Jumat, 19 Agustus 2016

PLAY GIRL JATUH CINTA : Penuh Tanya 2


PLAY GIRL JATUH CINTA

Part 7. Penuh Tanya 2

Kantor masih lengang, hanya ada beberapa karyawan yang terlihat. Raka melangkahkan kakinya cepat memasuki ruangan, sapaan sapaan hormat dari bawahannya ia tanggapi sekenanya. Masih sangat dini untuk memulai pekerjaan bahkan Yena belum ada di tempatnya. Raka membaringkan badannya di sofa yang ada di dalam ruang kerjanya, ia merasa ini adalah tujuan ternyaman yang bisa ia pikirkan untuk menenangkan diri. Satu lengannya ia gunakan menutup mata seakan ia ingin kembali larut dan masuk ke dalam alam mimpi. Semalaman tidak bisa memejamkan mata tanpa alasan yang jelas membuat Raka merasakan kantuk yang menggelayut di pelupuk matanya tidak bisa ditolerir lagi.
“Oh Tuhan”
Beberapa menit berlalu, suara langkah kaki memasuki ruang kerjanya, Yena tersentak saat melihat tubuh Raka yang tergeletak diatas sofa dengan wajah yang tertutup. Dari arah pintu tempatnya berdiri ia sedikit mengamati pakaian yang melekat di tubuh Raka, bukan pakaian yang Raka kenakan pada hari sebelumnya dan tidak tampak lusuh sedikitpun. Pakaian itu masih sangat licin dan kelihatan rapi bahkan rambut Raka pun kelihatan sangat rapi oleh wet gel yang ia pakai
‘Nggak mungkin Pak Raka tidur disini semalam, pakaiannya rapi, rambutnya klimis… tapi harusnya hari ini dia kan tidak ke kantor….. hmmm entahlah’
Yena mengangkat bahunya dan mengurungkan niatnya untuk memasuki ruangan kerja Raka karena takut akan membangunkan bosnya. Ia memutar badan hendak kembali dengan beberapa map yang ia bawa.
“Taruh saja di meja Yen, nanti saya periksa”
“E… eh iya Pak”
Ternyata Raka belum sepenuhnya tertidur dan masih bisa mengenali seseorang dari bau parfum yang tercuim oelh hidungnya. Yena tersentak oleh suara Raka dan sedikit tergagap
“Kalau ada tamu dan semacamnya, bilang saja saya nggak ada. Saya cuma sebentar disini”
“Baik Pak”
Yena memperhatikan posisi Raka yang tidak bergeming di atas sofa, ia memainkan alis dan bibirnya menyerah pada kebingungan yang diberikan oleh atasannya di pagi hari ini. Ia kembali memutar badan dan berjalan menuju meja kerja Raka
“Apa perlu saya suruh OG untuk membuat kopi, Pak?”
Tanya Yena kemudian saat ia selesai dengan map map yang ia bawa, ia teringat bahwa ia sudah menginstruksikan pada OG untuk tidak menyediakan minuman buat Raka karena ia berfikir bahwa Raka tidak akan datang ke kantor sesuai yang diinformasikan pada hari sebelumnya
“Nggak perlu, setelah memeriksa berkas saya akan keluar kantor”
“Baik Pak”
Yena meninggalkan ruangan dengan ujung mata yang tidak pernah lepas dari posisi Raka. Rasa heran memenuhi pikirannya ‘sejak kapan Pak Raka jadi plin plan begini, ada yang salah sama ini orang’ Yena membatin

Raka menghidupkan layar televisi, pikirnya dengan sedikit suara akan membuatnya lebih nyaman berada di ruangan itu. Meskipun niat awalnya ia mencari ketenangan, tetapi rupanya tujuan ini tidak membantunya untuk mengusir penat yang ia rasakan. Ia terduduk dan menepuk nepuk pipinya sendiri beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran dan semangatnya. Ia melangkah menuju meja kerja dan memeriksa beberapa berkas yang sudah menumpuk disana. Rasanya tidak membutuhkan waktu lama bagi Raka untuk meneliti berkas berkas itu, ia meragu. Diletakkan kembali pena yang ia pegang, kini ia menyandarkan badannya pada kursi dan menhirup nafas dalam dalam dengan mata yang kembali terpejam
‘Prakasa Bayu Aji……. What wrong with you???? Huft…… focus Raka, focus’
“Aaaaah sialan…. Ada apa sih ini sebenarnya. Huuuuh…… nggak bener!”
Raka mencoba menelaah kembali apa yang terjadi pada dirinya, namun ia belum bisa menemukan dengan pasti alasan mendasar yang membuatnya kacau. Segera ia menyelesaikan pekerjaanya, ia tidak tahan dengan segala yang memenuhi pikirannya. Pilihannya untuk datang ke kantor tidak membantu apapun dan kembali ke rumah juga bukan pilihan tepat karena sang Mama akan terus membahas soal Voiletta yang ia rindukan. Pertanyaan nyonya Martha baik kepadanya maupun pada Zaldy beberapa hari ini soal absennya Tata selama sebulan ini dari rumah mereka akan terus berulang sepanjang hari dimanapun mereka terlibat obrolan.
Drrrrt drrtttt drttttt ponsel Raka yang ada di atas meja bergetar, nampak layar ponsel itu menyala. Raka menarik nafas, sekilas ia membaca nama yang tertera disana dan ia tidak berkeinginan terlibat dengan nama itu saat ini, keruwetan dalam pikirannya belum terurai dan dia tidak ingin menambahnya lagi dengan simpul baru yang tidak jelas ujung pangkalnya, tapi ponsel itu tidak segera diam dan terus bergetar tanpa mengenal lelah.
“Iya Gun … ada apa?”
Akhirnya Raka menyerah pada usaha si penelpon yang tidak kenal lelah walaupun ia sedikit merasa takut kalau Gunawan, sahabat masa SMAnya itu akan mulai menyerangnya dengan masalah yang sama, cewek.
“Sombong banget si Ka…. Susaaah banget ya untuk menghubungi lo”
“Ada apaan?, kepala gue lagi pusing Gun… lo jangan nambah beban deh”
“Lo belum berubah ya Ka, hidup lo masih serius aja… udah itu kerjaan tanggalkan dulu, kita ketemu temen temen yuk”
“Siapa aja, kapan?”
Raka sedikit bersemangat, ia percaya Gunawan mampu mengumpulkan temen teman super sibuk yang ia punya dengan sekali perintah. Karakter Gunawan sebagai seorang leader masih sangat melekat diusianya saat ini, setiap kata yang ia lontarkan maka semua teman akan menurut dan patuh padanya. Sebagai mantan ketua OSIS Gunawan masih sangat disegani dalam pergaulannya kini.
“Lo dimana, kantor?”
“Iya”
“Udah lo meluncur gih cepetan ke Junkyard Senopati”
“Wait Gun… lo kenapa nggak jemput gue aja. Gue nggak bawa mobil, lo nglewatin kantor gue kan?”
“Iiiiish nggak mau rugi banget si lo, Ka…. Memang mobil lo kemana, masuk bengkel”
“Nggak, gue lagi kurang enak badan jadi males nyetir, by the way lo ngumpulin siapa aja sih?”
“Halaah kebanyakan tanya. Okelah gue samperin lo kesana, tapi gue ogah turun ya, lo tungguin depan kantor lo”
“Gila aja lo, gue musti ngeceng ga jelas nungguin lo”
“Kalau nggak mau, ya sudah…. Lo cari taksi ajalah”
“Iya iya…. Dasar bawel”
Raka menutup map yang ada dihadapannya dengan segera, jarak kantor Gunawan dan kantornya tidak begitu jauh dan tidak akan membutuhkan waktu lama untuk bisa sampai ke kantor Raka. Dengan segera Raka stand by di lobi kantornya menunggu jemputan. Sebenarnya masih sangat pagi untuk nongkrong di kafe dan pastinya kafe belum buka.
Tidak sampai lima belas menit menunggu, sebuah mobil jeep sporty terlihat di depan kantornya. Kaca mobil sedikit diturunkan dan klakson berbunyi membuat Raka beranjak dari tempatnya dan meninggalkan kantornya. Jalanan mulai macet, Raka memejamkan matanya mencari cara untuk menghindar dari pembicaraan yang melelahkan dengan Gunawan. Akan tetapi usahanya gagal
“Kayak anak gadis lo, merem di dalam mobil saat macet begini”
“Aish…”
Raka mengusap kepalanya yang menjadi sasaran jitakan Gunawan
“Ka… beneran lo nggak sehat ya?”
Reaksi Gunawan berubah saat Raka hanya diam dengan umpatan dibibirnya tanpa membalas dan memprotes
“Lo pikir gue cuma cari alasan doang?”
“Lha, kalau lo nggak sehat ngapai lo ngantor?…. Udah miskin lo sampai harus bekerja sekeras itu demi rupiah”
Raka kembali melirik Gunawan tanpa kata, mulut Gunawan yang selalu mengeluarkan kata kata semaunya itu bukan hal baru baginya
“Makanya gue bilang apa, lo segera cari cewek buat sandaran hati lo saat seperti ini biar nggak Jones terus…. Apa lo masih jadi satpam ya?”
