Part 17 : The Last Part
Hujan yang turun tidak juga reda sedari semalam…. Hawa dingin
semakin menusuk tulang, Indira dengan piyama Minnie Mousenya keluar kamar
dengan membawa guling, matanya masih merah dan terlihat sembab, duduk di dekat
jendela membiarkan angin menyapu wajahnya dengan bulir bulir lembut air hujan
menyejukkan. Sementara Anggi sudah benar benar repot sedari pagi, mulai
menyiapkan sarapan, menyiapkan baju yang akan ia kenakan, beberapa lembar
kertas yang entah berisi apa itu ia letakkan rapi di meja kecil samping pintu
menuju garasi tempat dimana tas kerja berada setiap pagi. Indira acuh dan tetap
asyik dengan apa yang ia lakukan dari balik terali menikmati suara alam nan
teduh. Segala kegaduhan bunyi peralatan dapur yang Anggi gunakan tidak
mengurangi konsentrasinya…
“Indi, sarapan ga?” teriak Anggi dari dalam dapur
“Coklat hangat, teh apa kopi?” teriaknya lagi
Indira masih tak bergeming, hujan pagi ini yang tidak begitu deras seakan menyedot semua
konsentrasinya bahkan seluruh jiwanya meninggalkan raga. Matanya terpejam,
duduk menyandar pada kursi malas memeluk gulingnya. Dunia mimpi masih
merengkuhnya dalam kesejukan suasana yang ada
“Indiiiii… Roti apa nasi goreng?”
Anggi memutar badannya mencari sosok Indira yang sempat ia lihat
sudah keluar dari dalam kamarnya, ia heran tidak satupun dari seruannya
mendapatkan jawaban, beberapa saat Anggi dibuat hawatir dengan keadaan yang
nyaris tidak pernah terjadi dalam rumah selama mereka tinggal bersama. Hanya
ada dua hal yang membuat Indira mengacuhkan dirinya, disaat dia lagi sakit dan
di saat ada pasien. Pagi ini tidak satupun pasien datang setelah semalam hujan
deras mengguyur bahkan sampai pagi ini, Anggi menanggalkan Apron yang setia
menempel padanya sejak pagi buta, ia melangkah menuju kamar Indira. Beberapa
langkah dari dapur langkahnya terhenti, ia menggelengkan kepalanya melihat
Indira yang terduduk memejamkan mata di depan jendela menghadap teras samping
rumah masih dengan piyama, guling serta rambut yang diikat acak
‘tertidur apa sakit sih
dia?’ Anggi mulai hawatir, ia mendekati Indira yang
belum menyadari kedatangannya. Anggi memegang kening Indira dan tiba tiba….
“Auww…. Ish ini orang kasar banget sih!” Anggi memprotes sikap
Indira yang tiba tiba memukul dan mentelak kasar tangannya
“Oh maaf Nggi…… salah sendiri ngagetin”
“Kamu ini benar benar ya Ndi, nggak ada
perasaannya sedikitpun sama teman seperjuanganmu ini..... hmmm kasar”
Anggi memasang wajah betenya sambil sedikit
menjitak kepala Indira, lalu berjalan kembali menuju dapur
“Kamu sarapan nggak? Roti Bakar apa nasi goreng?
Teh, Kopi apa coklat hangat?” teriaknya kemudian menawarkan menu sarapan pada
Indira.
“Nggak ada menu sehatan sedikit ya Nggi?”
“Ah banyak protes kamu Ndi.... Milih menu sehat
ntar minta sama Bagas”
“Ish kenapa membawa nama Bagas sih, apa
hubungannya coba?.... mana, nawarin tapi belum tersedia semua?”
Indira melihat meja makan masih kosong dan menu
menu yang Anggi sebutkan tak satupun berada disana kecuali air putih dan buah
yang manis diatas meja
“Aku teriak sampai pita suara mau putus kamu nggak
jawab juga, ya nggak tak ambilkan.... Apa, Roti apa Nasi goreng?”
“Nasi Goreng dan Teh Anget ya.... hehehehehe”
“Udah ada
semua, ambil sendiri ya.... nih teh nya aja aku bikinin, lainnya kamu buka
sendiri deh. Nasi goreng masih diatas wajan, roti di sebelah Microwave. Aku
buru buru harus sampai di Crown secepatnya”
“Acara masih jam 10 kan? Ini baru jam 6 Nggi, apa
kamu nggak salah”
“Haloooo, ini ketua panitia ya, KETUA. Ingat
itu..”
“Oh... ketua, oke Ibu Ketua, silahkan lanjutkan aktivitas Anda”
Anggi meninggalkan Indi dengan sarapannya untuk mempersiapkan diri
memulai harinya yang sesungguhnya
Cahaya semakin terang yang menandakan bahwa hari pun sudah semakin
siang, namun kabut yang ditinggalkan oleh hujan lebat semalam bahkan sampai pagi
tadi begitu tebal sehingga sinar mentaripun tidak menemukan celah menyinari
bumi. Indira membuka almarinya, beberapa dress yang tergantung disana nampak
sangat asing baginya karena begitu jarang ia kenakan. Kalem sikapnya tidak
mengharuskannya selalu mengenakan dress, bahkan pakaian itu adalah jenis
pakaian yang menjadi momok baginya. Membayangkan dirinya dalam balutan dress
dengan make up, tatanan rambut bahkan heels tinggi menjulang membuatnya merasa
ngeri sendiri. Satu satunya heels yang ia terima hanyalah sepatu kerjanya.
Indira berkacak pinggang berdiri di depan almari yang ia biarkan terbuka,
matanya terus berpindah pindah dari dalam almari dan pada penampilannya kini.
Sepertinya piyama dengan gambar Minie Mouse dan rambutnya yang diikat sekenanya
itu terlihat lebih menarik dalam pandangannya dan sangat nyaman bagi dirinya.
Lama Indira tidak bisa menjatuhkan pilihannya, ia melirik pada jarum jam yang
menempel di dinding kamarnya…. 09.35 wib. Huft… apakah dia akan berusaha
seserius ini untuk tampil sempurna hanya untuk menghadiri sebuah acara dengan
konsep semi formal itu. ‘Hey… ada apa
denganmu Indira, wajibkah bagimu untuk tampil sempurna disana. Untuk siapa,
mengapa?’ Indira urung mengambil pakaian, tidak satu helaipun ia tanggalkan
dari gantungan almarinya, ia menjatuhkan dirinya di atas kasur dengan mulut
monyongnya menertawakan dirinya sendiri.
“Memangnya kamu sudah yakin dengan jawaban yang akan kamu berikan
pada pimpinanmu itu, Ndi. Apa yang akan kamu katakan padanya saja kamu masih
bingung, lalu ngapain kamu harus pusing…. Ambil satu, kenakan dan berangkat….
Sesimple itu. Indira” gumamnya
kemudian disela tawa gelinya melihat tingkah aneh yang ia lakukan
Dalam satu hentakan Indira bangun dari kasurnya, ia mengambil handuk
yang ada di depan kamar mandinya lalu bergegas membersihkan diri. Mini Dress
berbahan paduan Brokat Satin berlengan pendek berwarna Soft Purple ia kenakan.
Sentuhan manis pada pita yang ada di bagian pinggang membuat kesan lebih manis pada bagian bawah
dress itu karena ada sedikit bergelombang dan tampak sangat cantik melebur jadi
satu dengan kulit kuning langsat Indira. Rambutnya ia biarkan tergerai lurus,
tidak ada make up tebal terlihat diwajahnya, ia hanya menyapu wajahnya dengan
riasan ringan nan alami merubah penampilan gadis frustasi dalam balutan piyama
hilang seketika menjelma menjadi seorang putri dalam cerita Barbie….
Ting Tung…
Satu pesan Line masuk, tapi Indira masih menyelesaikan ritualnya
mempersiapkan diri. Tas berwarna putih gading dan sepatu dengan warna senada ia
keluarkan, duduk di tepi ranjang ia memasukkan bawaannya kedalam tas dan ….
“Ya Nggi?” rupanya pesan line yang masuk adalah pesan dari Anggi.
Karena tidak mendapat jawaban atas pesan yang ia kirimkan maka kini giliran
panggilan ia lakukan
“Indira… jangan bilang kamu nggak akan kesini ya?”
“Memang kenapa? Kalaupun aku nggak hadir acara tetap akan berjalan
kan?”
“Ini sudah jam berapa Ndi? Cepetan! asal kamu tahu ya, Mbak
Christine dan tante Sisca nanyain kamu”
“Hah, siapa?”
Indira setengah berteriak mendengar nama yang Anggi sebutkan, ia
tahu siapa mereka, otaknya mulai berfikir keras, diantara sekian banyak dokter
yang ada di Waluyo kenapa harus dia yang dicari, Bagas sudah menyebarkan berita
apa tentang dirinya pada kakak dan mamanya, atau ini ulah Anggi?...
