PLAY GIRL JATUH CINTA
Part
7. Penuh Tanya 2
Kantor
masih lengang, hanya ada beberapa karyawan yang terlihat. Raka melangkahkan
kakinya cepat memasuki ruangan, sapaan sapaan hormat dari bawahannya ia
tanggapi sekenanya. Masih sangat dini untuk memulai pekerjaan bahkan Yena belum
ada di tempatnya. Raka membaringkan badannya di sofa yang ada di dalam ruang
kerjanya, ia merasa ini adalah tujuan ternyaman yang bisa ia pikirkan untuk
menenangkan diri. Satu lengannya ia gunakan menutup mata seakan ia ingin
kembali larut dan masuk ke dalam alam mimpi. Semalaman tidak bisa memejamkan
mata tanpa alasan yang jelas membuat Raka merasakan kantuk yang menggelayut di
pelupuk matanya tidak bisa ditolerir lagi.
“Oh
Tuhan”
Beberapa
menit berlalu, suara langkah kaki memasuki ruang kerjanya, Yena tersentak saat
melihat tubuh Raka yang tergeletak diatas sofa dengan wajah yang tertutup. Dari
arah pintu tempatnya berdiri ia sedikit mengamati pakaian yang melekat di tubuh
Raka, bukan pakaian yang Raka kenakan pada hari sebelumnya dan tidak tampak
lusuh sedikitpun. Pakaian itu masih sangat licin dan kelihatan rapi bahkan
rambut Raka pun kelihatan sangat rapi oleh wet gel yang ia pakai
‘Nggak mungkin Pak Raka
tidur disini semalam, pakaiannya rapi, rambutnya klimis… tapi harusnya hari ini
dia kan tidak ke kantor….. hmmm entahlah’
Yena
mengangkat bahunya dan mengurungkan niatnya untuk memasuki ruangan kerja Raka
karena takut akan membangunkan bosnya. Ia memutar badan hendak kembali dengan
beberapa map yang ia bawa.
“Taruh
saja di meja Yen, nanti saya periksa”
“E…
eh iya Pak”
Ternyata
Raka belum sepenuhnya tertidur dan masih bisa mengenali seseorang dari bau
parfum yang tercuim oelh hidungnya. Yena tersentak oleh suara Raka dan sedikit
tergagap
“Kalau
ada tamu dan semacamnya, bilang saja saya nggak ada. Saya cuma sebentar disini”
“Baik
Pak”
Yena
memperhatikan posisi Raka yang tidak bergeming di atas sofa, ia memainkan alis
dan bibirnya menyerah pada kebingungan yang diberikan oleh atasannya di pagi
hari ini. Ia kembali memutar badan dan berjalan menuju meja kerja Raka
“Apa
perlu saya suruh OG untuk membuat kopi, Pak?”
Tanya
Yena kemudian saat ia selesai dengan map map yang ia bawa, ia teringat bahwa ia
sudah menginstruksikan pada OG untuk tidak menyediakan minuman buat Raka karena
ia berfikir bahwa Raka tidak akan datang ke kantor sesuai yang diinformasikan
pada hari sebelumnya
“Nggak
perlu, setelah memeriksa berkas saya akan keluar kantor”
“Baik
Pak”
Yena
meninggalkan ruangan dengan ujung mata yang tidak pernah lepas dari posisi
Raka. Rasa heran memenuhi pikirannya ‘sejak
kapan Pak Raka jadi plin plan begini, ada yang salah sama ini orang’ Yena
membatin
Raka
menghidupkan layar televisi, pikirnya dengan sedikit suara akan membuatnya
lebih nyaman berada di ruangan itu. Meskipun niat awalnya ia mencari
ketenangan, tetapi rupanya tujuan ini tidak membantunya untuk mengusir penat
yang ia rasakan. Ia terduduk dan menepuk nepuk pipinya sendiri beberapa kali
untuk mengembalikan kesadaran dan semangatnya. Ia melangkah menuju meja kerja
dan memeriksa beberapa berkas yang sudah menumpuk disana. Rasanya tidak
membutuhkan waktu lama bagi Raka untuk meneliti berkas berkas itu, ia meragu.
Diletakkan kembali pena yang ia pegang, kini ia menyandarkan badannya pada
kursi dan menhirup nafas dalam dalam dengan mata yang kembali terpejam
‘Prakasa Bayu Aji…….
What wrong with you???? Huft…… focus Raka, focus’
“Aaaaah
sialan…. Ada apa sih ini sebenarnya. Huuuuh…… nggak bener!”