“Maksud Lo???”
Kata ‘Satpam’ membuat Raka sedikit terganggu, ia tahu kemana arah pembicaraan Gunawan. Sepanjang persahabatan mereka Gunawan memang sangat menentang sikap Raka yang terkesan over protectif terhadap Tata
“Dia bukan adek Lo, bukan pacar lo dan yang paling penting dia nggak pernah minta lo untuk jagain dirinya kan? Dan lagi…… gue denger dia juga punya cowok kan??? Gue pernah lihat dia jalan ma cowok”
Gunawan menghentikan kalimatnya, ia menoleh pada Raka untuk memastikan reaksi cowok itu dengan informasi yang baru saja ia berikan sebagai pancingan. Sayang, reaksi datar Raka tidak memberikan jawaban apapun…. Raka masih tetap sama dengan segala reaksi datar yang tidak bisa diartikan oleh orang orang terdekatnya tentang bagaimana perasaannya terhadap Tata
“Dia udah gede Ka, udah jadi wanita muda…. Lo udah nggak perlu terlalu hawatir, dia bisa membela dirinya sendiri saat ia dibully. Lagian dia juga berprofesi sebagai model kan di kantor Bokapnya, wajahnya sering muncul di majalah dan iklan tv…. Bullyan tidak akan membuatnya nangis kejer seperti saat masih SMP dulu. Saatnya lo memikirkan kebahagiaan lo sendiri. Ada si Al kan yang masih setia jagain dia. Lo coba deh buat buka hati lo, kasihan tu Irene masih tetap setia nungguin lo, nungguin gunung es mencair saat musin dingin hahahhaaaa….”
Tawa Gunawan pecah saat ia mulai menyebut nama Irene, gadis dengan pembawaan tenang dan kalem yang selalu berusaha menarik perhatian Raka sejak mereka duduk di bangku SMA dan bahkan rela melepas bea siswa yang ia dapatkan hanya untuk bisa berkuliah dalam satu kampus dengan Raka. Raka terdiam, apa yang dikatakan oleh Gunawan memang tidak sepenuhnya salah da nada sisi hatinya yang membenarkan setiap kata kata itu.
Kemacetan Ibu Kota membuat waktu tempuh mereka sedikit lebih lama, saat mereka tiba di lokasi yang dituju nampak kafe sudah mulai buka dengan beberapa pengunjung yang sudah duduk manis di dalamnya. Satu spot favorit saat sahabat itu berkumpul sudah tertangkap mata. Boy, Adi, Tian ada disana melambaikan tangan mereka menyambut kedatangan Gunawan dan Raka. Tak pelak saat Gunawan tiba suara riuh mulai terdengar, obrolan dengan tawa yang terselip tidak ada putusnya
“Minum Ka… aman lo nggak bakal koid kok. Nggak ada sianidanya”
Adi menyodorkan secangkir kopi pada Raka yang disambut tawa oleh lainnya
“Ini mana katanya kali ini bakal ada ceweknya Gun?”
Tian dengan melihat jam yang ada dipergelangan tangannya memprotes Gunawan yang menjanjikan adanya anggota dengan gender yang  berbeda
“Ini belum jam makan siang Ian, lagian Ragi juga belum datang kan. Tenang saja nanti juga akan datang”
Ya, anggota mereka masih belum lengkap dengan absennya Ragi dari pertemuan itu. Ragi yang seorang pegacara ternyata masih memiliki agenda untuk bertemu dengan kliennya dan menjanjikan akan datang di jam makan siang.
“Sory guys… gue nggak bisa terlalu lama disini, gue lagi nggak enak badan”
“Ya nggak asik lo Ka, tunggulah sebentar sampai Ragi datang. Atau paling nggak sampai cewek cewek itu muncul”
Gunawan mencoba menahan Raka untuk meninggalkan kafe, ia menyadari Raka mulai menangkap sesuatu dari pertemuan yang ia rencanakan itu
“Gue udah paham Gun, gue bilang jangan…. Gue nggak mau mengecewakan orang”
“Ayolah Ka, lagian sudah sebulan ini dia di Indonesia dan sebentar lagi akan balik lagi ke luar negeri. Apa lo nggak penasaran sama penampilannya sekarang”
Kali ini Boy yang mengambil alih untuk membujuk Raka, rupanya dari sekian orang yang berkumpul hanya Raka yang tidak mengetahui rencana Gunawan
“Hmmm kalian bersekongkol ya…”
“Bersengkongkol untuk apa ini?”
Satu suara membuat Raka terdiam, posisinya yang membelakangi arah pintu masuk membuatnya tidak akan melihat siapa yang datang dan pergi dari kafe itu. Bukan suara yang asing terdengar oleh telinganya, Raka memutar badannya perlahan.
“Hai semuanya, maafnya sediki telat”
Irene mengambil duduk di antara Boy dan Gunawan yang berhadapan dengan Raka. Gadis itu masih tetap sama anggun dan elegan. Suaranya terdengar pelan dengan senyum yang terus mengembang sepanjang waktu.
“Hai Raka, apa kabar?”
Kini suasana canggung sedikit membuat Raka kikuk, teman temannya yang hanya saling lirik dan terdiam semakin membuatnya merasa tidak enak hati untuk menolak uluran tangan Irene yang hendak menjabat tangannya
“Baik… lo juga apa kabar?”
“Ya seperti inilah, masih sama dengan yang dulu”
“Lo udah lama di Indonesia kenapa baru mau kumpul kita sekarang sih Ren?”
Tyan mencoba mencairkan suasana dengan ikut dalam perbincangan keduanya
“Gue hanya menunggu umpan Ian, kalau gue yang ngundang takutnya nggak akan ada yang mau datang”
“Yaaaa pasti dengan senang hati, ya nggak Ka….”
Raka hanya mengangguk sedikit ragu
“hahahahaaaa kalian masih sama ya, kompak dan rame… tapi Ragi mana kok nggak kelihatan”
“Dia masih ngelap palu hakim biar licin hahahhahaaa”
Gunawan berkelakar dan membuat suasana kembali mencair. Tidak lama dari kedatangan Irene, Dyah dan Carmen datang dengan dibuntuti oleh Ragi, lengkaplah formasi mereka. Bercengkrama dan sedikit berbagi canda tawa membuat Raka lebih santai dan melupakan kepenatan yang memenuhi kepalanya, tapi itu tidak membuatnya merasa nyaman untuk berlama lama disana dengan Irene yang beberapa kali mencuri pandang kepadanya. Meskipun mendapatkan protes dari sebagian besar sahabat sahabatnya, Raka tetap menjadi orang pertama yang meninggalkan kafe. Alasan kesehatan mebuatnya lolos, hidangan makan siang yang kebarat baratan membuat dia menemukan alasan untuk segera bergegas pergi.
­­­---


Tata sedikit mengomel pada satpam yang menjaga rumahnya, terlambat membuka pagar membuatnya beberapa kali membunyikan klakson mobil. Ia membanting pintu mobil sedikit keras untuk meluapkan kekesalan hatinya. Walaupun satpam itu hanya menjadi kambing hitam atas sedikit perang dingin yang terjadi diantara dia dan Hendra.
“Mom………… I’m homeeee”
Tata memasuki rumah dengan teriakan khasnya untuk memech suasana sepi abadi yang ada di dalam rumah itu. Tidak ada sahutan dari sang Mama membuatnya kembali mengulang teriakannya
“Mommy…. I’am here…. Where are you???”
Dia melemparkan tas ransel yang ia bawa ke arah sofa bed yang ada di ruang keluarga. Dia tahu saat sang Mama tidak ikut serta dengan Papanya ke luar kota maka tempat favoritnya adalah dapur dan pendopo samping rumah untuk bergosip dengan pembantu. Tata menuju arah dapur, jam makan siang sudah hampir tiba dan ia yakin sang mama sedang berjibaku disana, tapi dugaannya salah karena ia hanya menjumpai pembantunya disana.
“Mama mana Mbak?”
Tanya Tata saat menenggak air dingin dari dalam kulkas pada pembantu yang sibuk menyiapkan menu makan siang keluarga Darmawan
“Sepertinya di Pendopo, Non sama Ibu Martha”
“Tante Martha?”
Tata sekali lagi menegaskan bahwa sang pembantu tidak salah menyebutkan nama. Ia tidak melihat ada mobil atapun motor tamu terparkir di halaman rumahnya
“Sama siapa tante Martha kesini?”
“Nggak tahu Non, tadi saat saya datang dari pasar Ibu Martha sudah ada”
“Selain tante Martha, nggak ada tamu lain kan? Al atau Mas Raka barangkali”
Pembantu itu menggelengkan kepalanya memberikan jawaban. Tata memutar matanya, ia berfikir kalau dirinya terlalu parno dengan dugaan dugaan yang ada di kepalanya kini
‘Kalau jam segini mustahil Mas Raka ada dirumah, Si Al tadi juga minta di drop di tempat fitness. Lalu Tante Martha sama siapa… jalan??? Nggak mungkin’
Tata terus menebak nebak sambil berjalan membawa gelas minumannya ke arah pendopo. Belum lagi sampai di area pendopo, Nyonya Martha yang melihat kedatangan Tata langsung berteriak memanggil nama gadis itu dengan semangat. Rupanya wanita paruh baya yang menjadi ibu kedua bagi Tata itu memendam rasa kangen luar biasa selama Tata absen dari rumahnya kurang lebih sebulan ini
“My Beauty Girl…… miss you, my daughter”
Nyonya Martha segera memeluk tubuh Tata saat gadis itu sampai dihadapannya, tak pelak setiap sisi dari wajah Tata tak luput dari cubitan dan ciuman nyonya Martha. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan bak peluru lepas kendali oleh nyonya Martha pada Tata dan Tata menjadikan pekerjaan yang ia ambil disela jadwal kuliah sebagai satu satunya alasan yang logis untuk menjawab semua pertanyaan wanita berwajah teduh itu sehingga ada sedikit protes yang terlontar darinya
“Jas…. Bagaimana kalau anakmu ini tinggal sama aku saja? Dia tidak perlu bekerja seperti ini. Ayolah Ta, apa uang jajan dari Papamu masih kurang, nggak kan…. Nikmati masa mudamu sayang dan satu lagi jangan pernah lupakan tante… mama keduamu”
“Mbak, Tata bukan mencari rupiah… aku juga bingung kenapa akhir akhir ini dia mengambil banyak sekali tawaran yang masuk padanya sampai Papanya sedikit marah, tapi aku yang dapat lotterenya…..”
Dengan semyum mengembang Nyonya Jasmine menunjukkan liontin cantik bermata batu safir biru muda dengan bingkai menyerupai matahari yang menggantung di lehernya. Nyonya Martha berdecak sedikit kesal memangdang Tata yang masih terbengong oleh ulah dua wanita paruh baya yang ada dihadapannya. Dua wanita istimewa baginya itu selalu meributkan hal hal kecil yang baginya sungguh tidak penting
“Tapi kemarin Tata punya dua mbak.. katanya buat mbak Martha juga”
“Mamaaaa…..”
Kali ini suara Tata membuat kedua wanita itu terdiam dengan ekspresi yang sama sekali berbeda. Nyonya Jasmine yang merasa telah membongkar satu kejutan yang Tata persiapkan untuk nyonya Martha mengatupkan bibirnya rapat sementara nyonya Martha tersenyum lebar menatap Tata dengan pandangan bertanya
“Aish…. Susah kalau sama emak emak, nggak ada yang bisa dipercaya”
“Mana yang buat Tante Ta, hayolah….”
Tata yang sedikit kesal melangkah meninggalkan dua wanita itu, akan tetapi nyonya Martha berhasil membujuknya sekaligus berhasil membuat Tata mengeluarkan kado kejutannya untuk mama keduanya itu.
Lepas dari urusan hadiah yang Tata beli dari hasil keringatnya, kegaduhan belum usai. Kini rengekan nyonya Martha beralih pada absennya Tata dari kediamannya. Berbagai cara wanita itu lakukan untuk meminta Tata menyempatkan waktu menghabiskan waktu di kediamannya
“Sekarang ya Ta? Anterin tante pulang dan bantuin tante masak untuk makan malam”
“Tapi Tata baru pulang, Tan….. makan malam juga masih lama. Tata ada acara nanti sore, nggak bisa lama lama”
“Oke deh, anterin aja kalau gitu… ya sayang. Masa iya kamu tega menyuruh tante naik ojek atau dianterin pak satpam. Om dan Mas Raka masih di kantor, Al katamu masih fitness. Nggak ada yang bisa jemput Tante….”
Tata yang tidak pernah tega menolak permintaan seseorang dengan wajah memelas di hadapannya pun menyerah tanpa usaha mengelak lagi. Beberapa kali berfikir dengan pertimbangan waktu membuatnya memutuskan untuk mengabulkan permintaan nyonya Martha. Setelah mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan pant pendek, Tata memantapkan hati untuk bertandang ke rumah putih keluarga Arifin.

Sesuai dengan dugaan Tata, suasana rumah sangat sepi. Nyonya Martha yang menolak keras keberadaan seorang pembantu di rumahnya membuat rumah itu selalu tak berpenghuni saat ditinggalkan. Hanya ada satpam yang dipekerjakan untuk menjaga keamanan. Sebelum memasuki rumah, Tata sempat menghentikan langkahnya di depan garasi. Mobil Raka terparkir disana tapi nyonya Martha yang menangkap keheranan Tata segera menjelaskan jika Raka beberapa hari ini lebih memilih menggunakan taksi ataupun meminta Al untuk mengantarkannya ke kantor dengan alasan kesehatan yang kurang prima
“Mas Raka sakit?”
“Iya, dia mengeluh katanya badannya kurang enak beberapa hari ini, tapi masih ngantor tiap hari dan nggak mau periksa ke dokter. Kamu kan tahu kalau masmu itu sedikit keras kepala dan susah untuk disuruh minum obat”
Tata memonyongkan bibirnya dengan anggukan kepalanya mengikuti langkah nyonya Martha yang terhenti di dapur. Seperti biasanya saat memasuki rumah itu, tujuan pertama Tata adalah isi kulkas. Walaupun hanya orange juice ataupun air putih yang ia temukan, tapi kebiasaan itu tidak pernah hilang sejak ia kecil.
“Oh Tante baru dari TPI?”
Nyonya Martha yang sedang menyiapkan menu yang akan ia masak menggelengkan kepalannya. Tata heran, kulkas dipenuhi oleh ikan dan kawan kawannya dan tidak menyisakan ruang buat isi yang lainnya untuk terlihat
“Om Arifin kemarin dari daerah pesisir dan pulang dibawain itu sama orang orang disana”
“Ngapain Om kesana, Tan?”
“Tante kurang paham, sayang. Katanya mau kerjasama dengan nelayan disana apa bagaimana tante juga tidak begitu mengerti. Sini Ta, ambilkan bandengnya… ini kesukaan Mas Raka”
“Oooh Om cari supplier buat resto yang akan dibuka itu”
Dengan mengangkat satu tas kresek berisi beberapa bandeng, Tata melangkah mendekat pada nyonya Martha dan mengambil duduk di depan mini bar dapur.
“Sepertinya begitu…. Ah sudahlah Tante tidak paham urusan bisnis. Sini bantuin tante buat goreng ya”
Tata mengangguk dan berdiri dari duduknya mendekati kompor. Dengan sedikit instruksi yang diberikan nyonya Martha, Tata memasang opran yang tergantung disisi kulkas dan siap berjibaku dengan asap dapur dengan tugas mengeksekusi beberapa ekor bandeng dan lele yang sudah dibumbuhi sementara nyonya Martha beralih ke sayur mayur yang sudah mengantri untuk dijamah. Suasana berubah, acara masak yang biasanya hanya menawarkan bunyian khas minyak yang membakar apa saja yang dimasukkan kedalamnya kini menjadi sangat gaduh dengan sedikit tawa dari wanita paruh baya itu. Nyawa rumah itu seakan telah kembali, kegaduhan dan kebisingan oleh suara Tata kembali mengacaukan ketengangan yang ia tinggalkan
“Tanteeee…. Aaaaah kok gini sih?”
Nyonya Martha hanya tertawa kecil menyaksikan perilaku Tata yang memegang tutup panci sebagai pelindung dan sutil di tangan lainnya berjinjit jinjit mendekat dan menjauh dari wajan yang ada di atas kompor
“Iiiiih masih gerak…. Taaaaan, kok gini?”
“kenapa sih Ta, biarin aja. Memang gitu kok, nanti juga akan diem sendiri kalau udah kering. Kamu bolak balik aja biar rata matengnya”
“Gimana baliknya minyaknya meletup letup gini…. Auw…. Tante, lelenya masih idup tuuh”
“Itu tutup buat nutupin wajannya biar nggak meletup keluar, apinya kecilin dikit biar nggak gosong”
“Aaaaah nggak mauuuuu…. Nakal nih lelenya”
“Aduuuuh ribut banget sih, ada apaan sih ini. Mau masak apa mau demo sih Ma?”
Raka yang sudah mengenakan kaos oblong dan rambut sedikit acak acakan muncul mengambil minum. Rupanya ia terjaga dari tidurnya karena kegaduhan yang Tata lakukan
“Lho sudah di rumah, sayang”
“Iya Ma, tadi Raka cuma sejam di kantor terus ketemu Gunawan dan temen temen sebentar”
Tata yang terperangah dengan keberadaan Raka di rumah itu hanya bisa diam, segala kegaduhan dan teriakan yang semula selalu keluar dari bibirnya saat letupan kecil dari minyak di penggorengan kini ia telan kembali. Sutil yang ada di tangannya masih ia pegang dengan erat namun wajahnya kini kembali datar tidak berekspresi datar dan dingin. Nyonya Martha menoleh, dia merasa heran karena suara Tata tiba tiba hilang dari pendengarannya bahkan suara nafasnyapun seakan tidak bisa ia dengarkan
“Ta…. Awas gosong loh ya… dibalik itu lelenya”
Nyonya Martha yang melihat Tata hanya terdiam ditempatnya berdiri mengingatkan tugas yang ia berikan pada gadis itu. Tata hanya mengangguk tanpa suara
“Auw….. iiish susah amat sih, jangan jahat yaaaa. Nurut sama cheff, okay”
Tata bergumam sendiri menenangkan diri saat mencoba melaksanakan tugasnya, beberapa kali peletikan minyak mengenai kulit putihnya sehingga ia meringis menahan panas yang tertinggal
“Sini… keburu gosong kalau caranya seperti itu”
Raka mengambil sutil yang Tata pegang dan dengan satu kali gerakan telah sukses membalik ikan yang ada di dalam wajan, Tata manyun menahan diri
“Sana bantuin deh Ka, Mama mau cari tomat mentah dulu sebentar di belakang ya”
“Biar Ta….”
“Kalau goreng ikan itu jangan diaduk terus biar nggak ancur, diamkan saja biar nggak lengket baru di balik biar nggak gosong”
Tata tidak menyelesaikan kalimatnya karena Raka yang tiba tiba memotong dan menyodorkan kembali sutil padanya, tapi Tata menolak dan justru melepaskan opran yang ia kenakan. Tanpa banyak kata Tata menggantungkan kembali opran itu ditempatnya dan hendak meninggalkan dapur, tapi Raka menghentikannya dan menyeret gadis itu ke depan pancuran air
“Ini harus dibersihkan dulu sebelum melepuh”
“Nggak usah, biarin aja”
Tata mencoba menarik tangan yang Raka pegang dibawah pancuran air. Tangan Tata yang berkulit putih nampak kemerah merahan di beberapa titik karena terkena cipratan minyak. Raka menatap gadis itu untuk tetap diam, kali ini tatapannya sedikit dingin menandingi tatapan mata Tata yang selalu ia tunjukkan pada Raka. Raka terus memegang tangan Tata. Setelah membersihkannya dengan air, Raka memaksanya ikut serta kembali mendekati kompor untuk mengangkat ikan yang di goreng dan setelah itu menyeret gadis itu ke depan meja makan setelah mengambil kotak obat yang siaga di atas kulkas
“Duduk…”
Raka memaksa Tata untuk menuruti perintahnya dengan tangan Tata yang terus ia pegang karena ia tahu gadis itu akan melarikan diri saat dia melepaskan genggamannya
“gue bilang nggak usah… lepasin deh!”
Suara Tata yang datar meminta Raka melepaskan genggamannya, tapi itu sama sekali tidak di dengarkan oleh Raka. Cowok itu acuh dengan segala kata yang Tata ucapkan dan sesekali mengencangkan pegangannya pada tangan Tata saat gadis itu berusaha untuk melepaskan diri.
“Gue tahu lo marah, walau gue nggak tahu pasti apa sebabnya. Yang jelas amarah itu hanya lo tujukan sama gue, kenapa?”
Raka yang mengoleskan cream anti bakar pada tangan Tata mulai memanfaatkan situasi itu untuk memecahkan segala pertanyaan yang memenuhi otaknya, Tata hanya diam. Kali ini wajah Tata semakin dingin dan memalingkan muka dari orang yang kini merawat kulitnya agar tidak melepuh
“Terserah Ta, Lo mau marah seperti apa sama gue, tapi yang pasti apapun penyebabnya gue jamin itu hanya sesalahpahaman yang timbul dari pemikiran kekakanakan yang lo miliki”
“Nggak usah menggurui”
“hmm… selesai! Sekarang terserah lo mau kemana, tapi pastikan untuk pamit dulu ke Mama. Lain kali kalau kena minyak panas obati dulu biar nggak melepuh dan meninggalkan bekas. Kulit lo itu asset buat kerjaan lo”
Tata tidak berkomentar, ia berdiri dari tempatnya dan melangkah menjauh dari Raka. Dalam hati ia terus mengutuk dirinya yang terus bersikap lemah dan mudah menyerah sehingga ia harus kembali terjebak dalam situasi yang sama sekali tidak dia inginkan. Dalam langkah kaki yang sedikit tergesa gesa Tata menghentikan langkahnya, nyonya Martha dengan beberapa tomat hijau dan cabe rawit yang ia ambil dari kebun organiknya berdiri dihadapan dengan wajah penuh keheranan
“Mau kemana, Ta...... Raka ada apa ini, ada apa dengan Tata?”
Nyonya Martha sedikit menghakimi Raka sebagai penyebab Tata yang hendak pergi meninggalkan rumah, tapi tiba tiba Tata tersenyum dan mencium pipi wanita berwajah teduh itu
“Tata tadi kan udah bilang kalau Tata ada acara sore ini Tan.... Tata pergi dulu ya... bye bye Mama cantikku”
Dengan nada suara ceria Tata mematahkan kecurigaan nyonya Martha dan pasrah dengan ciuman yang mendarat di pipi kanan dan kirinya sebagai tanda pamit dari Tata.
“Ikannya?”
Teriak nyonya Martha saat teriangat dengan ikan lele dan bandeng yang ia pasrahkan pada Tata untuk di goreng
“Lain kali ya, Tan.... Tata buru buru.... Byeeee”
Tata bergegas menyelamatkan diri dan perasaannya melangkah dengan setengah berlari keluar rumah
‘Maaf Tante, Tata belum bisa menata hati untuk sekedar melupakan apa yang Mas Raka katakan pada Tata. Tata salah menilai dirinya yang selalu Tata anggap sebagai sosok sempurna sebagai panutan Tata selama ini. Dia bahkan tidak bisa menyadari kesalahan yang ia lakukan. Maaf Tan jika Tata harus mengecewakan Tante lagi kali ini. Sampai Tata siap tolong ijinkan Tata menghindar dulu’
Tata membatin dalam langkahnya menuju pintu keluar.
Diteras rumah langkah kaki Tata terhenti, tangan yang merogoh saku pant yang ia kenakan mencari kunci mobilpun terhenti.. pandangannya menyelidik. Sebuah mobil Jass berwarna merah menyala berhenti tepat di belakang ia memarkirkan mobilnya. Samar samar ia melihat seseorang yang ia kenal ada disana
‘Al??.... siapa yang ia bawa pulang. Tumben.....’
“Al.... Lo....”
Tata menggantungkan kata katanya, wanita yang keluar dari sisi kemudi mobil sangat ia kenali. Ia tahu siapa wanita cantik berambut panjang dengan senyum mengembang itu, tapi keberadaan Al bersama wanita muda itu membuatnya sedikit heran karena sebelumnya Al tidak pernah dekat dengan wanita itu dan dia bukanlah seorang wanita yang akan menghabiskan waktu di tempat fitnes tempat Al tadi ia turunkan
“Mau kemana Lo.... udah lama dirumah?”
“hmmm... ada urusan, lo dari mana?”
“Amnesia Lo, dari tempat fitnes lah....”
Al yang berjalan mendahului tamunya menyapa Tata dan sedikit mendaratkan jitakan di kepala gadis itu
“Tata.... kamu Tata kan?”
“Huum.... Mbak Irene kan?”
“Kamu masih mengingat aku rupanya.... hmmm masih akrab dengan keluarga Raka?”
Wanita itu mengembangkan senyumnya karena Tata masih bisa mengenali dirinya setelah sekian tahun lamanya tidak bertemu. Tata yang dulu ia kenal sebagai gadis cantik dengan dua orang bodyguard yang membuat semua orang iri termasuk dirinya kini ada di hadapannya dengan pandangan penuh keheranan
“Raka ada di rumah kan? Tadi dia bilang kurang sehat sehingga harus pulang lebih dulu dan kebetulan saat mengantar Carmen ke tempat Fitnes ketemu dengan Al. Kamu masih inget Carmen kan, Ta?”
“Oh iya.... Mas Raka ada kok... masuk aja mbak, Tata mau pulang dulu”

Tata berusaha menyudahi perbincangan yang menurutnya hanyalah kepura puraan tak bermutu, ia tahu Irene tidak pernah sepenuhnya bersimpati pada dirinya sejak mereka kenal. Dan kali ini setelah sekian lama tidak bertemu, rupanya gadis itu masih berada di sekitar Raka tanpa ia ketahui sebelumnya. Sepanjang jalan yang tidak begitu jauh itu Tata membolak balikkan pikirannya tentang Irene dan Raka, sejauh ini ia tahu siapa saja gadis yang ada disekeliling Raka dan bagaimana dinginnya Raka terhadap mereka, tapi Irene adalah cerita yang berbeda dan itu sedikit mengganngu pikirannya yang masih samar samar tentang Raka


Don't Miss It :
Part 6 : PLAY GIRL JATUH CINTA : Penuh Tanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar