dalam kalimat Indira, dalam hati Bagas tertawa senang
“Ah
saya baik baik saja, Dokter” jawabnya kemudian setelah ia mampu menguasai
dirinya untuk tidak larut dalam harapannya sendiri
“Yakin??
Kalau dokter tidak berkeberatan, saya bersedia mengantarkan dr. Bagas”
Indira
masih belum percaya dengan penjelasan yang Bagas berikan, dalam hati Bagas
berfikir apakah ia terlihat sangat kacau sehingga Indira begitu hawatir. Bagas
masih tetap dalam kebingungannya untuk memberikan jawaban, sebenarnya ia ingin
bersama Indira walau sekedar untuk mengobrol, tapi bukan sebagai seseorang yang
membutuhkan pertolongan melainkan seseorang yang memang Indira butuhkan untuk menemaninya
menghabiskan waktu.
“Permisi
Dokter, berikan pada saya…. Seorang dokter harus bisa menjaga kondisinya untuk
selalu sehat sebelum ia menolong orang lain, bukankah itu yang dulu dokter
ucapkan pada saya”
Tiba
tiba Indira membuka pintu mobil dan memaksa Bagas keluar mengikuti kemana
Indira membawanya, duduk dikursi penumpang dan Indira mengambil alih posisi
kemudi.
“hmmmm…..
mobil dr. Indira?”
Akhirnya
pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Bagas, ia merasa bingung harus
memberikan respon seperti apa pada gadis yang berhasil membuat setiap waktu
sengangnya tidak terbuang sia sia tanpa memikirkannya dan menyapu bersih sisi
intelektualnya jika memikirkan tindakan apa yang harus ia ambil saat bertemu
dengan gadis itu, dan saat ini ia merasa seperti orang yang sangat bodoh di
hadapan Indira karena dia hanya mampu mengikuti petintah Indira tanpa sepatah
katapun terucap sebagai usaha penolakan.
“Ini
Rumah Sakit tempat saya bekerja, Dok. Bukan pasar… jadi mobil itu pasti aman
dalam penjagaan petugas”
Indira
mulai menginjak pedal gas dan tersenyum menimpali pertanyaan Bagas yang
terdengar seperti pertanyaan konyol dengan ekspresi muka Bagas yang terlihat
sedikit shock
“Tenang
saja Dok, saya lulus tes untuk mendapatkan SIM dan saya juga tidak akan
kesulitan walau meninggalkan mobil saya disini” lanjutnya kemudian, ia tahu
Bagas sedang menatapnya saat ini sehingga ia hanya focus pada jalan yang ada di
depannya.
‘Bagas… sadar! Indira
hanya melakukan tindakan sederhana. Jangan berfikir terlalu tinggi, come on’
Tanpa
sadar Bagas tersenyum sendiri menertawakan dirinya, kata kata Indira seakan
memaksa segala harapannya untuk pergi
Perjalanan
sedikit hening, Bagas tidak berani mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya
sehingga ia memilih berpura pura tertidur agar Indira tidak merasa canggung
ataupun tidak merasa kikuk dengan suasana yang ada di antara mereka.
Indira
tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di rumah Bagas. Menurut Anggi, Bagas
tidak tinggal di rumah orang tuanya dan memiliki rumah sendiri yang ia tinggali
selama ia menjadi dokter, tapi dimana itu Indira tidak pernah tahu… dengan
memperlambat laju mobil yang ia kemudikan, Indira melirik ke arah Bagas.
Matanya tertutup bersandar pada tempat duduknya dan pelupuk mata yang tertutup
itu nampak sangat lelah
‘kemana aku harus
membawa mobil ini, haruskah aku membangunkannya…. Ah tidak, sepertinya dia
sangat capek dan seandainya aku membangunkannya, pasti kecanggungan itu akan
kembali… huft, tidak ada pilihan lain’
Indira
menepikan mobil putih itu di depan sebuah Mini Market, ia mematikan mesin dan
membuka sedikit kaca mobil lalu meninggalkan Bagas dalam tidurnya memasuki Mini
Market. Rasanya tenggorokannya kering setelah bertahan mengunci mulut beberapa
menit selama perjalanan, bersyukur ia hanya berada di sebuah kota kecil yang
tidak mengenal istilah macet. Setidaknya ia tidak tersiksa dalam waktu yang
lama karena hanya bisa mengunci mulutnya dengan menelan air ludahnya saat ada
seseorang yang sebenarnya bisa ia ajak mengobrol.
Memasuki
Mini Market, Indira langsung melangkahkan kakinya menuju deretan lemari
pendingin yang berisi beraneka macam minuman dingin di sisi kiri pintu masuk
setelah rak yang berisi snack. Indira tidak ingin membuang waktunya terlalu
banyak, maka langkah kaki itu ia percepat dan….. ‘Ah aouuuuch’ tubuh kecil menabrak dirinya dan kini ia merasakan
ada satu benda kecil terasa menusuk kakinya seperti jarum kecil tengah menancap
disana. Indira urung membuka lemari pendingin minuman yang sudah ia pegang lalu
mengalihkan pandangannya pada kakinya yang terasa sedikit perih.
“Oh…
maaf, saya nggak sengaja… anu, Bunda”
Gadis
kecil yang membawa satu kantung nungget dan pisau terjatuh dihadapannya nampak
ketakutan, Indira membantunya berdiri dengan sabar dan senyuman
“Nggak
apa apa, hati hati ya”
“Tapi
tante terluka”
“Luka
kecil, nanti diobati juga sudah sembuh”
Gadis
itu menatap luka di kaki Indira dengan tatapan bersalah, ia hampir menangis
melihat ada darah yang diam diam keluar dari goresan pisau yang tidak sengaja
ia jatuhkan di kaki Indira.
“Syifa….
Astaga, Oh Anda terluka…. Hmmm bunda kan sudah bilang, Papa pasti sudah punya
pisau”
“Bunda,
Syifa nggak sengaja Bun, tadi Syifa senang banget mau ketemu Papa. Jadinya…..”
“Ehmm
maafkan saya, Bu. Luka Anda?”
“Nggak
apa apa kok, nanti diobati. Hmmm namanya Syifa ya? Udah nggak perlu sedih,
Tante baik baik saja kok. Bundanya nggak marah, hanya kaget… sekarang anak
manis nggak boleh murung ya”
“Sekali
lagi saya minta maaf, Bu. Anak saya terlalu bersemangat untuk ketemu Papanya
dan bantuin masak buat Papanya kebetulan kami dari luar kota jadinya dia
terlalu senang”
Indira
tersenyum dan mengangguk memaklumi, ia merendahkan posisi badannya duduk di
depan sang bocah sambil mengeluarkan tissue dari dalam tasnya.
“Lihat…
darahnya udah hilang kan, di lap pake tissue ini aja udah nggak keluar
darahnya, artinya nggak parah, namcap dikit doang. Masa mau ketemu sama Papa
dan kasih kejutan, Syifa mukanya murung. Senyum ya… tante baik baik saja”
Syifa
mengangguk lemah dan menggandeng tangan sang Bunda, gadis kecil itu masih
sedikit shock dengan apa yang baru ia alami di hari pertama ia menginjakkan
kaki di kota asing
“Sudah
Bu, saya pastikan saya nggak apa apa kok, kasihan Syifa masih sangat shock. Ibu
bawa Syifa belanja lagi ya biar dia sedikit tenang”
“Terima
kasih Bu, dan sekali lagi saya minta maaf”
Indira
mengangguk tulus, lalu ia melambaikan tangannya pada Syifa agar sang bocah
merasa tenang.
Beberapa
saat Indira keluar dari dalam mini market dan melihat Bagas sudah ada di luar
mobil menunggunya, nampaknya Bagas mengetahui Indira masuk dalam mini Market
karena dokter ganteng itu tidak menghubungi nomor ponsel Indira untuk
memastikan. Indira sedikit pincang membawa dua kantung tas kresek da nada
tissue yang menutup kakinya, Bagas heran
“Haaah
dr Bagas sudah bangun, maaf ya Dok jadinya nunggu soalnya saya nggak tahu harus
mengantar dokter kemana”
Indira
menawarkan air mineral pada Bagas yang berdiri bersandar pada mobilnya, tapi
mata Bagas justru berkonsentrasi pada tissue yang menempel di kaki Indira serta
keberadaan Betadine serta botol alcohol di dalam tas kresek yang di bawa Indira
“Itu?”
“Oh…
iya ini tadi ada kecelakaan kecil”
“Sini
biar aku lihat”
Bagas
menaruh botol minumannya di atas mobil dan memaksa Indira duduk dalam mobil
dengan kaki yang terulur keluar. Tanpa kesadaran Bagas mencopot sepatu Indira
dan membuka tissue yang menutup luka itu sementara Indira hanya bisa bengong
“ini
kok bisa begini sih, Ndi”
Karena
cemas segala bentuk gaya bahasa formal lenyap dari otak Bagas, melihat sikap
Bagas yang seperti itu Indira hanya bisa diam dan sesekali meringis menahan
perih saat Bagas mengobati lukanya
“Memangnya
apa yang terjadi di dalam sana, ini seperti ada benda tajam menancap disini”
“Jangan
melebih lebihkan, Dok. Nggak nancap kok hanya jatuh dengan posisi yang salah”
“Tapi
apa itu, kok bisa?”
“Tadi
ada anak kecil lagi bantuin Ibunya belanja jatuh dan naasnya dia bawa pisau
dapur jadinya kena di kaki saya”
“Hmmm…
sudah, untung nggak dalam dan nggak butuh jahitan”
“Terima
kasih… oh iya, saya harus mengantarkan dr. Bagas kemana ini?”
“Acara
berubah… sekarang saya yang akan mengantarkan Anda pulang”
Bagas
mengantarkan Indira duduk di kursi penumpang depan dan dia mengambil kembali
kendali kemudi bersiap memutar arah mobilnya
“Rendy?”
Tiba
tiba Indira menyebut nama seseorang, gadis itu mendorong badannya meju untuk
memastikan penglihatannya tidak salah. Bagas mengikuti kemana arah mata Indira
memandang
“Rendy?
Oh dr. Indira kenal dia?”
Indira
terdiam tidak menjawab pertanyaan Bagas, matanya masih tertuju pada sosok yang
ia kenal sebagai Rendy, sahabat kecilnya.
“Sepertinya
saya salah orang Dok, Rendy sahabat saya belum menikah”
“Oh
begitu…. Bisa kita melanjutkan perjalanan?”
“Ah
iya Dokter”
Indira
masih sibuk dengan pikirannya, apakah benar yang ia lihat itu bukan Rendy
karena ia yakin ia belum lupa bagaimana rupa sahabatnya itu meskipun sejak
peristiwa tentang Prasta merusak hubungan persahabatan antara mereka
‘Kalau Prasta ada di
kota ini, maka besar kemungkinan Rendy juga ada disini. Lalu wanita dan anak
kecil tadi anak istri Rendy…. Dia sudah menikah dengan anak yang sebesar itu???
Kenapa aku tidak tahu, tapi apakah benar itu tadi Rendy. Sepertinya aku tidak
salah orang’
Indira
terdiam dan sesekali terlihat mengeryitkan dahinya seakan berfikir akan
sesuatu. Jari yang ia gigit membuat Bagas sadar bahwa Indira sedang memikirkan
sesuatu dengan serius.
‘Rendy?? Siapa lagi
Rendy… apakah bagian dari masa lalu Indira yang belum aku ketahui. Tapi
sepertinya aku mengenal laki laki tadi… Rendy, apakah itu Rendy sahabat Tama,
bukankah dia masih belum berkeluarga, tapi sepertinya tadi dia menjemput
seorang wanita dan anak kecil?’
Bagaspun
mulai sibuk dengan pikirannya setelah melihat sikap Indira dan seseorang yang
Indira kenali. Keduanya larut dalam pikiran masing masing sampai akhirnya
tersadar telah tiba di depan kontrakan Indira.
Dont Miss It :
Part 14 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar