Selasa, 19 Januari 2016

PART 17 : HOLD MY HAND (The Last Part)





Part 17 : The Last Part

Hujan yang turun tidak juga reda sedari semalam…. Hawa dingin semakin menusuk tulang, Indira dengan piyama Minnie Mousenya keluar kamar dengan membawa guling, matanya masih merah dan terlihat sembab, duduk di dekat jendela membiarkan angin menyapu wajahnya dengan bulir bulir lembut air hujan menyejukkan. Sementara Anggi sudah benar benar repot sedari pagi, mulai menyiapkan sarapan, menyiapkan baju yang akan ia kenakan, beberapa lembar kertas yang entah berisi apa itu ia letakkan rapi di meja kecil samping pintu menuju garasi tempat dimana tas kerja berada setiap pagi. Indira acuh dan tetap asyik dengan apa yang ia lakukan dari balik terali menikmati suara alam nan teduh. Segala kegaduhan bunyi peralatan dapur yang Anggi gunakan tidak mengurangi konsentrasinya…
“Indi, sarapan ga?” teriak Anggi dari dalam dapur
“Coklat hangat, teh apa kopi?” teriaknya lagi
Indira masih tak bergeming, hujan pagi ini  yang tidak begitu deras seakan menyedot semua konsentrasinya bahkan seluruh jiwanya meninggalkan raga. Matanya terpejam, duduk menyandar pada kursi malas memeluk gulingnya. Dunia mimpi masih merengkuhnya dalam kesejukan suasana yang ada
“Indiiiii… Roti apa nasi goreng?”
Anggi memutar badannya mencari sosok Indira yang sempat ia lihat sudah keluar dari dalam kamarnya, ia heran tidak satupun dari seruannya mendapatkan jawaban, beberapa saat Anggi dibuat hawatir dengan keadaan yang nyaris tidak pernah terjadi dalam rumah selama mereka tinggal bersama. Hanya ada dua hal yang membuat Indira mengacuhkan dirinya, disaat dia lagi sakit dan di saat ada pasien. Pagi ini tidak satupun pasien datang setelah semalam hujan deras mengguyur bahkan sampai pagi ini, Anggi menanggalkan Apron yang setia menempel padanya sejak pagi buta, ia melangkah menuju kamar Indira. Beberapa langkah dari dapur langkahnya terhenti, ia menggelengkan kepalanya melihat Indira yang terduduk memejamkan mata di depan jendela menghadap teras samping rumah masih dengan piyama, guling serta rambut yang diikat acak
‘tertidur apa sakit sih dia?’ Anggi mulai hawatir, ia mendekati Indira yang belum menyadari kedatangannya. Anggi memegang kening Indira dan tiba tiba….
“Auww…. Ish ini orang kasar banget sih!” Anggi memprotes sikap Indira yang tiba tiba memukul dan mentelak kasar tangannya
“Oh maaf Nggi…… salah sendiri ngagetin”
“Kamu ini benar benar ya Ndi, nggak ada perasaannya sedikitpun sama teman seperjuanganmu ini..... hmmm kasar
Anggi memasang wajah betenya sambil sedikit menjitak kepala Indira, lalu berjalan kembali menuju dapur
“Kamu sarapan nggak? Roti Bakar apa nasi goreng? Teh, Kopi apa coklat hangat?” teriaknya kemudian menawarkan menu sarapan pada Indira.
“Nggak ada menu sehatan sedikit ya Nggi?”
“Ah banyak protes kamu Ndi.... Milih menu sehat ntar minta sama Bagas”
“Ish kenapa membawa nama Bagas sih, apa hubungannya coba?.... mana, nawarin tapi belum tersedia semua?”
Indira melihat meja makan masih kosong dan menu menu yang Anggi sebutkan tak satupun berada disana kecuali air putih dan buah yang manis diatas meja
“Aku teriak sampai pita suara mau putus kamu nggak jawab juga, ya nggak tak ambilkan.... Apa, Roti apa Nasi goreng?”
“Nasi Goreng dan Teh Anget ya.... hehehehehe”
 “Udah ada semua, ambil sendiri ya.... nih teh nya aja aku bikinin, lainnya kamu buka sendiri deh. Nasi goreng masih diatas wajan, roti di sebelah Microwave. Aku buru buru harus sampai di Crown secepatnya”
“Acara masih jam 10 kan? Ini baru jam 6 Nggi, apa kamu nggak salah”
“Haloooo, ini ketua panitia ya, KETUA. Ingat itu..”
“Oh... ketua, oke Ibu Ketua, silahkan lanjutkan aktivitas Anda”  Anggi meninggalkan Indi dengan sarapannya untuk mempersiapkan diri memulai harinya yang sesungguhnya

Cahaya semakin terang yang menandakan bahwa hari pun sudah semakin siang, namun kabut yang ditinggalkan oleh hujan lebat semalam bahkan sampai pagi tadi begitu tebal sehingga sinar mentaripun tidak menemukan celah menyinari bumi. Indira membuka almarinya, beberapa dress yang tergantung disana nampak sangat asing baginya karena begitu jarang ia kenakan. Kalem sikapnya tidak mengharuskannya selalu mengenakan dress, bahkan pakaian itu adalah jenis pakaian yang menjadi momok baginya. Membayangkan dirinya dalam balutan dress dengan make up, tatanan rambut bahkan heels tinggi menjulang membuatnya merasa ngeri sendiri. Satu satunya heels yang ia terima hanyalah sepatu kerjanya. Indira berkacak pinggang berdiri di depan almari yang ia biarkan terbuka, matanya terus berpindah pindah dari dalam almari dan pada penampilannya kini. Sepertinya piyama dengan gambar Minie Mouse dan rambutnya yang diikat sekenanya itu terlihat lebih menarik dalam pandangannya dan sangat nyaman bagi dirinya. Lama Indira tidak bisa menjatuhkan pilihannya, ia melirik pada jarum jam yang menempel di dinding kamarnya…. 09.35 wib. Huft… apakah dia akan berusaha seserius ini untuk tampil sempurna hanya untuk menghadiri sebuah acara dengan konsep semi formal itu. ‘Hey… ada apa denganmu Indira, wajibkah bagimu untuk tampil sempurna disana. Untuk siapa, mengapa?’ Indira urung mengambil pakaian, tidak satu helaipun ia tanggalkan dari gantungan almarinya, ia menjatuhkan dirinya di atas kasur dengan mulut monyongnya menertawakan dirinya sendiri.
“Memangnya kamu sudah yakin dengan jawaban yang akan kamu berikan pada pimpinanmu itu, Ndi. Apa yang akan kamu katakan padanya saja kamu masih bingung, lalu ngapain kamu harus pusing…. Ambil satu, kenakan dan berangkat…. Sesimple itu. Indira” gumamnya kemudian disela tawa gelinya melihat tingkah aneh yang ia lakukan
Dalam satu hentakan Indira bangun dari kasurnya, ia mengambil handuk yang ada di depan kamar mandinya lalu bergegas membersihkan diri. Mini Dress berbahan paduan Brokat Satin berlengan pendek berwarna Soft Purple ia kenakan. Sentuhan manis pada pita yang ada di bagian pinggang membuat kesan lebih manis pada bagian bawah dress itu karena ada sedikit bergelombang dan tampak sangat cantik melebur jadi satu dengan kulit kuning langsat Indira. Rambutnya ia biarkan tergerai lurus, tidak ada make up tebal terlihat diwajahnya, ia hanya menyapu wajahnya dengan riasan ringan nan alami merubah penampilan gadis frustasi dalam balutan piyama hilang seketika menjelma menjadi seorang putri dalam cerita Barbie….
Ting Tung…
Satu pesan Line masuk, tapi Indira masih menyelesaikan ritualnya mempersiapkan diri. Tas berwarna putih gading dan sepatu dengan warna senada ia keluarkan, duduk di tepi ranjang ia memasukkan bawaannya kedalam tas dan ….
“Ya Nggi?” rupanya pesan line yang masuk adalah pesan dari Anggi. Karena tidak mendapat jawaban atas pesan yang ia kirimkan maka kini giliran panggilan ia lakukan
“Indira… jangan bilang kamu nggak akan kesini ya?”
“Memang kenapa? Kalaupun aku nggak hadir acara tetap akan berjalan kan?”
“Ini sudah jam berapa Ndi? Cepetan! asal kamu tahu ya, Mbak Christine dan tante Sisca nanyain kamu”
“Hah, siapa?”
Indira setengah berteriak mendengar nama yang Anggi sebutkan, ia tahu siapa mereka, otaknya mulai berfikir keras, diantara sekian banyak dokter yang ada di Waluyo kenapa harus dia yang dicari, Bagas sudah menyebarkan berita apa tentang dirinya pada kakak dan mamanya, atau ini ulah Anggi?...
“Indira….. hallo kamu berangkat kan?”
“Eh… iya, tadi kamu bilang siapa yang nyariin aku…. Untuk apa, ngapain?”
“Mana aku aku tahu… sepertinya selain acara peresmian dan serah terima jabatan, kayaknya juga ada acara perkenalan calon menantu”
“Maksudmu?”
“Udah buruan datang biar Devina tidak besar kepala, aku sudah pingin muntah lihat gayanya yang sok akrab itu”
“Devina, dia datang juga???”
“Tentu saja, Ndi… The Crown Hotel itu punya keluarganya. Aduuuuh banyak tanya ih kamu. Berangkat nggak sih?!”
“Males ….. udah sana kamu urus acaranya biar sukses”
Tut Tut tut tanpa salam dan basa basi lagi Indira memutuskan sambungan telepon, dia dapat membayangkan kalau di tempat acara berlangsung Anggi sedang kebarakan jenggot karena tidak melihat tanda tanda kedatangannya apalagi jawaban yang ia berikan di ujung percakapan telepon. Seribu persen Indira bisa memastikan Anggi kini sibuk dengan umpatannya. Devina, satu nama itu membuat Indira sedikit mengendurkan semangatnya untuk melangkah meninggalkan rumah, apa yang ia terima dari Devina terasa sangat sulit untuk dilupakan. Sekali dalam seumur hidupnya ia direndahkan oleh orang asing hanya karena seorang pria yang bukan apa apa baginya dan itu membuatnya terasa lebih menyakitkan dari saat menerima penghianatan Prasta padanya. Mata Indira melirik jam yang melingkar di tangannya…10.25 wib. Acara pasti sudah dimulai, dalam waktu setengah jam ia akan tiba di lokasi acara dan mungkin hanya akan kebagian ramah tamah. Bagas kini mungkin sibuk mencari dirinya ‘it’s not your time, Indira… jangan hawatirkan apapun yang akan terjadi, mungkin kamu terlalu berlebihan’ Indira memantapkan hatinya, ia melangkah dan meninggalkan rumah menerobos hawa dingin yang masih tersisa.

Sesuai perhitungan, dalam tiga puluh menit Indira telah sampai di The Crown Hotel tempat acara digelar. Satu decakan ia keluarkan begitu ia memasuki lobi hotel, megah dan cukup berkelas untuk ukuran Hotel di kota kecil, Indira melangkahkan kakinya menuju tempat acara….
“Oh… tante cantik!”
Satu suara menghentikan langkahnya, ia menengok ke arah sumber suara dan benar saja gadis kecil yang memberikannya kenang kenangan sejak pertemuan pertama mereka ada disana sedang berlari kearahnya
“Tante cantik disini juga?”
“Oh gadis cantik… iya, tante ada acara disini, kamu sama siapa?”
“Bunda”
“Mana Bundanya?” Indira tidak melihat ada wanita muda yang ia temui di mini market tempo hari ada bersama gadis kecil itu.
“Luka Tante? Ya... masih ditutup plaster. Masih sakit, Tan” Syifa tidak menjawab pertanyaan Indira dan matanya justru konsen pada kaki Indira, sepertinya gadis kecil itu masih belum bisa melupakan kecerobohannya karena kini sorot mata penyesalan kembali terlihat di bening kedua mata cantiknya
“Sayang, jangan berkeliaran sendirian ya, nanti kesasar. Bundanya mana hayo? Nggak ada kan?” Indira mengalihkan perhatian sang bocah, ia tahu gadis kecil itu merasa bersalah padanya
“Bunda masih ke toilet, Tante. Syifa disuruh nunggu disitu, tadi sama Bunda dititipkan sama Om itu” Gadis kecil itu menunjuk pada sofa yang ada di lobi dan seorang Security yang bertugas. Indira memberikan senyumnya pada petugas itu lalu menggandeng tangan Syifa berjalan ke sofa.
“Kamu tunggu Bunda disini baik baik ya, jangan lari kemana mana sampai Bunda kamu datang, Okay?! Tante nggak bisa menemani karena tante ada acara penting” Indira membelai rambut Syifa dengan rasa sayangnya lalu ia menitipkan Syifa pada petugas yang tadi ditunjukkan oleh Syifa padanya.
“Tante tinggal dulu ya…. Tungguin Bunda baik baik” Indira melambaikan tangannya dan melankah kembali menuju lift.
Suara rium tepuk tangan terdengar dari luar Ruangan, sepertinya acara sambutan belum selesai, Indira memasuki ruangan dengan tenang, ia tau kedatangannya tidak akan menjadi sorotan dan dia berusaha untuk tenang. Statusnya sebagai bagian dalam Waluyo membuatnya berkewajiban untuk mendatangi tempat itu sekedar memberikan selamat. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat Bagas menuruni podium, sepertinya tepuk tangan yang sempat ia dengarkan adalah tepukan atas sambutan yang Bagas berikan, ada dr. Satya dibelakangnya mengiringi. Ruangan tampak mulai riuh dan ia datang pada jam yang tepat ‘saat makan’ di mulai.
“Lama amat sih? Kirain kamu nggak datang... nih lihat Bagas telepon aku berkali kali cuma untuk tanya apakah kamu udah datang apa belum”
Anggi mengenali dirinya, gadis itu kini sudah duduk di sampingnya dengan menunjukkan telepon genggamnya yang penuh dengan panggilan tak terjawab dari Bagas. Indira tersenyum, ia memasang wajah datarnya memandang Anggi yang berwajah sedikit tegang. Entah apa yang membuatnya begitu tegang, sosok santai yang ia kenal tidak bersisa sedikitpun dalam raut wajah Anggi bahkan ia lebih terlihat pucat dengan dress putih yang ia kenakan.
Anggi berdiri, ia menepuk pundak Indira untuk menikmati acara yang terselanggara, beberapa rekan kerja nampak tersenyum aneh pada Indira, ia sedikit canggung oleh senyuman senyuman itu. Ia mencoba untuk berpikir positif, mungkin karena mereka tahu dr. Raihan atau yang lebih ia kenal sebagai Bagas adalah orang yang beberapa kali mengunjunginya di Waluyo sehingga mereka tersenyum sedikit aneh padanya. Indira berdiri dari tempatnya, ia bermaksud untuk mencari Bagas dan memberikan selamat secara resmi pada dokter tampan yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya itu. Ruangan ini sangat luas akan tetapi terasa sangat sesak bagi Indira dikarenakan sorot mata yang tertuju padanya ia rasakan begitu aneh ditambah lagi oleh senyuman senyuman penuh makna dari mereka yang ia lalui. Di depan meja yang penuh dengan makanan Indira menarik lengan dress Anggi
“Iiiiih apaan sih Ndi?”
“Sebenarnya ada apa kok semua mata melihatku aneh?”
“Makanya datang itu tepat waktu biar tahu ceritanya” Anggi menjawab cuek dan melanjutkan aktivitasnya mengambil makanan, Indira mengikutinya dibelakang sambil membawa piring seakan akan ia siap untuk mengisi perutnya
“Jangan main teka teki dong, ada apaan.... cerita buruan!” dengan berbisik Indira memaksa Anggi untuk bercerita, tapi sayang Anggi justru menggodanya dengan tatapan yang aneh pula sehingga Indira dibuat jengkel. Ia meletakkan kembali piring yang ia pegang dan bermaksud untuk mencari tempat duduk, ia mengambil segelas orange juice yang tersedia dan membawanya duduk kembali karena sosok Bagas belum ia temukan, mungkin Bagas sedang sibuk dengan keluarga juga rekan bisnis orang tuanya. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam dompet
“Oh ada pesan masuk” gumamnya sambil menyeruput sedikit minuman yang ia bawa, tangannya membuka kunci ponselnya dengan cepat
‘Bagas’ nama itu yang nampak memenuhi layar telepon genggamnya... Indira tersenyum, rupanya Bagas sempat kalang kabut karena tidak melihat penampakannya di acara siang ini
10:50
‘Hari ini siap dengan jawaban yang aku minta kan?’
11.00
‘Apapun yang akan kamu sampaikan, aku siap. Yang terpenting adalah Indira masih bisa aku lihat bahagia’
11:15
‘Kamu tidak datang? Atau masih dalam perjalanan’
11:17
‘Indira, kamu dimana?’
11: 18
‘Indira kamu nggak datang, tidak adakah ucapan selamat buatku sebagai atasan barumu’
11:25
‘Berbasa basilah sedikit Ndi untuk membuatku senang, ucapkan sesuatu untukku. Sebentar lagi aku naik podium, aku harap kamu akan datang dan bisa mendengar apa yang aku sampaikan’
12:15
‘Kamu terlihat cantik dan memang selalu cantik, terima kasih sudah datang’
Pesan terakhir yang ia baca membuat Indira terlihat seperti orang bodoh, ia mengedarkan pandangan keseluruh ruangan tapi sosok Bagas tidak ia temukan, hanya ada beberapa orang bergerombol sambil mengobrol disana sini. Bibirnya mulai monyong sebagai perwakilan isi hatinya yang kesal
Selamat ya dr. Raihan Bagaskara Sp. B atas jabatan dan taggung jawab yang baru diemban, semoga dalam kepemimpinan Anda, Waluyo semakin lebih baik lagi’
Indira mengirimkan pesan itu dengan bibirnya yang masih monyong, ia sedikit kesal karena ia merasa dipermainkan oleh beberapa orang di acara itu, sorot mata aneh, senyum aneh dan teka teki Anggi yang tidak sanggup ia temukan jawabannya. Indira mencoba menikmati suasana aneh itu dengan gaya cueknya, ia sibuk dengan ponselnya membuka bebrapa sosmed yang ia miliki
“Kenalkan Ma, Ini Indira yang Bagas ceritakan sama Mama” tiba tiba suara itu muncul dari balik punggungnya, Indira kaget dengan apa yang ia lihat. Bagas dengan setelan Jas berwarna gelap dengan kemeja biru muda nampak sangat menunjang penampilan gagahnya sedang berdiri disana dengan dua orang wanita, wanita cantik setengah baya dan wanita muda yang tidak kalah cantiknya. Indira mulai grogi, dalam pikirannya mereka yang berdiri di hadapannya kini adalah dua orang istimewah dalam hidup Bagas seperti yang Anggi sebutkan dalam telepon tadi pagi. Indira bangun dari duduknya dan memasukkan kembali ponselnya dalam dompet, ia memasang senyum manis di wajahnya dan sedikit menundukkan kepalanya memberikan hormat. Ia sepenuhnya sadar senyum yang ia pasang kini adalah senyum terkonyol yang ia miliki, senyum penuh kebingungan, ia bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa wajah anehnya saat ini.
“hmmm... sangat cantik, Gas. Jauh dari yang kamu ceritakan. Assalamualaikum, saya mamanaya Bagas”
“Ah Iya, Bu... saya Indira”
“Ini kakakku, Mbak Christine” Bagas memperkenalkan kakaknya yang tersenyum tulus pada Indira dengan cantiknya sambil mengulurkan tangan
“Senang akhirnya bisa ketemu kamu”
“Indira.... hhmmm mbak Cristine”
“hahahahahha.... iya nggak perlu canggung panggil aku, mbak saja. Dan jangan panggil Mama dengan sebutan Ibu, panggil saja Mama. Iya kan Ma?”
Mbak Christine membaca kegrogian yang Indira rasakan, wanita cantik berkulit putih itu menepuk bahu Indira dengan akrab seolah olah mereka sudah lama kenal. Dan Mama Bagaspun mengangguk tak sama ramahnya sedangkan Indira dengan senyum malu malu penuh kebingungannya masih berusaha santai
‘Apakah sms barusan itu jawaban dari dokter?’ Bagas berbisik di telinga Indira membuat gadis itu semakin salah tingkah, tidak ada jawaban dari Indira untuk Bagas yang ia berikan hanya senyum kecut nan membuatnya semakin terlihat aneh dalam pikirannya
“ehem... sepertinya kita harus menyisih dulu Ma, Bagas pinter ngasih kode”
Tiba tiba Mbak Christine berdehem dan melirik ke arah Bagas yang asyik berbisik pada Indira
“Ah apaan sih Mbak, nggak kok”
“Ayo Ma, kita beri mereka ruang”
“Ya sudah, Mama temui tamu lainnya dulu ya, inget Indira.. panggil mama saja ya”
Indira masih senyum senyum tidak jelas dan semakin tidak mengerti dengan kejadian yang ia alami. Sepeningalan Mama dan kakak Bagas, Indira melotot ke arah Bagas yang masih memasang muka manisnya lalu kembali duduk di kursinya semula dan kemuadian terdiam seribu bahasa menahan kesalnya pada Bagas
“Marah?” Bagas bersuara, tapi Indira tetap diam tak menggubris
“Maaf, ya jika memang itu jawaban dr. Indira untuk saya, sesuai dengan pesan yang saya kirimkan tadi maka saya minta maaf untuk kejadian barusan. Saya telat membuka pesan dari Dokter” Indira tetap diam dalam duduknya, ia hanya sibuk menikmati orange juice yang ia pegang...
“Baik, Maaf ya Dok... selamat menikmati pestanya, saya permisi dulu” Bagas berdiri dari tempatnya, tapi
“Semua mata memandangku dengan pandangan aneh dan senyum aneh, sebenarnya apa yag sudah kamu katakan dalam sambutanmu tadi”
“Aku .... Kamu.... kalian?!!”
Prasta yang tiba tiba datang diantara mereka mencuri kesempatan Bagas untuk memastikan keterkejutannya pada apa yang Indira ucapkan. Bagas hanya tersenyum penuh makna lalu kembali duduk memandang Indira dengan binar mata bahagianya meminta jawaban sedangkan Indira hanya tersenyum tanpa dosa tanpa mengarahkan pandangannya pada Bagas yang jadi salah tingkah akan tetapi dia bisa membaca maksud senyum Indira yang seketika membuatnya bersemangat
“Eh Tam... kamu datang juga. Hahahahaa biasa sajalah”
Indira terkejut dengan keberadaan Prasta diantara mereka namun ia berusaha untuk bersikap normal, tak mungkin baginya untuk menghindari Prasta sepanjang waktu.
“Oh iya Ndi, ini sahabatku.... tepatnya konsultan pembangunan Waluyo dulu dan berubah jadi sahabatku, kamu juga sudah kenal kan? Prasetya Adhitama atau lebih keren di panggil Tama”
Indira menahan nafasnya mencoba menetralisir keterkejutan untuk kesekian kalinya dari apa yang barusan ia dengar tentang Tama. Bagas dan Prasta bersahabat..... ini kejutan yang benar benar membuatnya tidak bisa bernafas dan seakan memaksa dirinya untuk mengutuk nasibnya sendiri yang selalu berputar putar disekitar pria itu. Indira tersenyum dan menjabat tangan Prasta dengan wajar. Dari kejauhan ia melihat Anggi berdiri termangu menyaksikan situasi yang Indira alami tanoa mampu memberinya pertolongan, dari arahnya menghadap sepertinya Anggi sedang berjalan kearah mereka namun terhenti saat melihat dirinya berjabat tangan dengan Prasta di hadapan Bagas.
“Senang berkenalan dengan Anda, dr. Indira.... wanita cantik yang selalu dr. Raihan bahas setiap saat”
“ya?”
“Ya... saya banyak mendengar tentang Anda dari dr. Raihan. Tidak pernah menduga kalau akhirnya kita bisa berjabat tangan disini. Dan saya baru tahu kalau saya dan anda rupanya sudah menjadi kita” Goda Prasta kepada Bagas, juga menyindir Indira dengan tatapan anehnya...
“Cukup Tam, jangan menambahkan garam lagi... kamu sukanya melebih lebihkan” Bagas menimpali dan Indira hanya memberikan senyumnya tanpa ekspresi
“Mana keluargamu, katanya mereka ada di kota ini juga, nggak diajak?” lanjutnya kemudian
“Ada, tapi sepertinya si kecil minta jalan jalan. Dia bosan dengan situasi formal semacam ini”
Kilahnya Prasta kemudian. Pandangan Prasta tidak beralih sedikitpun dari Indira setiap ada kesempatan, ia selalu memanfaatkan kelengahan Bagas yang sibuk dengan para dokter yang tiba tiba datang untuk memberinya selamat. Indira diam dan tak kalah beraninya menatap Prasta, rasanya sudah tidak ada alasan baginya untuk menghindari Prasta setelah ia mendengar bahwa kini Prasta juga telah memboyong keluarganya ke kota ini. Prasta adalah bagian masa lalu yang dulu ia putuskan untuk di kubur maka dengan alasan apapun kenangan itu tidak sepatutnya ia keluarkan dari lubang kuburnya. Setelah kekakuan diantara mereka berlangsung beberapa menit akhirnya Indira berdiri dari duduknya, Bagas yang tengah berbincang dengan rekannya tidak jauh dari kursinya ia hampiri dengan melewati Prasta yang diam tanpa kata memandang Indira seakan menahan satu kemarahan tanpa alasan
“Aku ke Anggi dulu ya... dan mungkin aku akan balik duluan nanti” bisiknya lalu dengan senyumnya ia menjabat beberapa orang rekan Bagas yang ada di sana.
“Okay... tapi kamu makan dulu ya, nanti aku hubungi”
Indira mengangguk dan tersenyum lalu ia berlalu meninggalkan Prasta dengan tatapan anehnya.

Setelah berbincang bincang sejenak dengan Anggi untuk memuaskan rasa penasaran ahli kandungan itu dengan pemandangan yang ia lihat, Indira bermaksud untuk meninggalkan pesta. Ia berjalan menghampiri orang tua Bagas dan kakak Bagas yang ada di tengah ruangan berdiri sambil bersendau gurau dengan rekan mereka
“Pa, ini Indira. dr. Indira yang Mama ceritakan tempo hari. Pacar Bagas”
Deg jantung Indira serasa ingin melompat dari dalam tubuhnya, rasa panas menjalar keseluruh tubuhnya mendengar kata ‘Pacar’ keluar dari bibir wanita cantik yang sangat elegan itu. Pria dengan perawakan atletis yangs edari tadi berbincang dan selalu terlihat mengumbar tawanya kini memutar tubuhnya memandang Indira dengan seksama. Sorot matanya arif meneduhkan, pria yang terkenal tajir melipir itu mengulurkan tangan ke arah Indira dengan senyum tulusnya
“Saya Indira, Pak” setengah memaksakan diri menyebut namanya sendiri Indira bersuara
“Anak Papa mewarisi bakat sang Bapak.... hahahahhaaa pintar mencari pasangan”
“Ya?” Indira kembali terkejut, laki laki dengan rambut dua warna itu tertawa dengan menjabat tangannya seakan seisi ruangan dapat mendengar suaranya. Indira menundukkan wajahnya tak dapat membayangkan betapa merah atau pucatnya wajahnya kini
“Selamat datang dalam keluarga Bagaskara”
sambutnya hangat masih menggenggam tangan Indira, sontak rasa panas yang menjalar ditubuh Indira seakan semakin menjadi, kini ia merasa seluruh mata yang ada tertuju padanya.. ‘Damn.... Bagas perlu di beri pelajaran’ kutuknya dalam hati. Dengan gaya yang sama memasang wajah manis dengan senyum penuh kebingungan Indira hanya bisa manggut manggut, ia tahu saat ini ia terlihat sangat bodoh. Dari kejauhan ia bisa melihat Bagas dengan senyum puasnya memandang kearahnya, begitupun Prasta dengan pandangannya yang masih belum bisa Indira uraikan maksud yang ada di dalamnya

Setelah terlepas dari kurungan keluarga Bagas, kini Indira sedikit bisa bernafas lega. Anggi yang melepaskan kepulangan sahabatnya dengan tawa cengingisannya membuatnya sedikit kesal. Langkahnya semakin cepat melihat ke arah pintu keluar, dalam hati ia terus mengumpat kesialan yang ia alami saat ini, hari ini dia berniat untuk menjemput impiannya tapi sangat ia sayangkan justru banyak sekali kejutan yang ia terima dan ia anggap sebagai kesialan karena ia tidak sanggup melihat ekspresi lucu yang orang lihat menempel di wajahnya. Melewati pintu keluar, Indira berhenti sejenak dan menarik nafasnya dalam untuk memberikan ketenangan pada dirinya sendiri yang seakan baru terlepas dari gumpalan asap tebal yang membuatnya sulit untuk bernafas
“Seharusnya aku tidak datang kesini…. Aaah pasti semua nampak aneh” ia mengumpat dirinya sendiri
“Ya… memang benar, seharusnya kamu tidak datang kesini karena ini bukan tempatmu”
Satu suara yang tidak pernah ia lupakan sedikitpun membuat Indira mengunci kakinya untuk diam. Detakan heels semakin mendekatinya, ia tahu ada seseorang yang akan muncul dihadapannya dengan ekspresi gila bahkan menakutkan baginya… salah, bukan menakutkan tapi menggelikan.
“Lihat… rupanya Cinderella masih berharap akan bertemu dengan pangeran berkuda putih untuk meninggalkan sepatu kacanya”
Indira masih diam menunggu gadis itu semakin mendekatinya, ia bahkan bisa tersenyum kini
“Hai nona… jangan terlalu bermimpi akan menaiki kereta kencana berlapis emas disini, Mimpi Anda terlalu tinggi gilr…. Oh iya masih ingat aku kan, kamu nggak akan bisa berada di samping Bagas dengan tenang selagi masih ada aku disekitarnya”
Gadis it uterus berceloteh dengan sombong dihadapan Indira, Inidra kini semakin memperjelas senyum yang menghiasi wajahnya membuat gadis itu semakin kesal dan menarik senyum sombongnya dalam dalam
“Sepertinya yang sedang bermimpi saat ini bukanlah saya, melainkan Anda… lihat, saya tidak mengenakan sepatu kaca, lihat… saya punya mobil sendiri tanpa harus menunggu kereta kencana datang dan lihat…. saya bahkan bisa memanggil pangeran itu dalam sekali pencet tanpa harus menunggu untuk bermimpi”
Dengan memperlihatkan sepatu, kunci mobil dan ponselnya, Indira kini lantang bersuara, bahkan senyum kemenangan itu ia tunjukkan dengan penuh percaya diri
“Tak percaya?... okey….”
Indira memencet panggilan cepat yang ia simpan untuk nomor Bagas dan dalam hitungan detik terdengar suara Bagas dari sana… melihat itu Devina menghembuskan hafas kesalnya pada Indira seraya pergi meninggalkan Indira tanpa banyak kata. Strike Indira menang mutlak atas kesombongan yang pernah ia banggakan.
***

Anggi masih tetap heboh dengan segala cerita yang ia dapatkan dari Indira, seandainya tidak ada istilah malam dan tidur, mungkin Anggi akan terus heboh sepanjang waktu. Hari sudah berganti tapi sejak matanya terbuka ia masih saja menyebut nama tante dan sepupunya berkali kali. Belum lagi ulah mbak Christine yang bergosip ria dengannya ataupun cara Indira mempermalukan Devina…
“Keren… pokoknya apa yang terjadi kemarin sungguh diluar dugaan”
Kata kata ini mungkin sudah Anggi katakana ratusan kali selama semalam. Anggi nampak sangat bahagia dengan apa yang ia kerjakan. Usahanya untuk menyatukan Indira dan Bagas membuahkan hasil diluar ekspektasinya.
”Tapi kenapa semalam kamu larang Bagas untuk datang kesini?”
“Memang aku robot yang tidak memiliki rasa capek, aku saja capek apalagi dia… ah kamu kadang suka dodol ya Nggi”
“Cieeeee mulai perhatian nih ceritanya…. Tapi Prasta kemarin itu bagaimana?”
“Stop it Nggi… aku nggak mau lagi bahas Prasta ya. Kamu bisa lihat kan aku melangkah maju, so jangan buat aku kembali stuck”
“Okay…. Tapi tidakkah kamu ketemu dengan istri dan anak Prasta, kemarin mereka ada disana, istrinya lumayan cantik dan anaknya menggemaskan, tapi saying aku terlalu kesal pada Prasta sehingga aku merasa enggan untuk dekat dengan bocah itu
“Aku sangat berharap aku tidak akan pernah bertemu dengan anak istri Prasta… cukup aku berpura pura baik baik saja selama ini saat bertemu dengan dia, lalu jika aku bertemu dengan keluarganya, apakah aku bisa menahannya?”
“Ya… sekarang lihat siapa yang menggandeng tanganmu sajalah Ndi, udah lepaskan bayangan hitammu itu”
“Tapi Nggi, seandainya benar aku bertemu dengan anak istri Prasta kata apa yang akan aku ucapkan pada wanita itu. Selamatkah? Mengulurkan tangan persahabatan kahatau aku harus marah”
“Halah… apa yang belum terjadi tidak perlu dipikirkan. Semua akan berjalan dengan sendirinya jika saatnya sudah tiba. Dan aku yakin kamu pasti bisa konsisten dengan keputusanmu itu. Prasta is your past, okey”
Anggi memeluk sahabatnya yang kini telah dianggapnya mampu melangkah selangkah lebih maju dari kehidupan menakutkan masa lalunya, Anggi sedikit tenang dan ia akan semakin tenang karena kini kedua orang itu dapat melindungi secara langsung tanpa ada jarak yang akan membuat Indira merasa takut untuk dibohongi. Dengan sambutan dari keluarga Bagas yang sangat baik sepertinya semua akan berjalan sempurna hingga sampai ke muaranya.

Rumah Sakit belum begitu ramai, Indira sudah tiba disana. Dari depan Rumah Sakit masih terlihat bunga bunga ucapan selamat atas pengangkatan Bagas sebagai kepala rumah sakit berjajar manis. Indira tersenyum sedikit menaruh rasa bangga bahwa nama yang tertera disana adalah nama orang yang kini menjadi bagian dari dirinya.
“Hhhhh…. Sadar Indira, kamu jangan sombong, itu nama Bagas bukan nama kamu” Indira menertawakan dirinya sendiri yang mungkin ia rasa sedikit menyombongkan diri pada apa yang bukan miliknya. Ya itulah Indira, dia akan selalu menapak ke bumi meskipun ia sudah ada diatas langit
Langkah kaki Indira melangkah dengan santai, seperti biasa ia selalu datang tepat waktu di tempat kerja bahkan ia belum melihat mobil Bagas terparkir di area parkir. Indira memberikan senyumnya pada setiap orang yang berpapasan dan menyapanya, ia belum mengetahui apa sebenarnya alasan yang membuatnya kemarin dilihat dengan pandangan dan senyuman aneh selama di pesta. Ia tidak mengambil pusing ia berkeyakinan bahwa mereka berpikiran positif tentang dirinya sehingga mereka melihat Indira semacam itu dan memang Bagas dikenal dekat dengannya bukan sebagai pewaris Waluyo melainkan sebagai ahli bedah Medika yang mengejar cinta Indira, ya itulah rumor yang sudah berkembang di Waluyo selama ini. Indira kini optimis akan apa yang ia yakini…
“Dokter tunggu!” suara suster Mia membuatnya menoleh
“Ya suster… ada apa?”
“Sebaiknya dr. Indira tidak memasuki ruangan sebelum jam dinas dimulai”
“Memangnya kenapa, Sus… huh?”
Suster Mia nampak bingung menjelaskan, dia beberapa kali menoleh ke ruangan dan melihat Indira dengan wajah cemasnya…
“Ada apa sih Suster, membuat saya semakin penasaran saja. Ada seseorangkah disana yang sedang menunggu saya atau….. “
Indira menggantung kata katanya menatap suster Mia dengan tajam menunggu wanita muda nan setia menemaninya bertugas itu menyelesaikan apa yang ingin ia sampaikan..
“Ah… suster membuat saya semakin ingin tahu dan masuk kesana”
Indira kembali memutar badan dan melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja…

Sementara itu Bagas nampak begitu bersemangat untuk bekerja dihari pertamanya resmi menjabat sebagai kepala rumah sakit. Bukan karena ia ingin segera menunjukkan kinerjanya melainkan ingin segera memastikan jawaban yang ia dapat dari Indira bukanlah sebuah mimpi karena semalam Indira justru melarangnya datang ke kontrakan dan tidak ingin berlama lama bicara dengannya dalam telepon. Setelah meninggalkan parkiran ia melangkah dengan cepat menuju ruang kerjanya, ia sudah melihat mobil Indira di parkiran, tidak ada mobil Anggi, sepupunya. Hari ini sudah tidak semestinya ia menitipkan kotak makanan yang ia bawa buat Indira pada suster Mia sebagaimana yang ia lakukan saat ia tahu Indira datang lebih dulu dari dirinya, begitupun dengan rute… yang biasanya ia menuju ruang kerja Indira sebelum ruangannya sendiri, kini ia memutuskan untuk menaruh tas kerjanya sebelum menemui Indira. Ia tahu jam ditangannya masih cukup menyisakan beberapa menit yang lumayan sebelum menuju jam pelayanan public dimulai jika hanya dipakai buat ngobrol. Ia pikir tidak akan baik membicarakan hal pribadi di tempat kerja ataupun berada berdua dengan Indira dalam satu ruangan di Waluyo saat ini. Indira pasti akan merasa tidak nyaman oleh perlakuan hormat dokter dokter yang ada di Waluyo karena hubungan mereka. Bagas memasang wajah paling bersinar yang ia miliki pagi itu, penampilan dokter keren nan atletis kini sangat nyata terlihat dari wajah gantengnya, ia berjalan santai nan tegap menuju unit pelayanan Umum. Dari kejauhan wajah Bagas berubah saat melihat suster Mia berdiri di depan pintu dengan kaki yang terus bergoyang seakan tidak tenang, Bagas mempercepat langkahnya, beberapa langkah dari posisi suster Mia berdiri tiba tiba suster itu menarik tangan Bagas menjauh tanpa lagi memperdulikan rasa hormatnya pada Bagas. Bagas mengikutinya dengan wajah heran, suster Mia membawa bagas menjauhi ruangan Indira dengan penuh kecemasan
“Ada apa, Suster?” tanyanya kemudian saat langkah suster Mia terhenti di ujung lorong.
“itu… itu Dok… ah sebelumnya saya minta maaf karena sudah lancing, tapi dr. Indira sedang… sedang….”
“Sedang apa, Suster?.. katakan dengan jelas biar saya tidak penasaran”
“Ada tamu, Dok….”
“Tamu??? Siapa… kenapa Suster harus menyeret saya sejauh ini, siapa tamunya? Tamu pentingkah?”
“Maafkan saya Dokter, tapi itu …..”
“Siapa Dokter, saya berhak tahu juga siapa yang berhubungan dengan orang yang saya cintai”
“Maksud dr. Raihan?”
“Ya… suster Mia, dr. Indira sudah memberi jawaban pada saya, jadi katakan pada saya siapa tamunya. Saya berhak untuk tahu”
Kini gantian Bagas yang memegang tangan suster Mia untuk menyakinkannya membuka mulut dengan sedikit menggungcangnya. Suster Mia menundukkan wajahnya, ia terlihat serba salah dan takut. Melihat hal itu Bagas tidak menunggu waktu lagi, ia sadar jam kerja sebentar lagi akan dimulai dan dia tidak mungkin memberikan contoh buruk pada bawahannya dihari pertama kerja. Bagas melepaskan pegangannya pada suster Mia, ia melangkah cepat menuju ruangan Indira. Di depan pintu ruangan sekali lagi Bagas berhenti, di kursi antrian pasien sudah terlihat beberapa pasien yang menunggu loket terbuka. Ia berdiri termangu mendengarkan apa yang dibicarakan Indira dan tamunya di dalam ruangan, meskipun tidak keras tapi suara itu dapat didengarkan dengan jelas, suster Mia mengikutinya dibelakang dengan pandangangan tertunduk
“Hentikan Pras, apa kamu sudah gila?”
“Ndi, aku tahu kamu lari kesini karena aku…. Dan sekarang aku sudah disini”
“Lalu???..... jangan besar kepala Prasta. Aku bukan orang gila”
“Indira kamu jangan munafik!”
“Munafik?.......
Kamu pikirin apa tentang aku, masih mengharapkan kamu, masih menginginkan kamu kembali dalam hidupku? …. Oh seperti itukah?!... sadar Prasta”
Prasta’ mendengar nama Prasta beberapa kali Bagas seakan ingin menerobos masuk ke dalam ruangan, tapi ia sadar bahwa Indira harus melewati dan menyelesaikan masalah masa lalunya sendiri tanpa ia ikut campur. Bagaimanapun Bagas menghormati Indira dan masa lalunya. Bagas masih bersabar mendengarkan dari luar ruangan dengan sesekali melihat ke arah jam tangannya
“Oh ini??? Apakah karena ini kamu menganggap aku memberimu harapan??”
“Ndi, percaya ataupun tidak kamu masih ada di dalam hati aku”
“Pras…. Aku ucapkan terima kasih untuk itu. Jujur kamu juga masih ada di hati aku…. Tapi tidak lebih dari sekedar sahabat. Dan soal makanan, berhentilah mengirimkannyan untukku karena bukan makananmu yang selalu mengisi perutku, melainkan dari Bagas”
“Bagas?... maksudmu dr. Raihan….. Indira kamu yakin?”
“Apa yang membuat aku harus tidak yakin… kamu mengenal Bagas jauh lebih baik dari aku kan?”
Mendengar namanya disebut, Bagas mulai mengerutkan keningnya tentang siapa Prasta sebenarnya dan apakah dia mengenalnya seperti yang Indira katakana barusan. Ia menerobos masuk dan….
“Prasta???” Bagas hanya masuk beberapa langkah dan kemudian berdiri termangu kaget dengan apa yang ia lihat. Nama Prasta yang ia sebutkan cukup membuatnya merasa keluh. Apa yang ia lihat dengan apa yang ia ucapkan terasa tidak bisa diterima oleh nalarnya. Indira bangun dari duduknya begitupun Prasta keduanya kaget dengan Bagas yang tiba tiba masuk dan menyebutkan nama Prasta
“Bagas”
Indira mendekati Bagas yang masih memandang ke arah Prasta dengan tatapan tidak percayanya.
“TAMA ADALAH PRASTA?….. Hoooow God lelucon macam apa ini…. Huft gila!” Bagas terlihat sedikit emosi, nafasnya memburu, wajahnya merah menahan amarah
“Gas, duduk dulu,. Aku jelasin ya”
“Kamu nggak perlu menjelaskan apapun Ndi. Aku tahu aku yang paling bodoh disini…. Kita sudahi saja semuanya… sudah waktunya untuk bekerja. Dan satu lagi, Tam… aku nggak nyangka jika kamu menertawakanku dalam hatimu selama ini. Aku menceritakan apapun tentang Indira padamu dari nol sampai detik kemarin…. Dan ternyata kamulah alasan Indira menutup diri selama ini. Thanks Tama”
“Thanks Ndi…. Love you”
Bagas menatap Indira dengan pandangan lemahnya, jelas kekecewaan teramat dalam terlihat dimatanya, ia membalikkan badannya dan pergi meninggalkan ruangan Indira begitu saja bahkan kotak makanan yang ia bawa juga masih ia genggam erat. Kekecewaannya menghapus semua semangat yang ia miliki hari ini. Indira menahan air matanya, ia membuka pintu ruang kerjanya lebar lebar meminta Prasta pergi
“Saat kamu meninggalkan ruangan ini, kamu harus ingat satu hal bahwa kamu sudah bukan apa apa buatku. Kita sudah selesai Prasta dan aku harap dengan siapapun nantinya aku berjalan kamu bisa menerimanya seperti halnya aku menerima anak dan istrimu dulu”
Prasta tidak mengucapkan kata apapun, entah apa yang ada dalam hatinya. Antara bersalah dan menyesal tidak dapat dipisahkan dan dilihat dengan pasti dalam ekspresi wajahnya, wajahnya datar dengan mulut terkunci melangkah pergi. Hari ini semua berjalan tidak sesuai dengan semangat yang ia miliki saat membuka mata, Indira terduduk lemas di balik meja kerjanya.

Makan siang kali ini Indira merasa sangat berbeda, ia merasa jauh dari seseorang yang dulu selalu ada saat makan siang lewat makanan yang ia kirimkan, tapi kini ketika mereka berdua berada dalam satu wilayah rumah sakit justru jarak itu semakin terlihat karena ia tidak mungkin menerobos masuk ke dalam ruang kerja Bagas seenak hatinya. Ia harus msmpu menahan diri. Pilihan yang ia miliki adalah meluapkan segala bebannya pada Anggi karena bukan lagi pilihan yang tepat baginya untuk tetap diam, setidaknya ia harus membagi beban hatinya dengan seseorang yang benar benar ia percaya, ia meminta Anggi untuk menemuinya di jam makan siang ini, dia membutuhkan saran dan tidak mungkin ia membiarkan masalah yang ia hadapi menguap begitu saja tanpa penyelesaian. Siang ini, setelah melaksanakan tugasnya, Indira merasa Badannya mendadak tidak bertenaga, tapi bagaimanapun jam kerjanya belum usai,  ia melangkah menuju kantin Rumah Sakit untuk mengisi perutnya dan juga menemui Anggi sesuai dengan janji yang sudah mereka buat. Dari luar kantin tampak Anggi sudah melambaikan tangannya memberi tahu dimana ia duduk bahkan dia menunjukkan kotak makanan yang ia bawa dari rumah pada Indira. Indira tersenyum dan sedikit menemukan semangat saat melihat wajah sumringah sahabatnya itu. Langkah kakinya sedikit cepat bahkan angin yang menerpa mampu membawa ujung jas kebesarannya melambai seiraba dengan rambut legamnya...
“Tante Cantik....” tepat di persimpangan jalan di depan kantin, Indira menghentikan langkah. Gadis kecil dengan ekspresi wajah nan ceria berlari ke arahnya. Indira tersenyum dan merendahkan dirinya untuk bisa sejajar dengan gadis itu lantas memeluknya...
“Hai... Syifa, ngapain disini? Ada yang sakit... coba tante lihat”
Sapa Indira dengan penuh perhatian, Syifa yang berdiri menyandarkan dirinya pada badan Indira diam saja membiarkan Indira memegang dahi dan memeriksa denyut nadinya. Dia nampak nyaman sekali
“Nggak sakit kok... Syifa sehat. Ngapain disini sayang” tanyanya lagi
“Ternyata Anda seorang dokter.. maafkan saya, tidak pernah menanyakan siapa Anda sebelumnya”
Seorang wanita muda berhijab kini berdiri di hadapannya, Bunda dari Syifa. Wanita itu tersenyum tulus.. Indira membalas senyum itu dan masih asyik dengan Syifa yang memainkan stetoskop di kantongnya.
“Tidak ada yang sakit Dokter... saya kemari untuk menemui seseorang. Tadi Syifa melihat Anda langsung berlari kesini. Maafkan saya, nampaknya dia begitu menyukai Anda”
“Ah nggak apa apa Ibu... saya juga sangat menyukai Syifa. Cantik, ceria dan tentunya pintar.. ya kan sayang” Indira mencubit pipi Syifa lalu ia berdiri bermaksud untuk menyalami Bunda Syifa
Dari kejauhan, Anggi yang melihat Indira sangat akrab dengan gadis kecil dan wanita muda di depan Kantin melihatnya dengan senyum lalu sedikit bertanya tanya apakah sahabatnya itu selalu seramah itu dengan pasien pasiennya. Anggi membuka kotak makanan yang ia bawa dan membiarkan Indira dengan orang yang ia temui, ia yakin itu tidak akan lama.

Setelah posisinya kini berdiri tegak, Indira mengulurkan tanganya pada wanita yang berdiri di hadapannya
“Kita sepertinya sering bertemu secara tidak sengaja, tapi baru kali ini rasanya bisa berkenalan dengan Anda...”
“Anda.....”
Mata sekar tidak sengaja membaca pin nama yang melekat pada jas dokter yang Indira kenakan, diluar dugaan. Apa yang ia alami dengan Indira selama ini seakan menjelma sebagai sebuah takdir yang tidak ia sadari sebelumnya bahkan putrinya sangat menyukai Indira.. Sekar membekam mulutnya sendiri tak percaya dengan apa yang ia baca ‘dr. Indira L’ entah apa yang ia rasakan sepertinya melihat Indira saat ini rasanya ia berubah menjadi seseorang yang sangat jahat. Selama ini Tama sangat melarangnya untuk mengenal Indira dan dia tidak pernah tahu kepribadian Indira seperti apa, ia hanya berfikir bahwa Indira adalah gadis kebanyakan dengan kepribadian yang umum, akan tetapi setelah beberapa kali ia bertemu dengan Indira secara tidak sengaja dan menerima laporan Syifa tentang Indira di Hotel kemarin rasanya Indira adalah orang yang benar benar baik dan ia sudah melukai dokter itu sangat dalam. Kini Sekar seakan menemukan alasan suaminya masih menyimpan Indira dalam hatinya dan merasa sangat sulit untuk melepaskan bayang bayang masa lalunya.
“Ibu... Ibu baik baik saja?” tanya Indira saat melihat Sekar begitu pucat dan matanya nampak menahan airmata, ia tidak mengerti wanita itu tiba tiba bersikap aneh dan melihatnya seperti melihat seseorang yang ia kenal sehingga membuatnya terkejut. Pusing dikepala Indira terabaikan, ia melambaikan tangannya pada Anggi yang ada di dalam kantin, ia merasa Sekar akan ambruk karena wanita itu hanya dia dan membekap mulutnya sendiri terus berdiri mematung
“Ibu.... Ibu kenapa?” Indira hendak memegang pundak Sekar untuk meyakinkan wanita itu dan memastikan wanita yang kini berada di hadapannya dalam keadaan sehat.
“Sekar.... Syifa”
“Papa....” Syifa berhambur lari kearah suara yang tiba tiba muncul, Indira menengadahkan wajahnya melihat siapa yang datang dan dipanggil Papa oleh Syifa, suara itu tidak asing baginya dan tentunya pria itu akan membuat wanita yang ada di hadapannya kini membaik.
‘PRASTA’ Indira tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kini, Syifa yang beberapa detik lalu ada dalam dekapannya kini sudah ada dalam gendongan Prasta yang berjalan kearahnya. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, nafas Indira memburu. Anggi yang datangpun tidak kalah kagetnya, ia langsung memegang tubuh Indira menguatkan, Indira nampak sangat terkejut dan sedikit limbung. Ia memegang kepalanya sendiri menatap Prasta yang kini ada dihadapannya menggendong Syifa
‘Oh Tuhan... kenapa kejutan kejutan itu teramat dasyat bagiku, Syifa dan wanita ini...... aku sudah berusaha sejauh mungkin untuk tidak terlibat dalam urusan mereka, tapi justru kau kirimkan mereka dihadapanku’ Indira berucap penuh keluh kesah dalam hatinya
“Sudah aku bilang jangan, kenapa Bunda nekat” lamat lamat Indira mendengar suara Prasta
“Maaf, maafkan aku Yah... tapi tadi saat aku tiba di kantormu, orang kantor megatakan Ayah ke sini makanya aku berniat menyusul dan maafkan aku karena aku begitu penasaran”
“Sekarang apa yang akan Bunda lakukan setelah berhasil menemuinya. Nggak ada kan?? Kita pulang ya”
Percakapan itu jelas terdengar oleh Indira yang masih berdiri dalam sanggahan tangan Anggi, tidak ada kata dan air mata. Indira hanya diam dan menatap dalam pandangannya yang mengabur
“Tunggu..” Indira menghentikan langkah Prasta dan juga Sekar. Syifa yang ada dalam gendongan Prasta hanya terlihat bingung melihat bundanya menangis tanpa sebab juga Indira yang terlihat sakit
“Jangan libatkan aku dalam urusan kalian, apapun itu. Aku mohon jangan pernah lagi”
Indira kemudian meraih tangan Anggi mengajaknya untuk pergi meninggalkan Prasta dan juga Sekar. Indira tidak pernah tahu siapa nama anak dan istri Prasta karena ia tidak pernah ingin terlibat dalam urusan Prasta semenjak Prasta menghianatinya. Kehadiran Prasta kembali di dalam hidupnya adalahkebetulan yang tidak bisa ia tolak dan pertemuannya dengan keluarga Prasta siang ini juga merupakan takdir yang tidak bisa ia hindari, tapi kini ia sangat lega karena ia bisa mengatakan dengan jelas dan meminta mereka keluar dari kehidupan yang akan ia jalani. Kini ia menemukan jawaban kenapa ia melihat seseorang yang nampak seperti Rendy menemani wanita itu saat pertama kali mereka bertemu di Mini Market. ‘Tuhan sudah memberikan petunjuk, tapi aku kurang peka.... Kuatkan aku ya Rabb’
Dalam ruang kerja, Anggi membaringkan badan Indira yang lemas diatas kasur periksa
“Kamu nggak apa apa kan Ndi.... badan kamu sedikit demam. Kamu belum makan dan tadi pagi hanya meminum sereal doang”
“Berikan aku infus Nggi, aku benar benar pusing dan rasanya aku nggak akan mampu untuk menelan makanan”
“Huft... kenapa hidupmu begini rumitnya sih Ndi. Seandainya aku ada dalam posisimu mungkin aku akan stress dari dulu” Anggi memasang jarum infus di tangan Indira setelah ia memeriksa keadaan sahabatnya itu.
“Istirahatlah sebentar, kamu akan segar kembali setelah ini. Aku akan menemui Bagas”
“Tunggu Nggi.. kamu jangan bilang apapun soal ini pada Bagas. Biarkan aku yang bercerita sendiri”
“Okay.... tadi kamu bilang Bagas marah saat mengetahui Tama adalah Prasta. Aku akan membahas ini saja dengannya. Tapi aku janji aku nggak akan lerlibat trelalu jauh dengan urusan kalian. Kamu tenag saja. Istirahatlah”
Anggi meninggalkan Indira bersama dengan suster Mia, ia menitipkan kotak makanan yang diantarkan oleh petugas kantin untuk memberikannya pada Indira saat Indira merasa mampu untuk makan. Anggi menarik nafas panjang lalu bergegas untuk menemui Bagas.

Di ujung lorong Rumah Sakit, Anggi melihat Bagas yang berjalan ke arah ruangannya, sepertinya dokter ganteng itu baru saja kembali dari luar rumah sakit... ia memanggil Bagas dan berlari kearahnya
“Darimana kamu?”
Pertanyaan Anggi saat ia telah sampai dihadapan Bagas dan berjalan beriringan menuju ruang kerja Bagas, ia berusaha untuk tidak menampilkan wajah cemasnya.
“Makan, kenapa? Hari ini kamu free kan... tumben, ada apa?”
Anggi menahan diri, ia tidak ingin seisi rumah sakit mengetahui apa yang akan ia bicarakan, cukup kejadian di depan kantin tadi disaksikan oleh beberapa pasang mata dan pastinya esok hari semuanya akan menyebar. Jika beruntung Bagas akan mendengarnya tapi akan sangat kecil kemungkinan itu terjadi mengingat siapa Bagas di Rumah Sakit ini. Anggi duduk di sofa dan mengambil air mineral dalam lemari es yang ada di pojok ruangan.
“Hidupmu sempurna banget ya Gas, wajah ganteng, otak encer... kaya dan pacar yang cantik” Anggi mulai memancing
“Pacar?” ada nada sarkastik dari kata pacar yang Bagas ucapkan
“Ya.... kamu dan Indira resmi pacaran kan walau tidak ada acara tembak menembak seperti anak ABG”
“Kata siapa?”
“BAGAS” Anggi sedikit berteriak mendengar Bagas yang seakan tanpa beban mengelak pada hubungannya dengan Indira
“Nggi... aku begini juga karena Indira, kamu tahu aku seperti apa kan?”
“Maksudmu apa, kamu jangan konyol ya Gas... baru kemarin loh kamu mengemis jawaban pada Indira dan sekarang kamu seperti ini”
“Itulah yang aku sesali..... kenapa aku begitu bodoh tidak bisa membaca sikapnya selama ini. Sahabatmu yang cantk itu menipuku mentah mentah Nggi... atauuu... barang kali kamu tahu yang sebenarnya terjadi?”
“Apa maksudmu, apa yang sebenarnya sudah terlewat dariku dalam sehari ini. Tadi pagi aku dan Indira mesih menjadikanmu sebagi topik utama pembicaraan kami. Apa Gas, apa yang kamu maksudkan?”
“Tama.... Prasetya Adhitama adalah seorang Prasta, iya kan?? Kamu tahu itu kan?.... dan bodohnya aku adalah aku selalu curhat soal perasaanku pada Indira kepada Tama. Lebih konyol mana, lebih tidak masuk akan mana, huh?”
Anggi menarik nafasnya dalam dan menatap sepupunya yang dikuasai emosi itu prihatin, benar jika Bagas emosi dan merasa di bodohi tapi Indira tidak sepatutnya dihakimi seperti ini setalah sekian panjang perjananan yang ia temouh untuk melewati masa sulitnya melupakan sakit hati.
“Tenang Gas, aku akan ceritakan semuanya.....
Oke.. pertama aku minta maaf jika tidak pernah memberitahumu soal Prasta dan Tama, itu semua aku lakukan karena kau merasa tidak memiliki hak disana dan aku mengenal Tama juga saat Indira dalam keputus asaan ingin melarikan diri dari hidupnya sehingga aku mengajaknya untuk bekerja di Waluyo. Dari situlah awal mula aku tahu soal Tama, sebelumnya aku tidak pernah tahu karena Indira dalah orang yang tertutup dan tidak seorang cowokpun aku lihat ada dalam kehidupannya semasa kuliah. Kedua kamu tidak bisa menyalahkan Indira begitu saja tentang masalah ini....”
“Tapi Nggi ... memera membodohi aku”
“jangan potong dulu... kamu dengarkan dulu samapi aku selesai bicara....
Bukan waktu yang singkat bagi Indira untuk mengubur nama Prasta dalam hidupnya, kamu tahu itu kan, jika tiba tiba Prasta kembali hadir disaat kalian dekat, apakah ini hal yang mudah bagi Indira untuk membukanya padamu sementara dia mati matian ingin melupakan orang itu. Dia mengalami masa sulit Gas. Dan alasan dia bungkam bukanlah untuk membodohimu melainkan menyelamatkan hatinya sendiri, ia tidak ingin kamu meninggalkannya saat tahu sahabatmu adalah mantan pacar yang sudah melukainya dan membawanya jatuh ke dasar jurang. Kamu mngerti itu”
“Apapun itu alasannya Nggi, bohong tetaplah bohong”
“oke aku mengerti kekecewaanmu.... dan ketiga asal kamu tahu hari ini ketika kamu marah, istri Tama atau Prasta secara tidak sengaja bertemu dengan Indira dan kamu tahu, anak Prasta adalah gadis kecil yang memberikan luka di kaki Indira beberpa waktu lalu. Lebih mengagetkan lagi Prasta datang menyusul sitrinya yang berniat menemui Indira. kamu tahu apa yang dikatakan Indira?”
“Maksudmu Indira dilabrak istri Tama”
“Nggak.... Istri Tama hanya bengong sambil membungkam mulutnya sendiri saat melihat Indira, bahkan Indira belum menyebutkan namanya dan uluran tangan Indira masih digantungkan olehnya. Mungkin dia membaca nama indira di Jas kerja Indira dan merasa sudah mengenal Indira sebelumnya tanpa sengaja serta mengakui kebaikan dan ketulusan Indira sehingga kehilangan kata kata kali”
“Lalu, apa yang dikatakan oleh Indira?”
“Dia mengusir Prasta dan keluarganya dari kehidupannya apapun itu bentuknya. Aku mendengarnya sendiri karena aku yang menopang tubuh Indira saat itu. Bukan istri Tama yang limbung, tapi Indira yang shock ... dia sekarang aku kasih infus dan sedang istirahat, dia sedikit demam. Udah itu saja yang perlu katakan. Kamu tentu sudah bisa memutuskan harus berbuat apa. Ikuti kata hatimu Gas, jangan emosimu. Aku tinggal dulu, aku mau melihat keadaan Indira”
Sepeninggalan Anggi, Bagas menyandarkan dirinya di kursi kerjanya dan memejamkan matanya. Apa yang ia alami dan bagaimana gigihnya dia untuk mendapatkan kepercayaan Indira bukanlah hal yang ia raih dengan mudah, butuh waktu ha,pir setangah tahun untuk membuat gadis itu untuk membuka diri. Bukan waktu yang lama tapi juga bukan waktu yang singkat pula untuk mengambil langkah awal. Untuk sama sama mensejajarkan diri di garis start saja begitu susah, apakah ia akan memasuki garis finish itu dengan mudah. Hati Bagas berperang... disatu sisi apa yang dikatakan oleh Anggi sepenuhnya sadar, bukan hal yang mudah bagi Indira untuk berpura pura baik di hadapan Tama, bahkan gadis itupun telah begitu nerima dengan penghinaan Devina. Satu yang ia syukuri adalah keluarganya tidak menambah kepedihan Indira dengan membuka tangan menerima Indira, lalu apakah karena hal sepele ia akan menyerah.
‘Indira sedang di infus’ Bagas baru tersadar kata kata itu tadi ia acuhkan begitu saja. ‘Infus’ itu berarti Indira memasuki batas pertahanannya ‘Oh God mudah mudahan ini adalah jalan yang kau berikan untukku’ Bagas mengambil ponselnya yang berdering dan ia berjalan keluar ruangan sambil menjawab teleponnya
“Ya, ada apa dr. Hendra?.... Oke secepatnya aku akan kesana, tolong handle dulu karena ada urusan yang harus saya selesaikan disini. Iya saya mengerti, akan saya usahakan secepat mungkin”
Telepon dari rekannya itu ia jawab cepat dan ia sedikit melebarkan langkahnya untuk sampai ke ruang kerja Indira
 “Apa aku harus melaksanakan niatku untuk ambil spesialist ya Nggi?” suara Indira terdengar dari luar saat Bagas sampai di depan ruangan, lagi lagi seakan dejavu ia menguping pembicaraan Indira dan Anggi dari luar ruangan dengan mengendap endap masuk agar tidak disadari oleh keduanya, sama persis saat ia mengetaui tentang masa lalu Indira dan kiriman makanan dari Prasta beberapa bulan lalu
“Apa??” Anggi kaget karena selama ini Indira tidak pernah membahas rencana itu sebelumnya dan dulu alasan biaya yang menghalanginya untuk menempuh pendidikan spesialist begitupun dengan Bagas, meskipun sebelumnya ia sudah pernah mendengar itu dari suster Mia, tapi sekali lagi itu membuat jantungnya berdegup kaget
“Ya.. mungkin saat ini waktu yang tepat buatku untuk itu kali Nggi” lanjut Indira dengan suara lemasnya
“Jangan lari lagi Ndi... jikalau kamu ingin mengambil pendidikan itu, jangan jadikan itu sebagai alat untuk menghindari masalahmu”
“Aku capek Nggi.... aku butuh waktu untuk berfikir dan menenangkan diri
Aku sangat benci dibohongi dan saat ini aku yakin Bagas pun merasakan kekecewaan itu walau itu bukan niatku. Sebelum semuanya semakin rumit, mungkin aku harus pergi. Bekerja dalam satu atap tetapi memendam masalah itu hal yang sangat tidak mengenakkan Nggi”
“Haaaah.... Indira, Indira.... baru kemarin aku melihatmu tersenyum, kenapa sekarang kamu begitu layu... dan semua karena orang yang sama yaitu Prasta. Sumpah aku benci sekali nama itu”
“Bukan Nggi... bukan karena Prasta, karena tanpa aku sadari Prasta sudah lama hilang dari hatiku sejak Bagas membawaku ke Dapur Gendhis dulu, Bagas membuka pertahananku pelan pelan dari sana dan aku tidak menyadari itu... setelah pagi tadi dia mengatakan terima kasih dan cintanya aku baru sadar bahwa aku sangat kehilangan dia”
“Untuk itu jangan pernah pergi”
Bagas menyibakkan tirai yang memisahkan dirinya dengan Indira juga Anggi dalam ruangan itu, Anggi yang merapikan sisa infus juga kaget melihat Bagas yang muncul, ia melangkah muncur perlahan lahan meninggalkan ruangan dan selang selang itu begitu saja, ia sadar kini Bagas dan Indira butuh ruang pribadi untuk menyamakan pikiran mereka. Bagas masuk, Indira berusaha untuk bagung akan tetapi pusing dikepalanya masih sedikit tertinggal sehingga ia harus menyerah dengan duduk bersandar di atas kasur periksa.
Menunggu adalah hal yang membosankan dan melelahkan, akan tetapi segala kebosanan dan kelelahanku itu seakan sirna saat aku mengenalmu. Maafkan sikap dan emosiku tadi pagi, tapi inilah kenyataan yang ada. Kekecewaan itu sempat melumat habis segala logika yang aku punya. Seperti halnya jarum jam ini, dia tidak pernah berputar ke belakang dan akupun demikian aku akan tetap melangkah maju untuk menemukan dirimu ada di ujung jalanku. Semoga diriku tidak akan pernah menjadi sisi buruk yang tidak ingin kamu kenang dan akan menjadi waktu yang akan selalu kau lihat dan kau ingat selamanya. Pegang tanganku Indira.. aku akan ada untukmu dan memastikan hanya akan ada senyum diantara kita setelah semua ini berlalu, jangan pergi... aku akan melepasmu untuk pergi jika kamu sanggup berjanji untuk selalu menyimpan aku dalam hatimu dan akan kembali padaku dengan gelar barumu bukan untuk lari dariku. Always hold my hand... i’ll be there for you everytime you need me”
Bagas meraih tangan Indira yang diam seribu bahasa hanya mendengarkan apa yang ia katakan. Bulir bening kini mengalir dipipinya dengan sedikit senyum yang sedikit demi sedikit menghiasi wajah ayunya....

-          The End   -


Note : semoga nggak garing ya.... hehehe maaf, hayalan hayati lama updatenya...


 Dont Miss It :
Part  16 : HOLD MY HAND

Tidak ada komentar:

Posting Komentar