“Indira….. hallo kamu berangkat kan?”
“Eh… iya, tadi kamu bilang siapa yang nyariin aku…. Untuk apa,
ngapain?”
“Mana aku aku tahu… sepertinya selain acara peresmian dan serah
terima jabatan, kayaknya juga ada acara perkenalan calon menantu”
“Maksudmu?”
“Udah buruan datang biar Devina tidak besar kepala, aku sudah pingin
muntah lihat gayanya yang sok akrab itu”
“Devina, dia datang juga???”
“Tentu saja, Ndi… The Crown Hotel itu punya keluarganya. Aduuuuh
banyak tanya ih kamu. Berangkat nggak sih?!”
“Males ….. udah sana kamu urus acaranya biar sukses”
Tut Tut tut tanpa salam dan basa basi lagi Indira memutuskan sambungan telepon,
dia dapat membayangkan kalau di tempat acara berlangsung Anggi sedang kebarakan
jenggot karena tidak melihat tanda tanda kedatangannya apalagi jawaban yang ia
berikan di ujung percakapan telepon. Seribu persen Indira bisa memastikan Anggi
kini sibuk dengan umpatannya. Devina, satu nama itu membuat Indira sedikit
mengendurkan semangatnya untuk melangkah meninggalkan rumah, apa yang ia terima
dari Devina terasa sangat sulit untuk dilupakan. Sekali dalam seumur hidupnya
ia direndahkan oleh orang asing hanya karena seorang pria yang bukan apa apa
baginya dan itu membuatnya terasa lebih menyakitkan dari saat menerima
penghianatan Prasta padanya. Mata Indira melirik jam yang melingkar di tangannya…10.25 wib. Acara pasti
sudah dimulai, dalam waktu setengah jam ia akan tiba di lokasi acara dan
mungkin hanya akan kebagian ramah tamah. Bagas kini mungkin sibuk mencari dirinya ‘it’s not your time, Indira… jangan
hawatirkan apapun yang akan terjadi, mungkin kamu terlalu berlebihan’
Indira memantapkan hatinya, ia melangkah dan meninggalkan rumah menerobos hawa
dingin yang masih tersisa.
Sesuai perhitungan, dalam tiga puluh menit Indira telah sampai di The Crown Hotel tempat acara digelar. Satu
decakan ia keluarkan begitu ia memasuki lobi hotel, megah dan cukup berkelas untuk
ukuran Hotel di kota kecil, Indira melangkahkan kakinya menuju tempat acara….
“Oh… tante cantik!”
Satu suara menghentikan langkahnya, ia menengok ke arah sumber suara
dan benar saja gadis kecil yang memberikannya kenang kenangan sejak pertemuan
pertama mereka ada disana sedang berlari kearahnya
“Tante cantik disini juga?”
“Oh gadis cantik… iya, tante ada acara disini, kamu sama siapa?”
“Bunda”
“Mana Bundanya?” Indira tidak melihat ada wanita muda yang ia temui
di mini market tempo hari ada bersama gadis kecil itu.
“Luka Tante? Ya... masih ditutup plaster.
Masih sakit, Tan”
Syifa tidak menjawab pertanyaan Indira dan matanya justru konsen pada kaki
Indira, sepertinya gadis kecil itu masih belum bisa melupakan kecerobohannya karena kini sorot mata penyesalan
kembali terlihat di bening kedua mata cantiknya
“Sayang, jangan berkeliaran sendirian ya, nanti kesasar. Bundanya
mana hayo? Nggak ada kan?” Indira mengalihkan perhatian sang bocah, ia tahu
gadis kecil itu merasa bersalah padanya
“Bunda masih ke toilet, Tante. Syifa disuruh nunggu disitu, tadi
sama Bunda dititipkan sama Om itu” Gadis kecil itu menunjuk pada sofa yang ada
di lobi dan seorang Security yang bertugas. Indira memberikan senyumnya pada
petugas itu lalu menggandeng tangan Syifa berjalan ke sofa.
“Kamu tunggu Bunda disini baik baik ya, jangan lari kemana mana
sampai Bunda kamu datang, Okay?! Tante nggak bisa menemani karena tante ada
acara penting” Indira membelai rambut Syifa dengan rasa sayangnya lalu ia
menitipkan Syifa pada petugas yang tadi ditunjukkan oleh Syifa padanya.
“Tante tinggal dulu ya…. Tungguin Bunda baik baik” Indira melambaikan tangannya dan melankah kembali
menuju lift.
Suara rium tepuk tangan terdengar dari luar
Ruangan, sepertinya acara sambutan belum selesai, Indira memasuki ruangan
dengan tenang, ia tau kedatangannya tidak akan menjadi sorotan dan dia berusaha
untuk tenang. Statusnya sebagai bagian dalam Waluyo membuatnya berkewajiban
untuk mendatangi tempat itu sekedar memberikan selamat. Dari tempatnya berdiri
ia bisa melihat Bagas menuruni podium, sepertinya tepuk tangan yang sempat ia
dengarkan adalah tepukan atas sambutan yang Bagas berikan, ada dr. Satya
dibelakangnya mengiringi. Ruangan tampak mulai riuh dan ia datang pada jam yang
tepat ‘saat makan’ di mulai.
“Lama amat sih? Kirain kamu nggak datang... nih
lihat Bagas telepon aku berkali kali cuma untuk tanya apakah kamu udah datang
apa belum”
Anggi mengenali dirinya, gadis itu kini sudah
duduk di sampingnya dengan menunjukkan telepon genggamnya yang penuh dengan
panggilan tak terjawab dari Bagas. Indira tersenyum, ia memasang wajah datarnya
memandang Anggi yang berwajah sedikit tegang. Entah apa yang membuatnya begitu
tegang, sosok santai yang ia kenal tidak bersisa sedikitpun dalam raut wajah
Anggi bahkan ia lebih terlihat pucat dengan dress putih yang ia kenakan.
Anggi berdiri, ia menepuk pundak Indira untuk
menikmati acara yang terselanggara, beberapa rekan kerja nampak tersenyum aneh
pada Indira, ia sedikit canggung oleh senyuman senyuman itu. Ia mencoba untuk
berpikir positif, mungkin karena mereka tahu dr. Raihan atau yang lebih ia
kenal sebagai Bagas adalah orang yang beberapa kali mengunjunginya di Waluyo
sehingga mereka tersenyum sedikit aneh padanya. Indira berdiri dari tempatnya,
ia bermaksud untuk mencari Bagas dan memberikan selamat secara resmi pada
dokter tampan yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya itu. Ruangan ini sangat
luas akan tetapi terasa sangat sesak bagi Indira dikarenakan sorot mata yang
tertuju padanya ia rasakan begitu aneh ditambah lagi oleh senyuman senyuman
penuh makna dari mereka yang ia lalui. Di depan meja yang penuh dengan makanan
Indira menarik lengan dress Anggi
“Iiiiih apaan sih Ndi?”
“Sebenarnya ada apa kok semua mata melihatku
aneh?”
“Makanya datang itu tepat waktu biar tahu
ceritanya” Anggi menjawab cuek dan melanjutkan aktivitasnya mengambil makanan,
Indira mengikutinya dibelakang sambil membawa piring seakan akan ia siap untuk
mengisi perutnya
“Jangan main teka teki dong, ada apaan.... cerita
buruan!” dengan berbisik Indira memaksa Anggi untuk bercerita, tapi sayang
Anggi justru menggodanya dengan tatapan yang aneh pula sehingga Indira dibuat
jengkel. Ia meletakkan kembali piring yang ia pegang dan bermaksud untuk
mencari tempat duduk, ia mengambil segelas orange juice yang tersedia dan
membawanya duduk kembali karena sosok Bagas belum ia temukan, mungkin Bagas
sedang sibuk dengan keluarga juga rekan bisnis orang tuanya. Ia mengeluarkan
ponselnya dari dalam dompet
“Oh ada pesan masuk” gumamnya sambil menyeruput
sedikit minuman yang ia bawa, tangannya membuka kunci ponselnya dengan cepat
‘Bagas’ nama itu yang nampak memenuhi layar telepon
genggamnya... Indira tersenyum, rupanya Bagas sempat kalang kabut karena tidak
melihat penampakannya di acara siang ini
10:50
‘Hari ini
siap dengan jawaban yang aku minta kan?’
11.00
‘Apapun
yang akan kamu sampaikan, aku siap. Yang terpenting adalah Indira masih bisa
aku lihat bahagia’
11:15
‘Kamu
tidak datang? Atau masih dalam perjalanan’
11:17
‘Indira,
kamu dimana?’
11: 18
‘Indira
kamu nggak datang, tidak adakah ucapan selamat buatku sebagai atasan barumu’
11:25
‘Berbasa
basilah sedikit Ndi untuk membuatku senang, ucapkan sesuatu untukku. Sebentar
lagi aku naik podium, aku harap kamu akan datang dan bisa mendengar apa yang
aku sampaikan’
12:15
‘Kamu
terlihat cantik dan memang selalu cantik, terima kasih sudah datang’
Pesan terakhir yang ia baca membuat Indira
terlihat seperti orang bodoh, ia mengedarkan pandangan keseluruh ruangan tapi
sosok Bagas tidak ia temukan, hanya ada beberapa orang bergerombol sambil
mengobrol disana sini. Bibirnya mulai monyong sebagai perwakilan isi hatinya
yang kesal
‘Selamat ya
dr. Raihan Bagaskara Sp. B atas jabatan dan taggung jawab yang baru diemban,
semoga dalam kepemimpinan Anda, Waluyo semakin lebih baik lagi’
Indira mengirimkan pesan itu dengan bibirnya yang
masih monyong, ia sedikit kesal karena ia merasa dipermainkan oleh beberapa
orang di acara itu, sorot mata aneh, senyum aneh dan teka teki Anggi yang tidak
sanggup ia temukan jawabannya. Indira mencoba menikmati suasana aneh itu dengan
gaya cueknya, ia sibuk dengan ponselnya membuka bebrapa sosmed yang ia miliki
“Kenalkan Ma, Ini Indira yang Bagas ceritakan sama
Mama” tiba tiba suara itu muncul dari balik punggungnya, Indira kaget dengan
apa yang ia lihat. Bagas dengan setelan Jas berwarna gelap dengan kemeja biru
muda nampak sangat menunjang penampilan gagahnya sedang berdiri disana dengan
dua orang wanita, wanita cantik setengah baya dan wanita muda yang tidak kalah
cantiknya. Indira mulai grogi, dalam pikirannya mereka yang berdiri di
hadapannya kini adalah dua orang istimewah dalam hidup Bagas seperti yang Anggi
sebutkan dalam telepon tadi pagi. Indira bangun dari duduknya dan memasukkan
kembali ponselnya dalam dompet, ia memasang senyum manis di wajahnya dan
sedikit menundukkan kepalanya memberikan hormat. Ia sepenuhnya sadar senyum
yang ia pasang kini adalah senyum terkonyol yang ia miliki, senyum penuh
kebingungan, ia bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa wajah anehnya saat
ini.
“hmmm... sangat cantik, Gas. Jauh dari yang kamu
ceritakan. Assalamualaikum, saya mamanaya Bagas”
“Ah Iya, Bu... saya Indira”
“Ini kakakku, Mbak Christine” Bagas memperkenalkan
kakaknya yang tersenyum tulus pada Indira dengan cantiknya sambil mengulurkan
tangan
“Senang akhirnya bisa ketemu kamu”
“Indira.... hhmmm mbak Cristine”
“hahahahahha.... iya nggak perlu canggung panggil
aku, mbak saja. Dan jangan panggil Mama dengan sebutan Ibu, panggil saja Mama.
Iya kan Ma?”
Mbak Christine membaca kegrogian yang Indira
rasakan, wanita cantik berkulit putih itu menepuk bahu Indira dengan akrab
seolah olah mereka sudah lama kenal. Dan Mama Bagaspun mengangguk tak sama ramahnya
sedangkan Indira dengan senyum malu malu penuh kebingungannya masih berusaha
santai
‘Apakah
sms barusan itu jawaban dari dokter?’ Bagas berbisik di telinga Indira membuat gadis itu semakin salah tingkah,
tidak ada jawaban dari Indira untuk Bagas yang ia berikan hanya senyum kecut
nan membuatnya semakin terlihat aneh dalam pikirannya
“ehem... sepertinya kita harus menyisih dulu Ma, Bagas
pinter ngasih kode”
Tiba tiba Mbak Christine berdehem dan melirik ke
arah Bagas yang asyik berbisik pada Indira
“Ah apaan sih Mbak, nggak kok”
“Ayo Ma, kita beri mereka ruang”
“Ya sudah, Mama temui tamu lainnya dulu ya, inget
Indira.. panggil mama saja ya”
Indira masih senyum senyum tidak jelas dan semakin
tidak mengerti dengan kejadian yang ia alami. Sepeningalan Mama dan kakak
Bagas, Indira melotot ke arah Bagas yang masih memasang muka manisnya lalu
kembali duduk di kursinya semula dan kemuadian terdiam seribu bahasa menahan
kesalnya pada Bagas
“Marah?” Bagas bersuara, tapi Indira tetap diam
tak menggubris
“Maaf, ya jika memang itu jawaban dr. Indira untuk
saya, sesuai dengan pesan yang saya kirimkan tadi maka saya minta maaf untuk
kejadian barusan. Saya telat membuka pesan dari Dokter” Indira tetap diam dalam
duduknya, ia hanya sibuk menikmati orange juice yang ia pegang...
“Baik, Maaf ya Dok... selamat menikmati pestanya,
saya permisi dulu” Bagas berdiri dari tempatnya, tapi
“Semua mata memandangku dengan pandangan aneh dan
senyum aneh, sebenarnya apa yag sudah kamu katakan dalam sambutanmu tadi”
“Aku .... Kamu.... kalian?!!”
Prasta yang tiba tiba datang diantara mereka
mencuri kesempatan Bagas untuk memastikan keterkejutannya pada apa yang Indira
ucapkan. Bagas hanya tersenyum penuh makna lalu kembali duduk memandang Indira
dengan binar mata bahagianya meminta jawaban sedangkan Indira hanya tersenyum
tanpa dosa tanpa mengarahkan pandangannya pada Bagas yang jadi salah tingkah
akan tetapi dia bisa membaca maksud senyum Indira yang seketika membuatnya
bersemangat
“Eh Tam... kamu datang juga. Hahahahaa biasa
sajalah”
Indira terkejut dengan keberadaan Prasta diantara
mereka namun ia berusaha untuk bersikap normal, tak mungkin baginya untuk
menghindari Prasta sepanjang waktu.
“Oh iya Ndi, ini sahabatku.... tepatnya konsultan
pembangunan Waluyo dulu dan berubah jadi sahabatku, kamu juga sudah kenal kan?
Prasetya Adhitama atau lebih keren di panggil Tama”
Indira menahan nafasnya mencoba menetralisir
keterkejutan untuk kesekian kalinya dari apa yang barusan ia dengar tentang
Tama. Bagas dan Prasta bersahabat..... ini kejutan yang benar benar membuatnya
tidak bisa bernafas dan seakan memaksa dirinya untuk mengutuk nasibnya sendiri
yang selalu berputar putar disekitar pria itu. Indira tersenyum dan menjabat
tangan Prasta dengan wajar. Dari kejauhan ia melihat Anggi berdiri termangu
menyaksikan situasi yang Indira alami tanoa mampu memberinya pertolongan, dari
arahnya menghadap sepertinya Anggi sedang berjalan kearah mereka namun terhenti
saat melihat dirinya berjabat tangan dengan Prasta di hadapan Bagas.
“Senang berkenalan dengan Anda, dr. Indira....
wanita cantik yang selalu dr. Raihan bahas setiap saat”
“ya?”
“Ya... saya banyak mendengar tentang Anda dari dr.
Raihan. Tidak pernah menduga kalau akhirnya kita bisa berjabat tangan disini.
Dan saya baru tahu kalau saya dan anda rupanya sudah menjadi kita” Goda Prasta
kepada Bagas, juga menyindir Indira dengan tatapan anehnya...
“Cukup Tam, jangan menambahkan garam lagi... kamu
sukanya melebih lebihkan” Bagas menimpali dan Indira hanya memberikan senyumnya
tanpa ekspresi
“Mana keluargamu, katanya mereka ada di kota ini
juga, nggak diajak?” lanjutnya kemudian
“Ada, tapi sepertinya si kecil minta jalan jalan.
Dia bosan dengan situasi formal semacam ini”
Kilahnya Prasta kemudian. Pandangan Prasta tidak
beralih sedikitpun dari Indira setiap ada kesempatan, ia selalu memanfaatkan
kelengahan Bagas yang sibuk dengan para dokter yang tiba tiba datang untuk
memberinya selamat. Indira diam dan tak kalah beraninya menatap Prasta, rasanya
sudah tidak ada alasan baginya untuk menghindari Prasta setelah ia mendengar
bahwa kini Prasta juga telah memboyong keluarganya ke kota ini. Prasta adalah
bagian masa lalu yang dulu ia putuskan untuk di kubur maka dengan alasan apapun
kenangan itu tidak sepatutnya ia keluarkan dari lubang kuburnya. Setelah
kekakuan diantara mereka berlangsung beberapa menit akhirnya Indira berdiri
dari duduknya, Bagas yang tengah berbincang dengan rekannya tidak jauh dari
kursinya ia hampiri dengan melewati Prasta yang diam tanpa kata memandang
Indira seakan menahan satu kemarahan tanpa alasan
“Aku ke Anggi dulu ya... dan mungkin aku akan
balik duluan nanti” bisiknya lalu dengan senyumnya ia menjabat beberapa orang
rekan Bagas yang ada di sana.
“Okay... tapi kamu makan dulu ya, nanti aku
hubungi”
Indira mengangguk dan tersenyum lalu ia berlalu
meninggalkan Prasta dengan tatapan anehnya.
Setelah berbincang bincang sejenak dengan Anggi
untuk memuaskan rasa penasaran ahli kandungan itu dengan pemandangan yang ia
lihat, Indira bermaksud untuk meninggalkan pesta. Ia berjalan menghampiri orang
tua Bagas dan kakak Bagas yang ada di tengah ruangan berdiri sambil bersendau
gurau dengan rekan mereka
“Pa, ini Indira. dr. Indira yang Mama ceritakan
tempo hari. Pacar Bagas”
Deg jantung Indira serasa ingin melompat dari dalam
tubuhnya, rasa panas menjalar keseluruh tubuhnya mendengar kata ‘Pacar’ keluar dari bibir wanita cantik
yang sangat elegan itu. Pria dengan perawakan atletis yangs edari tadi
berbincang dan selalu terlihat mengumbar tawanya kini memutar tubuhnya
memandang Indira dengan seksama. Sorot matanya arif meneduhkan, pria yang
terkenal tajir melipir itu mengulurkan tangan ke arah Indira dengan senyum
tulusnya
“Saya Indira, Pak” setengah memaksakan diri
menyebut namanya sendiri Indira bersuara
“Anak Papa mewarisi bakat sang Bapak....
hahahahhaaa pintar mencari pasangan”
“Ya?” Indira kembali terkejut, laki laki dengan
rambut dua warna itu tertawa dengan menjabat tangannya seakan seisi ruangan
dapat mendengar suaranya. Indira menundukkan wajahnya tak dapat membayangkan
betapa merah atau pucatnya wajahnya kini
“Selamat datang dalam keluarga Bagaskara”
sambutnya hangat masih menggenggam tangan Indira,
sontak rasa panas yang menjalar ditubuh Indira seakan semakin menjadi, kini ia
merasa seluruh mata yang ada tertuju padanya.. ‘Damn.... Bagas perlu di beri
pelajaran’ kutuknya dalam hati. Dengan gaya yang sama memasang wajah manis
dengan senyum penuh kebingungan Indira hanya bisa manggut manggut, ia tahu saat
ini ia terlihat sangat bodoh. Dari kejauhan ia bisa melihat Bagas dengan senyum
puasnya memandang kearahnya, begitupun Prasta dengan pandangannya yang masih
belum bisa Indira uraikan maksud yang ada di dalamnya
Setelah terlepas dari kurungan keluarga Bagas,
kini Indira sedikit bisa bernafas lega. Anggi yang melepaskan kepulangan
sahabatnya dengan tawa cengingisannya membuatnya sedikit kesal. Langkahnya
semakin cepat melihat ke arah pintu keluar, dalam hati ia terus mengumpat
kesialan yang ia alami saat ini, hari ini dia berniat
untuk menjemput impiannya tapi sangat ia sayangkan justru banyak sekali kejutan
yang ia terima dan ia anggap sebagai kesialan karena ia tidak sanggup melihat
ekspresi lucu yang orang lihat menempel di wajahnya. Melewati pintu keluar,
Indira berhenti sejenak dan menarik nafasnya dalam untuk memberikan ketenangan
pada dirinya sendiri yang seakan baru terlepas dari gumpalan asap tebal yang
membuatnya sulit untuk bernafas
“Seharusnya aku tidak datang kesini…. Aaah pasti semua nampak aneh”
ia mengumpat dirinya sendiri
“Ya… memang benar, seharusnya kamu tidak datang kesini karena ini
bukan tempatmu”
Satu suara yang tidak pernah ia lupakan sedikitpun membuat Indira
mengunci kakinya untuk diam. Detakan heels semakin mendekatinya, ia tahu ada
seseorang yang akan muncul dihadapannya dengan ekspresi gila bahkan menakutkan
baginya… salah, bukan menakutkan tapi menggelikan.
“Lihat… rupanya Cinderella masih berharap akan bertemu dengan
pangeran berkuda putih untuk meninggalkan sepatu kacanya”
Indira masih diam menunggu gadis itu semakin mendekatinya, ia bahkan
bisa tersenyum kini
“Hai nona… jangan terlalu bermimpi akan menaiki kereta kencana
berlapis emas disini, Mimpi Anda terlalu tinggi gilr…. Oh iya masih ingat aku
kan, kamu nggak akan bisa berada di samping Bagas dengan tenang selagi masih
ada aku disekitarnya”
Gadis it uterus berceloteh dengan sombong dihadapan Indira, Inidra
kini semakin memperjelas senyum yang menghiasi wajahnya membuat gadis itu
semakin kesal dan menarik senyum sombongnya dalam dalam
“Sepertinya yang sedang bermimpi saat ini bukanlah saya, melainkan
Anda… lihat, saya tidak mengenakan sepatu kaca, lihat… saya punya mobil sendiri
tanpa harus menunggu kereta kencana datang dan lihat…. saya bahkan bisa
memanggil pangeran itu dalam sekali pencet tanpa harus menunggu untuk bermimpi”
Dengan memperlihatkan sepatu, kunci mobil dan ponselnya, Indira kini
lantang bersuara, bahkan senyum kemenangan itu ia tunjukkan dengan penuh
percaya diri
“Tak percaya?... okey….”
Indira memencet panggilan cepat yang ia simpan untuk nomor Bagas dan
dalam hitungan detik terdengar suara Bagas dari sana… melihat itu Devina
menghembuskan hafas kesalnya pada Indira seraya pergi meninggalkan Indira tanpa
banyak kata. Strike Indira menang
mutlak atas kesombongan yang pernah ia banggakan.
***
Anggi masih tetap heboh dengan segala cerita yang
ia dapatkan dari Indira, seandainya tidak ada istilah malam dan tidur, mungkin Anggi akan terus heboh
sepanjang waktu. Hari sudah berganti tapi sejak matanya terbuka ia masih saja menyebut
nama tante dan sepupunya berkali kali. Belum lagi ulah mbak Christine yang
bergosip ria dengannya ataupun cara Indira
mempermalukan Devina…
“Keren… pokoknya apa yang terjadi kemarin sungguh diluar dugaan”
Kata kata ini mungkin sudah Anggi katakana ratusan kali selama
semalam. Anggi nampak sangat bahagia dengan apa yang ia kerjakan. Usahanya
untuk menyatukan Indira dan Bagas membuahkan hasil diluar ekspektasinya.
”Tapi kenapa semalam kamu larang Bagas untuk datang kesini?”
“Memang aku robot yang tidak memiliki rasa capek, aku saja capek
apalagi dia… ah kamu kadang suka dodol ya Nggi”
“Cieeeee mulai perhatian nih ceritanya…. Tapi Prasta kemarin itu
bagaimana?”
“Stop it Nggi… aku nggak mau lagi bahas Prasta ya. Kamu bisa lihat
kan aku melangkah maju, so jangan buat aku kembali stuck”
“Okay…. Tapi tidakkah kamu ketemu dengan istri dan anak Prasta,
kemarin mereka ada disana, istrinya lumayan cantik dan anaknya menggemaskan,
tapi saying aku terlalu kesal pada Prasta sehingga aku merasa enggan untuk
dekat dengan bocah itu
“Aku sangat berharap aku tidak akan pernah bertemu dengan anak istri
Prasta… cukup aku berpura pura baik baik saja selama ini saat bertemu dengan
dia, lalu jika aku bertemu dengan keluarganya, apakah aku bisa menahannya?”
“Ya… sekarang lihat siapa yang menggandeng tanganmu sajalah Ndi,
udah lepaskan bayangan hitammu itu”
“Tapi Nggi, seandainya benar aku bertemu dengan anak istri Prasta
kata apa yang akan aku ucapkan pada wanita itu. Selamatkah? Mengulurkan tangan
persahabatan kahatau aku harus marah”
“Halah… apa yang belum terjadi tidak perlu dipikirkan. Semua akan
berjalan dengan sendirinya jika saatnya sudah tiba. Dan aku yakin kamu pasti
bisa konsisten dengan keputusanmu itu. Prasta is your past, okey”
Anggi memeluk sahabatnya yang kini telah dianggapnya mampu melangkah
selangkah lebih maju dari kehidupan menakutkan masa lalunya, Anggi sedikit
tenang dan ia akan semakin tenang karena kini kedua orang itu dapat melindungi
secara langsung tanpa ada jarak yang akan membuat Indira merasa takut untuk
dibohongi. Dengan sambutan dari keluarga Bagas yang sangat baik sepertinya
semua akan berjalan sempurna hingga sampai ke muaranya.
Rumah Sakit belum begitu ramai, Indira sudah tiba disana. Dari depan
Rumah Sakit masih terlihat bunga bunga ucapan selamat atas pengangkatan Bagas
sebagai kepala rumah sakit berjajar manis. Indira tersenyum sedikit menaruh
rasa bangga bahwa nama yang tertera disana adalah nama orang yang kini menjadi
bagian dari dirinya.
“Hhhhh…. Sadar Indira, kamu jangan sombong, itu nama Bagas bukan
nama kamu” Indira menertawakan dirinya sendiri yang mungkin ia rasa sedikit
menyombongkan diri pada apa yang bukan miliknya. Ya itulah Indira, dia akan
selalu menapak ke bumi meskipun ia sudah ada diatas langit
Langkah kaki Indira melangkah dengan santai, seperti biasa ia selalu
datang tepat waktu di tempat kerja bahkan ia belum melihat mobil Bagas
terparkir di area parkir. Indira memberikan senyumnya pada setiap orang yang
berpapasan dan menyapanya, ia belum mengetahui apa sebenarnya alasan yang
membuatnya kemarin dilihat dengan pandangan dan senyuman aneh selama di pesta.
Ia tidak mengambil pusing ia berkeyakinan bahwa mereka berpikiran positif
tentang dirinya sehingga mereka melihat Indira semacam itu dan memang Bagas
dikenal dekat dengannya bukan sebagai pewaris Waluyo melainkan sebagai ahli
bedah Medika yang mengejar cinta Indira, ya itulah rumor yang sudah berkembang
di Waluyo selama ini. Indira kini optimis akan apa yang ia yakini…
“Dokter tunggu!” suara suster Mia membuatnya menoleh
“Ya suster… ada apa?”
“Sebaiknya dr. Indira tidak memasuki ruangan sebelum jam dinas
dimulai”
“Memangnya kenapa, Sus… huh?”
Suster Mia nampak bingung menjelaskan, dia beberapa kali menoleh ke
ruangan dan melihat Indira dengan wajah cemasnya…
“Ada apa sih Suster, membuat saya semakin penasaran saja. Ada
seseorangkah disana yang sedang menunggu saya atau….. “
Indira menggantung kata katanya menatap suster Mia dengan tajam
menunggu wanita muda nan setia menemaninya bertugas itu menyelesaikan apa yang
ingin ia sampaikan..
“Ah… suster membuat saya semakin ingin tahu dan masuk kesana”
Indira kembali memutar badan dan melanjutkan langkahnya menuju ruang
kerja…
Sementara itu Bagas nampak begitu bersemangat untuk bekerja dihari
pertamanya resmi menjabat sebagai kepala rumah sakit. Bukan karena ia ingin
segera menunjukkan kinerjanya melainkan ingin segera memastikan jawaban yang ia
dapat dari Indira bukanlah sebuah mimpi karena semalam Indira justru
melarangnya datang ke kontrakan dan tidak ingin berlama lama bicara dengannya
dalam telepon. Setelah meninggalkan parkiran ia melangkah dengan cepat menuju
ruang kerjanya, ia sudah melihat mobil Indira di parkiran, tidak ada mobil
Anggi, sepupunya. Hari ini sudah tidak semestinya ia menitipkan kotak makanan
yang ia bawa buat Indira pada suster Mia sebagaimana yang ia lakukan saat ia
tahu Indira datang lebih dulu dari dirinya, begitupun dengan rute… yang
biasanya ia menuju ruang kerja Indira sebelum ruangannya sendiri, kini ia
memutuskan untuk menaruh tas kerjanya sebelum menemui Indira. Ia tahu jam
ditangannya masih cukup menyisakan beberapa menit yang lumayan sebelum menuju
jam pelayanan public dimulai jika hanya dipakai buat ngobrol. Ia pikir tidak
akan baik membicarakan hal pribadi di tempat kerja ataupun berada berdua dengan
Indira dalam satu ruangan di Waluyo saat ini. Indira pasti akan merasa tidak
nyaman oleh perlakuan hormat dokter dokter yang ada di Waluyo karena hubungan
mereka. Bagas memasang wajah paling bersinar yang ia miliki pagi itu,
penampilan dokter keren nan atletis kini sangat nyata terlihat dari wajah
gantengnya, ia berjalan santai nan tegap menuju unit pelayanan Umum. Dari
kejauhan wajah Bagas berubah saat melihat suster Mia berdiri di depan pintu
dengan kaki yang terus bergoyang seakan tidak tenang, Bagas mempercepat
langkahnya, beberapa langkah dari posisi suster Mia berdiri tiba tiba suster
itu menarik tangan Bagas menjauh tanpa lagi memperdulikan rasa hormatnya pada
Bagas. Bagas mengikutinya dengan wajah heran, suster Mia membawa bagas menjauhi
ruangan Indira dengan penuh kecemasan
“Ada apa, Suster?” tanyanya kemudian saat langkah suster Mia
terhenti di ujung lorong.
“itu… itu Dok… ah sebelumnya saya minta maaf karena sudah lancing,
tapi dr. Indira sedang… sedang….”
“Sedang apa, Suster?.. katakan dengan jelas biar saya tidak
penasaran”
“Ada tamu, Dok….”
“Tamu??? Siapa… kenapa Suster harus menyeret saya sejauh ini, siapa
tamunya? Tamu pentingkah?”
“Maafkan saya Dokter, tapi itu …..”
“Siapa Dokter, saya berhak tahu juga siapa yang berhubungan dengan
orang yang saya cintai”
“Maksud dr. Raihan?”
“Ya… suster Mia, dr. Indira sudah memberi jawaban pada saya, jadi
katakan pada saya siapa tamunya. Saya berhak untuk tahu”
Kini gantian Bagas yang memegang tangan suster Mia untuk
menyakinkannya membuka mulut dengan sedikit menggungcangnya. Suster Mia
menundukkan wajahnya, ia terlihat serba salah dan takut. Melihat hal itu Bagas
tidak menunggu waktu lagi, ia sadar jam kerja sebentar lagi akan dimulai dan
dia tidak mungkin memberikan contoh buruk pada bawahannya dihari pertama kerja.
Bagas melepaskan pegangannya pada suster Mia, ia melangkah cepat menuju ruangan
Indira. Di depan pintu ruangan sekali lagi Bagas berhenti, di kursi antrian
pasien sudah terlihat beberapa pasien yang menunggu loket terbuka. Ia berdiri
termangu mendengarkan apa yang dibicarakan Indira dan tamunya di dalam ruangan,
meskipun tidak keras tapi suara itu dapat didengarkan dengan jelas, suster Mia
mengikutinya dibelakang dengan pandangangan tertunduk
“Hentikan Pras, apa kamu sudah gila?”
“Ndi, aku tahu kamu lari kesini karena aku…. Dan sekarang aku sudah
disini”
“Lalu???..... jangan besar kepala Prasta. Aku bukan orang gila”
“Indira kamu jangan munafik!”
“Munafik?.......
Kamu pikirin apa tentang aku, masih mengharapkan kamu, masih
menginginkan kamu kembali dalam hidupku? …. Oh seperti itukah?!... sadar Prasta”
‘Prasta’ mendengar nama
Prasta beberapa kali Bagas seakan ingin menerobos masuk ke dalam ruangan, tapi
ia sadar bahwa Indira harus melewati dan menyelesaikan masalah masa lalunya
sendiri tanpa ia ikut campur. Bagaimanapun Bagas menghormati Indira dan masa
lalunya. Bagas masih bersabar mendengarkan dari luar ruangan dengan sesekali
melihat ke arah jam tangannya
“Oh ini??? Apakah karena ini kamu menganggap aku memberimu
harapan??”
“Ndi, percaya ataupun tidak kamu masih ada di dalam hati aku”
“Pras…. Aku ucapkan terima kasih untuk itu. Jujur kamu juga masih
ada di hati aku…. Tapi tidak lebih dari sekedar sahabat. Dan soal makanan,
berhentilah mengirimkannyan untukku karena bukan makananmu yang selalu mengisi
perutku, melainkan dari Bagas”
“Bagas?... maksudmu dr. Raihan….. Indira kamu yakin?”
“Apa yang membuat aku harus tidak yakin… kamu mengenal Bagas jauh
lebih baik dari aku kan?”
Mendengar namanya disebut, Bagas mulai mengerutkan keningnya tentang
siapa Prasta sebenarnya dan apakah dia mengenalnya seperti yang Indira katakana
barusan. Ia menerobos masuk dan….
“Prasta???” Bagas hanya masuk beberapa langkah dan kemudian berdiri
termangu kaget dengan apa yang ia lihat. Nama Prasta yang ia sebutkan cukup
membuatnya merasa keluh. Apa yang ia lihat dengan apa yang ia ucapkan terasa
tidak bisa diterima oleh nalarnya. Indira bangun dari duduknya begitupun Prasta
keduanya kaget dengan Bagas yang tiba tiba masuk dan menyebutkan nama Prasta
“Bagas”
Indira mendekati Bagas yang masih memandang ke arah Prasta dengan
tatapan tidak percayanya.
“TAMA ADALAH PRASTA?….. Hoooow God lelucon macam apa ini…. Huft
gila!” Bagas terlihat sedikit emosi, nafasnya memburu, wajahnya merah menahan
amarah
“Gas, duduk dulu,. Aku jelasin ya”
“Kamu nggak perlu menjelaskan apapun Ndi. Aku tahu aku yang paling
bodoh disini…. Kita sudahi saja semuanya… sudah waktunya untuk bekerja. Dan
satu lagi, Tam… aku nggak nyangka jika kamu menertawakanku dalam hatimu selama
ini. Aku menceritakan apapun tentang Indira padamu dari nol sampai detik
kemarin…. Dan ternyata kamulah alasan Indira menutup diri selama ini. Thanks
Tama”
“Thanks Ndi…. Love you”
Bagas menatap Indira dengan pandangan lemahnya, jelas kekecewaan
teramat dalam terlihat dimatanya, ia membalikkan badannya dan pergi
meninggalkan ruangan Indira begitu saja bahkan kotak makanan yang ia bawa juga
masih ia genggam erat. Kekecewaannya menghapus semua semangat yang ia miliki
hari ini. Indira menahan air matanya, ia membuka pintu ruang kerjanya lebar
lebar meminta Prasta pergi
“Saat kamu meninggalkan ruangan ini, kamu harus ingat satu hal bahwa kamu sudah
bukan apa apa buatku. Kita sudah selesai Prasta dan aku harap dengan siapapun
nantinya aku berjalan kamu bisa menerimanya seperti halnya aku menerima anak
dan istrimu dulu”
Prasta tidak mengucapkan kata apapun, entah apa yang ada dalam
hatinya. Antara bersalah dan menyesal tidak dapat dipisahkan dan dilihat dengan
pasti dalam ekspresi wajahnya, wajahnya datar dengan mulut terkunci melangkah
pergi. Hari ini semua berjalan tidak sesuai dengan semangat yang ia miliki saat
membuka mata, Indira terduduk lemas di balik meja kerjanya.
Makan siang kali ini Indira merasa sangat berbeda,
ia merasa jauh dari seseorang yang dulu selalu ada saat makan siang lewat
makanan yang ia kirimkan, tapi kini ketika mereka berdua berada dalam satu
wilayah rumah sakit justru jarak itu semakin terlihat karena ia tidak mungkin
menerobos masuk ke dalam ruang kerja Bagas seenak hatinya. Ia harus msmpu
menahan diri. Pilihan yang ia miliki adalah meluapkan segala bebannya pada
Anggi karena bukan lagi pilihan yang tepat baginya untuk tetap diam, setidaknya
ia harus membagi beban hatinya dengan seseorang yang benar benar ia percaya, ia
meminta Anggi untuk menemuinya di jam makan siang ini, dia membutuhkan saran
dan tidak mungkin ia membiarkan masalah yang ia hadapi menguap begitu saja
tanpa penyelesaian. Siang ini, setelah melaksanakan tugasnya, Indira merasa
Badannya mendadak tidak bertenaga, tapi bagaimanapun jam kerjanya belum
usai, ia melangkah menuju kantin Rumah
Sakit untuk mengisi perutnya dan juga menemui Anggi sesuai dengan janji yang
sudah mereka buat. Dari luar kantin tampak Anggi sudah melambaikan tangannya
memberi tahu dimana ia duduk bahkan dia menunjukkan kotak makanan yang ia bawa
dari rumah pada Indira. Indira tersenyum dan sedikit menemukan semangat saat
melihat wajah sumringah sahabatnya itu. Langkah kakinya sedikit cepat bahkan
angin yang menerpa mampu membawa ujung jas kebesarannya melambai seiraba dengan
rambut legamnya...
“Tante Cantik....” tepat di persimpangan jalan di
depan kantin, Indira menghentikan langkah. Gadis kecil dengan ekspresi wajah
nan ceria berlari ke arahnya. Indira tersenyum dan merendahkan dirinya untuk
bisa sejajar dengan gadis itu lantas memeluknya...
“Hai... Syifa, ngapain disini? Ada yang sakit...
coba tante lihat”
Sapa Indira dengan penuh perhatian, Syifa yang
berdiri menyandarkan dirinya pada badan Indira diam saja membiarkan Indira
memegang dahi dan memeriksa denyut nadinya. Dia nampak nyaman sekali
“Nggak sakit kok... Syifa sehat. Ngapain disini
sayang” tanyanya lagi
“Ternyata Anda seorang dokter.. maafkan saya,
tidak pernah menanyakan siapa Anda sebelumnya”
Seorang wanita muda berhijab kini berdiri di
hadapannya, Bunda dari Syifa. Wanita itu tersenyum tulus.. Indira membalas
senyum itu dan masih asyik dengan Syifa yang memainkan stetoskop di kantongnya.
“Tidak ada yang sakit Dokter... saya kemari untuk
menemui seseorang. Tadi Syifa melihat Anda langsung berlari kesini. Maafkan
saya, nampaknya dia begitu menyukai Anda”
“Ah nggak apa apa Ibu... saya juga sangat menyukai
Syifa. Cantik, ceria dan tentunya pintar.. ya kan sayang” Indira mencubit pipi
Syifa lalu ia berdiri bermaksud untuk menyalami Bunda Syifa
Dari kejauhan, Anggi yang melihat Indira sangat
akrab dengan gadis kecil dan wanita muda di depan Kantin melihatnya dengan
senyum lalu sedikit bertanya tanya apakah sahabatnya itu selalu seramah itu
dengan pasien pasiennya. Anggi membuka kotak makanan yang ia bawa dan
membiarkan Indira dengan orang yang ia temui, ia yakin itu tidak akan lama.
Setelah posisinya kini berdiri tegak, Indira
mengulurkan tanganya pada wanita yang berdiri di hadapannya
“Kita sepertinya sering bertemu secara tidak
sengaja, tapi baru kali ini rasanya bisa berkenalan dengan Anda...”
“Anda.....”
“Anda.....”
Mata sekar tidak sengaja membaca pin nama yang
melekat pada jas dokter yang Indira kenakan, diluar dugaan. Apa yang ia alami
dengan Indira selama ini seakan menjelma sebagai sebuah takdir yang tidak ia
sadari sebelumnya bahkan putrinya sangat menyukai Indira.. Sekar membekam
mulutnya sendiri tak percaya dengan apa yang ia baca ‘dr. Indira L’ entah apa yang ia rasakan sepertinya melihat Indira
saat ini rasanya ia berubah menjadi seseorang yang sangat jahat. Selama ini
Tama sangat melarangnya untuk mengenal Indira dan dia tidak pernah tahu
kepribadian Indira seperti apa, ia hanya berfikir bahwa Indira adalah gadis
kebanyakan dengan kepribadian yang umum, akan tetapi setelah beberapa kali ia
bertemu dengan Indira secara tidak sengaja dan menerima laporan Syifa tentang
Indira di Hotel kemarin rasanya Indira adalah orang yang benar benar baik dan
ia sudah melukai dokter itu sangat dalam. Kini Sekar seakan menemukan alasan
suaminya masih menyimpan Indira dalam hatinya dan merasa sangat sulit untuk
melepaskan bayang bayang masa lalunya.
“Ibu... Ibu baik baik saja?” tanya Indira saat
melihat Sekar begitu pucat dan matanya nampak menahan airmata, ia tidak
mengerti wanita itu tiba tiba bersikap aneh dan melihatnya seperti melihat
seseorang yang ia kenal sehingga membuatnya terkejut. Pusing dikepala Indira
terabaikan, ia melambaikan tangannya pada Anggi yang ada di dalam kantin, ia
merasa Sekar akan ambruk karena wanita itu hanya dia dan membekap mulutnya
sendiri terus berdiri mematung
“Ibu.... Ibu kenapa?” Indira hendak memegang
pundak Sekar untuk meyakinkan wanita itu dan memastikan wanita yang kini berada
di hadapannya dalam keadaan sehat.
“Sekar.... Syifa”
“Papa....” Syifa berhambur lari kearah suara yang
tiba tiba muncul, Indira menengadahkan wajahnya melihat siapa yang datang dan
dipanggil Papa oleh Syifa, suara itu tidak asing baginya dan tentunya pria itu
akan membuat wanita yang ada di hadapannya kini membaik.
‘PRASTA’ Indira tidak percaya dengan apa yang dilihatnya
kini, Syifa yang beberapa detik lalu ada dalam dekapannya kini sudah ada dalam
gendongan Prasta yang berjalan kearahnya. Tidak ada kata yang keluar dari
bibirnya, nafas Indira memburu. Anggi yang datangpun tidak kalah kagetnya, ia
langsung memegang tubuh Indira menguatkan, Indira nampak sangat terkejut dan
sedikit limbung. Ia memegang kepalanya sendiri menatap Prasta yang kini ada
dihadapannya menggendong Syifa
‘Oh
Tuhan... kenapa kejutan kejutan itu teramat dasyat bagiku, Syifa dan wanita
ini...... aku sudah berusaha sejauh mungkin untuk tidak terlibat dalam urusan
mereka, tapi justru kau kirimkan mereka dihadapanku’ Indira berucap
penuh keluh kesah dalam hatinya
“Sudah aku bilang jangan, kenapa Bunda nekat”
lamat lamat Indira mendengar suara Prasta
“Maaf, maafkan aku Yah... tapi tadi saat aku tiba
di kantormu, orang kantor megatakan Ayah ke sini makanya aku berniat menyusul
dan maafkan aku karena aku begitu penasaran”
“Sekarang apa yang akan Bunda lakukan setelah
berhasil menemuinya. Nggak ada kan?? Kita pulang ya”
Percakapan itu jelas terdengar oleh Indira yang
masih berdiri dalam sanggahan tangan Anggi, tidak ada kata dan air mata. Indira
hanya diam dan menatap dalam pandangannya yang mengabur
“Tunggu..” Indira menghentikan langkah Prasta dan
juga Sekar. Syifa yang ada dalam gendongan Prasta hanya terlihat bingung
melihat bundanya menangis tanpa sebab juga Indira yang terlihat sakit
“Jangan libatkan aku dalam urusan kalian, apapun
itu. Aku mohon jangan pernah lagi”
Indira kemudian meraih tangan Anggi mengajaknya
untuk pergi meninggalkan Prasta dan juga Sekar. Indira tidak pernah tahu siapa
nama anak dan istri Prasta karena ia tidak pernah ingin terlibat dalam urusan
Prasta semenjak Prasta menghianatinya. Kehadiran Prasta kembali di dalam
hidupnya adalahkebetulan yang tidak bisa ia tolak dan pertemuannya dengan
keluarga Prasta siang ini juga merupakan takdir yang tidak bisa ia hindari,
tapi kini ia sangat lega karena ia bisa mengatakan dengan jelas dan meminta
mereka keluar dari kehidupan yang akan ia jalani. Kini ia menemukan jawaban
kenapa ia melihat seseorang yang nampak seperti Rendy menemani wanita itu saat
pertama kali mereka bertemu di Mini Market. ‘Tuhan
sudah memberikan petunjuk, tapi aku kurang peka.... Kuatkan aku ya Rabb’
Dalam ruang kerja, Anggi membaringkan badan Indira
yang lemas diatas kasur periksa
“Kamu nggak apa apa kan Ndi.... badan kamu sedikit
demam. Kamu belum makan dan tadi pagi hanya meminum sereal doang”
“Berikan aku infus Nggi, aku benar benar pusing
dan rasanya aku nggak akan mampu untuk menelan makanan”
“Huft... kenapa hidupmu begini rumitnya sih Ndi.
Seandainya aku ada dalam posisimu mungkin aku akan stress dari dulu” Anggi
memasang jarum infus di tangan Indira setelah ia memeriksa keadaan sahabatnya
itu.
“Istirahatlah sebentar, kamu akan segar kembali
setelah ini. Aku akan menemui Bagas”
“Tunggu Nggi.. kamu jangan bilang apapun soal ini
pada Bagas. Biarkan aku yang bercerita sendiri”
“Okay.... tadi kamu bilang Bagas marah saat
mengetahui Tama adalah Prasta. Aku akan membahas ini saja dengannya. Tapi aku
janji aku nggak akan lerlibat trelalu jauh dengan urusan kalian. Kamu tenag
saja. Istirahatlah”
Anggi meninggalkan Indira bersama dengan suster
Mia, ia menitipkan kotak makanan yang diantarkan oleh petugas kantin untuk
memberikannya pada Indira saat Indira merasa mampu untuk makan. Anggi menarik
nafas panjang lalu bergegas untuk menemui Bagas.
Di ujung lorong Rumah Sakit, Anggi melihat Bagas
yang berjalan ke arah ruangannya, sepertinya dokter ganteng itu baru saja
kembali dari luar rumah sakit... ia memanggil Bagas dan berlari kearahnya
“Darimana kamu?”
Pertanyaan Anggi saat ia telah sampai dihadapan
Bagas dan berjalan beriringan menuju ruang kerja Bagas, ia berusaha untuk tidak
menampilkan wajah cemasnya.
“Makan, kenapa? Hari ini kamu free kan... tumben,
ada apa?”
Anggi menahan diri, ia tidak ingin seisi rumah
sakit mengetahui apa yang akan ia bicarakan, cukup kejadian di depan kantin
tadi disaksikan oleh beberapa pasang mata dan pastinya esok hari semuanya akan
menyebar. Jika beruntung Bagas akan mendengarnya tapi akan sangat kecil
kemungkinan itu terjadi mengingat siapa Bagas di Rumah Sakit ini. Anggi duduk
di sofa dan mengambil air mineral dalam lemari es yang ada di pojok ruangan.
“Hidupmu sempurna banget ya Gas, wajah ganteng,
otak encer... kaya dan pacar yang cantik” Anggi mulai memancing
“Pacar?” ada nada sarkastik dari kata pacar yang
Bagas ucapkan
“Ya.... kamu dan Indira resmi pacaran kan walau
tidak ada acara tembak menembak seperti anak ABG”
“Kata siapa?”
“BAGAS” Anggi sedikit berteriak mendengar Bagas
yang seakan tanpa beban mengelak pada hubungannya dengan Indira
“Nggi... aku begini juga karena Indira, kamu tahu
aku seperti apa kan?”
“Maksudmu apa, kamu jangan konyol ya Gas... baru kemarin
loh kamu mengemis jawaban pada Indira dan sekarang kamu seperti ini”
“Itulah yang aku sesali..... kenapa aku begitu
bodoh tidak bisa membaca sikapnya selama ini. Sahabatmu yang cantk itu menipuku
mentah mentah Nggi... atauuu... barang kali kamu tahu yang sebenarnya terjadi?”
“Apa maksudmu, apa yang sebenarnya sudah terlewat
dariku dalam sehari ini. Tadi pagi aku dan Indira mesih menjadikanmu sebagi
topik utama pembicaraan kami. Apa Gas, apa yang kamu maksudkan?”
“Tama.... Prasetya Adhitama adalah seorang Prasta,
iya kan?? Kamu tahu itu kan?.... dan bodohnya aku adalah aku selalu curhat soal
perasaanku pada Indira kepada Tama. Lebih konyol mana, lebih tidak masuk akan
mana, huh?”
Anggi menarik nafasnya dalam dan menatap sepupunya
yang dikuasai emosi itu prihatin, benar jika Bagas emosi dan merasa di bodohi
tapi Indira tidak sepatutnya dihakimi seperti ini setalah sekian panjang
perjananan yang ia temouh untuk melewati masa sulitnya melupakan sakit hati.
“Tenang Gas, aku akan ceritakan semuanya.....
Oke.. pertama aku minta maaf jika tidak pernah
memberitahumu soal Prasta dan Tama, itu semua aku lakukan karena kau merasa
tidak memiliki hak disana dan aku mengenal Tama juga saat Indira dalam keputus
asaan ingin melarikan diri dari hidupnya sehingga aku mengajaknya untuk bekerja
di Waluyo. Dari situlah awal mula aku tahu soal Tama, sebelumnya aku tidak
pernah tahu karena Indira dalah orang yang tertutup dan tidak seorang cowokpun
aku lihat ada dalam kehidupannya semasa kuliah. Kedua kamu tidak bisa menyalahkan
Indira begitu saja tentang masalah ini....”
“Tapi Nggi ... memera membodohi aku”
“jangan potong dulu... kamu dengarkan dulu samapi
aku selesai bicara....
Bukan waktu yang singkat bagi Indira untuk
mengubur nama Prasta dalam hidupnya, kamu tahu itu kan, jika tiba tiba Prasta
kembali hadir disaat kalian dekat, apakah ini hal yang mudah bagi Indira untuk
membukanya padamu sementara dia mati matian ingin melupakan orang itu. Dia
mengalami masa sulit Gas. Dan alasan dia bungkam bukanlah untuk membodohimu melainkan
menyelamatkan hatinya sendiri, ia tidak ingin kamu meninggalkannya saat tahu
sahabatmu adalah mantan pacar yang sudah melukainya dan membawanya jatuh ke
dasar jurang. Kamu mngerti itu”
“Apapun itu alasannya Nggi, bohong tetaplah
bohong”
“oke aku mengerti kekecewaanmu.... dan ketiga asal
kamu tahu hari ini ketika kamu marah, istri Tama atau Prasta secara tidak
sengaja bertemu dengan Indira dan kamu tahu, anak Prasta adalah gadis kecil
yang memberikan luka di kaki Indira beberpa waktu lalu. Lebih mengagetkan lagi
Prasta datang menyusul sitrinya yang berniat menemui Indira. kamu tahu apa yang
dikatakan Indira?”
“Maksudmu Indira dilabrak istri Tama”
“Nggak.... Istri Tama hanya bengong sambil
membungkam mulutnya sendiri saat melihat Indira, bahkan Indira belum
menyebutkan namanya dan uluran tangan Indira masih digantungkan olehnya.
Mungkin dia membaca nama indira di Jas kerja Indira dan merasa sudah mengenal
Indira sebelumnya tanpa sengaja serta mengakui kebaikan dan ketulusan Indira
sehingga kehilangan kata kata kali”
“Lalu, apa yang dikatakan oleh Indira?”
“Dia mengusir Prasta dan keluarganya dari
kehidupannya apapun itu bentuknya. Aku mendengarnya sendiri karena aku yang
menopang tubuh Indira saat itu. Bukan istri Tama yang limbung, tapi Indira yang
shock ... dia sekarang aku kasih infus dan sedang istirahat, dia sedikit demam.
Udah itu saja yang perlu katakan. Kamu tentu sudah bisa memutuskan harus
berbuat apa. Ikuti kata hatimu Gas, jangan emosimu. Aku tinggal dulu, aku mau
melihat keadaan Indira”
Sepeninggalan Anggi, Bagas menyandarkan dirinya di
kursi kerjanya dan memejamkan matanya. Apa yang ia alami dan bagaimana gigihnya
dia untuk mendapatkan kepercayaan Indira bukanlah hal yang ia raih dengan
mudah, butuh waktu ha,pir setangah tahun untuk membuat gadis itu untuk membuka
diri. Bukan waktu yang lama tapi juga bukan waktu yang singkat pula untuk
mengambil langkah awal. Untuk sama sama mensejajarkan diri di garis start saja
begitu susah, apakah ia akan memasuki garis finish itu dengan mudah. Hati Bagas
berperang... disatu sisi apa yang dikatakan oleh Anggi sepenuhnya sadar, bukan
hal yang mudah bagi Indira untuk berpura pura baik di hadapan Tama, bahkan
gadis itupun telah begitu nerima dengan penghinaan Devina. Satu yang ia syukuri
adalah keluarganya tidak menambah kepedihan Indira dengan membuka tangan
menerima Indira, lalu apakah karena hal sepele ia akan menyerah.
‘Indira
sedang di infus’ Bagas baru
tersadar kata kata itu tadi ia acuhkan begitu saja. ‘Infus’ itu berarti Indira memasuki batas pertahanannya ‘Oh God mudah mudahan ini adalah jalan yang
kau berikan untukku’ Bagas mengambil ponselnya yang berdering dan ia
berjalan keluar ruangan sambil menjawab teleponnya
“Ya, ada apa dr. Hendra?.... Oke secepatnya aku
akan kesana, tolong handle dulu karena ada urusan yang harus saya selesaikan
disini. Iya saya mengerti, akan saya usahakan secepat mungkin”
Telepon dari rekannya itu ia jawab cepat dan ia
sedikit melebarkan langkahnya untuk sampai ke ruang kerja Indira
“Apa aku
harus melaksanakan niatku untuk ambil spesialist ya Nggi?” suara Indira terdengar
dari luar saat Bagas sampai di depan ruangan, lagi lagi seakan dejavu ia
menguping pembicaraan Indira dan Anggi dari luar ruangan dengan mengendap endap
masuk agar tidak disadari oleh keduanya, sama persis saat ia mengetaui tentang
masa lalu Indira dan kiriman makanan dari Prasta beberapa bulan lalu
“Apa??” Anggi kaget karena selama ini Indira tidak
pernah membahas rencana itu sebelumnya dan dulu alasan biaya yang menghalanginya
untuk menempuh pendidikan spesialist begitupun dengan Bagas, meskipun
sebelumnya ia sudah pernah mendengar itu dari suster Mia, tapi sekali lagi itu
membuat jantungnya berdegup kaget
“Ya.. mungkin saat ini waktu yang tepat buatku
untuk itu kali Nggi” lanjut Indira dengan suara lemasnya
“Jangan lari lagi Ndi... jikalau kamu ingin
mengambil pendidikan itu, jangan jadikan itu sebagai alat untuk menghindari
masalahmu”
“Aku capek Nggi.... aku butuh waktu untuk berfikir
dan menenangkan diri
Aku sangat benci dibohongi dan saat ini aku yakin
Bagas pun merasakan kekecewaan itu walau itu bukan niatku. Sebelum semuanya
semakin rumit, mungkin aku harus pergi. Bekerja dalam satu atap tetapi memendam
masalah itu hal yang sangat tidak mengenakkan Nggi”
“Haaaah.... Indira, Indira.... baru kemarin aku
melihatmu tersenyum, kenapa sekarang kamu begitu layu... dan semua karena orang
yang sama yaitu Prasta. Sumpah aku benci sekali nama itu”
“Bukan Nggi... bukan karena Prasta, karena tanpa
aku sadari Prasta sudah lama hilang dari hatiku sejak Bagas membawaku ke Dapur Gendhis dulu, Bagas membuka
pertahananku pelan pelan dari sana dan aku tidak menyadari itu... setelah pagi
tadi dia mengatakan terima kasih dan cintanya aku baru sadar bahwa aku sangat
kehilangan dia”
“Untuk itu jangan pernah pergi”
Bagas menyibakkan tirai yang memisahkan dirinya
dengan Indira juga Anggi dalam ruangan itu, Anggi yang merapikan sisa infus
juga kaget melihat Bagas yang muncul, ia melangkah muncur perlahan lahan
meninggalkan ruangan dan selang selang itu begitu saja, ia sadar kini Bagas dan
Indira butuh ruang pribadi untuk menyamakan pikiran mereka. Bagas masuk, Indira
berusaha untuk bagung akan tetapi pusing dikepalanya masih sedikit tertinggal
sehingga ia harus menyerah dengan duduk bersandar di atas kasur periksa.
“Menunggu adalah hal
yang membosankan dan melelahkan, akan tetapi segala kebosanan dan kelelahanku
itu seakan sirna saat aku mengenalmu. Maafkan sikap dan emosiku tadi pagi, tapi inilah kenyataan
yang ada. Kekecewaan itu sempat melumat habis segala logika yang
aku punya. Seperti halnya jarum jam ini, dia tidak
pernah berputar ke belakang dan akupun demikian aku akan tetap melangkah maju
untuk menemukan dirimu ada di ujung jalanku. Semoga diriku tidak akan pernah
menjadi sisi buruk yang tidak ingin kamu kenang dan akan menjadi waktu yang
akan selalu kau lihat dan kau ingat selamanya. Pegang tanganku Indira.. aku akan ada untukmu dan memastikan hanya akan
ada senyum diantara kita setelah semua ini berlalu, jangan pergi... aku akan
melepasmu untuk pergi jika kamu sanggup berjanji untuk selalu menyimpan aku
dalam hatimu dan akan kembali padaku dengan gelar barumu bukan untuk lari
dariku. Always hold my hand... i’ll be there for you everytime you need me”
Bagas meraih tangan Indira yang diam seribu bahasa hanya
mendengarkan apa yang ia katakan. Bulir bening kini mengalir dipipinya dengan
sedikit senyum yang sedikit demi sedikit menghiasi wajah ayunya....
-
The End -
Note : semoga nggak garing ya.... hehehe maaf, hayalan
hayati lama updatenya...
Dont Miss It :
Part 16 : HOLD MY HAND
Tidak ada komentar:
Posting Komentar