Raka
mencoba menelaah kembali apa yang terjadi pada dirinya, namun ia belum bisa menemukan
dengan pasti alasan mendasar yang membuatnya kacau. Segera ia menyelesaikan
pekerjaanya, ia tidak tahan dengan segala yang memenuhi pikirannya. Pilihannya
untuk datang ke kantor tidak membantu apapun dan kembali ke rumah juga bukan
pilihan tepat karena sang Mama akan terus membahas soal Voiletta yang ia
rindukan. Pertanyaan nyonya Martha baik kepadanya maupun pada Zaldy beberapa
hari ini soal absennya Tata selama sebulan ini dari rumah mereka akan terus
berulang sepanjang hari dimanapun mereka terlibat obrolan.
Drrrrt drrtttt drttttt
ponsel Raka yang ada di atas meja bergetar, nampak layar ponsel itu menyala.
Raka menarik nafas, sekilas ia membaca nama yang tertera disana dan ia tidak
berkeinginan terlibat dengan nama itu saat ini, keruwetan dalam pikirannya
belum terurai dan dia tidak ingin menambahnya lagi dengan simpul baru yang
tidak jelas ujung pangkalnya, tapi ponsel itu tidak segera diam dan terus
bergetar tanpa mengenal lelah.
“Iya
Gun … ada apa?”
Akhirnya
Raka menyerah pada usaha si penelpon yang tidak kenal lelah walaupun ia sedikit
merasa takut kalau Gunawan, sahabat masa SMAnya itu akan mulai menyerangnya
dengan masalah yang sama, cewek.
“Sombong
banget si Ka…. Susaaah banget ya untuk menghubungi lo”
“Ada
apaan?, kepala gue lagi pusing Gun… lo jangan nambah beban deh”
“Lo
belum berubah ya Ka, hidup lo masih serius aja… udah itu kerjaan tanggalkan
dulu, kita ketemu temen temen yuk”
“Siapa
aja, kapan?”
Raka
sedikit bersemangat, ia percaya Gunawan mampu mengumpulkan temen teman super
sibuk yang ia punya dengan sekali perintah. Karakter Gunawan sebagai seorang
leader masih sangat melekat diusianya saat ini, setiap kata yang ia lontarkan
maka semua teman akan menurut dan patuh padanya. Sebagai mantan ketua OSIS
Gunawan masih sangat disegani dalam pergaulannya kini.
“Lo
dimana, kantor?”
“Iya”
“Udah
lo meluncur gih cepetan ke Junkyard Senopati”
“Wait
Gun… lo kenapa nggak jemput gue aja. Gue nggak bawa mobil, lo nglewatin kantor
gue kan?”
“Iiiiish
nggak mau rugi banget si lo, Ka…. Memang mobil lo kemana, masuk bengkel”
“Nggak,
gue lagi kurang enak badan jadi males nyetir, by the way lo ngumpulin siapa aja
sih?”
“Halaah
kebanyakan tanya. Okelah gue samperin lo kesana, tapi gue ogah turun ya, lo
tungguin depan kantor lo”
“Gila
aja lo, gue musti ngeceng ga jelas nungguin lo”
“Kalau
nggak mau, ya sudah…. Lo cari taksi ajalah”
“Iya
iya…. Dasar bawel”
Raka
menutup map yang ada dihadapannya dengan segera, jarak kantor Gunawan dan
kantornya tidak begitu jauh dan tidak akan membutuhkan waktu lama untuk bisa
sampai ke kantor Raka. Dengan segera Raka stand by di lobi kantornya menunggu
jemputan. Sebenarnya masih sangat pagi untuk nongkrong di kafe dan pastinya
kafe belum buka.
Tidak
sampai lima belas menit menunggu, sebuah mobil jeep sporty terlihat di depan
kantornya. Kaca mobil sedikit diturunkan dan klakson berbunyi membuat Raka
beranjak dari tempatnya dan meninggalkan kantornya. Jalanan mulai macet, Raka
memejamkan matanya mencari cara untuk menghindar dari pembicaraan yang
melelahkan dengan Gunawan. Akan tetapi usahanya gagal
“Kayak
anak gadis lo, merem di dalam mobil saat macet begini”
“Aish…”
Raka
mengusap kepalanya yang menjadi sasaran jitakan Gunawan
“Ka…
beneran lo nggak sehat ya?”
Reaksi
Gunawan berubah saat Raka hanya diam dengan umpatan dibibirnya tanpa membalas
dan memprotes
“Lo
pikir gue cuma cari alasan doang?”
“Lha,
kalau lo nggak sehat ngapai lo ngantor?…. Udah miskin lo sampai harus bekerja
sekeras itu demi rupiah”
Raka
kembali melirik Gunawan tanpa kata, mulut Gunawan yang selalu mengeluarkan kata
kata semaunya itu bukan hal baru baginya
“Makanya
gue bilang apa, lo segera cari cewek buat sandaran hati lo saat seperti ini
biar nggak Jones terus…. Apa lo masih jadi satpam ya?”
“Maksud
Lo???”
Kata
‘Satpam’ membuat Raka sedikit terganggu, ia tahu kemana arah pembicaraan
Gunawan. Sepanjang persahabatan mereka Gunawan memang sangat menentang sikap
Raka yang terkesan over protectif terhadap Tata
“Dia
bukan adek Lo, bukan pacar lo dan yang paling penting dia nggak pernah minta lo
untuk jagain dirinya kan? Dan lagi…… gue denger dia juga punya cowok kan??? Gue
pernah lihat dia jalan ma cowok”
Gunawan
menghentikan kalimatnya, ia menoleh pada Raka untuk memastikan reaksi cowok itu
dengan informasi yang baru saja ia berikan sebagai pancingan. Sayang, reaksi
datar Raka tidak memberikan jawaban apapun…. Raka masih tetap sama dengan
segala reaksi datar yang tidak bisa diartikan oleh orang orang terdekatnya
tentang bagaimana perasaannya terhadap Tata
“Dia
udah gede Ka, udah jadi wanita muda…. Lo udah nggak perlu terlalu hawatir, dia
bisa membela dirinya sendiri saat ia dibully. Lagian dia juga berprofesi
sebagai model kan di kantor Bokapnya, wajahnya sering muncul di majalah dan
iklan tv…. Bullyan tidak akan membuatnya nangis kejer seperti saat masih SMP
dulu. Saatnya lo memikirkan kebahagiaan lo sendiri. Ada si Al kan yang masih
setia jagain dia. Lo coba deh buat buka hati lo, kasihan tu Irene masih tetap
setia nungguin lo, nungguin gunung es mencair saat musin dingin hahahhaaaa….”
Tawa
Gunawan pecah saat ia mulai menyebut nama Irene, gadis dengan pembawaan tenang
dan kalem yang selalu berusaha menarik perhatian Raka sejak mereka duduk di
bangku SMA dan bahkan rela melepas bea siswa yang ia dapatkan hanya untuk bisa
berkuliah dalam satu kampus dengan Raka. Raka terdiam, apa yang dikatakan oleh
Gunawan memang tidak sepenuhnya salah da nada sisi hatinya yang membenarkan
setiap kata kata itu.
Kemacetan
Ibu Kota membuat waktu tempuh mereka sedikit lebih lama, saat mereka tiba di
lokasi yang dituju nampak kafe sudah mulai buka dengan beberapa pengunjung yang
sudah duduk manis di dalamnya. Satu spot favorit saat sahabat itu berkumpul
sudah tertangkap mata. Boy, Adi, Tian ada disana melambaikan tangan mereka
menyambut kedatangan Gunawan dan Raka. Tak pelak saat Gunawan tiba suara riuh
mulai terdengar, obrolan dengan tawa yang terselip tidak ada putusnya
“Minum
Ka… aman lo nggak bakal koid kok. Nggak ada sianidanya”
Adi
menyodorkan secangkir kopi pada Raka yang disambut tawa oleh lainnya
“Ini
mana katanya kali ini bakal ada ceweknya Gun?”
Tian
dengan melihat jam yang ada dipergelangan tangannya memprotes Gunawan yang
menjanjikan adanya anggota dengan gender yang
berbeda
“Ini
belum jam makan siang Ian, lagian Ragi juga belum datang kan. Tenang saja nanti
juga akan datang”
Ya,
anggota mereka masih belum lengkap dengan absennya Ragi dari pertemuan itu.
Ragi yang seorang pegacara ternyata masih memiliki agenda untuk bertemu dengan
kliennya dan menjanjikan akan datang di jam makan siang.
“Sory
guys… gue nggak bisa terlalu lama disini, gue lagi nggak enak badan”
“Ya
nggak asik lo Ka, tunggulah sebentar sampai Ragi datang. Atau paling nggak
sampai cewek cewek itu muncul”
Gunawan
mencoba menahan Raka untuk meninggalkan kafe, ia menyadari Raka mulai menangkap
sesuatu dari pertemuan yang ia rencanakan itu
“Gue
udah paham Gun, gue bilang jangan…. Gue nggak mau mengecewakan orang”
“Ayolah
Ka, lagian sudah sebulan ini dia di Indonesia dan sebentar lagi akan balik lagi
ke luar negeri. Apa lo nggak penasaran sama penampilannya sekarang”
Kali
ini Boy yang mengambil alih untuk membujuk Raka, rupanya dari sekian orang yang
berkumpul hanya Raka yang tidak mengetahui rencana Gunawan
“Hmmm
kalian bersekongkol ya…”
“Bersengkongkol
untuk apa ini?”
Satu
suara membuat Raka terdiam, posisinya yang membelakangi arah pintu masuk
membuatnya tidak akan melihat siapa yang datang dan pergi dari kafe itu. Bukan
suara yang asing terdengar oleh telinganya, Raka memutar badannya perlahan.
“Hai
semuanya, maafnya sediki telat”
Irene
mengambil duduk di antara Boy dan Gunawan yang berhadapan dengan Raka. Gadis
itu masih tetap sama anggun dan elegan. Suaranya terdengar pelan dengan senyum
yang terus mengembang sepanjang waktu.
“Hai
Raka, apa kabar?”
Kini
suasana canggung sedikit membuat Raka kikuk, teman temannya yang hanya saling
lirik dan terdiam semakin membuatnya merasa tidak enak hati untuk menolak
uluran tangan Irene yang hendak menjabat tangannya
“Baik…
lo juga apa kabar?”
“Ya
seperti inilah, masih sama dengan yang dulu”
“Lo
udah lama di Indonesia kenapa baru mau kumpul kita sekarang sih Ren?”
Tyan
mencoba mencairkan suasana dengan ikut dalam perbincangan keduanya
“Gue
hanya menunggu umpan Ian, kalau gue yang ngundang takutnya nggak akan ada yang
mau datang”
“Yaaaa
pasti dengan senang hati, ya nggak Ka….”
Raka
hanya mengangguk sedikit ragu
“hahahahaaaa
kalian masih sama ya, kompak dan rame… tapi Ragi mana kok nggak kelihatan”
“Dia
masih ngelap palu hakim biar licin hahahhahaaa”
Gunawan
berkelakar dan membuat suasana kembali mencair. Tidak lama dari kedatangan
Irene, Dyah dan Carmen datang dengan dibuntuti oleh Ragi, lengkaplah formasi
mereka. Bercengkrama dan sedikit berbagi canda tawa membuat Raka lebih santai
dan melupakan kepenatan yang memenuhi kepalanya, tapi itu tidak membuatnya
merasa nyaman untuk berlama lama disana dengan Irene yang beberapa kali mencuri
pandang kepadanya. Meskipun mendapatkan protes dari sebagian besar sahabat
sahabatnya, Raka tetap menjadi orang pertama yang meninggalkan kafe. Alasan
kesehatan mebuatnya lolos, hidangan makan siang yang kebarat baratan membuat
dia menemukan alasan untuk segera bergegas pergi.
---
Tata
sedikit mengomel pada satpam yang menjaga rumahnya, terlambat membuka pagar
membuatnya beberapa kali membunyikan klakson mobil. Ia membanting pintu mobil
sedikit keras untuk meluapkan kekesalan hatinya. Walaupun satpam itu hanya
menjadi kambing hitam atas sedikit perang dingin yang terjadi diantara dia dan
Hendra.
“Mom…………
I’m homeeee”
Tata
memasuki rumah dengan teriakan khasnya untuk memech suasana sepi abadi yang ada
di dalam rumah itu. Tidak ada sahutan dari sang Mama membuatnya kembali
mengulang teriakannya
“Mommy….
I’am here…. Where are you???”
Dia
melemparkan tas ransel yang ia bawa ke arah sofa bed yang ada di ruang keluarga.
Dia tahu saat sang Mama tidak ikut serta dengan Papanya ke luar kota maka
tempat favoritnya adalah dapur dan pendopo samping rumah untuk bergosip dengan
pembantu. Tata menuju arah dapur, jam makan siang sudah hampir tiba dan ia
yakin sang mama sedang berjibaku disana, tapi dugaannya salah karena ia hanya
menjumpai pembantunya disana.
“Mama
mana Mbak?”
Tanya
Tata saat menenggak air dingin dari dalam kulkas pada pembantu yang sibuk
menyiapkan menu makan siang keluarga Darmawan
“Sepertinya
di Pendopo, Non sama Ibu Martha”
“Tante
Martha?”
Tata
sekali lagi menegaskan bahwa sang pembantu tidak salah menyebutkan nama. Ia
tidak melihat ada mobil atapun motor tamu terparkir di halaman rumahnya
“Sama
siapa tante Martha kesini?”
“Nggak
tahu Non, tadi saat saya datang dari pasar Ibu Martha sudah ada”
“Selain
tante Martha, nggak ada tamu lain kan? Al atau Mas Raka barangkali”
Pembantu
itu menggelengkan kepalanya memberikan jawaban. Tata memutar matanya, ia
berfikir kalau dirinya terlalu parno dengan dugaan dugaan yang ada di kepalanya
kini
‘Kalau jam segini
mustahil Mas Raka ada dirumah, Si Al tadi juga minta di drop di tempat fitness.
Lalu Tante Martha sama siapa… jalan??? Nggak mungkin’
Tata
terus menebak nebak sambil berjalan membawa gelas minumannya ke arah pendopo.
Belum lagi sampai di area pendopo, Nyonya Martha yang melihat kedatangan Tata
langsung berteriak memanggil nama gadis itu dengan semangat. Rupanya wanita
paruh baya yang menjadi ibu kedua bagi Tata itu memendam rasa kangen luar biasa
selama Tata absen dari rumahnya kurang lebih sebulan ini
“My
Beauty Girl…… miss you, my daughter”
Nyonya
Martha segera memeluk tubuh Tata saat gadis itu sampai dihadapannya, tak pelak
setiap sisi dari wajah Tata tak luput dari cubitan dan ciuman nyonya Martha.
Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan bak peluru lepas kendali oleh nyonya
Martha pada Tata dan Tata menjadikan pekerjaan yang ia ambil disela jadwal
kuliah sebagai satu satunya alasan yang logis untuk menjawab semua pertanyaan
wanita berwajah teduh itu sehingga ada sedikit protes yang terlontar darinya
“Jas….
Bagaimana kalau anakmu ini tinggal sama aku saja? Dia tidak perlu bekerja
seperti ini. Ayolah Ta, apa uang jajan dari Papamu masih kurang, nggak kan….
Nikmati masa mudamu sayang dan satu lagi jangan pernah lupakan tante… mama
keduamu”
“Mbak,
Tata bukan mencari rupiah… aku juga bingung kenapa akhir akhir ini dia
mengambil banyak sekali tawaran yang masuk padanya sampai Papanya sedikit
marah, tapi aku yang dapat lotterenya…..”
Dengan
semyum mengembang Nyonya Jasmine menunjukkan liontin cantik bermata batu safir
biru muda dengan bingkai menyerupai matahari yang menggantung di lehernya.
Nyonya Martha berdecak sedikit kesal memangdang Tata yang masih terbengong oleh
ulah dua wanita paruh baya yang ada dihadapannya. Dua wanita istimewa baginya
itu selalu meributkan hal hal kecil yang baginya sungguh tidak penting
“Tapi
kemarin Tata punya dua mbak.. katanya buat mbak Martha juga”
“Mamaaaa…..”
Kali
ini suara Tata membuat kedua wanita itu terdiam dengan ekspresi yang sama
sekali berbeda. Nyonya Jasmine yang merasa telah membongkar satu kejutan yang
Tata persiapkan untuk nyonya Martha mengatupkan bibirnya rapat sementara nyonya
Martha tersenyum lebar menatap Tata dengan pandangan bertanya
“Aish….
Susah kalau sama emak emak, nggak ada yang bisa dipercaya”
“Mana
yang buat Tante Ta, hayolah….”
Tata
yang sedikit kesal melangkah meninggalkan dua wanita itu, akan tetapi nyonya
Martha berhasil membujuknya sekaligus berhasil membuat Tata mengeluarkan kado
kejutannya untuk mama keduanya itu.
Lepas
dari urusan hadiah yang Tata beli dari hasil keringatnya, kegaduhan belum usai.
Kini rengekan nyonya Martha beralih pada absennya Tata dari kediamannya.
Berbagai cara wanita itu lakukan untuk meminta Tata menyempatkan waktu
menghabiskan waktu di kediamannya
“Sekarang
ya Ta? Anterin tante pulang dan bantuin tante masak untuk makan malam”
“Tapi
Tata baru pulang, Tan….. makan malam juga masih lama. Tata ada acara nanti
sore, nggak bisa lama lama”
“Oke
deh, anterin aja kalau gitu… ya sayang. Masa iya kamu tega menyuruh tante naik
ojek atau dianterin pak satpam. Om dan Mas Raka masih di kantor, Al katamu
masih fitness. Nggak ada yang bisa jemput Tante….”
Tata
yang tidak pernah tega menolak permintaan seseorang dengan wajah memelas di
hadapannya pun menyerah tanpa usaha mengelak lagi. Beberapa kali berfikir
dengan pertimbangan waktu membuatnya memutuskan untuk mengabulkan permintaan
nyonya Martha. Setelah mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan pant pendek,
Tata memantapkan hati untuk bertandang ke rumah putih keluarga Arifin.
Sesuai
dengan dugaan Tata, suasana rumah sangat sepi. Nyonya Martha yang menolak keras
keberadaan seorang pembantu di rumahnya membuat rumah itu selalu tak
berpenghuni saat ditinggalkan. Hanya ada satpam yang dipekerjakan untuk menjaga
keamanan. Sebelum memasuki rumah, Tata sempat menghentikan langkahnya di depan
garasi. Mobil Raka terparkir disana tapi nyonya Martha yang menangkap keheranan
Tata segera menjelaskan jika Raka beberapa hari ini lebih memilih menggunakan taksi
ataupun meminta Al untuk mengantarkannya ke kantor dengan alasan kesehatan yang
kurang prima
“Mas
Raka sakit?”
“Iya,
dia mengeluh katanya badannya kurang enak beberapa hari ini, tapi masih ngantor
tiap hari dan nggak mau periksa ke dokter. Kamu kan tahu kalau masmu itu
sedikit keras kepala dan susah untuk disuruh minum obat”
Tata
memonyongkan bibirnya dengan anggukan kepalanya mengikuti langkah nyonya Martha
yang terhenti di dapur. Seperti biasanya saat memasuki rumah itu, tujuan
pertama Tata adalah isi kulkas. Walaupun hanya orange juice ataupun air putih
yang ia temukan, tapi kebiasaan itu tidak pernah hilang sejak ia kecil.
“Oh
Tante baru dari TPI?”
Nyonya
Martha yang sedang menyiapkan menu yang akan ia masak menggelengkan kepalannya.
Tata heran, kulkas dipenuhi oleh ikan dan kawan kawannya dan tidak menyisakan
ruang buat isi yang lainnya untuk terlihat
“Om
Arifin kemarin dari daerah pesisir dan pulang dibawain itu sama orang orang
disana”
“Ngapain
Om kesana, Tan?”
“Tante
kurang paham, sayang. Katanya mau kerjasama dengan nelayan disana apa bagaimana
tante juga tidak begitu mengerti. Sini Ta, ambilkan bandengnya… ini kesukaan
Mas Raka”
“Oooh
Om cari supplier buat resto yang akan dibuka itu”
Dengan
mengangkat satu tas kresek berisi beberapa bandeng, Tata melangkah mendekat
pada nyonya Martha dan mengambil duduk di depan mini bar dapur.
“Sepertinya
begitu…. Ah sudahlah Tante tidak paham urusan bisnis. Sini bantuin tante buat
goreng ya”
Tata
mengangguk dan berdiri dari duduknya mendekati kompor. Dengan sedikit instruksi
yang diberikan nyonya Martha, Tata memasang opran yang tergantung disisi kulkas
dan siap berjibaku dengan asap dapur dengan tugas mengeksekusi beberapa ekor
bandeng dan lele yang sudah dibumbuhi sementara nyonya Martha beralih ke sayur
mayur yang sudah mengantri untuk dijamah. Suasana berubah, acara masak yang
biasanya hanya menawarkan bunyian khas minyak yang membakar apa saja yang
dimasukkan kedalamnya kini menjadi sangat gaduh dengan sedikit tawa dari wanita
paruh baya itu. Nyawa rumah itu seakan telah kembali, kegaduhan dan kebisingan
oleh suara Tata kembali mengacaukan ketengangan yang ia tinggalkan
“Tanteeee….
Aaaaah kok gini sih?”
Nyonya
Martha hanya tertawa kecil menyaksikan perilaku Tata yang memegang tutup panci
sebagai pelindung dan sutil di tangan lainnya berjinjit jinjit mendekat dan
menjauh dari wajan yang ada di atas kompor
“Iiiiih
masih gerak…. Taaaaan, kok gini?”
“kenapa
sih Ta, biarin aja. Memang gitu kok, nanti juga akan diem sendiri kalau udah
kering. Kamu bolak balik aja biar rata matengnya”
“Gimana
baliknya minyaknya meletup letup gini…. Auw…. Tante, lelenya masih idup tuuh”
“Itu
tutup buat nutupin wajannya biar nggak meletup keluar, apinya kecilin dikit
biar nggak gosong”
“Aaaaah
nggak mauuuuu…. Nakal nih lelenya”
“Aduuuuh
ribut banget sih, ada apaan sih ini. Mau masak apa mau demo sih Ma?”
Raka
yang sudah mengenakan kaos oblong dan rambut sedikit acak acakan muncul
mengambil minum. Rupanya ia terjaga dari tidurnya karena kegaduhan yang Tata
lakukan
“Lho
sudah di rumah, sayang”
“Iya
Ma, tadi Raka cuma sejam di kantor terus ketemu Gunawan dan temen temen
sebentar”
Tata
yang terperangah dengan keberadaan Raka di rumah itu hanya bisa diam, segala
kegaduhan dan teriakan yang semula selalu keluar dari bibirnya saat letupan
kecil dari minyak di penggorengan kini ia telan kembali. Sutil yang ada di
tangannya masih ia pegang dengan erat namun wajahnya kini kembali datar tidak
berekspresi datar dan dingin. Nyonya Martha menoleh, dia merasa heran karena
suara Tata tiba tiba hilang dari pendengarannya bahkan suara nafasnyapun seakan
tidak bisa ia dengarkan
“Ta….
Awas gosong loh ya… dibalik itu lelenya”
Nyonya
Martha yang melihat Tata hanya terdiam ditempatnya berdiri mengingatkan tugas
yang ia berikan pada gadis itu. Tata hanya mengangguk tanpa suara
“Auw…..
iiish susah amat sih, jangan jahat yaaaa. Nurut sama cheff, okay”
Tata
bergumam sendiri menenangkan diri saat mencoba melaksanakan tugasnya, beberapa
kali peletikan minyak mengenai kulit putihnya sehingga ia meringis menahan
panas yang tertinggal
“Sini…
keburu gosong kalau caranya seperti itu”
Raka
mengambil sutil yang Tata pegang dan dengan satu kali gerakan telah sukses
membalik ikan yang ada di dalam wajan, Tata manyun menahan diri
“Sana
bantuin deh Ka, Mama mau cari tomat mentah dulu sebentar di belakang ya”
“Biar
Ta….”
“Kalau
goreng ikan itu jangan diaduk terus biar nggak ancur, diamkan saja biar nggak
lengket baru di balik biar nggak gosong”
Tata
tidak menyelesaikan kalimatnya karena Raka yang tiba tiba memotong dan
menyodorkan kembali sutil padanya, tapi Tata menolak dan justru melepaskan
opran yang ia kenakan. Tanpa banyak kata Tata menggantungkan kembali opran itu
ditempatnya dan hendak meninggalkan dapur, tapi Raka menghentikannya dan
menyeret gadis itu ke depan pancuran air
“Ini
harus dibersihkan dulu sebelum melepuh”
“Nggak
usah, biarin aja”
Tata
mencoba menarik tangan yang Raka pegang dibawah pancuran air. Tangan Tata yang
berkulit putih nampak kemerah merahan di beberapa titik karena terkena cipratan
minyak. Raka menatap gadis itu untuk tetap diam, kali ini tatapannya sedikit
dingin menandingi tatapan mata Tata yang selalu ia tunjukkan pada Raka. Raka
terus memegang tangan Tata. Setelah membersihkannya dengan air, Raka memaksanya
ikut serta kembali mendekati kompor untuk mengangkat ikan yang di goreng dan
setelah itu menyeret gadis itu ke depan meja makan setelah mengambil kotak obat
yang siaga di atas kulkas
“Duduk…”
Raka
memaksa Tata untuk menuruti perintahnya dengan tangan Tata yang terus ia pegang
karena ia tahu gadis itu akan melarikan diri saat dia melepaskan genggamannya
“gue
bilang nggak usah… lepasin deh!”
Suara
Tata yang datar meminta Raka melepaskan genggamannya, tapi itu sama sekali
tidak di dengarkan oleh Raka. Cowok itu acuh dengan segala kata yang Tata
ucapkan dan sesekali mengencangkan pegangannya pada tangan Tata saat gadis itu
berusaha untuk melepaskan diri.
“Gue
tahu lo marah, walau gue nggak tahu pasti apa sebabnya. Yang jelas amarah itu
hanya lo tujukan sama gue, kenapa?”
Raka
yang mengoleskan cream anti bakar pada tangan Tata mulai memanfaatkan situasi
itu untuk memecahkan segala pertanyaan yang memenuhi otaknya, Tata hanya diam.
Kali ini wajah Tata semakin dingin dan memalingkan muka dari orang yang kini
merawat kulitnya agar tidak melepuh
“Terserah
Ta, Lo mau marah seperti apa sama gue, tapi yang pasti apapun penyebabnya gue
jamin itu hanya sesalahpahaman yang timbul dari pemikiran kekakanakan yang lo
miliki”
“Nggak
usah menggurui”
“hmm… selesai! Sekarang terserah lo mau kemana,
tapi pastikan untuk pamit dulu ke Mama. Lain kali kalau kena minyak panas obati
dulu biar nggak melepuh dan meninggalkan bekas. Kulit lo itu asset buat kerjaan
lo”
Tata tidak berkomentar, ia berdiri dari tempatnya dan
melangkah menjauh dari Raka. Dalam hati ia terus mengutuk dirinya yang terus
bersikap lemah dan mudah menyerah sehingga ia harus kembali terjebak dalam
situasi yang sama sekali tidak dia inginkan. Dalam langkah kaki yang sedikit
tergesa gesa Tata menghentikan langkahnya, nyonya Martha dengan beberapa tomat
hijau dan cabe rawit yang ia ambil dari kebun organiknya berdiri dihadapan
dengan wajah penuh keheranan
“Mau kemana, Ta...... Raka ada apa ini, ada apa dengan
Tata?”
Nyonya Martha sedikit menghakimi Raka sebagai penyebab
Tata yang hendak pergi meninggalkan rumah, tapi tiba tiba Tata tersenyum dan
mencium pipi wanita berwajah teduh itu
“Tata tadi kan udah bilang kalau Tata ada acara sore ini
Tan.... Tata pergi dulu ya... bye bye Mama cantikku”
Dengan nada suara ceria Tata mematahkan kecurigaan nyonya
Martha dan pasrah dengan ciuman yang mendarat di pipi kanan dan kirinya sebagai
tanda pamit dari Tata.
“Ikannya?”
Teriak nyonya Martha saat teriangat dengan ikan lele dan
bandeng yang ia pasrahkan pada Tata untuk di goreng
“Lain kali ya, Tan.... Tata buru buru.... Byeeee”
Tata bergegas menyelamatkan diri dan perasaannya
melangkah dengan setengah berlari keluar rumah
‘Maaf Tante,
Tata belum bisa menata hati untuk sekedar melupakan apa yang Mas Raka katakan
pada Tata. Tata salah menilai dirinya yang selalu Tata anggap sebagai sosok
sempurna sebagai panutan Tata selama ini. Dia bahkan tidak bisa menyadari
kesalahan yang ia lakukan. Maaf Tan jika Tata harus mengecewakan Tante lagi
kali ini. Sampai Tata siap tolong ijinkan Tata menghindar dulu’
Tata membatin dalam langkahnya menuju pintu keluar.
Diteras rumah langkah kaki Tata terhenti, tangan yang
merogoh saku pant yang ia kenakan mencari kunci mobilpun terhenti..
pandangannya menyelidik. Sebuah mobil Jass berwarna merah menyala berhenti
tepat di belakang ia memarkirkan mobilnya. Samar samar ia melihat seseorang
yang ia kenal ada disana
‘Al??....
siapa yang ia bawa pulang. Tumben.....’
“Al.... Lo....”
Tata menggantungkan kata katanya, wanita yang keluar dari
sisi kemudi mobil sangat ia kenali. Ia tahu siapa wanita cantik berambut
panjang dengan senyum mengembang itu, tapi keberadaan Al bersama wanita muda
itu membuatnya sedikit heran karena sebelumnya Al tidak pernah dekat dengan
wanita itu dan dia bukanlah seorang wanita yang akan menghabiskan waktu di
tempat fitnes tempat Al tadi ia turunkan
“Mau kemana Lo.... udah lama dirumah?”
“hmmm... ada urusan, lo dari mana?”
“Amnesia Lo, dari tempat fitnes lah....”
Al yang berjalan mendahului tamunya menyapa Tata dan
sedikit mendaratkan jitakan di kepala gadis itu
“Tata.... kamu Tata kan?”
“Huum.... Mbak Irene kan?”
“Kamu masih mengingat aku rupanya.... hmmm masih akrab
dengan keluarga Raka?”
Wanita itu mengembangkan senyumnya karena Tata masih bisa
mengenali dirinya setelah sekian tahun lamanya tidak bertemu. Tata yang dulu ia
kenal sebagai gadis cantik dengan dua orang bodyguard yang membuat semua orang
iri termasuk dirinya kini ada di hadapannya dengan pandangan penuh keheranan
“Raka ada di rumah kan? Tadi dia bilang kurang sehat
sehingga harus pulang lebih dulu dan kebetulan saat mengantar Carmen ke tempat
Fitnes ketemu dengan Al. Kamu masih inget Carmen kan, Ta?”
“Oh iya.... Mas Raka ada kok... masuk aja mbak, Tata mau
pulang dulu”
Tata berusaha menyudahi perbincangan yang menurutnya
hanyalah kepura puraan tak bermutu, ia tahu Irene tidak pernah sepenuhnya
bersimpati pada dirinya sejak mereka kenal. Dan kali ini setelah sekian lama
tidak bertemu, rupanya gadis itu masih berada di sekitar Raka tanpa ia ketahui
sebelumnya. Sepanjang jalan yang tidak begitu jauh itu Tata membolak balikkan
pikirannya tentang Irene dan Raka, sejauh ini ia tahu siapa saja gadis yang ada
disekeliling Raka dan bagaimana dinginnya Raka terhadap mereka, tapi Irene
adalah cerita yang berbeda dan itu sedikit mengganngu pikirannya yang masih samar
samar tentang Raka
Don't Miss It :
Part 6 : PLAY GIRL JATUH CINTA : Penuh Tanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar